“TANDA HITAM DI TANGAN RANI, MEMANCING AIR MATA LADAWA”
Suasana Belakang Villla Salmah |
Tanda tanya menyeruak dihati Rani
semenjak pulang dari tawangmangu. Apakah benar Suster Salmah Ibunya, apakah
benar Ayahnya masih ada di Mataram, kenapa Romo merahasiakan hal ini
sebelumnya?. Masak sih mereka tega tidak datang saat pernikahanku dulu? kalau
diurut itu akan jauh lebih panjang dan berulang di benak Rani. Dan satupun dia
tidak mendapatkan jawabannya. Sementara perut Rani sudah semakin membuncit
dalam kehamilannya yang kedua ini. Rani tetap dengan kesibukannya selama dua
hari full di kampus, selebihnya ia sudah mulai membantu Kanjeng Mami mengelola
perusahaan bersama suaminya Coke. Kanjeng Mami kelihatannya masih asyik
bercengkrema dengan Cucu kesayangannya Cokde Junior.
Pagi itu, pertanyaan seupa muncul
kembali. Sehabis sarapan biasanya Rani bergegas pergi menuju kampus karena
memang setiap hari Selasa dia memiliki acara memberikan Kuliah pada
mahasiswanya di tingkat magister, dan memberikan bimbingan sebagai ko promotor untuk
program doktor. Para muridnya memuji kecantikan Rani. Kata mereka Bu Rani
semakin cantik pada kehamilannya kali ini. Mungkin akan melahirkan seorang
putri. “Akh kalian bisa saja” jawab Rani ketika seorang mahasiswinya memuji
kecantikan Rani.
Rani mondar=mandir di taman
samping sambil memperhatikan burung-burung disangkarnya yang sedang bersautan
bunyinya, antara perkutut, puter maupun burung punglor yang sangat genit,
selalu menicicit, sambil menari-narikan batang lehernya. Seakan dia tahu
tuannya memperhatikannya. Hampri setengah jam Rani bercengkerema dengan burung
burung itu.
Yande masih menunggu di mobil
yang sudah siap meluncur ke kampus menghantarkan Rani. Yande tak tahu kenapa
tuannya itu meminta ia menghantarkannya berangkat ke kampus. Padahal biasanya
Rani sudah biasa menyetir sendiri. Mobil berjalan perlahan Yande memuji
kecantikan tuannya. “Akh kamu Yande sama saja dengan Mahasiswa mbak, selalu
memuji aku” Kata Rani. Memang benar Doro Putri tambah cantik dan maaf lebih
menor pada kehamilan ini” jawab Yande. Tawa Ranipun berderai ditengah
perjalanan.
Rani mengajak mampir Yande ke
Starbucks, katanya kok selama kehamilan ini Rani ngidam Rasberry Coffee cream.
Ada ada saja kata Rani. Yande turun kembali dengan dua cup pesenan itu, yang
akan mereka nikmati di kampus. Mobilpun merapat ke kampus. Kelihatan sudah ada
beberapa mahasiswa menunggu Rani di taman samping ruangannya, mereka bercanda
khas candaan mahasiswa. Rani berlalu mereka semua berdiri dan memberikan salam.
“Maaf ya tunggu saja sebentar, Ibu mau minum sebentar ya” kata Rani.
Yande bergegas membawakan tas dan
barang barang bawaan Rani ke ruangannya, termasuk dua cup kopi kream dingin
yang dibelinya tadi. Yande diminta menunggu di mobil saja. Iapun sibuk dengan
ipadnya, melihat-lihat laporan perusahaan, perintah Cokde, atau Kanjeng mami
yang biasanya pagi-pagi sangat banyak, untuk acara hari itu yang harus ditindak
lanjuti.
Tengah hari hampir semua
bimbingan Rani, yang menunggu dari pagi telah dilayani dengan ramah dan tegas
oleh Rani. Terlihat ada yang gembira keluar dari ruangan, ada pula yang
kelihatan kesel, bahkan beberapa keluar dengan garuk-garuk kepala. “Makanya
kalau menghadap Bu Rani, kalian harus siap dan telah melaksanakan perintah
sebelumnya, melakukan koreksi dan revisi apa-apa yang menjadikan catatan beliau”
ucap seorang mahasiswa. “Memang aku mau coba tidak melakukan revisi seperti catatan
beliau, hanya ku print ulang dengan pontasi berbeda. Rupanya beliau tahu, akh
aku kena semprot, dan tak boleh konsultasi dua minggu ini sebelum melakukan
revisi dan perintah baru yang beliau berikan” gerutu seorang mahasiswa.
Yande ketawa tertahan
mendengarkan gerutuan mahasiswa Rani. Tiba-tiba Rani sudah duduk di jok
belakang, memerintahkan Yande untuk bergerak lagi. Kita menuju Hotel maharani
Yan, perintah Rani. Siap Doro. Mobil dipacu sedang-sedang saja, Yande menyetel
radio yang melantunkan lagu-lagau lama dalam irama bosanova. Rani sangat
menikmati, menurutnya lagu tersebut sangat pas dengan suasana hatinya.
Di sebuah cafe di sayap bangungan
Hotel Maharani, Cokde dengan dua orang yang seakan rani kenal telah menunggu,
Mereka salaman . Ternyata Suster Salmah datang dengan seorang lelaki hampir
enam puluhan lebih, tetapi masih gagah. Ia memperhatikan lengan Rani, dia
memperhatikan telapak tangan ku sejak salaman tadi. Lama lelaki itu tidak
berkata apapun. Cokde memecah kesunyian itu dengan kau mau pesan apa Ma,
tawarannya kepada Rani. Aku minta Lime Tea saja hangat, kalau ada dengan madu,
Rupanya lelaki itu, menahan air
matanya, tetapi tetap tidak sanggup, sehingga menetes di pipinya. Suster
Salamah mengelapinya, kelihatan masih mesra. Akhirnya lelaki itu berkata, Mah,
aku sangat ingat tangan itu sempat aku ingat, ada toh atau tanda hitam sedikit
besar di punggung tangan itu. Dia anak kita Mah. Salmah pun meneteskan air
mata, mereka kelihatannya sangat mesra, dan tak menganggap yang lainnya ada,
mereka berpelukan menangis berdua. Aku tahu tanda di tangan kananku yang hitam
dan sedikit tumbuh bulu ini yang mereka perhatikan.
Naluri Ranipun tersentuh, dia
beranjak dari duduknya ikut berpelukan melepas tangis haru. Keharuan pertemuan
sepasang suami-istri dengan putrinya yang telah lama berpisah. Perpisahan ini
terjadi karena keegoan orang tua Suster Salmah. Mereka tidak mau mengakui
pernikahan mereka, sehingga Salmah minggat dari rumah. Dalam kebimbangan Salmah
dia berpaling mengabdikan dirinya di Gereja, menjadi pelayan umat. Dia
berkelana ke manca negara, selama hampir dua puluh lima tahunan, setelah
sebelumnya di dalam negeri beberapa tahun. Ia dapat kepercayaan melanglang
buana ke luar negeri karena kelebihan Salmah yang menguasai beberapa bahasa
asing. Lelaki yang mendampingi Salmah Rupanya Ladawa.
Karena cintanya ke Suster Salmah,
walau ia anak tunggal, Ladawa tetap tidak menikah kembali sampai saat ini,
sampai ia memasuki masa pensiun dua tahun lalu dari Kepala Dinas di Propinsi
Gora tersebut. Ladawa tokoh pengembang pariwisata di tiga Gili di Lombok,
rupanya sudah biasa selama ini berbisnis dengan Keluarga Cokde. Pantesan Yande
sangat kenal kelihatannya dengan Ladawa, hanya saja demi kesopanan dia menjauh
saat pertemuan ini.
Rasa ikatan itu memang terasa,
walau kelihatannya tidak realistis tapi Rani merasakan. Cokde melihat ikatan
itu ada diantara mereka. Wajah Rani perpaduan antara Solo dan Lombok. Cokde
tahu Ladawa, mantan pejabat di Mataram, dia masih keturunan bangsawan
Karangasem, hanya saja keluarga mereka tidak memakai gelar kebangsawanannya sudah
dua generasi ini.
“Sudah kuduga Mah, kita pasti
akan bertemu lagi, ayo kamu pulang ke Mataram, pintu rumah Papa tak pernah ku kunci
sejak kau pergi dengan Ratna – panggilang sayang Ladawa kepada Rani- demikian
pula hati ini, kukunci untuk semua orang hanya kubuka untuk kamu Mah”. Kata Ladawa.
Rani melirik Lelaki itu, pilihanku rupanya tak jauh berbeda dengan postur
dengan postur Bapak. Cokde mengatakan bahwa dengan keluarha Ladawa di
Karangasem sejatinya keluarganya masih ada ikatan kekerabatan.
Ladawa, walau sudah tua masih
punya kharisma, rambutnya masih gondrong, dan bawaannya tas berkelas, dengan
smartphone terbaru yang tak pernah lupa dibawa. “Bagaimana Cokde kalian harus
datang ke rumah Bapak di Mataram, kita rayakan pertemuan ini dengan
besar-besaran”.usal Ladawa. Mama kalian Salma, aku yakin dia pasti setuju, dan
menetap denganku. “Akh style yakin saja pa”, jawab Rani dan Salmah berbarengan.
Cokde menawarkan, agar tidak ada
yang tersinggung terutama Kanjeng Mami, apalagi Pak ladawa, sudah sangat kenal
dengan kharakter Mami. “Bagaimana kita rembugkan dengan Kanjeng Mami, kita
menemui beliau sore ini” tawar Cokde. Bapak dan Mama Salmah jalan-jalan dulu di
sini melihat lihat Kuta, kita ketemuan nanti malam di rumah Puri Gading saja.
Meraka setuju semua, dan Salmah
menepati janjinya akan menyayangi ladawa Sehidup semati, sama dengan Cinta
Ladawa kepada Salmah. Meraka kelihatannya sepasang pasangan yang sangat serasi.
Tapi mengapa ya orang tua mereka menghalangi. Oh itu masih kuingat Romo pernah
bilang di tawangmangu, karena kakek rani, yang masih ningrat di Solo, telah
menerima tawaran kerabatnya ddari kalangan ningrat, selepas Mama Salmah sekolah
di Surabaya. Rupanya Salmah dan Ladawa menikah duluan, kawin lari masih
mengikuti adat Bali.
Tapi menurut pengakuan Ladawa
tadi sebelum rani datang, keluarga Mama Salmah sudah menerima Ladawa sebagai
mantunya, sejak kunjungan Ladwa ke Solo, menghadiri pemakaman nenek Rani.
Meraka sudah seperti anak mantu dengan mertua, Ladawa sering menginap di Solo
kalau ada keperluan bisnis disana. Demikian juga Mbah Kakung Rani Raden Pawiro,
sudah beberapa kali dijemput Ladawa untuk istirahat di Mataram.
Eyang kakung katanya sangat
menikmati kalau lagi liburan di Gili Trawangan, bisa sampai dua minggu betah
disana. Jadi hubungan mereka sebenarnya sudah baik, bukan hanya gencatan
senjata saja. Hanya saja Salmah yang tidak mengetahuinya, karena Suster Salmah
memang putus singkong hubungannya dengan keluarga maupun dengan Ladawa, selama
hampir dua puluan tahun ini.
Ladawalah yang menjemput Salmah
ke Semarang ke kediaman Romo, setalah Salmah memutuskan ingin menemui suaminya.
Dia tidak bisa melanggar sumpahnya yang telah diucapkan untuk sehidup semati
dengan Ladawa, terlebih setalah Rani mereka temukan kembali.
Meraka tampak mesra sekali, hanya
saja Suster, hehe Mama Salmah kelihatannya masih agak canggung karena tugas dan
pakaian yang dikenakannya selama ini. Kata beliau baru beberapa hari setelah di
Mataram kembali memakai pakaian biasa, meninggalkan pakaian ke susterannya.
Sungguh suatu insan yang sangat tepat janji.
Meraka
kelihatan bergembira menyaksikan para wiasatawan berjemur, ditepian pantai Kuta
berjejer, atau berselancar memburu ombak, sungguh suasana yang menggembirakan
hati. “Mah nanti sepulang ke Lombok kita istirahat beberapa waktu di Gili, di
Villa Salmah, sebuah villa yang sengaja aku bangun sebagai tonggak kenangan
abadi cinta kita. Selama ini hanya aku sendiri yang menempati sekali sekali
villa itu, saat peak seasonpun papa tidak sewakan. Romantisnya..........
Puti gading, 9 Agustus 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar