“MOVE ON DARI KEGALAUAN HATI MARLINA”
Gerbang NUsa Dua ( google.com) |
Seorang mahasiswaku mengambil
pojek perencanaan Jalan Tol di atas perairan Bali, contohnya menurut
rekan-rekan dosen, itu sangat besar untuk projek akhir seorang Calon Sarjana
Teknik. Konstruksi Kuta River Vier, juga menurut aku cukup berat bagi seorang
Calon Sarjana Teknik, bila ditinjau dari lama pelaksanaannya sehingga dapat
menggangu waktu tempuh kuliah di Teknik Sipil.
Aku kebagian dua sesi ujian,
karena Bu Marlina memintaku untuk menggantikannya pda sesi kedua. Kebetulan aku
taka da acara dengan Luna yang balik ke kampong untuk suatu keperluan dengan
seluruh keluargamya. Aku ingin ikut tapi dilarangnya, karena Luna tahu jadwalku
sangat padat pada akhir semester ini.
Hampit pk 17 00 aku keluar dari
ruang ujian bersama rekan-rekan dosen lainnya setelah setelah pengumuman
kelulusan mereka yang sedang menjalani ukian. Pada prinsipnya semua lulus, tapi
ada dua anak yang harus mengadalak koreksi beberapa konstanta teknik dalam
perhitungan bangunan tahan gempa, mengingat saat ini berlaku zonasi baru dalam
peta indeks resiko gempa untuk Bali Selatan.
Kuperhatikan telepon genggamku,
ternyata cukup banyak pesan masuk. Dari mamaku, biasa mengingatkan jangan
terlalu memaksa diri untuk bekerja, dari Luna yang mengabarkan bahwa keluarga
Sobar masih beberapa hari lagi ada dikampung, aku balas bahwa akhir pecan aku
menyusulnya ke kampong. Kuceritakan aku baru saja menguji mahasiswaku, dam Luna
membalasnya dengan Selamat Pak Dosen Muda. Hahahaha…….. . Selesai bbm an dengan
Luna sebuah pesan masuk ke BB ku, ternyata itu pesan dari Bu Marlina yang
meminta aku datang ke Hotel Westin mampir. Ku tahu pasti ada projek yang harus
didiskusikannya, yang ku tahu Bu Mar suka menyendiri saat membuat prosposal
sebuah projek.
Dari kampus aku meluncur ke
kawasan Nusa Dua, dimana Hotel Westin berada. Sore itu aku menerobos sinar
cemerlang menjelang sunset mentari jingga menerobos Tol dari Benoa menuju Nusa
Dua. Lagu-lagunya Superman Is dead menemani aku sepanjang perjalanan. Kurang
dari empat puluh menit aku sudah memasuki kawasan resot hotel Nusa Dua. Setelah
melalui pemeriksaaan yang cukup kerat di gerbang hotel, aku parkir, di lapangan
parkir sebelah hotel, kulihat mobil Bu Mar ada disana. Aku menuju kamar Bu Mar.
AKu bergegas menuju ruang yang
biasa bu Mar tempati di saat menyelesaikan projek. Ruang itupun sudah beberapa
kali kudatangi saat konsultasi thesis Master ku dulu. Ruangan sangat lengkap.
Ada studio kecil, merangkap ruang pertemuan kecil, teras menghadap ke laut
lepas di latar belakangi pohon kelapa, di alasi permadani rumput hijau.
Beberapa wisatawan asing kuliaht masih mandi dan bermalas malasan di belakang
hotel, ditepian pantai.
Bu Marlina sudah menunggu aku
rupanya, namun kali ini kuliaht pakaiannya tidak formal, dengan daster yang
kelihatannya dari rumh mode dengan kain yang cukup berkelas. Aku dipersilahkan
masuk ke studio, sayup sayup tercium farfum BU Mar, sesekali aroma farfum ini
juga tercium di ruang kerja Bu Mar di Fakultas.
Wajah BU Mar kulihat capek, namun
masih berseri seri menyambut kedatanganku, apa ingin menyembunyikan
kelelahannya atau memang gembira atas kedatanganku> Mungkin aku ke GR an. Bu
Mar mengajak aku diskusi di ruang studio tentang projeknya, sepintas saja
katanya, siapa tahu kamu tertarik bergabung Ren. Aku butuh seorang perencana
konstruksi tahan gempa, aku melihat kemampuan itu ada padamu. Aku akan
mengerjakan sisi lainnya, kata Bu Mar.
Kuperhatikan memang ia sedang
rada capek, karena sambil diskusi sesekali tangannya memijit pundaknya. Kami
melaporkan hasil ujian tadi, terutama mahasiswa yang seharusnya beliau uji,
kuserahkan tugas akhir mahasiswa itu lengkap dengan catatatn-catatan Bu Mar
yang dia goreskan disana. Aku telah melaksanakan tugasku, dan penilaianku
hamper mirip dengan penilaian Bu Marlina.
Sudah dua gelas tanggung jus
jeruk ku teguk, dan Bu Marlina menawarkan kopi kepadaku, sambil menikmati
burung-burung kembali ke kandangnya, di pepohonan belakang hotel kulihat
beberpa burung bangau telah tiba dari pengembaraannya mencari makan di musim
kemarau ini. Sambil memberikan cangkir kopi yang dibuatnya dia duduk
disebelahku,
Sambil menikmati kopi latte yang
dibuatkan Bu Mar, aku menawarkan bagaimana bila kubantu mijitin pundaknya yang
kelu. Padahal aku malu duduk didekatnya, deru jantung mudaku menderu sangat
tergoda farfumnya. Sangan romantic kata temanku Pimonk dari France. Bu Mar
menganggukkan tawaranku. Sambil terus melanjutkan obrolan. Aku memijit-mijit
bau bu Mar, aroma itu semakin menggodaku.
Bu Mar menceritakan bahwa
ponakannya basru saja lulus dari sebuah Sekolah Tingggi Komputer di Bandung.
Ingin segera menikah dengan pemuda pujaannya yang sama-sama menuntut ilmu di
Bandung. BU Marlina menentangnya dengan keras, namun sang ponakan tetap meminta
dengan sangat kepada tantenya. Padahal
aku menyuruh ia untuk meneruskan dulu S2 bahkan sampai S3 kalau dia mau, akan
aku biayai kata Bu Mar. Padahal ku
tangkap BU Mar sebenarnya cemburu kenapa ponakannya mau segera menikah, tidak
memperhatikan perasaan tantenya.
Memang lebih baik dia menuntut
imu dulu semasih ada yang membiayai, kalau masalah menikah kan gadis sekarang
umumnya menikah telat, kataku. Akh kamu bilang senang menjadi perawan tua
seerti aku gitu Ren, sambat Bu Mar. Saat dia mendongat menolehku kulihat jelas
buah dada BU Mar masih sangat bagus, tak kalah dengan gadis duapuluh tahunan.
Mungkin Bu Mar pandai merawat diri.
Saat itu pula bu Mar, tak sengaja
mengangkat dirinya berpaling ke aku. Jantungku semakin berdegap kencang, ku
peluk Bu Mar dan dia tak menolaknya. Hehehehe sorry lho Ren, katanya setelah
cukup lama kami menikmati ciuman itu. Nggak apa-apa Bu, saya yang harusnya
meminta maaf sama Ibu, karena saya kan murid Ibu. Dia bilang nggak apa-apa ren,
sambil menatap aku dengan manjanya. Sebagai lelaki tak kubiarkan kesempatan
itu, kumanfaatkan dengan sebaik-baiknya namun tetap terkontrol. Sama dengan
anak remaja yang sedang pacaran rupanya Bu Mar sangat menikmatinya, dan sampai
tak mampu mengontrol dirinya. Karena tangannyapun sempat kemana-mana,. Ketukan
Room Service datang menghantarkan makan, menyelamatkan kami tidak sampai
berbuat lebih jauh.
Makan malam sudah disiapkan di
meja teras yang menempel dengan ruangan studio. Kami meneruskan ngobrol. Aku
dapat memahami kenapa Bu Mar tidak menikah sampai umurnya menginjak kepala
empat, mungkin karena dia sebagai tulnag punggung keluarga, setelah orang
ayahnya mengalami kecelakaan kerja, sepuluh tahun silam. Ia harus membanting
tulang mengantikan ayahnya mengelola perusahaan dan tetap menjadi dosen di
almamaternya.
“Bu Mar, bagaimana dengan Karma”
“Karma apa maksudmu Ren”
“Itu Dr Karma dari fakultas
Pertanian, kudengar beliau masih menantikan keputusan ibu”
“Nah itu juha yang sangat menyita
pikiranku, aku tak mau berebutan waktu untuk menikah dengan ponakanku”
Pak karma, kutahu sangat
menyayangi ibu. Dia itu anak tunggal. Apa mungkin ada masalah lain Bu tanyaku.
Adok=adik ibu sudah jadi semua, bahkan beberapa keponakan ibu juga sudah tamat
kuliahnya. Kalau Ibu menolak Pak Karma. Apa sama saya saja… Hahahaa apa kata
dunia, bila murid menikah dengan pembimbingnya. “Huzzz ngaco kamu Ren, kalau ibu
mau pasti ibu kejar untuk mendapatkannya” kata Bu Mar. Luna dengan cintanya
sangat menyayangi kamu. Keluarga kamu sudah semuanya merestu. Untuk menghibur
Bu Mar, kukatakan “Kan janur belum melengkung BU” Hehehehe
Itulah sebenarnya yang Bu Mar
pikirkan, Karma kembali menagih janji Bu Mar untuk segera menikah, dan keluarga
Karma ingin meminang Bu Mar. Saran aku bu, bila ibu tidak berkeberatan, ibu
terima saja tidak usah pakai lamaran segala, langsung saja rapel menjadi satu:
lamaran, pernikahan dan resepsi sekalian.
“Nah itu baru solusi Ren, tapi
ada permintaan Ibu, ku minta kau menyiapkan dekor resepsinya ya: kata Bu Mar.
Kujawab :”Siap Bu, kami akan buat thema yang tepat bersama Luna”. BU Mar
mengatakan akan segera menemui Luna, di Bironya akan mengkonsultasikan beberapa
masalah psikologi yang harus dipersiapkannya saat menghadapi pernikahan dengan
Karma. Maklum pernikahan ini adalah pernikahan yang tidak lagi muda. Baik Pak
Karma maupun Bu Marlina.
Aku
senang Bu Mar menjadi bersemangat menyongsong pernikahannya dengan Karma,
kegalauan hatinya akan dirinya sendiri sebenarnya, terlabih bila melihat
usianya yang tidak lagi muda, tapi secara fisik Nampak seperti anak duapuluh
limaan tahun saja. Kuyakin keluarganya pasti mendukung, jangan jangan
keponakannya hanya ingin menggoda tantenya. Apa lagi kudengar pacar keponakan
Bu Mar, sedaerah dengan Karma….. Selamat BU Mar.
Puri Gading, awal Juli 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar