“MAESTRO DAN KERINDUAN WINDA PADA AYAH”
Sungai Ayung dengan Kedamaiannya |
Kala Kita Masih Bersama
Namun Tiada lagi kalau
Kau disana ku disini”
Benar juga ya pikir Winda tentang
syair lagu tersebut yang dia dengar sayup-sayup terbawa angin di kala dia duduk
di tepian tebing memandang aliran Sungai Ayung, yang menjadi bibir Villa
Aryawinda. Cinta itu sangat indah kalau lagi berdua, tapi kalau sudah bubaran
pasti ada yang merasa tersakiti dan terkhianati. Sudah dua hari dia di Bali,
sambil menunggu pelukis yang hendak dia kunjungi, Winda direkomendasikan untuk
menikmati Bali Timur dan Utara. Dia ditemani Mangde, sang sopir yang sedikit
Jaim, yang selalu memakai kaos bajuri –itu lho yang tidak berlengan- sehingga
bulu keteknya yang panjang melambai, dengan celana jin sepatu kets, dan tidak
pernah lupa kacamata hitam Ray band nya. Dia selalu wangi dengan parfum yang bermerk.
Aku sampai hafal diskripsi sopir
merangkap gaidku selama di Bali, dia sangat lihai menyetir Ceroke yang telah
disiapkan Sang Maestro Pelukis yang akan aku temui. Jangan-jangan aku jatuh
cinta sama dia ya. Dia sangat hafal lagu-lagu SID, yang menemaniku
diperjalanan.
Aku baru mendapatkan balasan
email saat persis hari keberangkatanku. Dia mempunyai kegiatan berpameran karya
lukisannya di Berlin. Hari ke tiga sore aku di Bali katanya dia akan sampai,
sehingga waktuku untuk bertemu baru pada hari ke empat. Sehingga aku punya
acara bebasku sampai hari ketiga. Pada hari ketiga aku berkeliling kampoeng menyusuri
persawahan di pinggiran Sungai Ayung, menikmati gemercik air dan teriakan para
pengarung jeram di Ayung. Dapat kusaksikan bagaimana cerianya mereka, serta
bagaimana ketakutan nya bila mereka tak siap.
Sudah hampir sejam aku
menyaksikan lalu lalangnya petani diseberang sungai, memindahkan padi dari
sawah kerumahnya. Membuat hatiku damai. Kue jajanan pasar yang disiapkan di
Bale bengong dekatku belum juga aku sentuh. Aku keasyikan menikmati suasana
alam, yang masih asri. Memang Bali seperti kata orang tak ada matinya, sing ade matine.
Pikiranku melayang jauh, kembali
kebawa ke persoalan terakhirku. Aku dicumbu mesra kekasihku, yang sudah pantas
aku panggil Ayah. Namun aku tak kuasa menguasai rasa ini. Rasa dalam hatiku
yang mengalahkan segalanya. Aku terbuai, walau dia menghindar tetapi aku
mengejarnya. Sama dengan apa yang tertulis dalam Sarasamuscata :”Kalau cinta itu
–baca birahi- sudah bergolak dia tidak akan peduli dengan lingkungan, entah
lelaki muda, lelaki remaja ataupun tua akan tetap di kejarnya” Dia hanya tahu
bagaimana melepaskan rasa cinta itu, akan dilampiaskannya dengan sangat
agresif.
Aku menangis tersedu air mataku
meleleh membasahi pipiku, aku mengomel terus. Aku keluarkan semua unek-unekku.
Tapi dia tetap saja memandangku dengan senyuman khasnya. Senyum itu memang
tidak pernah hilang dari pelupuk mataku. Cintaku memang tak salah, namun hanya
perbedaan reinkarnasi kami yang berbeda.
Aku terkaget saat kakiku terjatuh
di tepian Bale Bengong. Ya Tuhan, rupanya aku sempat tertidur dibuai angin semilir
kali ayung, ditengah sayup-sayup lagu lagu Rinto Harahap yang mendayu di putar
. Kayaknya ada masyarakat yang punya hajatan, yang memasang loudspreaker,
memutar lagu-lagu jadul. Lagu itu memang bukan jaman aku, namun masih kena di
telinga.
Cinta Memang Indah, Bila Kita
Masih Bersama, Namun tiada lagi….. kalau lagi begini. Setelah kutersadar melek,
aku menimati jajanan pasar yang disiapkan villa. Sepiring kecil ‘pisangrai’ dan
kelepon serta wedang jahe yang sudah sedikit dingin aku nikmati. Puji Tuhan
hari ini aku sangat happy.
Rupanya aku tak memperhatikan
Mangde sudah menjemputku, dia menawarkan aku untuk pergi ke Pantai Pandawa,
sore ini. Terus dilanjutkan dengan menikmati Sunset di Pantai Kuta, terus aku
ingin menikmati dugem sesekali dengan Mangde di Had-Rock Kuta. Kami sengaja
sedikit santai , akan berangkat setelah mentari miring ke barat.
Kali ini Mande ku lihat tak kalah
gaul pakaiannya, tetap seperti biasa namun ditambah rompi kulit, dengan sarung
tangan kulit. Aku geleng-geleng kepala melihatnya. Memang dia gaid professional.
Tahu jalan-jalan utama maupun jalan tikus di Bali, memahami semua objek wisata.
Tak salah Pak Maestro menunjuknya untuk menemani aku selama di Bali sebelum
ketemu dengannya.
Mangde walau pakaiannya agak
metal, namun sopan santun ketimuran sangat dia pegang teguh. Dia pemuda desa
dengan selera metropolis. Hanya saja kuperhatikan lagu-lagu yang dia
senandungkan ke banyakan lagu bali, diantanya yang masih kuingat:
“Hei Kawan Bila Engkau Ke Bali
Jangan lupa kabari Aku
Akan aku jemput dikau
Dibandara Ngurah Rai
Agar kita bisa
Nikmati bersama
Arak Baliku yang garang”
Aku masih inget syairnya karena
memang memakai bahasa Indonesia. Menurut aku seniman Bali itu sangat kreatif,
hanya saja syairnya kebanyakan syair local sehingga tidak kelihatan kiprahnya
dalam percaturan lagu-lagu pop atau rock nasional. Itulah Bali kata Mangde, dia
akan terus dicari untuk dinikmati keindahannya.
“Nih nikmati Winda, tadi aku
sempat mampir di Warung Nasi, Kubelikan kau Nasi Bali dengan Sayur undis,
lengkap dengan pepes belut, pindang goreng dan tentu saja sambal matah” Kata
Mange. Memang kemaren diperjalanan pulang dari Lovina kami sempat
membicarakannya. Itu lho undis itu sama dengan kacang gode, seperti kedele
tetapi kriput. Kucoba nikmati, kuajak dia bareng. Tapi dia menolaknya karena dia telah makan
diwarung itu tadi.
Sangat eksotik rasanya, sehingga
aku menikmatinya, kuhabiskan sayur dan lauknya, walau nasinya hampir utuh. Dan
Mangde tidak kulihat beberapa waktu kemana ya ia. Aku nikmati pindang dengan
sambal matah bersama pepes belut, yang merupakan jenis masakan yang baru
pertama kali ku makan. Akhirnya Mangde datang dengan dua buah cangir dan sebuah
poci. Dia bilang lupa menyajikan ‘tuak manis’ (air nira) untuk minuman dalam
rangkaian menikmati, kuliner pedesaan ini.
Kami menikmati sekali tuak manis
yang Mangde bawa. Dan akupun pamit kepadanya untuk pergi mandi dan
mempersiapkan diri untuk ngehunting sore sampai malam ini menikmati keindahan
kaki Pulau Bali, dan keramaian malam di Kuta. Aku pingin menggerakkan badan turun
melantai bersama Mangde. Hehehe Jangan-jangan aku jatuh cinta padanya.
Mangde,
aku pamit dulu ya….. aku mau mandi…….. Daaaaaa
Puri Gading, 17 Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar