“KACAU BALAU PIKIRAN WINDA”
"Ya Di Tepian Kolam Renang Ini" (google.com) |
Pagi itu Winda baru saja bangun
tidur. Dia duduk di beranda belakang rumah mamanya. Dia menginap lagi karena
memang habis Hari Raya, sehari sebelumnya mereka sembahyang bersama . Sesuatu
yang sudah lama mereka tidak lakukan bersama. Banyak mata terbelalak
menyaksikan kala kedua wanita itu sampai di tempat sembahyang. Biasalah karena
banyak diantara mereka yang hadir adalah lelaki jomlo, baik sebagai bulok –bujangan
local karena harus berpisah keluarga karena tugas- atau memang masih sendiri. Kata
mereka seperti kakak adik saja. Yang satu lebih luwes, tuaan, dan yang satunya
cantik namun lebih jenjang pinggang dan lehernya. Keduanya berambut panjang
berhidung mancung.
Winda sangat menikmati kicauan
burung-burung liar di komplek itu, bershutan dengan suara burung peliharaan
warga yang memang gemar memelihara burung. Sesekali suara burung tetanggaku
Kang Warja, ngeriwik panjang. Seekor burung anis Bali bulu merah, bersahutan
dengan seekor beo yang dipelihata di rumah mama. “Selamat Pagi Nona Winda,
selamat pagi Nona Winda” kicaunya. Aku hanya bisa tersenyum saja menikmatinya,
bersama secangkir teh manis dengan gula btu kesukaanku, dan sepotong uli bakar
yang disebiakan Mbak Asisten Rumah Tangga mamauku. Suatu pagi yang sangat indah
di iringi semilir angina bulan Maret yang sudah
mulai mereda.
mulai mereda.
Suara tape yang di stel pelan
mama, menemani tidurku dengan Lagu-lagu Koes Plus masih terdengar jelas walau
pelan dan lamat-laman. Lagu Dara Manisku nya masih mendayu.
Dara Manisku Kau Selalu Dalam
Impianku// Dara Manisku kau selalu menjadi pujaannku// Dara manisku
kau cintaku………………………………………………. . Lagu itu jauh sebelun jamanku, tapi
kok masih enak didengar, seakan membawa aku ke dalam kenangan kenangan panjang
cintaku…. Oh Dara Manismu sekarang berduka…. Hahahahaha tidaklah kataku.
Kuhidupkan suara gadgetku, yang
sudah semalaman aku silent. Aku tak mau si telepon pintarku menganggu acara
curhatku dengan mama. Mama tak kelihatan semenjak aku bangun tadi, dan sudah taka
da disebelahku. Mungkin beliau jalan-jalan ke taman kompleks, atau pergi ke
pasar menikmati kegemarannya yang suka ke pasar tradisional setiap minggu pagi.
“Tang-Tung-Tang-Tung” suara gadgetku, kuperhatikan sangat banyak pesan yang
masuk. Namun sebuah surel istimewa menarik perhatianku unruk membacanya. Surel
yang dikirimnya lewat WA yang dikirim Myking -aku menyebutnya- membuat aku
terbelalak.
Dear Winda …… (Hahaha Dear Winda, masih ada Dear kah)
Kala kau surel ini tiba, pasti kau belum tidur atau bahkan sudah
terlelap dalam mimpiku. Itu tidak penting karena aku ingin menyampaikan apa
yang bergolak didada ku yang sudah tak lapang lagi. Ungkapan hati ini ku
tuangkandalam surel ini, agar aku bisa terlelap dan mengurangi beban yang
mengimpitnya.
Hampir seribu kilometer lebih ditempuh surel ini hanya dalam hitungan
detik, kuingin mengungkapkannya agar kau tau betapa gejolak didalamnya yang
sebenarnya tidak aku harapkan. AKu masih seperti yang dulu.Tak lebih dan tak
kurang.
Emosimu, gejolak pikiran mudamu telah men’teror’ nya untuk beberapa
lama sehingga dia tidak mampu menolaknya. Hanya mengiyakan keinginanmu. Kau
mendesakku untuk pergi meninggalkan tempat yang cukup lama menjadi pangkalan
hatiku, menjadi curahan keluh kesahku, dan tempat kau menikmati masa masa
indah, yang menurutku yang sangat membuai sejenak aku dank au dari himpitan
permasalahan dunia ini. Untuk pergi jauh meninggalkannya, terbang tinggi
melambungkan angan angan ini, menjadikan kau menikmati bersama keterpurukanku.
Kau menikmatinya, demikian juga aku.
Waktu yang kita lalui cukup panjang, orang kampong menyebutnya dalam
enam kali panen. Kau mendesakku untuk memutuskan hubungan kita, tanpa sebab
musabab yang jelas. Hanya karena gejolak mudamu. Karena kau tak tahu apa yang
sedang aku alami, apa yang sedang aku perjuangkan, dan apa masalah yang aku
hadapi...... Kau terus merangsek untuk memutuskan hubungan kita.
Aku tak pernah mengatakan apapun kepadamu, apakah itu sayang, apakah
itu cinta, hanya rasa dan tindakan yang kau baca mengarah kea rah rasa
tersebut. Memang masalah cinta, masalah sayang adalah rasa.
Mungkin saat membaca ini kau sedang senang, atau mungkin kau sedang
bersedih hebat, bahkan engkau masih berada dipersimpangan jalan untuk melangkah
pergi dengan kebimbanganmu. Karena aku tahu kau bagaikan Kepiting yang kalau
sudah menggigit akan sangat suah melepaskannya, walau kau yang menginginkannya
secara emosional.
Lama aku berfikir. Kau sangat labil. Padahal menurutku kau tidak remaja
lagi, kau sudah dewasa menurutku Winda. Hanya engkau sangat labil. Selabil bongkahan
es di atas genangan air. Sesekali engau sangat tegar dengan cobaan hidup ini,
namun tak jarang engkau menguras air matamu semalaman untuk menemani tidurmu
yang tertunda karena fikiranmu yang sedang bergolak.
Windaku…… mungkin kau tertawa saat membaca surel ini, mungkin kau
tersenyum lebar seperti biasanya kau teriakkan setiap kegembiraan dan
kesedihanmu. Aku sangat faham itu. Walau kau jauh lebih muda dariku akan tetapi
terkadang pandanganmu jauh melampaui usiamu. Keberaniamu sangat melampaui
usiamu. Namun dia juga bisa jauh lebih muda dari usiamu, dia akan merengek
rengek manjan, bahkan tak jarang diiringi derai tangismu, kalau ada kemauanmu
yang tak dapat kuikuti, kau akan merengek seperti anak anak.
Biarlah semua itu menjadi kenangan abadi di hatiku. …………………………………………..
“Selamat Pagi Nona Winda, selamat
Pagi Nona……” kicauan burung nuri ibuku, masih bershutan dengan kriwikan anis
tetangga.
Winda aku tahu persis apa yang bergolak dihatimu saat ini, pastilah itu
hal yang ekstrim bisa kau sangat berbahagia, namun didalam rehatmu akan
menangis. Bisa juga semua itu menjadikan rasa senangmu memuncak karena kau
sudah merasa berhasil melepaskan diri dari himpitan, namun aku tahu waktu
kebersamaan kita sangat panjang…..
Prakkkkkkkk ….. kubanting gadget
ku, dia mengagetkan di Mbok yang sedang bersih-bersih di kamar sebelah. “Ada
apa Non, teriaknya sambil berlari…. Aku
terdiam seperti kebiasaanku dalam kondisi begini. Tidak mau meladeni pertanyaan
appu. “Sudah Mbok, teruskan pekerjaanmu, bawakan aku secangkir teh manis juga
bersama sepotong uli bakarnya”. Suara ibu mengagetkanku, seraya beliau
mengambil gandetku yang hampir terjatuh masuk ke kolam renang.
Rupanya mama telah lama duduk di
sebelahku memperhatikan aku saat membaca sampai membanting gadgetku. Malu
bercampur kesel rasanya, kutubruk mama kupeluk sambil menangis tersedak, yang
tertahan karena aku malu.
Aku selalu disalahkan ma.
Perpisahan ini memang aku yang medesaknya untuk meninggalkan aku. Karena
kelakuannya yang tidak aku mengerti. Aku medesaknya agar dia segera mendesakku.
Dia tidak mau mengatakan melepaskanku. Tapi kusadari siapaun akan kesal, bila
terus-terusan didesak dan akan melakukannya. Entah itu untuk menyenangkan
hatiku, ataukah memang benar untuk melepaskanku.
Dia selalu bilang, apa yang aku
putuskan Winda, kan aku tidak pernah mengikatnya. Tidak pernah menyatakan
cinta, menyatakan satang. Tapi semua yang kau rasa, yang kau lihat dan yang kau
nikmati sebagai curahan rasa itu. Aku tidak menyalahkanmu, katanya. Karena kau
sedang dimabuk asmara kau tidak akan berfikir rasional.
Memang benar rasanya apa yang
dikatakannya, itu benar ma. Aku terkadang tidak rasional. AKu sangat egois. Aku
inginkan apa yang aku mau harus diikuti, terkadang aku lupa…….. Disini bila dia
menyalahkan aku memang aku akui aku salah. Aku memang dipersimpangan, aku
sering mengatakan apa yang aku alami sebenarnya, dengan menuduhkan kepadanya.
Aku tak ingin bubar, tetapi
mulutku minta dia bubaran. Aku sebenarnya tidak ingin putus tapi aku memintanya
untuk memutuskan hubungan ini. Nah itulah egoku. Ego seorang wanita yang sangat
ambisius dengan kemauannya, terkadang tidak rasional. Aku sering
mengata-ngatainya dengan ungkapan kasar, aku akui itu….. padahal setalah itu
aku menyesal telah mengatakannya. Aku tidak pantas mengucapkan kata-kata itu
untuk orang yang pernah menghibur kesedihanku, kepada orang yang pernah
membawaku bahagia, kepada orang yang pernah menguras air mataku ….. dan orang
yang sering membuat aku optimis dengan masa depan ini. Walau sebenarnya aku
telah pernah memutuskan untuk tidak menikah selamanya….. Akh tidakkkkkkkk.
Sudah, sudah, sudah Winda…… Mama
tahu apa yang ada di dihatimu, walau mama tidak mengalaminya. Ikatan batin
seorang mama dengan anaknya akan membuat rasa itu juga mama rasakan. Makanya
mama ingatkan bila mau memutuskan sesuatu tolong lebih rasional dikit. Lebih
dipikirkan beberapa kali. Kau masih muda masih sangat panjang jalan yang harus
kau tempuh.
Biarkanlah suka dan duka hidupmu
menjadi lembaran, lembaran yang menyusun buku hidupmu. Ayo kita sarapan dulu,
mama tadi ke tempat sembahyang, untuk menenangkan diri, untuk memohon kepada
Tuhan Yang Maha Esa agar mama dapat memutuskan jalan mama ke depan. Mama
merasakan ada yang belum lengkap di dalam hati mama, walau secara material,
secara lahiriah mama kelihatan tidak kekurangan sesuatu apapun.
Kapan kau siap, kau boleh ikut
mama. Kau boleh bareng mama sembahyang untuk memohon ketenangan, mohon ampunan
dan mohon petunjuk jalan yang harus kita tempuh dalam kehidupan yang kita tidak
tahu sampai kapan dia akan sampai suatu ‘terminal’. Ayo kita makan tadi mama
bawa bebek betutu, kesukaanmu yang mama pesan di Bu Nyoman teman mama, yang
terkenal suka memasak dan masakannya enak itu. Ada sambal ‘matah’, ada jejeruk
mentog. Ayoooooo.
Si Mbok pun melongo melihat
keakraban dan kedekatan dua wanita majikannya itu. Setelah menyuguhkan teh
manis dan sepotong uli bakar yang Mamanya Winda minta. Si Mbok bergegas ke
ruang makan menyiapkan sarapan, menyiapkan bebek betutu dan segala sesuatu yang
telah diletakkan majikannya beberapa waktu sebelumnya.
Winda hanya berkata lirih "Mah kelihatannya aku tak sanggup ma. Hatiku kacau balau setiap aku mengingatnya ma, Tolong aku ma".
Diringi suara si Beo yang nakal
kedua wanita itu meneruskan menyeruput masing-masih secangkir teh manis dan
sepotong uli bakar yang telah lama tersguhkan di meja. “Selamat Menikmati,
selamat menimati, Selamat Pagi Nona Winda, selamat Pagi Nyonya……………. Asyikkkk
Bagi Bagi dong” begitu ocehannya si Beo.
Sementara si Mbok menyiapkan
sarapan, rambut winda yang kepalanya
ngelosor di pangkuan mamanya terus diusap mesra sang mama. Sudah Winda, dunia
belum kiamat….. Mama tahu betapapun itu, perpisahan akan meninggalkan sayatan
manis, dan sakit di dalam hati in, apapun alasannya. Mama bukan petualang cinta
sepeti kamu, tapi mama dapat dan ikut merasakan kepedihan hatimu yang selalu
terpentok perbedaan. Itulah nasib minoritas Winda, kamu harus bangga……. Kamu
harus buktikan.
Ayo sudah waktunya kita berdua ‘pulang’
ke rumah yang sudah lama kita tinggalkan, kau sudah harus berkumpul dengan
keluarha yang utuh, mama sudah waktunya kembali ke papamu. Papamu sangat mencintai
keluarga ini, dia sangat sabar menunggu kita, dia korbankan semua rasa ke
lelakiannya demi kesucian cintanya kepada mama. Dia MyKing mama, sepeti juga
MyKing mu Winda…..
Ayo Winda kamu bisa, kamu bisa,
cepat hapus air matamu, tidak baik muka cantikmu dihiasi air mata. Kedua wanita
itupun bangkit menuju ruang makan untuk menikmati Sarapan dengan bebek betutu
Bu Nyoman.
Puri Gading, 22 Pebruari 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar