“SOLUSI BUDE SEDERHANA, SESEDERHANA LANGGAM RINDIK"
Pemain rindik Bali (google.co.id) |
Mentari telah meninggi,
anak-anakku seperti biasa telah rapi dimandikan Bu De nya, anak dari Kakaknya
Bapak, namanya Romawi. Dia tinggal sendirian di kampong, namun sejak anakku
lahir Bapak memintanya ikut denganku di kota. Dia sangat terampil mengurus
anak-anak, padahal dia belum memiliki anak. Karena dua tahun pernikahannya saat
itu belum dikarunia anak. Suaminya seorang penabuh kendang Karnada mengalami
kecelakaan sepulang dari mentas di Hotel, dia atas sepeda motor Vario nya.
Kasiha Mbok Rama.
Romawi, sesekali menari diiringi
Bapak dan Suamiku yang lagi belajar menabuh gamelan, dan belajar rindik. Kami
sekeluarga menjadi sangat terhibur, bahkan anak-anakku yang baru lancer berjalan
ikut-ikutan diajarnya menari. Yah…. Memang lingkungan mempengaruhi pertumbuhan
anak-anakku.
Kedua anak kembarku, telah
bergayutan berebutan meminta ‘nenen’ kehausan habis bermain-main berlarian
dihalaman rumahku. Sambil aku berkemas mempersiapkan diri untuk menghadiri
pertemuan, diskusi tentang virus VAR yang sedang menggila di daerahku saat ini.
Penyakir anjing gila, atau rabies memang belakangan sedang endemic di beberapa
kabupaten .
Aku sangat menikmati saat saat
aku menyusui anakku, kuperhatikan mereka sudah semakin tinggi karena sekarang
mereka senang naik kekursi menyusu sambil berdiri, yang satu di kanan menyusup
dari ketiakku, dan yang satunya di kiri. Wah sejak kecil mereka sudah terbiasa
berkompetisi. Romawi kudengar telah menyajikan santapan snack pagi, di tengah
lamat-lamat suara rindik yang mengalun ditabuh suamiku Suchita dan Bapakku.
Mereka sudah bisa saling bersahutan, dan Romawi karena dia penari ngerti juga
dengan irama rindik. Dia mentor yang baik. Karena pelatih rindik hanya datang
dua kali seminggu. Dan itupun kalau suamiku pas ada Bisnis di Bali.
“Sri… Sri…. Sri…… sudah siang,
kok belum berangkat”.
“ Iya sebentar ini Sutero dan
Sutera masih nenen ini, kasihan dia belum kenyang”. AKu sudah siap kataku menjawab teriakan Bapak
dari balik rindiknya. Bude Romawi
menghampiri kedua anakku mengajak pergi, “Ayo belajar nari yuk, sama Bude”
katanya. Kedua anakku ke cium sayang sebelum dibawa Bude nya ke luar.
Suara rindik aku nikmati dari
balik kamar riasku, kedua anakku digendong Budenya kri kanan, aduh mereka
sangat lengket sekami. Terima kasih Tuhan kau telah menganugrahkan jalan bagi
kami, punya saudara yang sangat terampil perhatian dengan anak-anak, terlebih
dia sangat sayang kepada anak-anakku. Jadi kemanapun kami pergi dia pasti akan
ikut.
Aku kembali bergabung dengan
mereka, menikmati alunan rindik di pagi menjelang siang itu. Mentari semakin
menjilat halaman Bale Gde ku dimana Bapak dan Suamiku menabuh rindik. “Lho kok
balik” kata suamiku. “Iya ada sms tadi, katanya pertemuan di batalkan, karena
beberapa peserta berhalangan hadir karena ada kegiatan di kampong mereka”
kataku. “Iya hari ini kan hari
persembahyangan, lihat saja Bude kamu dari kemaren telah mempersiapkannya’
sahut Bapak.
Kutatap Sutera yang kulitnya
lebih gelap dibandingkan Suteru, dia akan diajak Bapaknya ke Jepang beberapa
bulan ini. Kesepakatan sementara keluarga Sutera akan dibesarkan disana agar
dia terbiasa dengan kebudayaan ayahnya, sedangkan Suteru akan dibesarkan di
kampungku agar dia berekmbang di tengah budaya keluarga kami. Bapak kelihatan
sangat berkeberatan. Kamipun menjadi bimbang, karena kedua cucunya itu
merupakan cucu dalam pertama dan kedua.
Akupun menjadi bimbang, walau aku
masih punya proyek tiga tahun lagi untuk bolak balik Tokyo – Denpasar, demikian
pula suamiku yang akan bolak balik Bali-Sinagpura-Vietnam dan Tokya, urusan
bisnisnya. Terkadang masalah ini tak jarang timbul kembali menjadi polemic diantara
kami, bapak, suamiku dan aku. Romawi belum tahu keputusan ini.
Kelihatannya kesempatan aku
kembali duduk menikmati alunan rindik bersama anak-anakku menyaksikan ayah dan
kakeknya merindik, digunakan Bude untuk me’banten’ sembahyang menghaturkan
sesaji yang terkait dengan hari besar keagamaan hari ini.
Kasihan anak-anak, kasihan Bude,
Kasihan Bapak kalau di pisahkan dengan anak-anankku. Suamiku masalah ini lebih
banyak diam, dia hanya anak-anaknya tidak melupakan kebudayaan jepang, minimal
dia tahu basic dan berbahasa Jepang katanya. Di Jepang rencananya akan di rawat
oleh sepupunya yang punya akan hampir sebaya, tapi anaknya perempuan. Dia yang
dipercaya sebagai salah satu Komisaris Perusahaan Farmasi disana.
Hubungan kami menjadi terkadang
kaku, bila mememikirkan masalah ini. Suamiku lebih banyak diam, tetapi bapak
sering megutarakan keberatannya. Demikian pula pagi itu, saat mereka
beristirahat merindik menikmati kopi dan lemper ketan dan kue serabi yang
dihidangkan Bude. AKu diam saja, karena aku memang karena pekerjaanku tidak
bisa full merawat anak-anakku, lebih banyak ku percayakan Bude, namun diapun
belum tahu keputusan ini.
Bude sampai selesai sembahyang
dan kembali merapikan pakaiannya, ikut bergabung dengan kami. Dia ikut menyimak
semua pembicaraan kami. Kami takut dia tersinggung kalau kami beritahu. Tiba-tiba
ia nyeletuk:
“Aduh begitu saja kok dipikirkan
adik-adikkua sangat berat” sela Bude.
“Maksudnya Bude” kataku
“Iya ini masalah anak-anak yang
akan dipisah kan, Bapak pernah mengeluh padaku, beliau tidak mau dipisahkan
dengan cucu cucunya, walaupun yang satu tetap bersama”
“Bagaimana kamu Suchita” Kataku
“Iya, aku ikur bagaimana baiknya
saja agar tidak ada salah satu keluarga yang merasa dipisahkan. Aku mengerti
keberatan Bapak” Kata Suchita.
Sekarang Bude, apa kamu ada usul
atau pendapat yang bisa membuat semua pihak senang, aku minta Bude memberikan
pendapatnya. “Kalau Bude memberikan pendapat, apa kalian mau terima, Bude kan
hanya orang kampong, saja” Sahutnya. “Silahkan Bude” sampaikan saja biar kami
bisa dengar bersama.
Bude meminta maaf kepada kami
sebagai adik-adiknya ( walau sebenarnya sebagai ponakannya. Tapi karena tidak
terpaut banyak umur kami, mai memanggil Mbak, dan membahasakan anak-anakku
dengan Bude).
Iya Bude hanya memberikan
pendapat yang sangat sederhana mengharapkan tidak ada yang tersinggung dengan
pendapat atau usulnya. Bude mengusulkan keduanya tidak usah dipisahkan, biarkan
dia tumbuh dalam dua budaya, budaya ayahnya, dan juga budaya ibunya. Dia mengusulkan
agar keduanya dibiasakan dengan pekerjaan Ayah ibunya, kalau memang Sri masih
punya proyek di Tokyo dan disini, Bude menyarankan anak-anak mengikuti
pergerakan ibunya. Dan Bude mau mendampingi terus.
Bapak sangat berkeberatan dengan
usulan itu. Namun setelah Bude menjelaskan dia tidak akan membiarkan pamannya
hidup sendirian di rumah, Bapak ikut saja, sesuka bapak. Begitu oendaoat Bude.
Oke Bapak setuju, sangat setuju bapak akan menyusul cucuk bapak ke manapun di bawa bila bapak
kangen. Kalian bisa bawa. Saat ada di Jepang cucu-cucuku ikut serta, dia bisa
belajar budaya di kampung bapaknya. Demikian juga saat Sri ada dan kerja disini dia
akan belajar dikampung kakeknya.
Oke oke oke, begitu kata suamiku.
Dia sangat setuju dengan pendapat Bude, terima kasih Bude katanya. "Ini win win solution, hanya Bude akan lebih capek" kataku. "Tidak apa-apa Bude kan sudah biasa capek, dan sudah beberapa kali juga ke Jepang dalam lawatan tari terdahulu bersama group tari sekolahnya Kokar Bali. Seluruh
keluargaku menjadi cair kembali hubungan semuanya, dan rindikpun mengalun lagi,
dan Bude menarikan sebuah tarian joged, Asmaradana, Semarandana. Agar lebih
ramai siang itu, dengan sisa-sisa ingatanku aku ikut ngibingi Romawi, sangat
sengit tarian siang itu. Rindikpun semakin bersemangat…… keringat kamipun
semuanya bercucuran, anak-anak kamipun tertegun melihat Ibunya ikut menari.
Ternyata aku masih ingat menari,
dan dapat mengimbangi Bude Romawi walau nafasku kedodoran. Memang menjaga
stamina dengan menari, disamping membuat senang, fikiran rileks olah tibuh juga
sempurna. Sejak saat itu aku rajin latihan menari kembali untuk menjaga
kebugaran dan melatih ingatanku, serta menyerasikan fisik dan mentalku, agar
emosi selalu terjaga.
Siang itupun kembali cerah,
solusi Bude kami rayakan bersama dengan pergi menikmati bebek goreng krispi, di
Restoran langganan suamiku, Bebek Krispi Kunyit Putih, maknyusssss
Puri Gading, 15 Oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar