“KENANGAN LINGGA PADA NEETA”
Senja di Pantai Carita (google.co.id) |
Memang liburan pada long week end
kali ini, aku yang menyusun rencana dari pemesanan villa sampai merencanakan
perjalanan. Aku sudah buat semaksimal aku mampu, namun tak kuduga akan begini
jadinya. Saat istirahat di Villa, kala itu hujan lebat mengguyur kawasan pantai
tempat aku liburan, petir bersahutan sekitar sejam an. Setelah hujan reda
deburan ombak terdengar lebih kencang, aliran air di muarapun seakan banjir
bandang. Semuanya itu jelas terlihat dari villa tempat aku menginap.
Sehabis hujan reda itulah,
suamiku terbangun dan mulai kelihatan panik. Sehabis makan siang dia selalu
melihat kearah laut, dia mondar-mandir dari ujung pantai ke ujung lainnya.
Terkadang dia terduduk di tepian pondok dekat muara untuk beberapa waktu terus
mondar-mandir lagi. Dia tidak memperhatikan grimis yang masih terkadang
terjadi.
Kuperhatikan sudah hampir enam
jam sejak pk 15 00 dia tidak memperhatikan apa-apa selain laut lepas, deburan
ombak dan gemulung air muara menjadi perhatiannya. Pada awalnya aku anggap hal
itu adalah suatu kegemarannya, namun setelah berlangsung lama aku mulai curiga.
Jangan-jangan dia sakit, setahu ku saat berangkat dia sehat dan sangat
bersemangat, dia menyetir kendaraan dari tempat tinggalku sampai ke Villa,
walau menggunakan kendaraanku.
Dalam kegalauanku aku bbm adik
iparku Ani di Denpasar, kuceritakan suamiku Mas Lingga sedang menyueki aku, dia
mondar mandir di tepi pantai, terkadang duduk termenung memandangi gemulung air
muara. Aku cerita beberapa hari lalau kepada adik Ani rencanaku akan ke Pantai
Carita untuk liburan long week end.
Setekah kutunggu berapa lama, Ani
menjawab, dia minta maaf baru jawab karena baru saja habis sembahyang. “Mbak,
samperin Mas Lingga, ajak dia pulang ke rumah, batalkan saja liburannya” Hanya
itu jawaban Ani. Jawaban ke 2. “ Mbak tak usah Tanya macam-macam Mas LIngga,
nanti juga pasti di ceritainnya”.
Kebetulan koper perlengkapan
belum ku buka. Aku minta room boy memasukkan kembali kemobilku. Aku samperin
Mas Lingga, aku pegangan berdua menuju mobil, aku bilang Pasti Mas capek, tidur
saja kita pulang mas. Kau tidur saja disebelahku. Aku akan menyetir kita sudahi
saja liburan kita, ayo kita habiskan di rumah saja mas. Dia mengangguk dan duduk manis disebelahku.
Mobilku pacu sedikit cepat
melalui jalan tol, tak sampai sejam aku sudah memasuki garasi rumahku. Mbok Asistem
Rumah Tanggaku (Mbok) segera membukakan pintu, dan membantu aku menurunkan
koperku. Dia tidak banyak nanya. Mbok segera membuatkan kami minum. Mas Lingga
dibuatkan the manis, dan aku dibuatkannya segelas susu stroberry di taruhnya di
meja kamar kami, dan Mbok pun kembali meninggalkan kami berdua.
Kuperhatikan kembali tidur Mas
Lingga sangat lelap. Namun aku tetap lihat kekecewaan berat di wajahnya. Raut
wajah demikian baru kulihat sejak kami menikah Sembilan bulan lalu. Setiap long
week end kami lewatkan dengan berlibur. Terkadang aku memilih objek yang akan
didatangi, tapi terkadang Mas Lingga. Mas Lingga lebih bijaksana kalau dia
memilih suatu objek selalu akan menawarkan dulu kepadaku, walau selama ini
belum pernah aku menolak pilihannya.
Aku tetap merasa bersalah kali
ini, karena aku egois, tak mau meminta persetujuannya. Apakah hati suamiku
terluka dengan suasana pantai, atau pilihanku tidak cocok dengan seleraku. Dua
cecak kuperhatikan sangat mesra bercanda di tembok kamar kami. Beberapa kali
kulihat salah satunya mengejar yang lain, mereka bercengkerama dan melakukan
hubungan badan. Aku jadi cemburu.
Masih kudengar kluruk ayam
beberapa kali, setelah itu aku tak tahu, aku tertidur duduk di kursi sebelah
Mas Lingga tidur. Aku tak mau kalau kalau suamiku terbangun dan keluar tanpa
sepengetahuanku dalam kondisinya ‘linglung’ seperti ini. Kelihatan sangat berat
beban yang dia alami. Padahal dia sangat bijaksana. Dapat dikatakan selama kami
berkeluarga, kami tak pernah cekcok karena suamiku. Semua biasanya aku yang
memulai. Aku merindukannya, sesekali aku ingin dia cemburu kepadaku….. eh
ternyata tidak bisa.
Saking nyenyaknya tidurku, aku
tak tahu kalau aku sudah dipindahkan Mas Lingga dari tempat tidur. Saat terbangun
karena ada hawa hangat yang menghembus di tengkukku aku melihat dari celah
korden mentari sudah sangat terang. Selamat Siang istriku. Suara itu lirih
kudengar, saat itu pula pelukannya sangat erat memeluk badanku. Aku merasakan
suamiku sudah pulih kembali dia memeluk ku semakin erat dan kamipun tertidur.
Hampir pk 12 siang, aku
terbangun. Sarapan pagi dan makan siang dihidangkan Mbok di meja makan. Setelah
mandi berdua siang itu kamipun makan siang bersama. Disanalah Mas Lingga cerita
kepadaku.
“Maafkan aku Yoni ( itu nama sayang dari
suami kepadaku), aku telah mengacaukan liburanmu. Lain kali sementara kamu
jangan mengajakku liburan kepantai yang ada muaranya. Aku masih trauma mendengar
deburan ombak yang bergemuruh, serta melihat gemulung air bah di muara sehabis
hujan. Itu mengingatkanku dengan kenangan pahitku. Aku merasa bersalah tidak
bisa menyelamatkan Neeta. Adik kelasku di desa. Saat menyeberangi muara, waktu
kami rekreasi liburan di pantai, kami tergulung air bah, kami berdua berusaha
menyelamatkan diri. Kami diselamatkan seorang nelayan yang pas mau mendarat,
hanya Neeta tidak ditemukan sampai saat ini.
Kami memang rencananya dijodohkan oleh kedua
keluarga kami, karena kami masih ada ikatan kekerabatan. Rencananya sebelum aku
kuliah ke Bandung akan dinikahkan dulu. Aku merasa bersalah dengan kejadian
itu. Aku merasa tidak bisa melindungi Neeta. Tapi ya sudahlah Neeta tak akan
kembali semoga ia damai disinya. Kenangan itu terkadang mengusikku, dalam
gemulung air bah di muara terbayang wajahnya yang memelas memanggilku. Suara
itu lamat-lamat masih terdengar ketika deburan gemuruh ombak lautan semakin
nyaring. Nah itulah yang membuat aku seperti kemarin”.
Aku juga minta maaf sama suamiku,
karena aku tak tahu kalau dia mempunyai kenangan pahit terhadap suasana pantai.
“Nggak apa apa Yoni, karena kaulah Neetaku yang sesungguhnya saat ini. Kaulah
penuntunku disaat aku limbung dlam kehidupan ini”. Demikian juga kau mas kau
telah menjadi imam ku di dalam kehidupan ini.
Aku tak sadar dalam mendengarkan
permintaan maaf suamiku, aku telah duduk di pangkuannya. Sambil bercerita
rupanya dia memangku aku, dan menyuapinya. Rupanya aku tidak sadar siang tiu
aku makan cukup banyak, apa karena aku lapar dari kondisi semalam, atau karena
makan dalam pangguan dan disuapi suamiku, mungkin juga karena rapelan sarapan
sekaligus makan siang.
Aku memberikan ciuman di pipi
kanan dan kiri suamiku sambil tetap gelayutan di pangkuannya. Tepuk tangang si Mbok, mengagetkan aku. Dia mengingatkan
aku ada telepon dari Villa Carita. Rupanya telpon dari Manajer Villa, dengan
permohonan maaf karena mengira kami pulang cepat karena pelayanannya tidak
memuaskan.
Sehabis menaruh telepon aku gamit
tangan suamiku, aku ingin meneruskan kemesraan ini di kamar kami. Masa lalu
biarlah menjadi kenangan yang akan buram bersama berlalunya sang waktu. Biarlah
aku menjadi Neeta nya mas Lingga saat ini. Dia bilang wajah aku mirip dengan
wajahnya….. membuat aku semakin sayang padanya.
Puri Gading, Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar