“WINDA, KALAU KAMU CINTA KEJAR DAN DAPATKAN”
Rembulan Malam (google.com) |
Aku tidak tahu sebelumnya bahwa
mamaku sangat rajin bersemedi, berdoa dan membaca kitab suci. Padahal waktunya
sangat sibuk di Yayasan, mengajar dan menerima pasiennya. Tapi beberapa bulan
terakhir aku lihat beliau membatasi diri, dan lebih banyak memberikan
kesempatan ke asisten beliau, yang beliau bombing dalam penelitian tugas akhir.
Katanya reken-reken membantu mereka untuk mengatasi kehidupan di kota besar,
dan biaya kuliah yang tidak sedikit, serta tentunya melihat langsung kondisi
lapangan serta mempraktekkan ilmu yang sedang dituntut. Bila mereka rajin,
mereka tidak terasa telah melaksanakan penelitian tugas akhir mereka.
Kata mamaku, beliau menyuruh semua
harus di rekap detail penyalitnya dalam laptop, setelah habis praktek. Mama
setiap hari kulihat sekarang lebih banyak memakai pakaian putih, dan membiarkan
rambutnya panjang, walau satu dua sudah ada warna putihnya. Demikian pula papa
sudah biasa dengan pakaian kesehariannya, memakai kain putih, T-shirt putih,
dengan bebat dipingang dan destar yang lebih banyak bertengger di kepala
beliau. Tak jauh dari kebiasaan beliau sehari-hari sebagai pelukis, hehehe
arsitek yang pelukis.
Usaha galeri lukisan, villa dan
bisnis curator lukisannya demerger dengan usahaku yang memang tidak jauh dari
itu. Biro Arsiteknyapun aku mengelaolanya. Semakin menjauhkan saja aku dari
kebiasaan enjoy ku menjalani hidup ini. Hehehe tidak juga papa meberikan
kebebasan kepadaku. Beliau akan tetap memback-up bersama Tim Yande yang selama
ini beliau percayai sebagai tangan kanan perusahan.
Papaku, belum aku ceritakan
banyak. Ternyata papaku itu adalah Maestro yang menerima aku untuk menginap di
villa serta mengajak aku keliling Bali, menikmati keindahan alam ini. Beliau
sangat terbuka dan mengetahui serta memahami apa yang aku lakukan selama ini.
Rupanya aku mempunyai bodyguard bayangan yang selalu mengawasi aku selama ini.
Mereka akan memberikan laporan kepada papa apa yang aku lakukan dan dengan
siapa aku dekat.
Wah aku malu, seperti saaat aku
berduaan saja dengan papa, di tengah malam, karena mama bobok duluan setelah
sembahyang panjang sore nya. Aku sangat nyaman bersandar di pundak papa, sambil
menyaksikan sinar rembulan yang agak malu-malu di tutup awan tipis di langit
sebelah timur. Papa menjadi pendengar setia. Kuceritakan dengan rasa hormat dan
tidak malu malu sama beliau. Beliau tak menunjukkan kemarahan sekalipun. Sangat
bijak papa rupanya.
Beliaupun sangat tahu saat aku
jatuh cinta kepada lelaki yang seumuran dengan papa. Kuceritakan orangnya
sangat romantic, sering membuat aku kangen setengah mati, aku tak tahu kenapa
ya. Aku ceritakan aku bingung apakah aku jatuh cinta, entah apa namanya. Yang
jelas aku menjadi semangat bekerja, sampai-sampai tahun itu aku bisa membeli
apartemen, di dekat senayan. Saking inginnya aku setiap hari aku bertemu
dengannya, aku telah memintanya untuk mendesig interior apartemenku, walau aku
biasa membuatkan renvcangan disain untuk klienku. AKu tak tahu aku nyaman, aku
merindukannya dan aku tidak pedulid engan perbedaan yang ada.
Papa sempat menanyakan apa aku
masih cinta padanya?. Kukatakan aku sebenarnya masih sangat cinta padanya, tapi
keegoisanku, sama dengan sifat mama rupanya. Aku merasa tidak dihiraukan karena
kesibukannya aku minta putus. Staratnya gampang aku minta ditemani semalaman di
sebuah café dutraktir es krim, dan putus. Itu permintaanku. Karena aku paksa
diapun mengiyakannya. Dia menjauh dariku. Tapi kulihat, walau sembunyi sembunyi
statusnya, kelihatannya dia masih sangat menyayangi aku. Sama dengan perasaanku.
Apa mungkin aku GR ya, kataku.
Papa hanya berpesan, kalau kau
senang kenapa malu untuk mengejarnya kembali. Kejar dan dapatkan pesan beliau.
Ahhhh papa nyuruh aku untuk mengejarnya. Iya kata papa rang itu pasti morang
baik dan setia, Itu sih feeling lelaki katanya. Apa pa aku harus mengejarnya
kembali?. Bukan mengejarnya, dia bilang untuk mendapatkannya. Beliau sangat
setuju kalau aku menikah dengan orang yang sangat kucintai dan sangat setia
itu.
Aku tak tahu kok papa
kelihatannya tahu apa yang pernah aku alami. Bahkan seperti tahu siapa orangnya
yang aku cintai. Papa malah menebaknya sangat tepat, ketika beliau mengatakan
kalau begitu Winda, kekasihmu itu pasti dia
seorang seniman, dia sedikit pendiam, sangat cerdas bisa diajak berbicara apa saja.
Kalau tak ditanya pasti akan tetap diam. Aku harus pandai memancing pembicaraan
agar suasana lebih romatis kataku. Nah itu benar, pasti seniman di Kota Solo
kata beliau.
Akupun terkaget sambil melepaskan
sandaran kepalaku di pundak papa, aku duduk di sepan beliau. Dan menanyakan kok
papa tahu ya. Papa memeata matai aku ya. Papa bahkan sudah kenal sejak lama
dengan kekasihku itu, karena pernah bersama sama mempunyai projek besar, dan
beberapa bulan lalau mampir ke galleri ayah, menceritakan nahawa beliau lagi
jatuh cinta dengan gadis yang sangat dewasa dalam pemikiran, walau umurnya
pantas menjadi anak gadisnya.
“Ketika itu, aku teringat kamu
Winda, jangan-jangan aku mau memiliki menantu temanku sendiri” nah kalau itu
memang takdir, siapa yang bisa menolak takdir kata beliau. Disatu sisi aku
sangat menghargai pendapat ayah yang tidak memarahi aku telah mempunyai kekasih
yang beda umur, di satu pihak menerima semuanya kalau itupun terjadi sebagai
sebuah takdir.
“Lha apa ayah setuju kalau aku
menikah dengannya?”. Kenapa tidak jawab beliau, yang penting putriku berbahagia
dengan orang yang dicintainya. Itu merupakan amplifikasi kebahagiaan hidup
papa, itu akan mengandakan kebahagian papa sama mamamu. Karena kamipun dulu
tidak mau dihalangi saat kami meutuskan untuk menikah.
Mama menjadi korban ketidak
setujuan orang tua dengan pilihannya sendiri, sehingga restu itupun beliau
dapat setelah beberapa lama menjelang Eyang ku mangkat. Walau hubungan secara
lahiriah mereka, ayah, ibu dengan Eyang di Jawa, begitu juga Eyang di Bali
dengan Eyang di Jawa, atau hubungan mama dengan Eyangku di Bali sangat baik.
Bahkan cenderung dimanja, walau kami berpisah tempat tinggal lama.
Aku dan kakakkulah sebagai
perekatnya. Aku bersama ibu, dimana sifat aku yang dominan kuwarisi dari papa
dan kakekku di Bali, serta kakakku yang tinggal bersama papa, yang memiliki
sifat dominan warisan sifat mama. Tekun, lebih banyak diam, sangat pintar dan
trampil dalam pendidikannya.
Aku tanyakan sekali lagi, apa
papa setuju kok nyuruh aku mendapatkannya kalau aku masih cinta. Papa ku
manggut manggut dan aku tak sadar memeluk beliau dan menciumi beliau, ya ciuman
kerinduan seorang anak dengan papanya. Kepenasaranku di jawab ayah dengan
mengeluarkan smartphone nya, dan mengirim gambar ke smartphone ku. “Coba kau
lihat Winda, apa itu gambar orang yang kau maksudkan sebagai kekasihmu?”
Aku bergebas membukanya dan
ternya iya. Dan kamipun tertawa bersama, sehingga keeningan malam itupun
menjadi lebih ramai. Karena curhatan anak gadis dengan papa yang lama tidak
pernah terjadi. Keramaian karena tertawa kami, rupanya mengundang mama untuk
terbangun dan beliaupun mendekat ke kami. Ada apa anak sama papa kok ramai
sekali, ini sudha jam berapa? Kata mamaku.
Sebelum kami menjawabnya kluruk
ayam di kejauhan sudah mulai ramai terdengar, dan kamupun bertiga masuk kamat,
aku minta sama mama untuk ikut sekamar bertiga mama, papa dan aku, aku mau
disebelah papa, aku sangat rindu ‘bau’ keteknya, yang selalu di berikan deodorant
dengan farpum yang sama dengan farpum kekasihku, heheheh mantan deh.
Selamat
malam ma, selamat malam pa. dan akupun terlelap disamping papa, suatu kondisi
yang sudah lama sekali aku rindukan. Selamat Malam.
Puri Gading, 11 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar