Social Icons

.

Selamat Datang di Blog Itik-Bali

Selamat Jumpa Pembaca yang budiman, selamat datang di blog ini. Blog ini dibuat hanya untuk proses pencurahan hati dan ingin menghibur pembaca sekalian.

Dengan bahasa ringan sehari-hari, saya ingin berbagi cerita pendek yang mudah-mudahan bersambung, sehingga pembaca sekalian diundang untuk melepas lelah dan penat di blog ini.

Semoga pembaca sekalian menikmati dan terhibur setelah membaca. Tentu komentar dan saran anda sangat kami nantikan.

Salam

Sabtu, 26 Agustus 2023

Cerpen: 1 "WALI PEMBAWA DEPRESI"


“WALI PEMBAWA DEPRESI”

 

Pernikahan Anisa (Nisa) dan Bagaskara di langsung kan dengan khidmat. Tidak berlebihan namun anggun. Aku baru tahu Nisa akan menjadi menantu dokter Asmoro, karena Bagaskara anak kandung beliau. Aku dan Istriku menjadi malu, karena perkara wali ini menjadi runyam istriku. Nisa adalah anak Mas Bayu, kakakku yang meninggal dua tahun sebelum aku pergi kerja di Luar Negeri, dan Malida belum kenal betul sama almarhum. Karena cinta Lidia dengan kakakku sampai saat ini dia tidak menikah. Mungkin setelah Nisa menikah. Kita lihat saja nanti apakah dia menikah atau tidak.

**@**

Aku buru buru pulang, aku naik taxi yang berwarna biru dari Bandara. Lagu Franki dan Jane menemani ku di perjalanan dari sebuah Radio yang di slel sang sopir.

Berjalan di lorong pertokoan, di Surabaya yang panas. Aku berdiri di sela sela padatnya penumpang yang bergelayutan. Bis kota sudah miring ke kiri, karena sesak nyapenumpang ……

Itu yang masih ku ingat syairmya.  Akupun turun di pinggir jalan raya terus melanjutkan dengan berjalan kaki memasuki gang yang cukup sempit dan padat. Hampir tak ada yang mengenali aku, walau aku tahu beberapa orang yang menjemur pakaian, menjemur kasur di halaman masih rasanya kulenal. Anak gadis remaja berlari dari dalam rumah hampir menabrak ku. Aku berhenti sejenak, aku tahan tubuhnya, dia menengokku. “Maaf Om, aku tak lihat. Aku di kejar ibuku. Jadi tak melihat om” katanya sambil ketakutan menolehku. Wajahnya menggugah perasaan ku, untuk  kenal dengannya. Tapi aku jawab: ”Oke, nggak apa apa, hati hati ya dik, nanti nabrak motor”. Dia mencium punggung tanganku dan berlalu, sambil berlari

Aku bergegas melanjutkan perjalanan, sekitar seratusan meter berjalan aku tiba di rumahku. Istriku sedang membalik jemuran di samping rumah. Masih cantik istriku, Malida. “Selamat Siang” kataku. “Selamat Siang” jawabnya. “Ma ayah pulang ma” kata seorang gadis remaja disebelahku. Dia merangkul aku dan menangis. Istriku mengambil koperku dan menariknya dibawa ke dalam rumah.

Walau hampir 14 tahun aku tinggal istriku Malida, dia tetap kelihatan cantik kulitnya mulus, putih dan rambutnya yang keriting tetap nemikatku. Aku pun selama merantau sebagai Tenaga Kerja Indonesia di Taiwan, tidak pernah menyia nyiakan kepercayaan nya. Mungkin hal itu yang membuat cinta kami tetap abadi, tetap berkobar membara. Istriku termasuk istri yang konvensional, tidak macam macam kalau urusan suami istri, dia manut sekali. Anak kami tumbuh dengan sehat mungkin hampir tamat Sekolah Dasar tahun ini. Sebentar lagi dia SMP. Aku ingin menebus waktuku untuk memperhatikan pertumbuhan anakku, mengawasi masa remajanya.

Dalam pengelolaan uang istriku cukup bagus, uang yang kukirim dia bangun sebuah Minimart, tanahnya dibeli dari kerabat dekat. Tidak jauh dari rumah, dipinggiran jalan raya. Istriku bilang Minimart sudah siap dibuka, tinggal menunggu yang empunya, untuk metesmikannya.

Persis lima hari aku sampai di rumah, toko Minimart ku di resmikan pembukaannya oleh Pak Kades. Pak Kades memberikan sambutan. Dalam sambutannya Pak Kades memakai cara istriku sebagai role model pengelolaan uang hasil jerih patah suami di Luar Negeri, dan minta ibu ibu yang lain meniru nya.

Untuk toko baru Minimart aku cukup ramai. Lumayan penghasilan kami dari sana. Aku dan istri bergantian menunggui nya, aku juga tinggal di lantai atas, karena model bangunannya bentuk ruko. Anakku Anita sekolahnya menjadi lebih dekat dari toko ke banding dari rumah.

Hampir dua bulan kembali aku  dan istriku mendapat panggilan dari Pengadilan Agama, dalam Acara Mediasi. Istriku kaget dan menanyakan kepadaku, ada apa rupanya kok ada beginian, katanya. “Tidak ada apa apa, nanti kita ngobrol di Pengadilan” kataku dengan datar. Aku tetap mesra dengan istriku, dan dia tetap melayani aku sebagai suaminya.

Saat mediasi istriku hanya menangis dan bilang: “Kalau bapak mau menceraikan aku, tak usah ke pengadilan, ceraikan saja. Aku pasti terima”. “Tidak begitu, karena ada yang perlu di klarifikasi” kataku. Aku minta mediasi di tunda saja, kami mau pendekatan personal dulu. Istriku menantang aku untuk pembuktian tuduhan suaminya, aku sendiri, apa benar apa tidak. Aku merasa ini cara menunda nunda saja, kata istriku. Dia merasa tidak pernah selingkuh, dia wanita setia. Begitu juga aku sampaikan bahwa aku tak pernah berselingkuh dengan wanita lain. Walau kesempatan itu terbuka. Aku merasa bodoh dalam hal ini.

Minimart hari itu ditutup, sore hari, tanpa emosi kuajak suamiku pergi ke dokter Harja. Aku sengaja mencari waktu pertama periksa. Aku minta dokter untuk menjelaskan seputaran surat keterangan yang aku bawa. Dokter menjelaskan bahwa sepuluh tahun yang lalu, istri anda kena penyakit kelamin, konon terjadi setelah diperkosa perampok tak dikenal, saat rumahnya kerampokan. Penyakit nya cukup parah. Aku minta ibu ini berobat rutin, tetapi mungkin karena merasa sudah sehat tidak pernah datang lagi, sehingga bibit nya mungkin masih ada di tubuhnya.

“Anda kan yang berobat beberapa hari ini kesini” tanya dokter kepadaku. “Nah bisa jadi anda mendapat tularan dari kuman yang masih ada di tubuh istri anda. Tak usah khawatir berobat intensif, nanti bisa disembuhkan secara total” sambung dokter.

 

Benar saja aku ketularan dari istriku. Tetapi aku sayang kan kenapa dia tidak bilang padaku. Alasannya, buat apa aib disebarkan, biarlah luka hati itu cukup aku yang merasakannya. Masih untung perampok itu tidak meninggalkan benih di rahimku. Bisa lebih runyam, kalau dia meninggalkan benih, omel istriku.

Aku minta maaf ke istriku, karena aku tahu derita ini dia tanggung sendiri. Dia tak mau seorangpun tahu. Tidak juga aku, orang tuaku, mertuaku, apalagi anaknya. Dia bilang hampir setahun dia meratapi dirinya. Kena penyakit hina itu, setelah ternoda Sang Perampok. Semua kiriman awal ku dari Taiwan di rampok. Kami tekun berobat berdua ke dokter sampai kami dinyatakan sembuh total dari hasil lab. Gugatan perceraian di Pengadilan aku cabut, proses mediasi dianggap berhasil. Rumah tangga kami rukun kembali penuh kebahagiaan, pengelolaan Minimart ku juga semakin sukses.

Tak lama setelah setahunan aku di rumah, Malida hamil lagi. Kebahagiaan keluarga kami bertambah. Anak Anita sudah kelas tiga SMP akan punya adik lagi. Aku berharap anakku lelaki. Tapi bagi istriku, lagi perempuan sama saja yang penting lahir sehat.

Dalam kehamilan kali ini istriku memang lebih mudah capek. Mungkin karena faktor umur, sebentar sebentar capek, sebentar sebentar tiduran. Tapi aku hepi saja, semakin dia manja malah aku semakin senang. Wajahnya lebih berseri kala hamil ini. Makannya sih tidak terlalu milih. Pakaian yang aku belikan saat pulang dari Taiwan, dipakainya menambah cantik saja. Aku jadi lebih bergairah saja dengannya. Umurnya tidak menghalangi gairah cinta kami. Kami berdua mempunyai gairah asnara yang sama meledak ledak, tapi terkendali.

Kuingat kala itu, Anita baru pulang sekolah. Aku menata barang yang baru datang ke toko. Istriku menjerit histeris, aku segera menghampirinya. Seakan dia tak mengenal diriku, tak memperdulikan kehamilannya. Matanya nanar penuh amarah, rambutnya tak karuan. Dia teriak teriak histeris terus, semua tak jelas bicaranya, dia semakin beringas salah satu yang dia sebut:”Lidia pergi kamu, hai pergi kamu”.

Dalam tangis anakku yang memegang ibunya, kutanya siapa Lidia?. “Itu orang yang rumahnya di gang dekat rumah kita” kata anakku. Kehamilan istriku baru masuk bulan ke delapan. Ku ajak dia ke Rumah Sakit untuk di rawat. Dia kubujuk untuk tenang “kasihan anak kita di kandungan”, bujukku. Kata dokter dia mengalami depresi, tapi belum tahu penyebabnya. Untung bayinya sehat sehat saja.

Aku menunggui istriku di rumah sakit, dan kuminta mertuaku mencari Lidia untuk ku ajak bicara, ada apa sebenarnya. Anita kuminta kalau mau ke rumah sakit toko ditutup saja. Malida diberi obat penenang dia tidur pulas di ruangan aku duduk di sebelahnya. Aku belai rambut kriting nya. Kutatap sangat mirip dengan anakku di kala tidur, rambutnyapun mirip sekali. Siang itu kusuapi Malida, dia mau makan, aku tak mau menanyakan apapun kepadanya. Hanya kuelus elus perutnya agar dia konsen dengan bayinya. Dia menanyakan kenapa dia dirawat. Aku bilang dia perlu istirahat demi janin nya. Dia menanyakan Anita, kubilang sebentar juga datang kataku.

Mertuaku datang, dia membisikkan kepadaku bahwa Lidia di kantin Rumah Sakit. Aku biarkan Malida ngobrol dengan orang tuanya, aku pamitan ke kantin untuk ngopi. Disana kulihat tiga wanita termasuk anakku Anita. Aku dekati dan beri salam Selamat Sore. “Selamat Sore Om” jawab salah satunya. Aku tertegun, ternyata anak itu yang menabrak aku di gang. “Apa ayah kenal Nisa” tanya anakku. Aku lupa menjawab, aku masih kagum seperti saudara kembar Anita, cuma Anita keriting dan Nisa berambut lurus. Aku katakan bahwa aku pernah bertemu, saat baru pulang dari Luar Negeri di gang, ayah di tubruknya karena dia lari mendadak dari dalam rumah. Aku minta Anita dan Nisa menjauh dariku untuk sementara.

Akupun bertanya ke Lidia (A): “Apa kamu datang ke rumahku dua hari yang lalu. Apa kau tahu akibatnya. Kita tak saling kenal kan?”.

Lidia menjawab(L): “Iya benar aku yang datang. Aku tak tahu akibatnya begini, aku tahu kamu adiknya Mas Bayu kan. Kamu Rendra”.

Tiba tiba hp ku berbunyi dokter meminta aku dan Lidia ke ruangan. Kami minta Lidia, mengikuti aku. Sambil berjalan aku jelas kan istriku depresi setelah kedatangan Lidia ke rumah. Dia terganggu dalam kehamilannya. Lidia minta maaf kalau begini jadinya. Dia tak menyangka begini akhirnya.

Di ruangan ada Dokter Asmoro sedang berbincang dengan istriku dan mertuaku. Lalu kami bergabung. Aku jelaskan bahwa triger Malida depresi mungkin kedatangan Lidia. Dia menyangka aku ada main dengan Lidia. Padahal aku baru kenal hari ini. Lidia meneruskan penjelasan ku. Dia datang ke rumah untuk meminta aku menjadi wali putrinya yang mau menikah. Karena Nisa anaknya itu, adalah anak almarhum Mas Bayu. Akupun baru tahu hal itu hari ini. Itupun bila Malida mengijinkan nya. Kulihat mata Malida nanar kembali, tapi begitu Anita dan Nisa datang dia melihat ada ikatan ke duanya. Sangat mirip namun Anita berambut keriting seperti rambut Malida.

Dokter menyuruh menghentikan dialog, dan memberikan suntikan penenang ke Malida, tak lama kemudian diapun tertidur. Dokter Asmoro menjelaskan biarkan Malida mencerna berita tadi di dalam mimpinya. Kami mendengarkan kemungkinan dampak ke janin nya sudah di perhitungkan untuk sekecil mungkin dampaknya

Lidia dan Nisa pun pamitan bersama mertuaku, Anita terap menemani ibunya bersamaku di Rumah Sakit. Sekitar tiga jam Malida tertidur pulas. Anita setia memegang tangan ibunya, aku cuma memperhatikan dari jauh. Begitu bangun Malida memeluk Anita dan menangis, dia menyesal telah berprasangka buruk ke aku. Dia minta makan katanya lapar sekali. Aku bukakan nasi yang dibawakan bapak mertuaku tadi. Dan diapun makan lumayan banyak.

Dua hari kemudian Malida diperbolehkan pulang karena emosinya sudah lumayan stabil. Dojterminta emosinya dijaga dengan baik agar emosinya stabil minimal sampai dia melahirkan anak kami. Aku tetap menjadi suami Siaga yang siap mengantar Malida saat melahirkan.

Sesuai dengan prediksi dokter istriku melahirkan, persis hari kemerdekaan. Sehingga hatiku ku beri nama Mahardika. Bayi kami lahir dengan selamat beda 15 tahun dengan kakaknya. Diapun sangat disayang oleh kakaknya Anita. Suatu sore Anita ingat permintaan menjadi wali Nisa, dia menanyakan kepadaku, dia meminta Anita menyuruh Lidia datang ke rumah. Lidia datang dan mengulangi permintaannya, agar aku jadi wali nikah Nisa. Bahkan bila Malida mau diminta ikutan mendampingi Nisa saat di pelaminan. Tapi aku bilang terima kasih, tidak perlu sampai mendampingi di pelaminan, cukup menjadi walinya. Mereka memberikan tanggal dan hari pernikahan Nisa. Kami berjanji akan datang pada waktunya. Setelah kelahiran Mahardika keluarga, kami semakin bahagia, usaha toko semakin lancar hingga berkembang lumayan bagus. Anita bisa kuliah dengan baik, dan Mahardika tumbuh dengan sehat. Tidak terpengaruh depresi ibunya saat hamil.

Hubungan dengan dokter Asmoro menjadi semakin baik, bahkan seperti keluarga besar saja. Lidia pun telahmemutuskan tetap sendiri walau Nisa sudah menikah. Mereka hidup rukun terutama Lidia dan Malida bahkan layaknya dua bersaudara. Mahardika sering diajak nginap di rumah Lidia. Wajahnya menurut dia mirip Bayu, dan Lidia meyakini Mahardika sebagai reinkarnasi Bayu.

 

Pakdepudja@puri_gading, 4 Ags 2023.

 

Sabtu, 01 April 2017

Episode- Akhir Cerita Winda



“WINDA MENJALANI KEHIDUPAN INI SECARA ALAMIAH SAJA”



Related image
CANDI CETO


“Ini merupakan episode terakhir cerita Winda yang telah mapan menjalanu kehidupan, dan memilih pengabdiannya pelalui kependetaan mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Kepada Umat yang telah memilihnya untuk itu”.

“Semakin jauh aku melangkah, semakin jauh rasanya yujuan yang aku cari. Semakin kuat aku melangkahkan kakiku, terasa semakin berat kakiku untuk melangkah”. Inikah namanya karma masa lalu yang mengikat kehidupanku masa kini. Aku ingin mengatakannya ke suamiki Mas Lomo tetapi aku tidak kuat untuk mengatakannya, aku takut melukai hatinya yang trlah dengan tulus mencintaiku, dia telah memberikanku tiga orang anak yang sudah mulai besar.

Hapir lima tahun aku telah menjalani kehidupan spiritual, mengabdi kepada leluhur dan kapada Yang Maha Agung, menjalani kependetaanku. Melayani umatlu dengan keikhlasan dan ketulusanku. Aku ingin menutup kenangan masa laluku dengan menyibukkan diriku dengan pengabdian ini. Anak-anakku merupakan hiduran laiku, aku masih sering tidur, mandi, berenang bersama dengan mereka. Terasa kebahagianku semakin sempurna rasanya. 

Hari ini sudah sekitar pukul sepuluhan, kudengar alunan lagu Darwawi Purba mengalun lembut. “Dapatkah aku gantikan oh sayang…… setulus hatiku semurni cintaku kuingin mengantikan dia yang kau sayang ….. Ooooooooo mimpi…. Hanyalah kau kau sayang Hemmmmmmmmmmm” Aku peluk suamiku yang sedang memperhatikan patung yang sedang dia selesaikan. Diapun segera memelukku, mengangkatku ke ruang studio sebelah tempatnya merenung tadi.

Pagi itu aku lewatkan dengan sangat indah berdua, walau lebih dari sepuluh tahun pernikahanku. Aku merasa bara dilibidoku semakin membara. Mungkin karena sudah tidak beban memikirkan akan hamil lagi. Karena memang semenjak aku menjalani kependetaanku, takdir sudah menyebabkan aku tidak mendapatkan anak lagi. Seperti pendahulu pendahulu kami. Itu sudah dari sananya tidak dapat dijelaskan dengan ilmiah atau akal sehat.

Mas Lomo tetap seperti mesin disel, semakin lama semakin kuat tarikannya. Aku sangat menikmatinya dan aku sangat bahagia, dibelai Mas Lomi dan semilir angina studio yang masu kamarku lewat celah jendela pagi itu. Studio itu sangat pribadi tidak mungkin ada orang masuk. Pagi itu membawa pikiranku ke beberapa tahun silam saat aku masih menjadi petualang cinta. Ya Tuhan maafkanlah hambamu ini. Terimakasih Tuhan kami telah kau berikan suami yang penuh pengertian, yang menjadi terminal terakhir cintaku.

Setelah menyelesaikan sesi akhir bercinta, kami bersama berendam di kolam ranang pribadi sambil menyampaikan gejolak hatiku kepada Mas Lomo. Kuceritakan bahwa aku sangat menikmati masa-masa spiritual ini. Tapi aku sampaikan juga bahwa ada rasa yang semakin terikat dengan masa lalu, yang mengikat kaki ini untuk berjalan labih cepat lagi.

Mas Lomo hanya menjawab, bahwa itu soal biasa, Itu sama dengan deburan ombak dilaut, semakin cepat menjalarnya maka dia akan semakin besar gelombangnya. Biarkanlah dia akan reda dan luluh bersama angina kalau sudah sampai disebuah panyai yang indah. Hidup masa kini memang tidak bisa dipisahkan dengan hidup masa lalu. Kata Gde Prama, nahwa masa lalu itu adalah ibunya masa kini, sehingga kita tidak boleh melupakan jasa seorangibu, walau ibu kita tidak pernah memintanya. 

Aku jadi mengerti mengapa Mas Lomo sangat menyayamhi Ibunya dan Ibuku. Dia tidak membedakan antara ibu kandung dan ibu mertuanya. Seakan inuku adalah ibu kandungnya. Terus terang kukatakan aku belum bisa seperti Mas Lomo, memperlakukan inu mertuaku sesayang itu. Masih ada kejanggalan yang kurasakan.

Aku berusaha tetap melakukan pengabdian semaksimal mungkin untuk keluaragaku, untuk ayah ibuku, maupun ibu mertualu (bapak mertua sudah tidak ada), demikian juga untuk umat kami di Margoyoso Kemuning. Aku persembahkan hidupku untuk mereka. Itu sebagai rasya syukur dan pengabdianku atas nikmat yang kuterima dari Nya selama ini. Aku punya Perusahaan yang mapan yang menambah pundi-pundiku setiap saat, mempunyai suami yang sangat pengertian dan menyayangiku. Rasanya selama menikanh aku belum pernah dimarahi Mas Lomo. Malah aku sering memarahinya. Demikian juga dengan bengkel seninya Mas Lomo, maju dengan pesat sangat banyak customer yang datang kembali membawa cuctomer baru untuk dibuatkan patung diri. 

Anak-anakku juga demikian dapat tumbuh dengan nyaman dan baik, walau terpencar tiga, seoramg bersama neneknya yang kelihatan sangat tertarik dengan masalah kesehatan dan rajin memupuk kerohaniannya, sejalan dengan kegiatan mama. Anakku yang ikut sama kakak ku mereka tidak mau pisah lagi aku biarkan saja, Karen tantenya menyayanginya seperti bahkan melebihi sayang dari anak sendiri. Dia kelihatannya tertarik masalah psikologi sejalan dengan bidang tantenya yang menjadi konsultan psikologi. Dan si laku kecil gondrongku, terlihat berbakat seperti mama dan ayahnya. Dia tertarik seni seperti papanya, juga punya insting bisnis yang kuat seperti mamanya.

Aku biarkan saja mereka hidup berkembang sesuai dengan habitat dan kemauan mereka. Nantinya mereka menjadi apa biarkan sang waktu yang akan menjawabnya. Aku mau menikmati hidup ini, menikmati nikmat cinta bersama suamiku, serta menikmati nikmat pengabdianku untuk umat yang telah meilih Mas Lomo tentunya aku juga sebagai Pendetanya.

Beberapa guru, pendeta yang sudah sangat mapan dan masyur pernah kuajak diskusi dan kutanya. Apakah setelah menjadi pendeta aku harus menghentikan kegiatan seksualku, dan membendung libidoku yang memang membara sejak aku ramaja?.

Hampir semuanya mengatakan nikmati saja, asal bisa mengatur waktu untuk pengabdian memimpin umay. Nikmati saja karena itu merupakan karunia dari Sang Maha Pencipta, karena tidak semua orang beruntung memperoleh libido yang demikian. Tetapi dengan berjalannya waktu, berjalannya pengabdian libido itupun akan semakin mereda, sama seperti kalau sudah kehendak Sang Maha Pancipta, akan mereda seperti kalian tidak dapat hamil lagi seperti sejak kau menjalani kependetaan ini. Astungkara.

Pendapat para pendeta itu, sama dengan apa yang diucapkan Mas Lomo. Yang mengibaratkan libido iu seperti gejolak gelombang samudera yang akan reda pada sebuah pantai tertentu. Dia akan tenang dan reda bila sudah sampai saat tertentu. Waltu itu tak bisa diminta ataukah ditolak. Kita nikmati saja… begitu Mas Lomo mengatakannya. Semuanya itu semakin meringankan langkahku untuk melangkah mantap pada pilihan hidupku menjalani kependetaan ini, mengabdi kepada Sang Maha Esa dan Kepada Umat yang telah meminta Mas Lomo dan Aku untuk memangkunya. Semuanya kujalani secara alami ini sebagai ungkapan terimakasihku kepada Tuhan Yang Maka Kuasa yang telah memberikan kami sangat banyak kebahagian, kenikmatan hidup, dan kehidupan yang mapan terutama kesehatan selama ini. 
On avighnamastu namosidham. Om Sodhirastu tatastu swaha. Om Santi Santi Santi Om.

Puri Gading : Awal April 2017

Kamis, 01 Desember 2016

Winda- 14 : Keputusan Winda

“ WINDA LEBIH FOKUS DI LUAR BISNIS”

Image result for pantai pandawa bali
Pantai Pandawa Bali (Google.com)


Benarkah keputusan Winda Menurut Saudara?

Sore itu, dari bandara aku tidak langsung pulang kerumah. Aku ingin menyepi di Pantai Pandawa. Kulihat jam tanganku, waktu sudah menunjukkan pk 17 30 aku masih asyik memandangi deburan ombak yang begitu semangat membentur kokohnya dinding selatan Pulau Balu. Ketiga anakku yang menemani sejak bandara seakan tidak tahu gemuruh amukan di hati mamanya yang sedang ‘sandikala’ yang ingin ber’hijrah’ dari glamournya dunia bisnis entertainmen, ke dunia spiritual. Gadis masih menggelayut di punggungku, si Winsal mendeplok dipangkuanku sedangkan si sulung Raka asyik menangkap anak kepiting dan setiap dapat nangkap diberikannya kepadaku untuk dimasukkan ke botol aqua.

Itu suasana kebahagiaan dengan putra putriku yang kurasa hilang sampai saat ini. Walau kulihat mereka sangat bahagia. Raka dengan kakakku, dia disayang seakan melebihi kasih saying kepada anak kandungnya, gadis sangat bahagia dengan Niang – Kakiang ( Nenek dan Kakek ) nya, yaitu ibu dan bapak kandungku, sedangkan si bungsu sangat dekat dengan ayahnya Mas Lomo. Tak kurasa air mataku menetes, di lihat sama gadis. “Ma, mama menangis ya, kenapa, gadis nakal ya ma” dia bertanya sampai berulang ulang, aku terbuai kebahagiaan yang kudamba bercengkerema dengan putra-putriku.

“Tidak saying, mama tidak menangis karena kalian nakal, tapi mama menangis karena mama sangat bahagia memiliki kalian” Tiba-tiba Raka nemprok menciumi aku, kubiarkan saja dia melepaskan kekangenannya kepadaku, kupeluk ketiganya, kuciumi dengan gemes satu persatu. Kamu beriringan pulang. Rumahku tidak terlalu jauh dari pantai, kami berjalan beriringan. Aku melihat ketiga anakku berbeda satu sama lain, mungkin pengaruh pengasuhnya. Raka sangat mandiri seperti aku dan Om nya, Kakakku yang mengajaknya tinggal selama ini, Bahkan dia memanggil Kakaku dengan Papa dan Inu, sedangkan memanggilku mama, dan kepada bapaknya ayah. Gadisku dengan rambut panjang, selalu rapi ornagnynya walau masih kecil tetapi sudah perfeksionis, sama dengan Niangnya, dan juga seperti aku, serta Winsal, dia sedikit slebor, tidak suka cukur rambut, sedikir cuek seperti ayahnya.

Aku tiba dirumah, anak-anak melanjutkan mandi di kolam renang aku temani mereka untuk melepas kepenatan, aku tak sempat membuka pakaian aku ditarik rame-rame oleh mereka sehingga t-shirt dan celana legging tetap kupakai untuk berenang. Mas Lomo kelihatan tidak sanggup sendirian di pinggir kolam, dan akhirnya ikut nyemplung. Dengan lima orang di dalam kolam, kolam menjadi sangat ramai. Tak terasa kami bermain air, waktu sudah meninukkan pk 19 00 dan Raka segera merapikan dirinya untuk segera menonton pertandingan tim kesayangannya bermain di Kejuaraan Asean, Indonesia melawan Singapura. Dia suka bola ngikuti kesenangan kakakku yang gila bola, terkadang praktekpun disuruh temannya untuk mengantikan bila ada pertandingan bola dikotaku.

Malam semakin larut, aku tetap di ruang keluarga dengan Mas Lomo, sedangkan anal-anak sudah masuk ke kamarnya maisng-masing. Kembali kuungkapkan kepada Mas Lomo aku telah membuat kepurtusan untuk lepas dari dunia bisnis, akan  aku serahkan pengurusannya kepada professional, anak buahku yang ku kader selama ini. Aku akan focus menemani anak-anak, dan mengabdikan diri untuk kerihanian dan masalah social.

Mas Lomo sangat senang dengan keputusanku, karena dia merasa akan menjadi Kepala Keluarha utuh, dia akan buktikan bahwa dengan berkrya dibidang seni dia tetap dapat menghidupi keluarga dengan layak dan mengabdikan diri untuk umat di Lereng Lawu kampungnya. Mas Lomo mengingatkan masalah anak-anak kembali. Tidak mudah buatku untuk menarik mereka dari Kakek-neneknya, maupun menariknya dari pakde nya. Mereka sudah menganggapnya seperti orang tua kandungnya ma. Demikian Mas Lomo mengingtakan.

Oke, masalah itu memang tak pernah aku pikirkan mas, namun tetap aku akan dapat mengawasi mereka dari dekat. Toh rumah kakak, rumah Bapak dan Ibu masih mudah kujangkau, aku dapat mengobati kekangenanku kapan saja. Begitu juga aku bias memanggil mereka kapan saja untuk dating kerumah walau hanya untuk semalam.

Aku sadar masalah itulah yang membuatku merasa rindu, merasa cemburu, merasa bersalah menyatu menjadi satu yang mendorong keputusanku untuk di rumah hanya mengurus Mas Lomo, anak-anak dan kemasalahan umat. Aku ingin total, kenapa mama bias, masak aku tidak bias. Masalah kerinduan ini yang aku tak dapatkan kalau aku tidak di rumah. Berbagai Negara, berbagai kota bisnis dunia telah aku datangi, tapi kerinduanku yang memuncak hanya pada anak-anakku. Mungkin ini naluri seorang ibu. Itu kuungkapkan kepada Mas Lomo.

Mas Lomo malah tertawa,. “kenapa tertawa mas” tanyaku. Dengan enteng seperti bisanya dia menjawab sambil berbisik ketelingaku. Sama aku apa kamu tidak rindu ma. Hahahahahahahahaha akupu  ikut tertawa, tawaku sampai membelah malam itu. Iya iyalah mas. Iyu sudah pasti. Aku tak tahu keinginan bercinta ku belakangan ini malah menggebu gebu mas. Seperti aku jatuh cinta lagi. Nah begiru dong jangan mengalahkan aku dengan anak anak, ku peluk erat suamiku, dalam malam yang semakin latut itu. Kamipun pindah ke tempat tidur mau meneruskan kemesraan ini.

Lha, begitu masuk kamar tidur kami, ternyata anak-anakku kompak semua tidur di kamar tidur papa=mamanya. Wah suasana menjadi lain, kamipun tidur sebagai pengganjal ketiga nereka, aku disisi kiri dan Mas Lomo disisi kanan. Memang tempat tidurku dibuat demikian besar sehingga kami berlima masih cukup untuk tidur besama.

Mungkin saking capek, saking kebahagiaan yang kunikmati ditengah putra=putriku yang sudah lama kudamba, tidur kami sangat optimal, sangat nyenyak. Loncenga di Tangsi Tentara sangat jelas terdengar berbunyi empat kali, dan ayam pun sudah berkokok. Aku keluar sendiri keluar keteras memandang kea rah laut. Orang kampong sudah pada beriringan pergi kepasar, ada yang masih membawa obor karena melewati tepian hutan bakau. Bau udara laut masih wangi dengan bau garam dan rumput laut membuat kenanganku kembali kemasa muda dulu.

Mama beberapa kali pernah mengajak aku pergi kepantai di kala subuh. Kata beliau agar paru paru mku kuat, udara laut kata mami bersifat menyehatkan dan menguatkan kekebalan paru, Di ufuk timur kulihat mentari sudah merona, mbak asisten rumah tanggaku rupanya sudah pulang dari pasar, di sebelahku sudah disuguhkan kue tradisional pasar : karud, la-Klak, dan jaja ketan kesukaanku.

Aku kembali ke kamat kubangunkan Mas Lomo untuk menemani menikmati sajian pagi yang disiapkan si mbak di teras. Teh poci kegemarnnya langsung dengan daunt eh pilihan yang dipetik di kebun teh keluarga di Kemuning, Karanganyar, dengan la-Klak atau serabi memang jajan kesukaan Mas Lomo, dia sudah terbiasa dengan pengidangan cara Bali, seperti dihidngkan asisten rumah tanggaku, serabi di taburi kelapa dan di gulai juruh diatasnya.

Kami menikmati pagi itu dengan penuh kebahagiaan alami, sambil menikmati jajanan karud jajanan sangat halus yang diberikan aroma daun suji, sangat wangi menjadi kesukaanku. Sedang asyik menikmati jajanan pasar dan sruputan teh poci dengan gula batu, anak-anakku pun sudah pada rapi, rupanya mereka sudah selesai sarapan dan siap dengan seragamnya maisng-masing untuk berangkat keekolah. Yang sulung Raka sekolah di sebuah yang dikelola yayasan Katolik yang sangat termasyur di kota kami dia naru Kelas 3, demikian juga Gadis saudara kembarnya juga Kelas tiga, bersekolah di Gandhi School, sedangkan si bungsu Winsal sekolah keloan sebuah yayasan, dengan cirri khasnya seni.

Ya aku ingat semua pilihan sekolah mereka dipilih dengan pertimbangan mutu sekolah, factor kemudahan akses ke tempat tinggal masing-masing, sehingga mereka disekolahkan sesuai dengan pilihan Kakakku, Ibuku, dan yang bungsu sekolah pilihan ayahnya. Mas Lomo sudah siap mengeluarkan mobil untuk mengantar mereka, aku tak mau diam dirumah aku mau ikut menghantarkan mereka, secarat kilayt ku cabut sebuah switer, walau aku tetap memakai daster, aku duduk di belakang bersama si kembar, dan Winsal seperti biasa duduk siisebelah ayahnya.

Lengkap kebahahagiaan kami sampai pagi itu, sampai mengantarkan mereka kesekolahnya maisng masing. Siang nanti mereka akan dijemput seperti biasa oleh penjemputnya masing masing dan pulang terpencar. Selamat Belajar anak-anakku, semoga kau terus menjadi kebahagianku, tak terasa air mataku menetes kembali dipipiku. Ter mehek-mehek.... ledek Mas Lomo kepadaku. Mobilpun meluncur kembali ke rumah, aku ingin menikmati hari ini bersama Mas Lomo, berdua saja.... ya berdua saja.
Pondok Betung, 2 Desember 2016,



Minggu, 14 Agustus 2016

Winda -13 : Mas Lomo Meti Ide



“MAS LOMO METI IDE”


“dia duduk memperhatikan, sang suami sangat gelisah. Dia tahu karena dia lagi mati ide, dia tahu karena sang suami sudah sangat kangen padanya, sehingga dia harus segera pulang stelah menerima pesan melalui sosmed “ma pulang aku lagi meti (kehilangan ide, diadopsi dari kebiasaan di Papua) sedang dead line sudah dekat”
Tol Laut di Bali

 Aku sedikit lelah sore itu, silir angin timuran kemarau masih kuat menggoyang bunga kamboja yang lagi mekar dan bergerombol di ujung dahan, burung-burung masih beterbangan memburu nyamuk yang sudah mulai keluar sarang, aku masih duduk selonjor di belakang kamar tidur suamiku, di teras belakang yang menghadap kolam renang kecil pribadi. Dimana kamu suka nyemplung saja kalau lagikegerahan, atau suamiku suka nyemplung kesana kalau dia lagi kegembiran telah menyelesaikan sebuah projek, ataupun kembali mendapatkan ide.
Kuperhatikan Mas Lomo, sore itu telah kembali kehabitatnya menemukan ide segar. Aku sangat mengerti kalau dia lagi galau seperti ini. Projeknya setelah hari kemerdekaan harus diserahkan dan dinstalasi di tempat pemesannya seorang konglomerat dari Manado, yang memesan sebuah patung eksotik istrinya, sebuah patung pribadi, yang akan di pasang di rumahnya di pegunungan Tondano.
Dia hanya meminta aku untuk mengantikan modelnya yang sudah bolak balik datang, namun sang suami tidak setuju dengan hasilku, selalu saja ada kritik katanya. Mas Lomo kehilangan ide, malu untuk memintanya kembali hanya untuk menyesuaikan bagian pangkal pahanya. Sehingga iapun menjadi kehilangan ide alias meti.
Kulihat pancaran sinar mata dan raut matanya sudah menunjukkan kegairahan untuk melanjutkan projeknya. Namun aku minta dia menunda mengendapkan dulu, rehat tidak baik kalau lagi capek meneruskan kerjaan. Ibarat pengemudi rehat sejenak di rest area ketika sudah capek dan mengantuk kataku kepadanya. Ia pati menututi aku, daia suami yang sangat menghormati istri, dia sangat mengormati aku setelah mengormati ibu dan kakak perempuannya.
Kusarankan dia mengambil model pahaku saja untuk projeknya. Mas Lomo ku tahu malu bila memintaku untuk mengantikan bagian lain modelnya yang selalu ditolak pemesannya, dia bilang lebih inspiratif dan bisa berlama-lama dan meninggalkan kenangan pribadi pada hasil karyanya. Kenangan itu katanya ya ada padaku. Dia memang seniman ‘nakal’ memasukkan bagian model lain (baca aku) pada karyanya sehingga ada tanda pribadi, seperti tanda tangan dalam lukisan.
“Sudah pakai bagian aku saja mas, untuk melengkapi projekmu. Aku yakin pelanggan mas [asti akan setuju, dan maspun ku tahu menghendaki itu, cuman malu bilang” kataku. Diapun seperti biasa akan memelukku erat, seperti biasanya saat dia melepas kerinduannya kepadaku. Padahal belum sebulan aku tidak bersamanya, karena kesibukan aku mengikuti expo di Jepang lalu ke Singapura. Inipun di Singapura kutinggalkan asisten dan anak buahkku untuk meneruskannya sampai selesai, dan aku segera pulang setelah menerima pesannya. Ini pesan yang sama kuterima dalam tiga hari ini, sehingga aku gi show ke Changi, dan syukur dapat penerbangan langsung ke Denpasar.
Kuteguk wedang secang asli Nganjuk, terasa menyegarkan badanku yang sedikit, yang sedikit capek, namun puas dapat membantu suamiku menemukan idenya. Begitu aku tiba di studionya, biasa dia sedikit cuek, pura-pura tak melihat dan memperhatikan aku. Tapi aku hafal karena sudah beberapa tahun bersamanya.
Ku lempar tas tangan ku di kursi malasnya, kupelauk dia dari belakang, nafasnyapun menggebu membalikan badannya memeluk dan mencium sayang aku. Mas Lomo lupa bahwa tangannya masih sedikit kotor, tak apa pakaianku kotor karenanya, karena nilai sebuah projek akan sangat mahal bila dihitung dengan keberhasilan mengungkap ide pemesannya, dan tentu menambah fulus pundi kami.
“Akh aku lali katanya, bajumu bu kotor tanganku belum ku cuci”. Aku hanya menjawan itu bukan bajuku, tapi bajumu pula, nanti juga kamu Mas yang melepaskannya. Hahahaha................ kami tertawa berderai. Dan kutarik tangannya agar masuk kekamar istrirahatnya di studio, takut ada anak buah Mas Lomo yang datang.
Seperti biasa kami saling melepas kerinduan, mandi bersama sambil dia selalu memperhatikan bagian pangkal pahaku, katanya mencari idea menyempurnakan patungnya. Tak terasa aku beberapa kali telah menikmatinya berdua di kamar mandi studio, lalu pindah ke sofa, aku menjadi modelnya dia seperti sutradara yang memerintah modelnya untuk berganti ganti phose, sehingga akhirnya ter ‘potret’ sebuah pose yang dia anggap paling eksotik. Jepret katanya............... Oke angin datang lagi, katanya mas Lomo. Aku Cuma bilang biduk akan berlayar lagi.
Kuakhiri sesi sore itu dengan bercinta panjang berdua, mencurahkan kerinduan kami yang sudah lama tak bertemu, merayakan kembalinya ide Mas Lomo untuk menyelesaikan projeknya, Kami berdua tertidur pulas rupanya cukup lama, aku bangun belakangan ku lihat lipatan baju tidurku sudah ada di sebelahkan, dan Mas Lomo sudah kudengar berenang di luar.
Pisang goreng keju dan wedang secang kegemaran kami sudah tersedia di teras, di sediakan oleh si Mbak de, di meja teras pinggir kolam renang. Mas Lomo mendekati aku, duduk menikmati wedang secang bersama. Dia berujar terima kasih ma, kamu memang inspirasiku, kamu menghidupkan mesin yang sudah mati dan melayarkan biduk yang sudah berhenti terombang ambing ombak.
Ya sama-sama, kataku, Aku senang dapat berkontribusi pada projek mas. Aku menikmati apa yang ita alami tadi mas, itu titik kulminasi capekku, dia meledak setelah capek expo di Jepang dan di Singapura. Bagaimana respons masyarakat disana ma, tanyanya. Ya cukup baik, ada minimal enam klien yang berminat, mungkin beberapa hari kedepan dia akan menghubungi manajemen untuk menuntaskan pembicaraan, atau si jepang itu mungkin dalam beberapa hari kedepan akan datang ke sanggar berdiskusi sama mas tentang projeknya.
Wah tenanan, aku nggak bisa rehat dong, kata Mas Lomo. Itu tak usah dipikirkan sekarang kalau nsudah deal baru dibuat rencananya. Oke oke katanya. Ku lihat Mas Lomo sangat gembira sore ini, tidak seperti siang tadi kala aku baru tiba. Walau sudah ada tiga anak, masing-masing punya kesibukan dan sangat sering berkomunikasi lewat telepon atau internet, tatap muka dan tatap badan rupanya merupakan vitamin untuk semangat ku, dan semangat suamiku.
Aku harus sudah mulai memikirkan melepas lebih banyak lagi prosentase tanggung jawab dan kerjaku di galeri, aku lebih banyak menyediakan waktu untuk bersama Mas Lomo dan anak-anakku. Benar kata ibuku, harta benda memang perlu, karena dia akan memuaskan kita, hanya saja hanya sesaat. Namun kebahagiaan keluarga perlu dibina, dipupuk, di gelorakan setiap saat sehingga membahagiakan sepanjang masa.
Tiba-tba dalam lamunanku, anak wanita kami telah berteriak dan nemplok di pangkuanku. Padahal aku belum pakai ...... (maaf CD) tapi dia sudah faham maminya kalau tidur jarang pakai pakaian, sehingga biasa saja menurutku, apalagi aku memakai pakaian tidur yang agak tebal sehingga tidak bisa tembus pandang. Dia menarikku kembali ke tempat tidur.
Dia meminta aku menceritakan kemana saja aku selama kutinggal terakhir ini. Itu kebiasaan anak-anakku bila bertemu selalu menanyakan kemana dan apa kegiatan akyu. Biasanya kuceritakan tentang kota yang ku datangi, atau kegiatanku yang terkait dengan pendidikan anak seusianya. Tentang museum, tentang sejarah, maupun tentang sain atau teknologi modern dengan bahasa selevel dia. Kemudaian baru ku tanyakan kegiatan mereka selama aku tinggalkan.
Hehehehe anak gadisku yang tidur masih suka memegang puting nenen maminya, baru kuceritain sekitar lima meneit malah tertidur pulas disebelahku, aku pun ikut tertidur rupanya. Bangun-bangun sudah lepas sandikala, sekitar setengah delapan malam aku terbangun duluan, dan Mas Lomo rupanya ikut tidur lagi disebelah anak gadisku, dengan sketsa pangkal paha patung yang akan diberikan asistennya siap di sebelah tidurnya.
Setelah mandi kami bertiga mendatangi restoran langganan kami untuk santap malam, restoran ‘Sultan Kepiting’ di daerah Sunset Road, menyusuri Tol Laut menikmati semilir angin laut dengan aroma yang khas serta kerlap kerlip lampu kapal di laut serta lampu villa di perbukitan disisi lainnya.
===
Pondok Betung, 15 Agustus 2016