“PA, APAKAH HATI INI BISA DIAJAK BERDAMAI?”
Taman Tirta Gangga |
Seharian penuh aku berkeliling
beberapa lokasi yang sangat eksotik dengan Maestro, cukup melelahkan rasanya
padahal aku hanya duduk disebelah Maestro yang masih gesit menyetir mobil,
walau umurnya telah memasuki kepala enam. Aku merebahkan diri di sofa, sambil
memperhatikan cecak yang saling berkejaran bercumbu dengan pasangannya di
plafon villa. Aku melihatnya begitu romantis, bagaimana dia saling berciuman,
saling kejar terus melakukan hubungan. Aku merasa diledek oleh kemesraan kedua
bilnatang melata tersebut, pada saat mereka menyuarakan cek-cek-cek-cek-cek,
tanda kepuasan mereka.
Maestro walau sudah tua dia masih
senang menyetel lagu remaja di mobilnya, walau suaranya lamat-lamat berpacu
dengan angin yang menerjang kupingku. Aku memang bepergian seharian ini
menggunakan sebuah mobil terbuka, VW safari berwarna merah hati. Aku tak tahu
kenapa aku menyenangi kendaraan ini, walau Maestro menawarkan beberapa pilihan
ketika kami mampir ke galerinya. Disana kulihat terparkir beberapa mobil sedan
dan jeep, seperti Mercy C –Class, Honda CRV, Nissan Teana, Jeep Ceroke maupun
sebuah Hammer Hitam. Tapi aku sudah merasa nyaman dengan VW Safari yang ia
gunakan menjemputku pagi tadi.
Lagu Iwan Fals, Buku ini aku
pinjam menyemputku untuk menikmati udara pagi tersebut. Aku tak hafal syairnya,
karena memang beda generasi, namun penggalan syairnya seperti : “ Dia Tahu….
Dia Rasa….. Cinta ini milik kita…… Di kantin depan kelasku….. Disana engkau
kutunggu……… “ dan seterusnya. Sangat mengena dengan hatiku yang lagi galau,
menjadi sirna. Apalagi Maestro sesekali memperhatikanku. Rambutnya yang
gondrong mengingatkan aku dengan seorang pria yang baru beberapa minggu lalu
memutuskan cintanya kepadaku.
Kuperhatikan sesekali,
kelihatannya sangat mirip, hanya beda dia lebih gemukan sedikit, dia lebih
serius sedikit tidak se romantic Maestro. Sama-sama suka berguman bila
mendengarkan sebuah lagu, dan sama-sama tahu hati seorang wanita, tepatnya tahu
kemauan seorang wanita seperti aku ini. Tidak Maestrao, tidak Mangde semuanya
terkesan dihatiku, dia akan ku ingat lama di relung hatiku. Sampai aku bertanya
dalam hati, apakah aku jatuh cinta?. Apakah dengan mudah aku melupakan dia yang
baru melepaskanku.
Aku memang egois, aku yang
meminta dia melepaskanku. Karena setiap bercumbu dia tidak mau memberikan aku
puncak kenikmatan, dia hanya membelaiku, menciumku dengan ciumannya yang
membuat aku sampai terbang ke langit ke tujuh. Dia tidak mau, dia tidak mau dengan
alasan yang aku tak tahu. Mungkin karena umurku kurang dari separuh umurnya
kala ku kenal, sejak dua-tiga tahun lalu.
Akh lupakan itu, walau kenangan
manis dengannua. Aku kembali keingatanku, pengalamanku sehari ini dalam mencari
tahu dan menemukan orang tuaku.
Setelah sekitar sepuluh menit aku
meluncur dari galerinya Maestro, kami berhenti disebuah pasar wisata yang sudah
buka sejak subuh. Banyak sekali pengunjungnya, kami duduk di meja yang ada di
teras. Rupanya Maestro sudah membookingkan meja tersebut. Beberapa pasangang
bule kulihat masah kusut masai menikmati hidangan yang disajikan diatas meja,
sama setiap meja. Ada nasi bungkun yang dikenal dengan nasi jingo, kubaca
labelnya, nasi ikan, nasi ayam, nasi kuning dan nasi babi. Demikian juga ada
kue ‘karud’, kelepon, laklak –serabi-, jadah panggang, dan lempog –getuk-.
Itulah menu pagi ini. Aku hanya memilih sebungkus nasi kuning, dan sebungkus
kue karud. Kuenya warna warni hijau dan merah, yang pewarnanya menggunakan
warna alami yaitu buah tengolo untuk merah dan kayu suji untuk warna hijau.
Maestro memperhatikan saat aku
menikmati nasi kuning, yang sebenarnya adalah nasi putih yang diaduk dengan
sambal mbo, sambal kelo, kelapa parut goreng manis setengah matang, telor
dadar, serta lawar kelapa muda yang diparut kasae. Sangat nikmat menurutku,
apalagi pedasnya cukup nendang di lidahku. Maestro mengatakan gaya makanku
mengingatkan dia pada seseorang yang pernah hinggap dihatinya.
Kue karud kunikmati dengan mesra
berdua dengan Maestro yang dengan telatennya menyuapi aku kue tersebut. Seperti menyuapi anaknya saja. Aku
merasa ada sifat lembut kebapakan yang dia keluarkan saat menyuapi aku.
Kubiarkan dia bernostalgia, karena aku denganr dari Mangde, dia memiliki dua
anak, seorang laki-laki yang sulung dan wanita yang bungsu. Ada sesuatu yang
kurasakan hilang, kudapatkan pagi ini. Sampai aku tak sadar Maestro kupanggil
dengan sebutam Papa.
Oke Win, kamu panggil aku Pa
saja, tak usah panggil Mas, Bli atau Pak. Biar lebih akrab katanya. Tapi
menurut aku lebih mesra. Apalagi mantanku memanggilku dengan Wie dan aku
memanggilnya Pa. Sehingga aku tidak canggung lagi. Iya pa jawabku. Aku
diajaknya menyusuri pantai Kusamba, meluncur ketimur sehabis sarapan menuju
Taman Wisata Tirta Gangga. Disana aku banyak bertanya pada Pa Maestro, tentang
Papaku.
Dia mengatakan sangat kenal
dengan papaku, demikian juga dengan mamaku. Bahkan dia mengatakan pernah di
taksir mamaku. Mamamu orangnya nekat, dia tidak pedulikan perbedaan yang
menghadang pasangannya. Kalau dia ada mau dia akan perjuangkan sampai dia
dapat, atau dia tinggalkan dan melupannya. Namun masalah dengan papamu
kelihatannya tidak demikian.
Foto lukisan yang kau beli dari
aku, itu memang modelnya mamamu setelah aku cek kepada pelukisnya. Itu dilukias
saat kau masih belum lahir, saat dia baru melahirkan kakakmu. “Akh kakakku. Apa
aku pnya kakak pa?” tanyaku. “ Iya setahu aku kau punya kakak, bahkan
namanyapun pa tahu Andara”. Air matakupun tak dapat kubendung, mengalir spontan
saat Maestro sebutkan aku mempunyai kakak.
Aku minta dia mengantarku untuk
menemui kakakku dan papaku, namun Maestro tidak mau memenuhi, karena dia tidak
atau tepatnya belum mendapatkan mandat dari mama untuk mempertemukan aku. Jadi
kesimpulanku hari ini, bahwa papaku masih ada dan aku memiliki kakak lelaki.
Aku harus menuntut mama untuk
mempertemukan aku. Aku tahu mama sangat egois. Namun akupun tahu mama sangat
mencintai papaku. Buktinya sampai saat ini beliau belum menikah lagi.
Jangankan menikah, mungkin tertarik laki-laki lainpun mama enggak. Apakah
cintanya sangat besar pada papa, atau miugkin mereka telah berjanji satu sama
lain. Akh aku tak tahu. Aku harus cari tahu. Pa kasih tahulah aku sebelum aku
balik, siapa papaku, siapa kakakku. Walau kau kenalkan aku Cuma wajahnya saja
tak perlu dulu berbicara dengannya.
Sabar, itu yang selalu dia katakana,
“Aku tak dapat mandat memberitahu dari mamamu, Sandara Savitri”. Lama-lama aku bisa jatuh cinta sama pa
Maestro. Aku tak sadar bahwa aku telah glendotan di pangkuannya di sebuah Bale
Bengong di Tirta Ganggia. Diapun sempat membelai lembut rambutku yang panjang
tergerai di amuk angina sepanjang perjalanan.
Mentaripun sudah condong ke
barat, kami di ajak pergi ke pantai Candidasa, kami menikmati hembusan angina pantai
sambil menyaksikan hilir mudiknya kapal Ferry yang mengangkut penumpang
menyeberangi Selat Lombok menuju atau meninggalkan Pantai Padang Baio, dan
kapal tangki yang menganguk BBM ke Bali.
Ikan, cumi dan udang bakar yang
dihidangkan dengan plecing gondo dan sambel matahnya, telah kulahap habis.
Maestro seakan tahu kesenanganku. Dia memesankan aku dengan rasa sambal yang
pas. Semua pesanan memang Mestro yang mengaturnya. Memang dalam surelnya
kepadaku dia yang mentraktir aku selama di Bali. Dia sangat menghormati
pelanggan lukisannya.
Pa, pa sudah berapa wanita yang pa
anterkan dan perlakukan seperti aku ini. Tanyaku dalam hati kepada papa Maestro.
Aku tak berani menanyakan langsung aku takut menyinggung perasaannya. Sekali
lagi aku takut. Aku takut kalau aku jatuh cinta kepada salah satu dari mereka,
Maestro atau mangde. Mereka berdua ada dalam kriteria lelaki impianku. Tipikel
lelaki ‘jantan’ dan sedikit liar, tipikal pria Bali yang bekerja di ranah
wisata. Itupun kata mamaku. Hahahaha benar juga ya.
Saking nyenyaknya tidurku malam
itu, ternyata membuatku terbangun kelabakan pagi itu. Aku buru-buru mandi
mempersiapkan diri seadanya karena pesawatku pesawat pertama, begitu juga siang
ini aku punya janji bisnis dengan klienku di Jakarta. Dengan sedikit
keburu-buru aku kerestoran, disana Maestro dan Mangde telah menunggu ku. Aku
bergabung, sarapan sedikit terus meluncur ke bandara.
Rupanya hanya Maestro yang
mengantarkan aku dengan seorang sopirnya ke bandara. Satu paket lukisan yang
telah dia siapkan sebagi oleh-oleh kepadaku menemani aku berangkat ke Jakarta.
Dia mengantarkan aku sampai ruang tunggu. “Pa terima kasih atas kebaikan dan
perhatiannya selama aku di Bali”. “Oke You welcome katanya” sambil cipika
cipiki, tak sadar aku telah memegang tangannya, aku pamitan mencium tangannya,
dan diapun kulihat berkaca kaca saat itu’. Selamat jalan jangan lupa begitu kau
sampai di Sukarno Hatta, kabari pa ya.
Mendarat di Jakarta, kubuka HP
ku, WA masuk. “Selamat Datang di Jakarta, diantara orang-orang yang kau temui
beberapa hari dalam kunjunganmu, Winda kau telah pernah berjumpa dengan dua
orang yang kau cari. Mudah-mudahan mamamu bisa menjelaskan, setelah melihat
titipan lukisan yang kau bawa, sebagai titipan dari papamu” Salam Pa.
Pikiranku menjadi kacau, aku lama
terduduk di ruang tunggu bagasi hanya memandang kosong dan tak melihat porter yang
sudah mendorong barang-barangku, lama diam di depanku serta Opang supirrku sudah
memanggil-manggil aku. Terima kasih Maestro, terima kasih pa…… Apa kau akan
menjadi tempat benturan cintaku lagi…. Akh aku belum mau jatuh cinta dulu…..
tapi apakah hati ini bisa diajak berdamai.
Puri Gading, Purnama Kawolu, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar