“WALI PEMBAWA DEPRESI”
Pernikahan
Anisa (Nisa) dan Bagaskara di langsung kan dengan khidmat. Tidak berlebihan
namun anggun. Aku baru tahu Nisa akan menjadi menantu dokter Asmoro, karena
Bagaskara anak kandung beliau. Aku dan Istriku menjadi malu, karena perkara wali
ini menjadi runyam istriku. Nisa adalah anak Mas Bayu, kakakku yang meninggal
dua tahun sebelum aku pergi kerja di Luar Negeri, dan Malida belum kenal betul
sama almarhum. Karena cinta Lidia dengan kakakku sampai saat ini dia tidak
menikah. Mungkin setelah Nisa menikah. Kita lihat saja nanti apakah dia menikah
atau tidak.
**@**
Aku buru
buru pulang, aku naik taxi yang berwarna biru dari Bandara. Lagu Franki dan
Jane menemani ku di perjalanan dari sebuah Radio yang di slel sang sopir.
Berjalan di lorong pertokoan, di Surabaya yang panas. Aku berdiri di sela sela padatnya penumpang yang bergelayutan. Bis kota sudah miring ke kiri, karena sesak nyapenumpang ……
Itu yang masih ku ingat syairmya. Akupun turun di pinggir jalan raya terus melanjutkan dengan berjalan kaki memasuki gang yang cukup sempit dan padat. Hampir tak ada yang mengenali aku, walau aku tahu beberapa orang yang menjemur pakaian, menjemur kasur di halaman masih rasanya kulenal. Anak gadis remaja berlari dari dalam rumah hampir menabrak ku. Aku berhenti sejenak, aku tahan tubuhnya, dia menengokku. “Maaf Om, aku tak lihat. Aku di kejar ibuku. Jadi tak melihat om” katanya sambil ketakutan menolehku. Wajahnya menggugah perasaan ku, untuk kenal dengannya. Tapi aku jawab: ”Oke, nggak apa apa, hati hati ya dik, nanti nabrak motor”. Dia mencium punggung tanganku dan berlalu, sambil berlari
Aku bergegas melanjutkan perjalanan, sekitar seratusan meter berjalan aku tiba di rumahku. Istriku sedang membalik jemuran di samping rumah. Masih cantik istriku, Malida. “Selamat Siang” kataku. “Selamat Siang” jawabnya. “Ma ayah pulang ma” kata seorang gadis remaja disebelahku. Dia merangkul aku dan menangis. Istriku mengambil koperku dan menariknya dibawa ke dalam rumah.
Walau hampir 14 tahun aku tinggal istriku Malida, dia tetap kelihatan cantik kulitnya mulus, putih dan rambutnya yang keriting tetap nemikatku. Aku pun selama merantau sebagai Tenaga Kerja Indonesia di Taiwan, tidak pernah menyia nyiakan kepercayaan nya. Mungkin hal itu yang membuat cinta kami tetap abadi, tetap berkobar membara. Istriku termasuk istri yang konvensional, tidak macam macam kalau urusan suami istri, dia manut sekali. Anak kami tumbuh dengan sehat mungkin hampir tamat Sekolah Dasar tahun ini. Sebentar lagi dia SMP. Aku ingin menebus waktuku untuk memperhatikan pertumbuhan anakku, mengawasi masa remajanya.
Dalam pengelolaan uang istriku cukup bagus, uang yang kukirim dia bangun sebuah Minimart, tanahnya dibeli dari kerabat dekat. Tidak jauh dari rumah, dipinggiran jalan raya. Istriku bilang Minimart sudah siap dibuka, tinggal menunggu yang empunya, untuk metesmikannya.
Persis lima hari aku sampai di rumah, toko Minimart ku di resmikan pembukaannya oleh Pak Kades. Pak Kades memberikan sambutan. Dalam sambutannya Pak Kades memakai cara istriku sebagai role model pengelolaan uang hasil jerih patah suami di Luar Negeri, dan minta ibu ibu yang lain meniru nya.
Untuk toko baru Minimart aku cukup ramai. Lumayan penghasilan kami dari sana. Aku dan istri bergantian menunggui nya, aku juga tinggal di lantai atas, karena model bangunannya bentuk ruko. Anakku Anita sekolahnya menjadi lebih dekat dari toko ke banding dari rumah.
Hampir dua bulan kembali aku dan istriku mendapat panggilan dari Pengadilan Agama, dalam Acara Mediasi. Istriku kaget dan menanyakan kepadaku, ada apa rupanya kok ada beginian, katanya. “Tidak ada apa apa, nanti kita ngobrol di Pengadilan” kataku dengan datar. Aku tetap mesra dengan istriku, dan dia tetap melayani aku sebagai suaminya.
Saat mediasi istriku hanya menangis dan bilang: “Kalau bapak mau menceraikan aku, tak usah ke pengadilan, ceraikan saja. Aku pasti terima”. “Tidak begitu, karena ada yang perlu di klarifikasi” kataku. Aku minta mediasi di tunda saja, kami mau pendekatan personal dulu. Istriku menantang aku untuk pembuktian tuduhan suaminya, aku sendiri, apa benar apa tidak. Aku merasa ini cara menunda nunda saja, kata istriku. Dia merasa tidak pernah selingkuh, dia wanita setia. Begitu juga aku sampaikan bahwa aku tak pernah berselingkuh dengan wanita lain. Walau kesempatan itu terbuka. Aku merasa bodoh dalam hal ini.
Minimart hari itu ditutup, sore hari, tanpa emosi kuajak suamiku pergi ke dokter Harja. Aku sengaja mencari waktu pertama periksa. Aku minta dokter untuk menjelaskan seputaran surat keterangan yang aku bawa. Dokter menjelaskan bahwa sepuluh tahun yang lalu, istri anda kena penyakit kelamin, konon terjadi setelah diperkosa perampok tak dikenal, saat rumahnya kerampokan. Penyakit nya cukup parah. Aku minta ibu ini berobat rutin, tetapi mungkin karena merasa sudah sehat tidak pernah datang lagi, sehingga bibit nya mungkin masih ada di tubuhnya.
“Anda kan
yang berobat beberapa hari ini kesini” tanya dokter kepadaku. “Nah bisa jadi
anda mendapat tularan dari kuman yang masih ada di tubuh istri anda. Tak usah
khawatir berobat intensif, nanti bisa disembuhkan secara total” sambung dokter.
Benar saja aku ketularan dari istriku. Tetapi aku sayang kan kenapa dia tidak bilang padaku. Alasannya, buat apa aib disebarkan, biarlah luka hati itu cukup aku yang merasakannya. Masih untung perampok itu tidak meninggalkan benih di rahimku. Bisa lebih runyam, kalau dia meninggalkan benih, omel istriku.
Aku minta maaf ke istriku, karena aku tahu derita ini dia tanggung sendiri. Dia tak mau seorangpun tahu. Tidak juga aku, orang tuaku, mertuaku, apalagi anaknya. Dia bilang hampir setahun dia meratapi dirinya. Kena penyakit hina itu, setelah ternoda Sang Perampok. Semua kiriman awal ku dari Taiwan di rampok. Kami tekun berobat berdua ke dokter sampai kami dinyatakan sembuh total dari hasil lab. Gugatan perceraian di Pengadilan aku cabut, proses mediasi dianggap berhasil. Rumah tangga kami rukun kembali penuh kebahagiaan, pengelolaan Minimart ku juga semakin sukses.
Tak lama setelah setahunan aku di rumah, Malida hamil lagi. Kebahagiaan keluarga kami bertambah. Anak Anita sudah kelas tiga SMP akan punya adik lagi. Aku berharap anakku lelaki. Tapi bagi istriku, lagi perempuan sama saja yang penting lahir sehat.
Dalam kehamilan kali ini istriku memang lebih mudah capek. Mungkin karena faktor umur, sebentar sebentar capek, sebentar sebentar tiduran. Tapi aku hepi saja, semakin dia manja malah aku semakin senang. Wajahnya lebih berseri kala hamil ini. Makannya sih tidak terlalu milih. Pakaian yang aku belikan saat pulang dari Taiwan, dipakainya menambah cantik saja. Aku jadi lebih bergairah saja dengannya. Umurnya tidak menghalangi gairah cinta kami. Kami berdua mempunyai gairah asnara yang sama meledak ledak, tapi terkendali.
Kuingat kala itu, Anita baru pulang sekolah. Aku menata barang yang baru datang ke toko. Istriku menjerit histeris, aku segera menghampirinya. Seakan dia tak mengenal diriku, tak memperdulikan kehamilannya. Matanya nanar penuh amarah, rambutnya tak karuan. Dia teriak teriak histeris terus, semua tak jelas bicaranya, dia semakin beringas salah satu yang dia sebut:”Lidia pergi kamu, hai pergi kamu”.
Dalam tangis anakku yang memegang ibunya, kutanya siapa Lidia?. “Itu orang yang rumahnya di gang dekat rumah kita” kata anakku. Kehamilan istriku baru masuk bulan ke delapan. Ku ajak dia ke Rumah Sakit untuk di rawat. Dia kubujuk untuk tenang “kasihan anak kita di kandungan”, bujukku. Kata dokter dia mengalami depresi, tapi belum tahu penyebabnya. Untung bayinya sehat sehat saja.
Aku menunggui istriku di rumah sakit, dan kuminta mertuaku mencari Lidia untuk ku ajak bicara, ada apa sebenarnya. Anita kuminta kalau mau ke rumah sakit toko ditutup saja. Malida diberi obat penenang dia tidur pulas di ruangan aku duduk di sebelahnya. Aku belai rambut kriting nya. Kutatap sangat mirip dengan anakku di kala tidur, rambutnyapun mirip sekali. Siang itu kusuapi Malida, dia mau makan, aku tak mau menanyakan apapun kepadanya. Hanya kuelus elus perutnya agar dia konsen dengan bayinya. Dia menanyakan kenapa dia dirawat. Aku bilang dia perlu istirahat demi janin nya. Dia menanyakan Anita, kubilang sebentar juga datang kataku.
Mertuaku datang, dia membisikkan kepadaku bahwa Lidia di kantin Rumah Sakit. Aku biarkan Malida ngobrol dengan orang tuanya, aku pamitan ke kantin untuk ngopi. Disana kulihat tiga wanita termasuk anakku Anita. Aku dekati dan beri salam Selamat Sore. “Selamat Sore Om” jawab salah satunya. Aku tertegun, ternyata anak itu yang menabrak aku di gang. “Apa ayah kenal Nisa” tanya anakku. Aku lupa menjawab, aku masih kagum seperti saudara kembar Anita, cuma Anita keriting dan Nisa berambut lurus. Aku katakan bahwa aku pernah bertemu, saat baru pulang dari Luar Negeri di gang, ayah di tubruknya karena dia lari mendadak dari dalam rumah. Aku minta Anita dan Nisa menjauh dariku untuk sementara.
Akupun
bertanya ke Lidia (A): “Apa kamu datang ke rumahku dua hari yang lalu. Apa kau
tahu akibatnya. Kita tak saling kenal kan?”.
Lidia
menjawab(L): “Iya benar aku yang datang. Aku tak tahu akibatnya begini, aku
tahu kamu adiknya Mas Bayu kan. Kamu Rendra”.
Tiba tiba hp ku berbunyi dokter meminta aku dan Lidia ke ruangan. Kami minta Lidia, mengikuti aku. Sambil berjalan aku jelas kan istriku depresi setelah kedatangan Lidia ke rumah. Dia terganggu dalam kehamilannya. Lidia minta maaf kalau begini jadinya. Dia tak menyangka begini akhirnya.
Di ruangan ada Dokter Asmoro sedang berbincang dengan istriku dan mertuaku. Lalu kami bergabung. Aku jelaskan bahwa triger Malida depresi mungkin kedatangan Lidia. Dia menyangka aku ada main dengan Lidia. Padahal aku baru kenal hari ini. Lidia meneruskan penjelasan ku. Dia datang ke rumah untuk meminta aku menjadi wali putrinya yang mau menikah. Karena Nisa anaknya itu, adalah anak almarhum Mas Bayu. Akupun baru tahu hal itu hari ini. Itupun bila Malida mengijinkan nya. Kulihat mata Malida nanar kembali, tapi begitu Anita dan Nisa datang dia melihat ada ikatan ke duanya. Sangat mirip namun Anita berambut keriting seperti rambut Malida.
Dokter menyuruh menghentikan dialog, dan memberikan suntikan penenang ke Malida, tak lama kemudian diapun tertidur. Dokter Asmoro menjelaskan biarkan Malida mencerna berita tadi di dalam mimpinya. Kami mendengarkan kemungkinan dampak ke janin nya sudah di perhitungkan untuk sekecil mungkin dampaknya
Lidia dan Nisa pun pamitan bersama mertuaku, Anita terap menemani ibunya bersamaku di Rumah Sakit. Sekitar tiga jam Malida tertidur pulas. Anita setia memegang tangan ibunya, aku cuma memperhatikan dari jauh. Begitu bangun Malida memeluk Anita dan menangis, dia menyesal telah berprasangka buruk ke aku. Dia minta makan katanya lapar sekali. Aku bukakan nasi yang dibawakan bapak mertuaku tadi. Dan diapun makan lumayan banyak.
Dua hari kemudian Malida diperbolehkan pulang karena emosinya sudah lumayan stabil. Dojterminta emosinya dijaga dengan baik agar emosinya stabil minimal sampai dia melahirkan anak kami. Aku tetap menjadi suami Siaga yang siap mengantar Malida saat melahirkan.
Sesuai dengan prediksi dokter istriku melahirkan, persis hari kemerdekaan. Sehingga hatiku ku beri nama Mahardika. Bayi kami lahir dengan selamat beda 15 tahun dengan kakaknya. Diapun sangat disayang oleh kakaknya Anita. Suatu sore Anita ingat permintaan menjadi wali Nisa, dia menanyakan kepadaku, dia meminta Anita menyuruh Lidia datang ke rumah. Lidia datang dan mengulangi permintaannya, agar aku jadi wali nikah Nisa. Bahkan bila Malida mau diminta ikutan mendampingi Nisa saat di pelaminan. Tapi aku bilang terima kasih, tidak perlu sampai mendampingi di pelaminan, cukup menjadi walinya. Mereka memberikan tanggal dan hari pernikahan Nisa. Kami berjanji akan datang pada waktunya. Setelah kelahiran Mahardika keluarga, kami semakin bahagia, usaha toko semakin lancar hingga berkembang lumayan bagus. Anita bisa kuliah dengan baik, dan Mahardika tumbuh dengan sehat. Tidak terpengaruh depresi ibunya saat hamil.
Hubungan dengan dokter Asmoro menjadi semakin baik, bahkan seperti keluarga besar saja. Lidia pun telahmemutuskan tetap sendiri walau Nisa sudah menikah. Mereka hidup rukun terutama Lidia dan Malida bahkan layaknya dua bersaudara. Mahardika sering diajak nginap di rumah Lidia. Wajahnya menurut dia mirip Bayu, dan Lidia meyakini Mahardika sebagai reinkarnasi Bayu.
Pakdepudja@puri_gading,
4 Ags 2023.