“PERTEMUAN RANI DENGAN SUSTER SALMAH”
Suasana Tawangmangu (google.com) |
Para pasien aku lihat
melaksanakan olah raga ringan, ada yang berlari-lari kecil, ada yang senam tai
chi, ada pula yang kulihat skiping meloncat loncat sekenanya, dan beberapa dari
mereka berjalan tetap dengan selimutnya. Kelihatan mereka bebas menikmati paginya
dengan mengusu nya dengan kegiatan yang berguna.
Aku duduk-duduk di sebuah gazebo
yang menghadap ke arah timur. Lembayung surya dibalik Gunung Lawu aku lihat
sangat indah, Rani, istriku kelihatannya rajin mengambil gambar dengan
smartphonenya, dan satu gambar kulihat telah dijadikannya Display Picture BBM
nya. Sungguh suatu suasana yang sangat aku rindukan. Kata Romo salah satu
Yayasan yang menerima CSR perusahanku adalah Sanatorium ini.
Pagi itu aku menikmati pagi, dengan
ditemani the segar yang dibuat langsung dengan daun the segar yang dipetik pada
perkebunan yang dikelola Sanatorium, ditemani goring ubi Cilawu – sama dengan
ubi Cilembu yang aku kenal sebelumnya-, pisang tanduk rebus, kacang rebus. Aku teringat
dengan The Poci Tegal, bila memperhatikan The yang dihidangkan. Dalam sebuah
poci kecil untuk seorang, lengkap dengan gula batunya.
Sungguh suatu pagi yang mengaduk
aduk memoriku. Dalam kekagumanku Romo datang dengan membawa sebuah tas tua
Beliau berbarengan datang dengan Rani. Bagaimana Rani, “apa kau sedang dengan
suasana disini?” Tanya Romo. “Wah tempat
yang sangat bagus, semoga tempat ini dapat mempercepat penyembuhan pasien yang
ada disini” jawab Rani.
Kami asyik menikmati goring ubi
Cilawu besama Teh Poci yang pagi itu sangat nikmat sekali. Sambil menikmati teh
hangat Romo menceriterakan kegiatan pasien disana, serta produk yang merka
hasilkan serta pemasaran yang dilakukan. Teh yang dihasilkan banyak dikirimkan
dalam jaringan mitra kerja yayasan yang menaungi Sanatorium. Demikian pula
tentang donator yang aktip serta pemanfaatan CSR sangat transparan, Kata Romo
setiap ada persembahyangan para pasien semua syake holder ikut didoakan. Dalam
hatiku mungkin doa mereka yang ikut menggerakkan maju usaha kami.
Kulihat Rani tidak segembira
biasanya, apa mungkin karena suasana dingin pegunungan, dimana biasanya kami
beraktifitas lebih banyak di dekat pantai, ataukah dia teringat putra kami yang
tidak ikut serta dalam perjalanan kali ini. Akh kan ia sudah aman di pengasuhan
neneknya Kanjeng Mami. Rupanya Romo juga melihat gelagat itu, dan menanyakan
nya ke Rani. “Kenapa pagi ini kamu tidak segembira biasanya Ran, ada apa
rupanya?”, Akh tidak apa-apa Romo, Aku Rapopo, hanya sedikit kedinginan saja:”
sahut Rani, sambil mengambil sepotong pisang tanduk rebus yang masih berasap.
Romopun minta ijin agar kami
lebih serius dan konsentrasi mendengarkan apa yang akan Romo beritakan. Sudah
saatnya Romo harus menyampaikan sesuatu yang harus Romo sampaikan ke kalian
berdua, terutama untuk Rani seorang.
Romo menyerahkan sebuah sampul
cokelat, yang dalam sampul luarnya tertulis Ratna Ningsih, untuk dibacakan pada
saaatnya. Silahkan kamu Cokde membacanya. Biar kami berdua mendengarkannya.
Anakku Ratna Ningsih, ratna di
hatiku. Sekarang mungkin kau sudah tumbuh menjadi gadis yang seperti ibu
mimpikan. Maafkanlah Ibumu. Ibu menitipkan kamu kepada Romo, agar kau
mendapatkan perawatan dan pendidikan semestinya. Kamu tidak boleh ikut dengan
kehancuran hatiku, yang telah dirusak oleh keluarga kita sendiri. Ibu terlalu
mendewakan cinta, ibu nekat menikah dengan orang seberang. Setelah engkau lahir
kami berpisah. Ayahmua meneruskan karirnya di sana di Nusa Tenggara, dan Ibu
memutuskan mengabdikan diri ke gereja. Salam Ibumu Rr Angelina Salmah.
NB. Hal-hal lain kau tanyakan
saja langsung pada Romo.
“Lho Romo, berarti Romo yahu Ibu
saya Romo”. “Ya tahu Romo tahu, siapa ibumu dan siapa Bapakmu” Ambil fotonya
ada disana, di dalam amplop satunya Romo simpan foto mereka berdua. Ayah kamu
beberapa kali menanyakan datang ke Romo, tapi Romo belum sampaikan apapun. Dia
sekarang tetap sendiri di usia pensiunnya sebagai pensiunan. Terakhir kudengar
dia menjadi Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi NTB, dia sangat Dendy. Apa kau
mau menemuinya Romo bisa mengkondisilkannya, teman Romo ada di Universitas
Mataram kenal baik sama ayahmu. Dia merupakan salah satu teman karib ayahmu,
yang sering menjadi curhatnya.
Tidak Romo, aku ingin ketemu ibu
dulu, baru bersama beliau kami ingin menemui ayahku, kata Rani. Menurut Romo
ibuku mengabdikan dirinya di gereja sejak berpisah denganku, beliau
berpindah-pindah dari satu negara ke negara lainnya. Dan terakhir dalam masa
tuanya beliau mengabdi di sebuah gereja di kota Saigon, Vietnam. Yang
belakangan dikenal dengan Ho Chie Mien City. “Apa kau membenci orangtua mu
Rani, terutama ibumu yang menitipkan kamu di panti?”.
Rani tidak berhak marah Romo.
Rani berterima kasih kepada Tuhan akhirnya aku tahu bahwa kedua prang tuaku
masih ada dan Romo ceritakan kepadaku. Tapi kapan aku bisa ketemud engan
mereka?. Kami harus bersabar dengan keinginan ini sampai Romo mengaturnya untuk
bertemu.
Seorang Suster mendekati kami.
Romo bercakap-cakap dengan bahasa mandarin. Entah apa yang di bicarakannya
terlihat tanpa emosi dalam wajahnya. Cokde memperkenalkan diri, dengan bahasa
mandarin pula, yang kuingat hanya “ni hao” saja. Kami saling berpandangan.
Hanya saat bersalaman denganku surter kelihatannya tidak kuasa memandangku.
Diapun memelukkua seakan pelukan seorang ibu terhadap anaknya. Pundakkupun
kurasakan hangat ternasahi deras air matanya. Namun kenapa ia tetap berbahasa
yang tak aku kenal.
“Tidak apa-apa nak, akhirnya kita
dipertemukan Tuhan di tempat ini, setalah tiga puluh tahun aku serahkan
pengasuhanmua di panti ini” katamya. Memang dalam kompleks sanatorium ini juga
ada panti asuhan. Tapi kok aku tidak ingat bahwa aku pernah disini. Aku hanya
tahu kecil dan besar di panti asuhan yayasan yang ada di Semarang. Cokdepun
ikut mencium tangan suster, eh ibu ku dengan penuh rasa hormat. Setelah
diperkenalkan Romo bahwa dia menantunya. Ibu semakin terisak tangisnya. Ia
memeluk kami sehingga keharuan kami bertiga membuat Romo ikut meneteskan air
mata. Air mata bahagia karena Romo telah dapat melaksanakan amanat ini dengan
baik. Akupun sangat berbahagia menemukan ibuku kembali. Tapi aku ragu, karena
ibu kelihatannya sangat menikmati keadaannya saat ini.
Kami sepakat dengan ibu dan Romo
akan segera bertemu ayah. Yang konon sampai saat ini masih membujang walaupun
telah pension dari tugasnya. Kami mohon maaf dengan ibu karena tidak mengajak
cucunya ikut serta pada kesempatan ini. Beliau pasti senang dan bahagia
melihatnya. Kucoba mencarikan fotonya yang kusimpan dalam telepon genggamku.
Kupertunjukkan cucunya Cokde Junior. Dan ibupun semakin terisak,. Aku tak tahu
apa kah ibu bersedih apa ibu bahagia.
“Wajah anakmua merupakan
perpaduan wajah ayahmua, kakekmu di Solo dan ayahnya sendiri atau neneknya, aku
belum tahu. Tapi dalam wajah itu kulihat wajah ayahmua Rani. Walau masih terasa
kaku dalam obrolan, siang itu kami lewati dengan berceita berdua. Aku jadi
mengerti kenapa mama tidak mau lagi pulang kerumah kakek, kenapa beliau
memutuskan menaruh aku di panti asuhan, dan kenapa ayahku tidak menikah
kembali. Itu semata-mata karena satu kata yang mereka agungkan sekalian mereka
benci. Kata itu adalah ‘Cinta’.
Ayah dan Ibu mempertahankan cinta
mereka menyatukannya, dengan harapan keluarga ibu akan merestuinya. Ternyata
restu itu tidak juga mereka dapatkan sampai aku lahir. Kakek-nenekku dari pihak
ibu tidak mau kehilangan muka karena telah menerima pinangan kerabatnya yang
telah terlanjur mereka terima tanpa persetujuan dan sepengetahuan aku. Saking
cintanya kepada ibu ayahku, konon sampai saat ini tidak menikah kembali, karena
sejatinya belau belum pernah bercerai dengan ibuku, walau ia anak lelaki
satu-satunya dalaam keluarga. Aku hanya numpang lahir di Mataram. Sekarang baru
aku tahu bahwa kota Mataram dalam akte kelahiranku ternayta Mataram NTB, yang
awalnya ku kira Mataram Jogyakarta.
Aku
hanya berharap Romo segera mempertemukan kami dengan ayahku……… semoga keinginan
baik akan berakhir dengan baik doaku.Ternyata dalam keadaaan seperti ini yak
terasa semua hidangan teh poci, ubi goring cilawu, psang tanduk rebus telah
ludes kami santap. Burung-burungpun telah pergi mencari makan untuk kembali
lagi sore hari, Dan kami meneruskan obrolan hari tiu bertiga, ibu, Cokde dan
aku di villa tempat kami menginap.
Puri Gading, Hari Lebaran, 28
Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar