“MUSIM GUGUR TERAKHIR
DI TOKYO”
Musim Gugur di Tokyo (google.com) |
Seharusnya Reno pulang ke
Indonesia empat hari lagu, dan dia langsung bertemu dengan istrinya Luna yang
telah menyelesaikan dan ijin belajarnya. Luna kembali ke almamaternya sebagai
seorang psikolog pendidikan remaja. Beberapa pendidikan professional dia ikuti
selama mendapngi Reno menuntut ilmu Bangunan Tahan Gempabumi di Tokyo
University. Reno sibuk sengan seminar Indternasional memperkenalkan hasil
risetnyaterkait teknologi gempabumi.
Terakhir dia pergi ke Dallas,
Colorado seminar di USGS, dengan pakar-pakar seluruh dunia. Karena perkembangan
tornado di belahan selatan Amerika Serikat, penerbangan Reno di tawari reschedule
dan reroute karena beberapa hari penerbangan lewat Guam akan dihentikan
menghindari Tornado. Iapun memilih balik lewat Tokyo, dia akan memberikan surprise
ke istrinya, dan akan pulang bersama ke Indonesia.
***
Senja itu aku seperti biasa
bersama teman teman pergi kepantai dengan sepeda motor, menikmati mandi di
deburan ombak, berlari bersama menyusuri bibir ombak yang menjilat pantai di
keremangan sore itu. Dara anak petani garam kulita masih saja giat bekerja
membuat garam, mereka menjadi tontonan para remaja putra yang juga ke laut sore
itu.
Tak terasa sore itu kami sudah
kelelahan, badan pada lengket kami berendam seperti biasa di kuala, muara
pertemuan air sungai dengan air laut sehingga airnya masih bisa membuat air
sabun mengeluarkan busa. Aku bercengkerema dengan teman-temanku. Membilas badan
dengan air tawar dan mempersiapkan diri untuk pulang. Aku perhatikan jelas
tanjung menutupi muara tempat aku membilas, ditimur sebuah tanjung, yang tidak
terlalu menjorok, sehingga pantai Tanah Lot dengan Puranya masih samar-samar
terlihat dari tempatku.
Di barat pantai semenanjung, yang
sering kusebut sebagai Jung, dengan beberapa pohon kelapa yang tinggi, membuat
temaran jingga senja itu semakin romantic. Kuperhatikan beberapa pasang remaja
masih berasyik masyok dengan pasangannya menyongsong malam, melewati sandya
kala. Kami berbegas pulang dengan motornya masing-masing, sehingga kelompokku
meninggalkan deru yang kuat di keremangan sore itu meninggalkan pantai.
Kupacu motor perlahan, sama
teman-teman larinya kira-kira 20 km/jam. Paling-paling dari pantai ke rumah
lima belas menitan. Ku terkejut didepan rumahku, banyak sekali orang
bergerombol. Ku taruh motor begitu saja di pinggir jalan, dan menerobos masuk
ke pekarangan rumah. Aku lihat dengan jelas seorang telah dimadikan.
Siapakah dia hatiku berdegup
lebih kencang. Keterobos kerumunan orang, ternyata tubuh ayahku Sobar terbaring
dimandikan tangan-tangan kerabat. Beberapa ibu-ibu melantunkan kidung kematian.
Kidung mengatar roh kembali ke Sang Maha Pencipta. Air mataku tak dapat
kubendung, aku menangisi jasad itu disampingnya. Para kerabat melarangku ikut
memandikan. Kenapa, kenapa, aku kan anaknya? Tanyaku.
Mereka semua memandangku dengan
tatapan penuh curiga. Dan isak tangiskupun semakin kuat, hanya saja kutahan
jangan sampai menambah gaduh suasana. Kucari mana Ibuku, mana kakakku. Tidak
aku lihat satupun kakakku. Bagaimana ini saudaraku. Aku mencari kesana kemari,
kutemukan Ibuku sedang kusuk memanjatkan doa di amben bawah lumbung padi
kami> Dia ditemani anak-anakku dan keponakanku semua. Mereka tetap saja
bergayur, ada yang memegangi tangannya, dan dikecil kulihat duduk di pangkaun
neneknya.
Aku tidak berani menganggunya.
Kulihat Ibu sangat tabah. Dia kuliah pasrah melepas kepergian ayahku, Sobar. Beberapa
bulir air bening menetes dari sudut matanya yang masih kulihat sangat lentik
itu. Itu kelebihan Ibuku, kecantikannya lebih menonjol dari bentuk matanya yang
indah, yangs sangat sering dipuji ayah kalau lagi memuji ibu.
Apak anak-anakku dan saudara
sepupunya tidak tahu kalau kakeknya meninggal, dan sedang dimandikan di
bale-bale. Akh kudengar sangat merdu kidung itu, dan mantram pemuput pemandian jenasah
sangat pilu, walau genta itu biasa kudengar suarnya. Tapi kenapa kali ini
sangat memilukan. Ketika badan itu diangkat dan dibaringkan kembali di Bale
Suka Duka, aku tak tahan melihatnya.
Tak sadar aku teriak kuat-kuat
Ayahhhhhhhhh, Ayahhhhhhhhh………………………………… sampai-sampai aku tak sadar bahwa
suamiku telah duduk disebelahku, emnyodirkan segelas air putih. “Reno, Ayah ………..?”
Aku peluk suamiku, dengan ingatan
yang masih kacau. Kuminum air putih itu, Pelan-pelan aku tersadar bahwa aku
masih di Tokyo. Iya kami masih di Tokyo. Reno rupanya tidak mau memberitahukan
reroute dan reskeduling penerbangannya. Karena perkembangan tornado dan lebih
cepat selesai kegiatannya di Universitas Colorado.
Kami duduk di teras, kami lihat
jelas sosok Gunung Fujiyama dari kejauhan, bagai seluet di terangi fajar galang
kangin saat itu. Masih ada sisa kopi dan snack yang kupersiapkan dibawa dalam
penerbangan pulang ke Indonesia, kunikmati bersama pagi. Itu Reno menceritakan
bahwa tidurku sangat pulas, beberapa kali berteriak, dia tidak berani
mebangunkan aku. Karena memang mulanya dia ingin memberiku surprise, ternyata
dia sampai lewat tengah malam, dan aku lupa mengunci pintu. Rupanya aku
kecapean packing barang-barang mau pulang.
Reno bercerita, beberapa kali
Bapak menelpon menanyakan penerbangan kepulangan kita. Beliau kaget saat aku
yang terima, karena beliau tahu aku rencananya langsung pulang. Tapi kujelaskan
kendala-kendala terutama tornado itu beliau faham, bahkan bersyukur tahu
sebelumnya. Itulah perakiraan cuaca memang sangat diperlukan dalam sebuah
penerbangan.
Kami menikmati pagi dinihari itu berdua, di teras rumah kami di tepian kota
Tokyo meikati kopi susu kesukaanku, seperti saat-saat pacaran dulu. Bahkan aku
lupa bahwa kami sudah ada anak tiga.Kelupaan itu mungkin terbawa suasana,
karena anak-anak kami sudah dijemput kakek neneknya enam bulan lalu saat
menjelang hari raya.
Tiba-tiba telepon bordering, di
kejauhan Luna mendengan suara Sobar…. Halo Luna Kengken Kabare?, Luna tidak
bisa berbicara apa-apa, kulihat dia menangis tersedu lagi kuikuti pembicarannya
dengan jelas karena ia pasang speaker saat telponan. Dia ceritakan bahwa Luna
memimpikan Sobar telah meninggal dan di mandikan dalam mimpinya. Mimpi itu
belum dia ceritakan kepada ku. Kujelaskan bahwa terkadang mimpi itu berbalikan
dengan keadaan sebanarnya, karena Bapak menceritakan bahwa beliau baik-baik
saja. Kebetulan karena terbangun subuh beliau nelpon kami. Sobar seperti biasa
lebih banyak menceritakan laporan pandangan mata semua keluarga di sana, dari
Bapak dan Ibu Sobar, Ayah dan mama ku, ketiga anakku serta semua keponakanku,
disamping beliau hanya menanyakan nomor penerbangan kami. Kebetulan walau
reroute kami dapat nomor penerbangan yang sama dengan Luna.
Pagi tiu kami bergegas mandi
dengan Luna terus sembahyang memanjatkan doa dan puji syukur, apa yang dialami
Luna rupangan hanya dalam mimpi saja, Dia rupanya kecapekan habis packing
segala barang yang masih harus dibawa, sisa yang kami kirim pakai container lewat
jasa pengiriman. Kami berdua ingin menikmati kota Tokyo berdua dalam dua-tiga
hari terakhir ini, sebelum mengucapkan Sayonara.
Puri Gading, Medio Oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar