“PELABUHAN CINTA SRI”
Bunga Sakura Mekar Bersama Cinta Sri |
Aku tak menyangka kehidupan
keluarga Sri demikian, dan aku merasa bersalah telah mengabaikan cintaku, dan
aku mengerti kenama Meida tidak merestui kalau aku mencintai Sri. Aku tahu
walau ibuku itu memberikan alasan hanya karena perbedaan umurku dengan Sri terpaut
beberapa bulan, tak sampai setahun Sri lebih tua dariku. Karena dia hidup di
kota makanya ia umur 5 tahun sudah mulai sekolah SD sedangkan aku yang tinggal
dikampung yang tidak melewati sekolah TK harus masuk SD setelah umurku tujuh
tahun.
Kata Mandala, ayahku adalah teman
dekatnya di SMA, bahkan tidak jarang mereka tertarik dengan wanita yang sama.
Mereka berteman sangat baik, sampai mereka berdua sama-sama kerja. Orang tuaku
menjadi pegawai negeri dan Pak Mandala sebagai seorang pengusaha perhotelan
sukses di kota ini. Meraka rupanya sama-sama tertarik dengan wanita yang sama.
Rupanya ayahku lebih beruntung mendapatkan gadis itu. Dan gadirs itu adalah
Meida, ibuku. Ibuku tak pernah cerita masalah itu, tapi dia tahu bahwa Mandala
menaruh hati juga padanya.
Dari kekecewaan Mandala, karena
ayahku duluan menikah, iapun meminta keluarganya untuk menjodohkannnya dengan
seorang kerabat. Makanya Mandala akhirnya dinikahkan dengan ibu Nilawati, yang
masih kerabatya seorang dokter. Nilawati tidak berumur panjang dia ikut menjadi
korban pesawat PAN-AM yang jatuh di lereng utara pegunungan di Bali, beberapa
puluh tahun yang lalu. Sehingga Wanti dan Sri dibesarkan oleh orang tua
tunggal. Wanti menikah dengan seorang
peneliti berkewarganegaraan Autralia, dengan beberpa anak, mereka hidup disana
sama-sama sebagai peneliti.
Aku sangat kasihan kepada Sri,
ternyata didalam keceriaannya terdimpan dula lara yang sangat dalam dihatinya.
Kenapa dia tidak pernah cerita ya...., kenapa kehidupan keluarganya terlihat
sangat harmonis bahkan menurutku tampak luarnya sangat harmonis. Semilir angin
sore itu membuat aku tertidur di sofa teras. Rupanya Neni telah menyiapkan aku
minum dan snak sore kesukaanku. Secangkir kopi capucino dan tape goreng. Lho
kok ada dua cangkir kopi......... aku menjadi bingung sendiri?.
Hampir kuteriak memangngil Neni,
kulihat seorang gadis berambut panjang tertidur pulas di kursi goyang
sebelahku. Dia nampak kelelahan. Souchi istriku mendekati aku, sitttt jangan
berisik, dia baru sekitar 15 menit tertidur disana, setalah aku tinggalkan
memanggil Neni mempersiapkan minum. Rupanya dia capek, habis visite pasien di
Rumah Sakit Daerah.
Sri kelihatannya capek sekali,
dia mau menjemput orang tuanya, dan aku sampaikan bahwa orang tuanya sedang
istirahat di kamarnya Karma, maka dia kutemani ngobrol di sebelah kamu yang
tertidur pulas.
Mandala walau jarang dia
bertandang ke rumah Karma, terlihat seperti orang tua sendiri. Dia menumpang tidur,
karena memang dia mempunyai jadwal ketat untuk tidur siang. Itu arahan Sri agar
orang tuanya tidak main ayam saja di siang hari dengan tetua kampung, yang
memang mempunyai kebiasaan ngadu ayam jago (tajen) disiang bolong. Sambli
meneguk kopi yang dihidangkan Neni, Karma menikmati sekali. Kasihan Sri ma,
kata Karma kepada istrinya. Makanya kita harus bantu dia. Sahut Souchi,
Ya justru itu aku mau meminta
pendapatmu. Mungkin kalian sama sama wanita mempunyai perasaan yang sama.
Sehingga mencari solusinya bisa bersifat feminim, kataku. Yah nanti kita
bicarakan setelah mereka pulang. Jangan ayo kita pindah saja ke Bele bengong
kataku. Kita bicarakan disana.
Perbincangan dilanjutkan di Bale
Bengong antara aku dan istriku. Kuceritakan bahwa saat ini status Sri
sebenarnya sudah janda, dia bercerai dengan suaminya dengan kebaikan mereka
bersama. Suami Sri tidak normal, dia seorang bisexual yang sangat di benci oleh
Sri. Suami yang sebenarnya merupakan pilihan Mandala itu, yang berinisiatif
untuk bercerai, walaupun Sri ingin memper tahankan rumah tangganya. Mandala
marah besar dia kembalikan secara adat Sarmana kekeluarganya. Karena status Sarmana sebagai sentana,
mengingat anak Mandala keduanya wanita, Wanti dan Sri. Wanti sudah keluar
menikah tinggallah Sri yang akan meneruskan keluarga itu.
Menurut Mandala, Sri telah
memohon agar orang tuanya merestui pernikahannya dengan pria pilihannya.
Pilihannya dan hubungannya itu yang membuat Mandala sedikit marah. Pertama Sri
akan menikah dengan pria, ekpatriat sama dengan Wanti. Tapi Sri belum
menyatakan bahwa pria itu asli mana. Kedua Sri mengatakan bahwa dia telah
terlambat datang bulan, karena sudah terlalu jauh berhubungan dengan pria itu.
Dia memberikan alasan, bahwa pria
itu sangat baik, dia sangat dewasa, seorang berpendidikan dan sekarang menjadi
seorang pengusaha yang mondar-mandir ke Indonesia. Meraka bertema saat beberapa
kali ketemu sama-sama diperjalanan, lalu saling kunjungi di Luar Negeri terus
jatuh cinta. Alasan Sri, walaupun ayahnya tidak menyetujui pernikahannya dengan
pria itu dia akan terus merawat janinnya sebagai penerus trah Mandala. Itu yang
menjadikan Manda kaget, kok sejauh itu pikirannya. Memang kalau wanita itu
melahirkan di rumah orangtuanya, maka anaknya akan menjadi akhliwaris Mandala.
“Kalau aku, sangat menyetujui
bila Sri menikah kembali, karena dia masih muda, sibuk sangat memerlukan tempat
curahan hati, untuk sharing membagi suka dan dukanya”
Ya itu memang mau aku katakan
kepada Mandala tadi, tetapi aku belum berani memutuskan karena aku belum tahu
siapa pria yang menjadi calon suami Sri, makanya aku meinta waktu untuk
mempelajarinya. Aku berjanji akan datang bersama keluarga bersilaturahmi ke
rumah Mandala bila aku sudah siapkan penadangan dan pendapatku.
Hahahahahaha Shouchi istri ku
tertawa sambil menutup mulutnya, seperti ciri khas ketawanya wanita Jepang. Bli
Karma Bli Karma katanya. “Kamu belum tahu rupanya siapa pria tersebut, sehingga
kau belum mau memberikan jawaban”
Kata Sri tadi saat ngobrol
bersamaku, kata Souchi bahwa calon
suaminya adalah seorang putra Jepang. Wah aku senang karena aku akan mempunyai
teman diskusi, sama sama orang Jepang. Dia malah banyak menanyakan hal-hal yang
menjadi kebiasaan lelaki Jepang. Aku beritahu sejauh yang aku tau. Dan Sri
kelihatannya manggut-manggut saja menyetujui apa yang aku ucapkan.
Wah jangan-jangan..... Kataku
kepada Souchi.
Jangan jangan apa? Kata Souchi.
Aku curiga jangan jangan Sri
berhubungan dengan Souchita. Kenapa dia mengarahkan Mandala untuk berdiskusi
padaku. Kenapa dia curhat tentang prianya kepada Souchi. Wah bisa gawat ini.
Masak sih bisa. Kan Souchita adikku itu lebih muda dari Sri, apa Sri mau dengan
dia orangnya katrok itu adikku, belum pernah kenal wanita. Kata Souchi.
“Kalau iya bagaimana?” suara dari
belakang kami, ternyata suara Sri. Rupanya Sri sudah bangun dan diam-diam ikut
memperhatikan percakapan kami berdua. Sripun melanjutkan. Memang laki-laki itu
adalah Souchita. Dia yang membantu aku saat sedang mendapatkan kesempatan
memberikan pengalaman kami dalam membangkitkan serta menentramkan hati
masyarakat pasca gempabumi Fukushima. Kami sharing pengalaman yang dulu kita
lakukan di Jogyakarta saat gempa tahun 2006.
Dari kebersamaan itulah kami
saling memperhatian dan saling jatuh cinta. Souchita katanya sudah mendapat
restu dari kakaknya untuk segera menikah.
Jadi menurut firasatku, pasti kalian berdua sudah merestuai Souchita
untuk menikah. Wanita itu adalah aku, Bli Karma dan Mbok Souchi.
Meraka berdua kelihatannya kompak
geleng-geleng kepala sambil garuk-garuk kepala. “Nah kalau itu aku setuju Sri”
kata Karma. “Hehehe jangan asal setuju saja, Karma kan sudah menjadi keluargaku
juga kenapa kau tak meminta pendapatku Karma” sahut Souchi. Aku tahu kau pasti
akan menyetujui. Masalah keturunan, masalah perusahaan, masalah tempat tinggal
bisa kita rundingkan hehehe bisa kalian Sri dan Souchita rembugan bersama,
tentu dengan Souchi..
Souchi sangat menghargai pendapat
suaminya Karma, dia tidak akan memprotes kalau suami sudah memutuskan. Dia
sudah melebihi perempuan Bali setianya terhadap suami, terutama dalam pendapat
kelaurga, Perut Souchi yang sudah hamil anak ke dua Karma kelihatannya berontak
mengikuti perbincangan kami. “Nah ini akakku saka kelihatannya senang kalau om
nya segera menikah”. Kata Souchi sambil mengelus perutnya, sembai membaca
message yang masuk ke bbm nya.
Rupanya dari adiknya Souchita
yang mengabarkan dalam waktu dekat dia akan datang ke Bali, untuk suatu urusan.
Sri pamit pergi ke rumah dimana Mandala tidur siang, karena sudah mendekati
waktunya bangun. Dia harus ada di sana seperti janjinya tadi pagi sebelum
Mandala pergi.
Momen ini harus kita laksanakan
dengan baik kata Karma kepada Istrinya. Sebelum Souchita datang, aku harus
sudah memberikan pendapat kepada Mandala dan menyampaikannya sedemikian rupa
agar dia jangan sampai menganggap ini rekayasa keluarga. Besok sore kita akan
pergi ke rumag Sri bersama Meida, Souchita dan Neni. Aku akan memberikan
masukanku kepada Mandala, setuju dan tidaknya aku terhadap dia memilih menantu
asing lagi, tidak merupakan penjodohan seperti pernikahan Sri sebelumnya.
Mandala benar saja, setelah
dihampiri Sri sudah bangun dari tidurnya. Dia sudah minum teh sore dengan tape
goreng yang disediakan Neni. Sebelum mereka pulang kukatakan bahwa besok sore,
aku akan datang menemui Mandala di rumahnya, dan memberikan masukan yang dia
janjikan.
“Jangan lupa ajak Meuda ibumu
datang kerumah” kata Mandala sambil naik
ke mobilnya Sri. “Oke astungkara Pak” jawabku sambil melambaikan tangan
mengikuti pergerakan mobil Mercy merahnya Sri meninggalkan halaman rumahku.
Ternyata memang sangat rumit
fikiranku, aku harus yakinkan ma. Nanti malam aku harus Skype an dengan
Souchita aku tanyakan keseriusannya, jangan sampai dia main-main sama keluarga
Sri. Nanti kita menjadi tidak enak dengan keluarganya.
“Bagaimana nggak serius Bli
Karma, wong Sri nya sudah hamil. Tak usah banyak rundingan kita harus
selamatkan keluarga-keluarga ini”
Ya kita harus segera berbuat,
ternyata Sri akan menjadi ipar kita ma.......... Perbincangan kami selesai
dengan datangnya Sandikala, Meida rupanya datang dari kampung. Sudah dibenahi
bawaannya oleh Neni. Kami menghampir Meida, dan melanjutkan dengan menikmati
makan malam bersama, menikmati lawar yang dibawa Meida dari kampung.
====
Pondok Betung, Bintari, 15 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar