“SURA BHARATA DAN WASIAT MAMA LASTRI”
Sebuah Surau di Kedamain Kampung |
Kalau masalah pemilu legislative,
karena dia sebagai salah satu caleg incumbent yang meraup suara yang cukup
signifikan, kelihatannya bukan merupakan masalah yang menekan pikirannya. Masalah
itulah yang menyita pikiran Luna beberapa hari belakangan ini. Lunapun rajin
menemani Sobar saat dia di rumah, bersama Ibu Sobar yang memang seorang istri
yang sangat setia kepada suaminya. Dia menunda semua urusannya di luar rumah
sejak Sobar Sakit. Ia kelihatannya tidak pernah jauh dari Sobar.
Kulihat Bapakku Sobar, pagi ini
masih mondar mandir di rumah, walaupun kelihatannya dia sudah siap berangkat,
karena sudah selesai sarapan dan berpakaian lengkap. Dia tetap mondar-mandir,
akan tetapi tidak seperti biasanya dia mondar mandir sambil menikmati alunan
Cinta Durjananya, Reynold Panggabean. Itu berarti dia masih memendam masalah
dihatinya, yang belum ditemukan solusinya.
Akupun menunda untuk pergi ke
kampus, kebetulan agenda hari itu tak padat,aku ikut menemani ibu di dekat
Sobar, serta menunggu keadaan lebih santai, kalau Sobar mau mulai berbicara
seperti biasanya duduk santai di sofa, ataukan pergi berangkat kerja
atau ke KPU untuk melihat hasil perhitungan suara di tingkat provinsi.
Kulihat Bapak merebahkan badannya
di sofa, seperti biasa Ibu ku menemani duduk mendampingi sambil memijit pundak bapak.
Akupun ikut bergabung setelah mengambilkan Bapak segelas air putih, kukira
Bapak mau minum, ternyata dia menenangkan dirinya untuk beberapa lama, sambil
memejamkan matanya. Akupun membuka sepatu Bapak ikut memijit kakinya. Sambil berdoa agar bapak cepat sehat.
“Ayolah Pak, apapun yang bapak
alami, sedih, suka kami juga ikut merasakannya”
“Berbicaralah pa tentang masalah
yang Bapak alami saat ini, kami siap mendengarkanmya, syukur kami bisa ikut
memberikan solusinya, sehingga bapak tidak terlalu berat menanggung beban”.
“Apa Reno, ada Luna” bisik Sobar.
“Tidak Pak, dia kelihatannya
masih menyiapkan pameran lukisannya di Art Center Fakultas”
“Masa lalu memang tidak akan bisa
di hapuskan atau di tip ex dengan penghapus yang bagaimanapun baiknya. Yang
bisa kita rencanakan dan perbaiki dari masa-masa sebelumnya hanyalah masa
depan, sehingga kita tidak mengulanginya kembali, seperti Pelanduk yang
terantuk pada batang yang sama, walau dia dikatakan cerdik” Sobar mengawali
perbicarannya.
“Maksud bapak apa Pak, bukankan
Bapak sudah menceriterakan masa lalu bapak semuanya ke pada Ibu” sahut Bu
Sobar. Demikian juga kepada Luna pak. “Ada apa ini pak?” tanya Luna dengan nada sedikit meninggi.
Nah itulah yang Bapak tidak tahu
sebelumnya. Bapak tidak cukup tahu semua masa lalu Bapak. Bapakpun baru tahu
saat bapak di rawat di Rumah Sakit. Orang yang menyampaikanpun bukan orang
jauh, tetapi mamanya Reno. Dia
mengagetkanku saat dia cerita, kebetulan ibu tidak mendampingi Bapak saat itu,
dan Lunapun lagi di luar ngobrol sama Reno. Akan lebih baik saat itu kalau ibu
ada. Saat kami bertiga, Bapak, Papa, dan Mamanya Reno ngobrol di ruangan, tiba-tiba
Mamanya Reno menanyakan nama asliku, apa benar itu nama ku seperti yang
tertulis di papan pasien, Sura Bharata?.
Aku jawab benar, nama lengkapku
Gde Sura Bharata dan orang-orang menyingkatnya dengan Sobar, apalagi di Bali
yang bisnisnya banyak bersentuhan dengan bule, banyak nama yang disederhanakan
kataku. Lalu dia menceriterakan cerita seorang kakak tirinya, Lastri. Nama itu
mengingatkan aku kepada seseorang yang pernah kusayangi dan telah kukira sangat menyakiti
hatiku.
Dia ceritakan bahwa Lastri telah
meninggal dunia, tak lama setelah dinikahkan Abah –sebutan untuk nama Orang Tua
Lastri-, bahkan apotiknya pun belum selesai. Karena Abah ingin dia kerja tidak
jauh dari lingkungan keluarga. Ku ingat dia pernah mempunyai kekasih yang
sangat dia cintai di Bandung. Dia itu orang seberang, dan pernah datang ke
perkebunan diperkenalkannya ke Abah. Hanya saja dia tidak memperkenalkannya
sebagai kekasihnya. Dia sangat takut kepada Abah. Padahal Abah sangat
demokratis. Katanya juga sudah pernah diajak mampir ke rumah pacarnya, saat ada
studi tour ke Pulau Dewata.
Singkat cerita, setelah menjadi
apoteker, abah menikahkannya dengan seorang kepercayaannya yang sehari-hari
ngurus perkebunan,. Dari segi fisik orangnya memang tampan, rajin sholat, dan
pandai mengurus perusahaan, sehingga perkebunan Abah yang diurusnya maju pesat. Memang orangnya alim, rajin sembahyang ulangnya.
Hanya kami semua kecolongan, tidak tahu bahwa dia seorang pedofili, dia sering melecehkan anak-anak pekerja kami. Karena Abah sangat dihormati, maka orang tua anak-anak itu tidak berani mengadukan
masalah itu ke abah, berita ini
disampaikan setelah mereka dinikahkan, Mbak Lastrilah menjadi tempat pengaduan
para orang tua anak-anak tersebut. Mbak Lastri akhirnya semakin kurus, tak jelas
sakitnya dan meninggal dunia. Mungkin menahan malu karena ulah suaminya.
Mbak Lastri meninggalkan dua
surat wasiat. Pertama ditujukan kepada Abah, yang menyampaikan permohonan maaf
Lastri, karena Lastri tidak sanggup menjadi istri seorang Pedofili, pilihan
Abah, yang telah melecehkan secara sexual sejumlah nama anak-anak pekerja perkebunan, nama anak-anak itu ada ditulis
lengkap pada wasiat tersebut. Nah karena Abah merasa bersalah, akhirnya
memakamkan Lastri di lingkungan surau di areal perkebunan Abah, dan tidak memakamkannya di pemakaman umum, sebagai pengobat rasa sesal abah. Demikian juga usaha perkebunan
kemudian diserahkan kepada Ibu Tua, ibu dari Mbak Lastri, dan kami, Abah bersama Ibu
Anom, istri Abah ke dua, yaitu ibu ku, meninggalkan perkebunan dan pergi ke kampung
ibu kami di Kemuning, Karang Pandang. Membangun Pesantren serta mengurus perkebunan keluarga ibu disana. Suami Mbak Lastri setelah kepergian Abah, kudengar meninggal karena kecelakaan di arael perkebunan, mobilnya mengalami rem blong.
Wasiat yang kedua, kalau tidak
salah ditujukan kepada Gde Sura Bharata, kekasihnya. Dan dilarang untuk dibuka
oleh siapapun termasuk Abah kecuali yang bersangkutan. Karena namanya juga wasiat, kaluarga
tidak berani membukanya. Abah merasa salah besar dengan tindakannya menikahkan
Mbak Lastri dengan orang yang salah, hanya sekitar dua tahunan setelah
kepergian Mbak lastri, Abahpun juga meninggal dunia, dan beliau meminta untuk dimakamkan
di dekat makam Mbak Lastri. Beliau berpesan wasiat ke dua, kalau memang harus
milik si alamat, pasti akan ketemu. Jangan ada yang boleh membaca kecuali yang
bersangkutan. Dan wasiatnya tidak boleh di bawa kemana-mana tetap disimpan di surau.
Nah siapa tau kalau Pak Sobar
yang dimaksud Mbak Lastri, saya mohon dapat datang kesana untuk
menziarahi makamnya, sambil kita buka bersama wasiat yang masih disimpan mama
tua di sana di Singaparna Tasikmalaya.
Cerita mamanya Reno tersebut
menekan pikiranku sehingga menjadi gelisah seperti ini, walau semua telah Bapak
ceritakan ke mamamu Luna, tapi hal ini dia tidak tahu, dan akupun baru tahu. Ya
seperti yang Bapak uangkapkan memang masa lalau, dosa, kesalahan tidak bisa kita
hapus begitu saja. Berbarengan dengan
Mama, aku sampaikan ke Bapak “mumpung bapak masih sehat, ayo kita berziarah ke
makan Mama Lastri”
Saat itu memang komunikasi tidak
semudah saat ini Luna. Bapak tidak ada komunikasi sama sekali dengan Lastri,
Surat Bapak pun tak pernah dia balas lagi. Bapak kira dia sudah melupakan
bahkan telah mengkianati cinta Bapak. Bapak telah merasa dikhianati, kemudian balas
dendam telah menyakiti belasan hati wanita yang sebenarnya sungguh-sungguh
mencintai bapak, mencintai setangah hati, atau yang hanya menguras uang kriman
dari kakek mu saja. Bapak merasa berdosa.
“Bagaimana ma, apa mama merasa
Bapak sakiti?” tanya Sobar ke istrinya.
“Tak ada Pa, Mama malah kasihan
kepada Bapak, telah tersiksa oleh masa lalu Bapak”
“Ya pa, kita rencanakan saja
untuk datang bersama ke makam Mama Lastri, dan bersilaturahmi dengan keluarga
yang masih ada disana, sambil melihat apakah wasiat untuk Bapak masih ada
disana” sahut Luna.
OK. Kita rencanakan saja, bila
perlu Bapak akan pergi secepatnya, kelihatannya saat ini ada penerbangan
Denpasar Bandung beberapa kali setiap hari, kita bisa pergi bersama keluarganya
Reno, kebetulan kata mamanya saat besuk, mereka sudah lama tidak pulang ke
Tasikmalaya.
“Nah bagaimana dengan hasil pileg
Bapak, apa tidak takut nanti dimanipulasi” sahut Luna.
“Akh peduli amat dengan hasil
pemilu legislatif, toh Bapak selama ini mengharapkan tidak terpilih lagi,
Bapak ingin menyenangkan mamamu, dan mendampingi cucu ku menapaki usaia
anak-anaknya menuju remaja, aku mau mendekatkan diri lebih dekat ke Tuhan Sang Pencipta”
Luna pun memeluk Sobar, dengan
sangat gembira sambil berbisik ketelinga Sobar “ Luna sudah lama ingin
mendengar pernyataan Bapak itu. Terima kasih Pa”
Sobar tak sadar bahwa nereka
bertiga telah berpelukan sambil berurai air mata. Sobar menahan air matanya, dia
tidak mau anak dan istrinya melihat dia menitikkan air mata.
Sobarpun berterima kasih kepada
kedua orang yang dia sayangi atas pengetiannya, terhadap masa lalau yang
menyita pikiran dan membebani pikirannya beberapa hari belakangan ini. Reaksi
Luna dingin seperti reaksi Lastri saat menerima cintaku.
Aku masih jelas mengingatnya,
Lastri pulang sehabis wisuda apotekernya, dan aku masih menyelesaikan
Skripsiku, dia langsung diboyong pulang ke Tasik oleh Abah dan
keluarganya, yang hadir saat wisuda. Aku sengaja dilarang oleh Lastri hadir
saat wisuda, dia khawatir aku minder karena belum lulus, kepada keluarganya.
Ya memang Sobar, mengalami odipus
kompleks saat itu. Dia mencintai kakak kelasnya, beda Fakultas. Sobar di Teknik
Sipil, dan Lastri di MIPA mengambil studi Farmasi. Apakah itu karmaku kini
berbuah pada Luna yang juga dicintai pemuda yang lebih muda. Hanya saja Luna
kan seorang Psikolog, dan Reno seorang Insinyur Sipil.
Akh karma atau apa, apa mungkin
Lastri telah reinkarnasi menjadi Luna akupun tak tahu, Biarlah semuanya menjadi
takdir dari Sang Maha Kuasa. Hanya saja aku melihat senyum Lastri ada di senyum
Luna, dan kulihat ada tahi lalat yang sama di ujung bibirnya. Astungkara. Aku baru memperhatikannya. Apakah ini
memang merupakan takdir. Sobar ingin menebus kesalahannya dengan
menziarahi makam Lastri, serta mencari tahu wasiat yang ia tinggalkan. Siapa tahu masih tersimpan dengan baik.
Kata mamanya Reno, walau tidak
menuduh secara terang-terangan kepada Sura Bharata, bahwa kematiannya sebagai
ulah Sura yang tidak bertanggung jawab. Abah menunggu secepatnya pinangan Sura,
sebelum mereka menikahkannya. Ternyata Mbak Lastri tidak dapat menghadirkan
Sura saat itu. Maka terjadilah pernikahan yang mereka tidak inginkan.
Pernikahan yang hanya merupakan penghormatan kepada Abah yang merupakan seorang
ulama dan pengusaha yang sangat terpandang dikampung. Kematian Lastri membuat malu Abah
sehingga memilih pergi meninggalkan perusahaan, memulai hidup baru di kampung
istri keduanya di Kemuning, sebuah
perkampungan yang dikelilingi perkebunan teh, di lereng barat Gunung Lawu,
dekat dengan candi Sukuh dan Candi Ceto. Suatu perkampungan yang sejuk. Disanalah mamanya Reno dibesarkan,
Reno menjadi benang merah yang
mempertemukan keluargaku, terutama aku Sobar dengan mantan kekasih pertamaku, cinta pertamaku
Lastri tepatnya Dra Lastri Apt. Yang pergi membawa cintanya yang suci. Betapa
bodohnya aku, aku telah berdosa tidak mengawalnya pulang, dan hadir di wisudanya.
Lho lho kok aku menyalahkan diriku sendiri. Ini kan permintaannya dia, tidak
mengijinkan aku menghadirinya, menjaga perasaanku yang belum lulus, dan lebih
muda terpaut sekitar 3-4 tahunan dari dia. Akhirnya aku tidak pernah menyelesaikan Insinyur Sipilku di ITB.
Lastri, Lastri sungguh mulia,
cintamu. Kau meninggalkan aku, dengan membawa seluruh cinta sucimu. Meninggalkan luka yang dalam di hatimu dan di hatiku. Maafkanlah
aku. Kini aku telah menemukan orang yang tidak jauh berbeda dengan sifatmu,
dialah istriku, dan ibu dari anak-anakku. Hanya saja kalau kau lebih tua
umurnya dari aku, dia lebih muda jauh sekali dariku beda sepuluh tahunan. Senyuman dan tanda-tanda lahirmu ada pada Luna, mungkkin kah dia renkarnasimu?.
“Luna, coba kau rencanakan
perjalanan kita, keluarga Sobar dan keluarga Reno, untuk ber ziarah ke makam
mama Lastri, sambil bersilaturahmi dengan keluarganya di Tasikmalaya, yang juga
merupakan keluarga Reno”
“Ya pak, akan aku rencanakan
segera dengan Reno, bila perlu kita mampir ke sekolah Bapak dulu di Institut
Teknologi Bandung yang juga kampusnya mama Lastri, kita sekalian napak tilas
kesana”.
Hari itupun sudah beranjak siang,
kedengaran mobil Reno datang menghampiriku, mungkin mau menanyakan kenapa aku
tak ke kampus hari ini.
“Nah itu kedengaran Reno datang,
ayo Luna kamu samperi kita keluar makan bersama, kita pergi ke restoran teman Bapak yang baru
buka, katanya dia menyediakan aneka kepiting”
Kamipun pergi bersama untuk makan
siang, mau menikmati kepiting di restoran “ King of Ribbs “ yang menghidangkan
aneka kepiting. Bonapetit.
Puri Gading, 4 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar