“TAJEN AJANG SPORTIFITAS”
Memang kalau badan petualang alam seperti Cokde tahan banting, kami aku,
Yande dan Nitami sepulang dari Yogyakarta sakit semua. Cemua terkena flu yang
sangat menyiksa sehingga kami tidak beraktipitas untuk beberapa hari. Tahun
baru telah diambang pintu para wisatawan lokal dan wisatawan manca negara sudah
datang di pantai KUta mereka hendak melepas matahari tahun 2013, dan besoknya
siap-siap menyambut matahari 2014 di Pantai Sanur.
Pagi itu kamipun berjalan jalan
menyusuri pantai Sanur, untuk menghirup segarnya udara pertama di tahun baru
ini. Dikejauhan kulihat sembarut jingga telah di ufuk timur, banyak yang
memasang kamesa dengan stand dan gayanya masing-masing, mereka berjejer di
sepanjang tepian pantai Sanur yang menghadap ketimur. Wibawa Gunung Agung terlihat gagah didepan
kami, seakan menyapa kami dengan ungkapan Selamat Tahun Baru, semoga ka uterus bertambah
sukses di tahun yang baru ini.
Di kejauhan aku melihat dua
pasangan yang selalu memperhatikan kami yang sedang berjalan, berkeringat di
pantai sambil kaki kami tersentuh dijilat bibir air laut yang sudah mulai me
masang pagi itu. Aku biarkan saja memang dikeramaian, aku takut dibilang ke
GeeR an, kalau aku juga memperhatikan mereka. Aku terus saja berjalan, Cokde
sangat sibuk dengan kamreanya menyambut moment matahari pertama terbit di tahun
ini.
Disaat aku sedang duduk di
samping Cokde untuk rehat sejenak minum soft drink yang kubawa, tiba tina
mereka sudah ada di dekatku. Mereka berteriak, Ratna… Ratna….. . Lho kok ada
yang memanggil namaku, itukan panggilan lain namaku, Ratna Ningsih, yang sering
di singkat Rani. Ku toleh, dan berteriak. Heee Susi……. Susilawati.
“Selamat Pagi Ratna’.
“Selamat Pagi. Sus, apa kabar”.
Aku berkenalan dengan teman Susi,
Wanjo katanya. Ya ini Wanjo…. Wayan Joko, suami aku. Aku pas pulang ke kampong akhir tahun ini,
dan kami menikmati nya sambil menunggu matahari awal tahun ini. Wah kamu
beruntung. Karena matahari pagi ini sangat cerah, mendungpun hanya disana sini
sehingga menambah indahnya pagi ini.
Setelah mendapatkan moment yang
ditunggu Cokde mendekat, dan kuperkenalkan kepada Susi dan pasangannya.
” Cokde……?”
“ Ya saya Cokde, siapa ya, apa
kita pernah bertemu?.
“Iya saya Joko. Wayan Joko… Waktu
SMA dulu aku pernah berobat di Tempat Peraktek Dokter, di kampong”
“Maaf mungkin saya lupa, maklum
karena sangat banyak pasien yang silih berganti datang”
Ini calon suamiku, datang ya
nanti kalau saat pernikahan kami, tawaran Rani kepadanya. Tidak lama lagi kok,
akhir bulan ini rencananya. Semoga kau berbahagia Rani, aku saja sudah ada dua
anaknu. Mereka tidak mau gabung aku kesini, mereka lebig asyik di kampong,
bapaknya di Karangasem menikmati tahun baru bersama nenek dan kakeknya.
Meraka kelihatannya pasangan yang
berbahgia, anak sudah dua, tinggal di Manado, sebuah kota yang indah. Susi
seoranga akuntan yang bekerja di perwakilan BPKP , sedangkan suaminya bekerja
di Kantor Agraria setempat. Aku iti Cokde. Ha ha ha aaaaaaaaa. “Harusnya dia
iri, sama kita, karena kita menjadi pasangan yang kuat bertahan, Hahahahaha”
sambung Cokde.
Mataharipun meninggi mereka lihat
pasangan Wanjo dan Susi meninggalkan mereka dengan sangat mesranya, mereka
tidak mau mampir ke Puri Gading, karena mereka berkemas, akan kembali ke Manado
besok pagi. Selamat jalan Sus…. Memang kamu selalu duluan dari aku, semoga kau
tetap berbahagia.
Cokde sudah selesai mengemas
peralatan camera dengan tripodnya, kami dengan keringet yang kering tersapu
angin laut Selat Badung, menuju ke mobil. Mobil VW Safari kesenangan Cokde, di
saat menikmati keindahan kota dan pantai. Kamipun bergegas, kami ada pesta
kecil Tahun Baru di Puri Gading bersama dengan warga setempat.
Ditempat istirahat, Jalan Tol
Diatas perairan, kami menepi, Cokde mau mengambil momen kebersamaan kami,
dengan camera otomati, yang di pasang di atas mobil. Dengan wajah pagi, habis
berkeringat alami, kami berdua menyetem gaya bersama. Trus 1,2,3,,,,,,,,,,tit….titi…..tit……..
jepret. Kemuadian kami lihat berdua ternyata hasilnya sangat alami bagus,
dengan pakaian kami yang tertiup angin, dilator belakangi gunung Agung dan fajar
menyingsing.
Saat itu kuliaht pantai Sanur
jauh lebih bersih kemabding dengan pantai Juta yang sarat dengan sampah. Di
angin baratan ini. Angin baratan kali ini ku baca di Koran, ditandai dengan
Momen Dipole Negatif, dengan berhembusnya angin dingin dari pesisir timur
Afrika mendorong angin baratan menjadi lebih dseras, demikian juga ada seruakan
dingin asia, yang mendorong udara dingin kea wan konvektif kita sehingga
menjadikan proses hujan lebih cepat, dan hujan menjadi lebih deras, dan angin
baratan menjadi lebih kuat.
Angin ini katanya mendorong ombak
menjadi lebih besar membawa sampah ke pantai-pantai di selatan yang bersisian
dengan Samudera Hindia. Itu kata temanku yang bejerja di Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, yang suka menulis di Koran, itupun dapat
kubaca dari blognya. Sama sama mengabdi
untuk masyarakat. Temanku dapat memberikan warning cuaca kepada masyarakat,
kalau aku membantu masyarakat menuju masyarakat sehat. Memang banyak cara kita
mengabdi ke pada masyarakat, sungguh besar anugerah TUhan kepada kita untuk mengabdi.
Aku menikmati sekali pagi ini,
kulihat masih namyak music menggelegar di stel di tenda-tenda, dan dib alai desa
di Bali. Meraka ada yang berbaur dengan para bule, habis merayakan tahun baru.
Beberapa Bule, laki perempuan kulihat ikut tergeletak tidur di balai desa,
Memang Bali, sangat mudah menerima akulturasi. Aku diajak Cokde berhenti di
sebuah pasar desa di daerah Bualu, di pintu keluar Resot Nusa Dua.
Tempatnya desa, tetapi dekat
resort internasional. Cokde memesan dua
porsi makan, kami sangat lahap menikmatinya. Ini rasanya dominan pedas, banyak
daging cincangnya, ada parutan kasar kelapa bakar, kacang panjang dan nangka
cincang.
Kunikmati bersama, membuat
keringat kami meleleh keluar lagi, denga minuman tuak manis –nira – ku akhir
sarapan pagi ini. Kepalaku pun terasa enteng, padahal aku baru saja menderita
flu, dan hidungpun terasa belum normal. Ternyata aku dijelasin oleh dagangnya
bahwa yang kumakan itu namanya lawar penyu. Heheheh penyu bukan dilindungi
kataku. Ini penyu yang di budidayakan masyarakat. Ada sebagian bisa dipotong
dengan ijin pihak berwajib sebagai kompensasi pelestarian budidaya yang
dilakukan.
Sebuah Kuliner tradisional sehat kunikmati,
setalah aku tahu semua nbahan yang dipakai adalah bahan an organic, yang
sengaja di taman tanpa mengguakan pupuk maupun peptisida kimiawi. Walau memang
agak mahal rasanya bagi orang desa, Satu porsi makanan nasi beras merah, lawar
penyu dan tuak manis, lima puluh ribu pas. Aku pamitan dengan Ibu pedagang,
setelah membawa pulang bungkusan tiga bungkus lawar penyu, untuk orang rumah.
Alunan musik tradisonal Bali, music
pop Bali, Musik Rock SID, ataupun lagu-lagu barat banyak kutemui masih disetel
masyarakat walau malam tagun baru, sudah lewat. Disuatu poskamling kudengar
sebuah lagu yang pernah kudengar. Ku minta Cokde menepi dan berhenti dekat pos
kamling ini.
“Selamat Pagi, Selamat Tahun Baru”
“Om Suastiastu, hehe Cokde
rupanyam dari mana dengan ibu?” tanya dari seorang dari mereka dan mendekati
mobil kami.
Mereka bercakap dengan bahasa
Bali, maaf Ran, aku pakai bahasa Bali. Dia memakai Bahasa Bali halus, karena
dia menghormati aku. Dia masyarakat yang sering membatu keluarga kami kalau ada
acara keagamaan, atau acara adat. Mereka orang kampong tak pamerinh, iklas
membantu.
“Ran berikan saja itu paket
bungkusan lawar tadi” kata Cokde
Aku berikan ke mereka, Cokdepun
berkata, He maaf cuma tiga porsi, di bagi ya itu lawar penyu. Tapi minumnya
cari sendir ya. Ini tuak manis akan aku bawa, soalnya itu pesanan Kanjeng Mami.
“Siap Bosss, Matur Suksema”
katanya.
Cokde menjelaskan ke aku. Saat
mereka bercakap dengan bahasa Bali mereka menanyakan kapan gadis cantik
disamping akan diresmikan dalam pernikahan. Cokde menjawab tunggu saja
beritanya. Kalau berita baik pasti akan segera disampaikan. Mereka pun
menawarkan apa yang bisa mereka lakukan untuk acara itu, mereka akan selalu
siap datang ke Puri. Baik di Puri Gading atau di Puri Induk di kampong keluarga
besarku.
Sebelum melaju lagi sempat ku
tanyakan kepada salah satu dari mereka, “Pak Pak itu lagu judulnya apa ya”.
“Oh… Itu lagunya SID yang kuta
tahu ada liriknya …nyalakan mara bahaya begitu…..” “Oh iya terima kasih ya”
“matur Sukdema” katanya.
VW safari tua itu pun meluncur
lagi menyusuri Jalan By Pass, kus stel music tak mau kalah dengan mereka yang
ada di Bale banjar. Langsung kupencet saja, ternyata mengalun lagu melonya Widi
Widiana. “Memori Danau Beratam” Jadi aku teringat saat aku mencoba para
sailing, dan banana boat di Danau Beratan, Bedugul. Hawanya yang sejuh menusuk
kulitku.
Cokde, kok lagunya melo banget.
Itu bukan saja melo, tapi itu sebenarnya
mengandung filosofi mendalam, yang menyindir laki laki, yang saat mereka senang
biasanya lupa segalanya. Itu menceritakan seorang laki laki jomblo, berwisata ke Danau Beratan,
berjumpa seorang gadis dan berkenalan. Sang gadis merespon kenalan tersebut,
memberikan senyumannya yang sangat manis, sehingga dia lupa menanyakan nama
ataupun alamt si gadis.
Sesampainya di rumah diceritakan
wisatawan ini datang dari Malang, ingin berkirim pesan lewat bbm atau lewat
surat. Tapi dia hanya bisa memendam rindunya karena lupa menanyakan nama,
alamat ataupun nomor Handphonenya. Iapun hanya bisa menyampaikan pesan lewat
bulan , angin ataupun bintang, dan memohon kepada Tuhan Yang Maja kuasa untuk
mempertemukannya kembali.
Hahahahahaha akupun tertawa……….<
untung dulu Cokde ku berikan nomor telepon ya, sehingga kita bisa bersama
seperti ini. Memang kita tidak termasuk domain cowok yang di danau Beratan itu,
ya Cok de. Iyaaaaaaa Hahahahahahahahah koksampai kesana assosiasinya ,kata Cokde, sambil
memelankan kendaraan karena ada kerumunan orang. Aku sempat meliriknya ternyata
seorang tourist Bule, terkapar di pinggiran jalan dengan motor yang lengkap
dengan papan surfingnya.
“Dia telah sampai kepada
tujuannya terakhir,” kata Cokde.
“Kok bisa begitu Cokde?”
“Ya bukan kah banyak touris asing
kepingin mati di Bali?”
“Oh itu maksudnya. Ya aku
mengerti, karena Bali mereka anggap sorga dunia, the real paradise”
Kami tidak langsung pulang, jam
sudah menunjukkan pukuk 11 00 siang. Kami pun berhenti di sebuah hall, yang
orang Bali bilan wantilan. Sangat banyak orang disana, sangat banyak pedagang
berjejer di halaman wantilan. Banyak kulihat laki-laki membawa keranjang berisi
ayam jago.
“ada apa ini Cokde, tempat apaan
ini”
“Lho katanya ingin menyaksikan
tajen, sabung ayam gaya Bali”
“Oh iya, kita kan masih bau
keringat, kan enggak enak”
“Akh cuek saja, itu bule juga
mungkin sudah beberapa hari tak mandi, cuke saja bergabung ke mereka”
Hahahahahahah tawaku berderai,
pikirku memangnya kita bule. Akh cuek saja. Kami mendekat sepasang ayam sudah
siap diadu, dengan taji yang sangat mengkilap terikat dikakinya. Orang-orang
pun berteriak teriak. Cok-cok –cok….. Biing biing biing. Tludo…Tludo,,,,,,,
meraka saling bersahutan. Seorang jri memukul ong” Tung”
Semua hadirin diam sejenak,
suasana sangat hening, Kuliaht sepasang ayam telah berada dengan lihainya do
kawal dua orang yang menjadi pawangnya di Bali disebut pekembar. Dua ayam itu
saling hajar, saling hantam, bersamaan dengan bunyi gung ‘Tung”….. para
pemerhati berteriak Hooooooo
Kulihat seekor ayam terkulai,
diantam lainnya. Sama seperti petinju yang menunggu lawannya yang KO, ayam
itupun berdiri diam, melihat lawannya terlulai tak bisa bangun dengan kepala
lengket dengan tanah. Juri memukul, gung kembali menandakan persabungan set itu
berakhir dengan kemenangan ayang Biing, yang berwarna kemerahan. Biing itu
berarti abang, ban…..merah.
Para penjudi yang kalah langsung
menyerahkan uang taruhan kelawannya yang menang. Sungguh cepet uang berpindah
pikirku. Mereka sangat sportif pikirku. Tak lama kemudian aku diajak masuk ke
kalangan adu ayam itu, sementara set berikutnya dipersiapkan. Kuperhatikan
kalangan, atau lapangan adu ayam memang di haris seperti ring tinju saja, juri
atau wasit, memakai timer dengan batok kelapa yang di lubangi pantatnya. Di
taruh di atas air, setelah tiga kali batok tenggelam merupakan satu ronde. Gongg
juga hampir sama dengan tinju dipakai pemberitahuan waktu mulai atau habis. Tidak
memakai waktu atau stop watch modern.
Jadi sangat adil, sangat sportif,
Kulihat tak ada perpindahan atau kolektifitas uang sebelum ada ayam yang kalah.
Pembayaran disepakati dibayar setelah salah satu ayam kalah. Ayamnya mati atau
lari tak mau melanjutkan pertandingan. Memang judi karena pakai uang, tapi juga
merupakan tontonan touris, karena kulihat banyak orang yang janya menonton,
seperti kami ini.
Kata Cokde adu ayam pasti aka
nada sepanjang masa walau,. Terkadang dilakukan pembatasan dengan Perda dengan
dalih judi. Dia akan selalu ada karena merupakan salah satu rangkaian upacara
dalam upacara agama atau upacara adat. Bahkan di beberapa desa, atau pura saat
ada Upacara di Pura tersebut, adu ayam akan dilaksanakan oleh anggota
penyungsung di pura tersebut selama tiga hari. Kalau sudah dilakukan dalam
rangkaian upacara, polisipun akan mengijinkannya,
Selepas satu ronde lagi kami
saksikan, yang berlangsung sangat lama, sampai ada adu ‘pruput’ mungkin artinya
ouputan, dengan memasukkan kedua ayam di bawah kurungan, sehingga arena menjadi
terbatas, dan mereka berantem disana sehingga ada yang kalah. Itu berarti semua
ronde dilakukan dengan tanpa ada yang kalah. Setelah pruput, ternyata kedua
ayam mati. Nah tiu berarti draw, tak ada perpindahan uang, dan tak ada yang
menang dan tak ada yang kalah. Kamipun meninggalkan wantilan kembali ke Puri
Gading.
Ya memang sportif mereka……………..
Itulah adu ayam tidak saja sebagai judi, tetapi dia bagian dari sebuah ritual
upacara adat atau pun upacara keagamaan, dia bagian dari objek wisata. Terserah bagaimana kita memandangnya. Kulihat
adu ayam atau tajen juga merupakan ajang mencari rejeki banyak orang, pedagang,
peternak ayam, pariwisata dan lainnya,…… memang dilemma.
=====================================Old-New
Year di Puri Gading, Jimbaran-=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar