Social Icons

Selamat Datang di Blog Itik-Bali

Selamat Jumpa Pembaca yang budiman, selamat datang di blog ini. Blog ini dibuat hanya untuk proses pencurahan hati dan ingin menghibur pembaca sekalian.

Dengan bahasa ringan sehari-hari, saya ingin berbagi cerita pendek yang mudah-mudahan bersambung, sehingga pembaca sekalian diundang untuk melepas lelah dan penat di blog ini.

Semoga pembaca sekalian menikmati dan terhibur setelah membaca. Tentu komentar dan saran anda sangat kami nantikan.

Salam

Minggu, 27 Juli 2014

Rani-21 Pertemuan Rani dengan Suster Salmah



“PERTEMUAN RANI DENGAN SUSTER SALMAH”

dok.timlo.net/nanang rahadian
Suasana Tawangmangu (google.com)
Pertemuan kami dengan Romo berlangsung di sebuah Sanatorium, di daerah dingin Tawangmangu, hawa dingin menyengat kulit masih terasa pagi itu. Kata kawanku bahwa kemarau kali ini ada pengaruh El Nino, sehingga merupakan kemarau yang lebih kering udaranya, menjadikan udara lebih sejuk kebanding kemarau biasanya. Burung-burung tetap berkicau pagi itu menyambut pagi. Sungguh suatu suasana yang sangat asri yang sudah jarang kita temukan di tempat lain.
Para pasien aku lihat melaksanakan olah raga ringan, ada yang berlari-lari kecil, ada yang senam tai chi, ada pula yang kulihat skiping meloncat loncat sekenanya, dan beberapa dari mereka berjalan tetap dengan selimutnya. Kelihatan mereka bebas menikmati paginya dengan mengusu nya dengan kegiatan yang berguna.
Aku duduk-duduk di sebuah gazebo yang menghadap ke arah timur. Lembayung surya dibalik Gunung Lawu aku lihat sangat indah, Rani, istriku kelihatannya rajin mengambil gambar dengan smartphonenya, dan satu gambar kulihat telah dijadikannya Display Picture BBM nya. Sungguh suatu suasana yang sangat aku rindukan. Kata Romo salah satu Yayasan yang menerima CSR perusahanku adalah Sanatorium ini.
Pagi itu aku menikmati pagi, dengan ditemani the segar yang dibuat langsung dengan daun the segar yang dipetik pada perkebunan yang dikelola Sanatorium, ditemani goring ubi Cilawu – sama dengan ubi Cilembu yang aku kenal sebelumnya-, pisang tanduk rebus, kacang rebus. Aku teringat dengan The Poci Tegal, bila memperhatikan The yang dihidangkan. Dalam sebuah poci kecil untuk seorang, lengkap dengan gula batunya.
Sungguh suatu pagi yang mengaduk aduk memoriku. Dalam kekagumanku Romo datang dengan membawa sebuah tas tua Beliau berbarengan datang dengan Rani. Bagaimana Rani, “apa kau sedang dengan suasana disini?”  Tanya Romo. “Wah tempat yang sangat bagus, semoga tempat ini dapat mempercepat penyembuhan pasien yang ada disini” jawab Rani.
Kami asyik menikmati goring ubi Cilawu besama Teh Poci yang pagi itu sangat nikmat sekali. Sambil menikmati teh hangat Romo menceriterakan kegiatan pasien disana, serta produk yang merka hasilkan serta pemasaran yang dilakukan. Teh yang dihasilkan banyak dikirimkan dalam jaringan mitra kerja yayasan yang menaungi Sanatorium. Demikian pula tentang donator yang aktip serta pemanfaatan CSR sangat transparan, Kata Romo setiap ada persembahyangan para pasien semua syake holder ikut didoakan. Dalam hatiku mungkin doa mereka yang ikut menggerakkan maju usaha kami.
Kulihat Rani tidak segembira biasanya, apa mungkin karena suasana dingin pegunungan, dimana biasanya kami beraktifitas lebih banyak di dekat pantai, ataukah dia teringat putra kami yang tidak ikut serta dalam perjalanan kali ini. Akh kan ia sudah aman di pengasuhan neneknya Kanjeng Mami. Rupanya Romo juga melihat gelagat itu, dan menanyakan nya ke Rani. “Kenapa pagi ini kamu tidak segembira biasanya Ran, ada apa rupanya?”, Akh tidak apa-apa Romo, Aku Rapopo, hanya sedikit kedinginan saja:” sahut Rani, sambil mengambil sepotong pisang tanduk rebus yang masih berasap.
Romopun minta ijin agar kami lebih serius dan konsentrasi mendengarkan apa yang akan Romo beritakan. Sudah saatnya Romo harus menyampaikan sesuatu yang harus Romo sampaikan ke kalian berdua, terutama untuk Rani seorang.
Romo menyerahkan sebuah sampul cokelat, yang dalam sampul luarnya tertulis Ratna Ningsih, untuk dibacakan pada saaatnya. Silahkan kamu Cokde membacanya. Biar kami berdua mendengarkannya.
Anakku Ratna Ningsih, ratna di hatiku. Sekarang mungkin kau sudah tumbuh menjadi gadis yang seperti ibu mimpikan. Maafkanlah Ibumu. Ibu menitipkan kamu kepada Romo, agar kau mendapatkan perawatan dan pendidikan semestinya. Kamu tidak boleh ikut dengan kehancuran hatiku, yang telah dirusak oleh keluarga kita sendiri. Ibu terlalu mendewakan cinta, ibu nekat menikah dengan orang seberang. Setelah engkau lahir kami berpisah. Ayahmua meneruskan karirnya di sana di Nusa Tenggara, dan Ibu memutuskan mengabdikan diri ke gereja. Salam Ibumu Rr Angelina Salmah.
NB. Hal-hal lain kau tanyakan saja langsung pada Romo.
“Lho Romo, berarti Romo yahu Ibu saya Romo”. “Ya tahu Romo tahu, siapa ibumu dan siapa Bapakmu” Ambil fotonya ada disana, di dalam amplop satunya Romo simpan foto mereka berdua. Ayah kamu beberapa kali menanyakan datang ke Romo, tapi Romo belum sampaikan apapun. Dia sekarang tetap sendiri di usia pensiunnya sebagai pensiunan. Terakhir kudengar dia menjadi Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi NTB, dia sangat Dendy. Apa kau mau menemuinya Romo bisa mengkondisilkannya, teman Romo ada di Universitas Mataram kenal baik sama ayahmu. Dia merupakan salah satu teman karib ayahmu, yang sering menjadi curhatnya.
Tidak Romo, aku ingin ketemu ibu dulu, baru bersama beliau kami ingin menemui ayahku, kata Rani. Menurut Romo ibuku mengabdikan dirinya di gereja sejak berpisah denganku, beliau berpindah-pindah dari satu negara ke negara lainnya. Dan terakhir dalam masa tuanya beliau mengabdi di sebuah gereja di kota Saigon, Vietnam. Yang belakangan dikenal dengan Ho Chie Mien City. “Apa kau membenci orangtua mu Rani, terutama ibumu yang menitipkan kamu di panti?”.
Rani tidak berhak marah Romo. Rani berterima kasih kepada Tuhan akhirnya aku tahu bahwa kedua prang tuaku masih ada dan Romo ceritakan kepadaku. Tapi kapan aku bisa ketemud engan mereka?. Kami harus bersabar dengan keinginan ini sampai Romo mengaturnya untuk bertemu.
Seorang Suster mendekati kami. Romo bercakap-cakap dengan bahasa mandarin. Entah apa yang di bicarakannya terlihat tanpa emosi dalam wajahnya. Cokde memperkenalkan diri, dengan bahasa mandarin pula, yang kuingat hanya “ni hao” saja. Kami saling berpandangan. Hanya saat bersalaman denganku surter kelihatannya tidak kuasa memandangku. Diapun memelukkua seakan pelukan seorang ibu terhadap anaknya. Pundakkupun kurasakan hangat ternasahi deras air matanya. Namun kenapa ia tetap berbahasa yang tak aku kenal.
“Tidak apa-apa nak, akhirnya kita dipertemukan Tuhan di tempat ini, setalah tiga puluh tahun aku serahkan pengasuhanmua di panti ini” katamya. Memang dalam kompleks sanatorium ini juga ada panti asuhan. Tapi kok aku tidak ingat bahwa aku pernah disini. Aku hanya tahu kecil dan besar di panti asuhan yayasan yang ada di Semarang. Cokdepun ikut mencium tangan suster, eh ibu ku dengan penuh rasa hormat. Setelah diperkenalkan Romo bahwa dia menantunya. Ibu semakin terisak tangisnya. Ia memeluk kami sehingga keharuan kami bertiga membuat Romo ikut meneteskan air mata. Air mata bahagia karena Romo telah dapat melaksanakan amanat ini dengan baik. Akupun sangat berbahagia menemukan ibuku kembali. Tapi aku ragu, karena ibu kelihatannya sangat menikmati keadaannya saat ini.
Kami sepakat dengan ibu dan Romo akan segera bertemu ayah. Yang konon sampai saat ini masih membujang walaupun telah pension dari tugasnya. Kami mohon maaf dengan ibu karena tidak mengajak cucunya ikut serta pada kesempatan ini. Beliau pasti senang dan bahagia melihatnya. Kucoba mencarikan fotonya yang kusimpan dalam telepon genggamku. Kupertunjukkan cucunya Cokde Junior. Dan ibupun semakin terisak,. Aku tak tahu apa kah ibu bersedih apa ibu bahagia.
“Wajah anakmua merupakan perpaduan wajah ayahmua, kakekmu di Solo dan ayahnya sendiri atau neneknya, aku belum tahu. Tapi dalam wajah itu kulihat wajah ayahmua Rani. Walau masih terasa kaku dalam obrolan, siang itu kami lewati dengan berceita berdua. Aku jadi mengerti kenapa mama tidak mau lagi pulang kerumah kakek, kenapa beliau memutuskan menaruh aku di panti asuhan, dan kenapa ayahku tidak menikah kembali. Itu semata-mata karena satu kata yang mereka agungkan sekalian mereka benci. Kata itu adalah ‘Cinta’.
Ayah dan Ibu mempertahankan cinta mereka menyatukannya, dengan harapan keluarga ibu akan merestuinya. Ternyata restu itu tidak juga mereka dapatkan sampai aku lahir. Kakek-nenekku dari pihak ibu tidak mau kehilangan muka karena telah menerima pinangan kerabatnya yang telah terlanjur mereka terima tanpa persetujuan dan sepengetahuan aku. Saking cintanya kepada ibu ayahku, konon sampai saat ini tidak menikah kembali, karena sejatinya belau belum pernah bercerai dengan ibuku, walau ia anak lelaki satu-satunya dalaam keluarga. Aku hanya numpang lahir di Mataram. Sekarang baru aku tahu bahwa kota Mataram dalam akte kelahiranku ternayta Mataram NTB, yang awalnya ku kira Mataram Jogyakarta.
Aku hanya berharap Romo segera mempertemukan kami dengan ayahku……… semoga keinginan baik akan berakhir dengan baik doaku.Ternyata dalam keadaaan seperti ini yak terasa semua hidangan teh poci, ubi goring cilawu, psang tanduk rebus telah ludes kami santap. Burung-burungpun telah pergi mencari makan untuk kembali lagi sore hari, Dan kami meneruskan obrolan hari tiu bertiga, ibu, Cokde dan aku di villa tempat kami menginap.
Puri Gading, Hari Lebaran, 28 Juli 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar