“ WINDA LEBIH FOKUS DI LUAR BISNIS”
![]() |
Pantai Pandawa Bali (Google.com) |
Benarkah keputusan Winda Menurut Saudara?
Sore itu, dari bandara aku tidak langsung pulang kerumah. Aku ingin menyepi di Pantai Pandawa. Kulihat jam tanganku, waktu sudah menunjukkan pk 17 30 aku masih asyik memandangi deburan ombak yang begitu semangat membentur kokohnya dinding selatan Pulau Balu. Ketiga anakku yang menemani sejak bandara seakan tidak tahu gemuruh amukan di hati mamanya yang sedang ‘sandikala’ yang ingin ber’hijrah’ dari glamournya dunia bisnis entertainmen, ke dunia spiritual. Gadis masih menggelayut di punggungku, si Winsal mendeplok dipangkuanku sedangkan si sulung Raka asyik menangkap anak kepiting dan setiap dapat nangkap diberikannya kepadaku untuk dimasukkan ke botol aqua.
Sore itu, dari bandara aku tidak langsung pulang kerumah. Aku ingin menyepi di Pantai Pandawa. Kulihat jam tanganku, waktu sudah menunjukkan pk 17 30 aku masih asyik memandangi deburan ombak yang begitu semangat membentur kokohnya dinding selatan Pulau Balu. Ketiga anakku yang menemani sejak bandara seakan tidak tahu gemuruh amukan di hati mamanya yang sedang ‘sandikala’ yang ingin ber’hijrah’ dari glamournya dunia bisnis entertainmen, ke dunia spiritual. Gadis masih menggelayut di punggungku, si Winsal mendeplok dipangkuanku sedangkan si sulung Raka asyik menangkap anak kepiting dan setiap dapat nangkap diberikannya kepadaku untuk dimasukkan ke botol aqua.
Itu suasana kebahagiaan dengan
putra putriku yang kurasa hilang sampai saat ini. Walau kulihat mereka sangat
bahagia. Raka dengan kakakku, dia disayang seakan melebihi kasih saying kepada
anak kandungnya, gadis sangat bahagia dengan Niang – Kakiang ( Nenek dan Kakek
) nya, yaitu ibu dan bapak kandungku, sedangkan si bungsu sangat dekat dengan
ayahnya Mas Lomo. Tak kurasa air mataku menetes, di lihat sama gadis. “Ma, mama
menangis ya, kenapa, gadis nakal ya ma” dia bertanya sampai berulang ulang, aku
terbuai kebahagiaan yang kudamba bercengkerema dengan putra-putriku.
“Tidak saying, mama tidak
menangis karena kalian nakal, tapi mama menangis karena mama sangat bahagia
memiliki kalian” Tiba-tiba Raka nemprok menciumi aku, kubiarkan saja dia
melepaskan kekangenannya kepadaku, kupeluk ketiganya, kuciumi dengan gemes satu
persatu. Kamu beriringan pulang. Rumahku tidak terlalu jauh dari pantai, kami berjalan
beriringan. Aku melihat ketiga anakku berbeda satu sama lain, mungkin pengaruh
pengasuhnya. Raka sangat mandiri seperti aku dan Om nya, Kakakku yang
mengajaknya tinggal selama ini, Bahkan dia memanggil Kakaku dengan Papa dan
Inu, sedangkan memanggilku mama, dan kepada bapaknya ayah. Gadisku dengan
rambut panjang, selalu rapi ornagnynya walau masih kecil tetapi sudah
perfeksionis, sama dengan Niangnya, dan juga seperti aku, serta Winsal, dia
sedikit slebor, tidak suka cukur rambut, sedikir cuek seperti ayahnya.
Aku tiba dirumah, anak-anak
melanjutkan mandi di kolam renang aku temani mereka untuk melepas kepenatan,
aku tak sempat membuka pakaian aku ditarik rame-rame oleh mereka sehingga
t-shirt dan celana legging tetap kupakai untuk berenang. Mas Lomo kelihatan
tidak sanggup sendirian di pinggir kolam, dan akhirnya ikut nyemplung. Dengan
lima orang di dalam kolam, kolam menjadi sangat ramai. Tak terasa kami bermain
air, waktu sudah meninukkan pk 19 00 dan Raka segera merapikan dirinya untuk
segera menonton pertandingan tim kesayangannya bermain di Kejuaraan Asean,
Indonesia melawan Singapura. Dia suka bola ngikuti kesenangan kakakku yang gila
bola, terkadang praktekpun disuruh temannya untuk mengantikan bila ada
pertandingan bola dikotaku.
Malam semakin larut, aku tetap di
ruang keluarga dengan Mas Lomo, sedangkan anal-anak sudah masuk ke kamarnya
maisng-masing. Kembali kuungkapkan kepada Mas Lomo aku telah membuat kepurtusan
untuk lepas dari dunia bisnis, akan aku
serahkan pengurusannya kepada professional, anak buahku yang ku kader selama
ini. Aku akan focus menemani anak-anak, dan mengabdikan diri untuk kerihanian
dan masalah social.
Mas Lomo sangat senang dengan
keputusanku, karena dia merasa akan menjadi Kepala Keluarha utuh, dia akan
buktikan bahwa dengan berkrya dibidang seni dia tetap dapat menghidupi keluarga
dengan layak dan mengabdikan diri untuk umat di Lereng Lawu kampungnya. Mas
Lomo mengingatkan masalah anak-anak kembali. Tidak mudah buatku untuk menarik
mereka dari Kakek-neneknya, maupun menariknya dari pakde nya. Mereka sudah
menganggapnya seperti orang tua kandungnya ma. Demikian Mas Lomo mengingtakan.
Oke, masalah itu memang tak
pernah aku pikirkan mas, namun tetap aku akan dapat mengawasi mereka dari
dekat. Toh rumah kakak, rumah Bapak dan Ibu masih mudah kujangkau, aku dapat
mengobati kekangenanku kapan saja. Begitu juga aku bias memanggil mereka kapan
saja untuk dating kerumah walau hanya untuk semalam.
Aku sadar masalah itulah yang
membuatku merasa rindu, merasa cemburu, merasa bersalah menyatu menjadi satu
yang mendorong keputusanku untuk di rumah hanya mengurus Mas Lomo, anak-anak
dan kemasalahan umat. Aku ingin total, kenapa mama bias, masak aku tidak bias.
Masalah kerinduan ini yang aku tak dapatkan kalau aku tidak di rumah. Berbagai Negara,
berbagai kota bisnis dunia telah aku datangi, tapi kerinduanku yang memuncak
hanya pada anak-anakku. Mungkin ini naluri seorang ibu. Itu kuungkapkan kepada
Mas Lomo.
Mas Lomo malah tertawa,. “kenapa
tertawa mas” tanyaku. Dengan enteng seperti bisanya dia menjawab sambil
berbisik ketelingaku. Sama aku apa kamu tidak rindu ma. Hahahahahahahahaha
akupu ikut tertawa, tawaku sampai
membelah malam itu. Iya iyalah mas. Iyu sudah pasti. Aku tak tahu keinginan
bercinta ku belakangan ini malah menggebu gebu mas. Seperti aku jatuh cinta
lagi. Nah begiru dong jangan mengalahkan aku dengan anak anak, ku peluk erat
suamiku, dalam malam yang semakin latut itu. Kamipun pindah ke tempat tidur mau
meneruskan kemesraan ini.
Lha, begitu masuk kamar tidur
kami, ternyata anak-anakku kompak semua tidur di kamar tidur papa=mamanya. Wah
suasana menjadi lain, kamipun tidur sebagai pengganjal ketiga nereka, aku
disisi kiri dan Mas Lomo disisi kanan. Memang tempat tidurku dibuat demikian
besar sehingga kami berlima masih cukup untuk tidur besama.
Mungkin saking capek, saking
kebahagiaan yang kunikmati ditengah putra=putriku yang sudah lama kudamba,
tidur kami sangat optimal, sangat nyenyak. Loncenga di Tangsi Tentara sangat
jelas terdengar berbunyi empat kali, dan ayam pun sudah berkokok. Aku keluar
sendiri keluar keteras memandang kea rah laut. Orang kampong sudah pada
beriringan pergi kepasar, ada yang masih membawa obor karena melewati tepian
hutan bakau. Bau udara laut masih wangi dengan bau garam dan rumput laut
membuat kenanganku kembali kemasa muda dulu.
Mama beberapa kali pernah
mengajak aku pergi kepantai di kala subuh. Kata beliau agar paru paru mku kuat,
udara laut kata mami bersifat menyehatkan dan menguatkan kekebalan paru, Di
ufuk timur kulihat mentari sudah merona, mbak asisten rumah tanggaku rupanya
sudah pulang dari pasar, di sebelahku sudah disuguhkan kue tradisional pasar :
karud, la-Klak, dan jaja ketan kesukaanku.
Aku kembali ke kamat kubangunkan
Mas Lomo untuk menemani menikmati sajian pagi yang disiapkan si mbak di teras.
Teh poci kegemarnnya langsung dengan daunt eh pilihan yang dipetik di kebun teh
keluarga di Kemuning, Karanganyar, dengan la-Klak atau serabi memang jajan
kesukaan Mas Lomo, dia sudah terbiasa dengan pengidangan cara Bali, seperti
dihidngkan asisten rumah tanggaku, serabi di taburi kelapa dan di gulai juruh
diatasnya.
Kami menikmati pagi itu dengan
penuh kebahagiaan alami, sambil menikmati jajanan karud jajanan sangat halus
yang diberikan aroma daun suji, sangat wangi menjadi kesukaanku. Sedang asyik
menikmati jajanan pasar dan sruputan teh poci dengan gula batu, anak-anakku pun
sudah pada rapi, rupanya mereka sudah selesai sarapan dan siap dengan
seragamnya maisng-masing untuk berangkat keekolah. Yang sulung Raka sekolah di
sebuah yang dikelola yayasan Katolik yang sangat termasyur di kota kami dia
naru Kelas 3, demikian juga Gadis saudara kembarnya juga Kelas tiga, bersekolah
di Gandhi School, sedangkan si bungsu Winsal sekolah keloan sebuah yayasan,
dengan cirri khasnya seni.
Ya aku ingat semua pilihan
sekolah mereka dipilih dengan pertimbangan mutu sekolah, factor kemudahan akses
ke tempat tinggal masing-masing, sehingga mereka disekolahkan sesuai dengan
pilihan Kakakku, Ibuku, dan yang bungsu sekolah pilihan ayahnya. Mas Lomo sudah
siap mengeluarkan mobil untuk mengantar mereka, aku tak mau diam dirumah aku
mau ikut menghantarkan mereka, secarat kilayt ku cabut sebuah switer, walau aku
tetap memakai daster, aku duduk di belakang bersama si kembar, dan Winsal seperti
biasa duduk siisebelah ayahnya.
Lengkap kebahahagiaan kami sampai
pagi itu, sampai mengantarkan mereka kesekolahnya maisng masing. Siang nanti
mereka akan dijemput seperti biasa oleh penjemputnya masing masing dan pulang
terpencar. Selamat Belajar anak-anakku, semoga kau terus menjadi kebahagianku,
tak terasa air mataku menetes kembali dipipiku. Ter mehek-mehek.... ledek Mas
Lomo kepadaku. Mobilpun meluncur kembali ke rumah, aku ingin menikmati hari ini
bersama Mas Lomo, berdua saja.... ya berdua saja.
Pondok Betung, 2 Desember 2016,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar