“KEGALAUAN SENJA MENEMUKANKU KEMBALI DENGAN MAS SALO”
Lukisan Wanita (google.co.id) |
Perpaduan antara senja dan malam,
sandikala. Mereka berduaan duduk bersila menghadapi setanggi dupa, dengan penuh
konsentrasi menyatukan fikiran kepada Nya memohon kesejahteraan dunia. ‘Sarwa Prami Hitangkarah’. Cukup lama
mereka memanjatkan doa doa, dan memuji kebesarann Nya. Biasanya aku ikut
mereka, namun kali ini aku absen karena sedangn berhalangan, sehingga aku hanya
bisa menikmati lahiriah senja itu.
Burung migran masih kelihatan
dilangit bergerombol terbang ke utanra, karena diselatan sudah mulai musim
dingin. Kita sepatutnya meniru burung burung itu, yang selalu dapat menyesuikan
diri dengan perubahan musim, atau kita harus mampu mengantisipasi dan
beradaptasi dengan perubahan iklim, pemanasan global, atau global warming kata
para pakar iklim belakngan ini.
Sesaat pikiranku mengelana jauh
kenegeri China, disaat aku pernah mengikuti Konferensi Internasional
Perubahahan iklim. Sesaat satu persatu lelaki yang pernah mengisi hatiku, serta
yang pernah hatinya kuisi melintas dalam benaknya. Kenangan manis serta manis
berikutnya mampu menyunggingkan senyumku untuk bergembira malam itu, Padahal
seperti biasanya hatikus edang tidak mood, karena aku lagi kedatngan tamu
bulanan.
Aku dikagetkan, sebuah pesang WA
masuk ke HP ku. Kulirik sejenak, hehehe dari Salomo, orang yang baru kulamunkan
bersama lamaunan lain mengirimi aku pesan sangat mesara, sama seperti saat aku
masih memadu kasih padanya. Isinya singkat. “Win,
kau sedang dimana, aku di Pantai Barat sedang melepas senja, aku kangeun”.
Aku sangat faham artinya. Dia sedang menikmati suasana pantai, suasana yangs erring
kami cari dikala melepas senja. Solomo memang jaug terpaut umurnya denganku,
dia sudah hampir 55 saaat aku baru melepas usia 25 ku. Namun aku nyaman sekali
bersamanya.
Dia melepasku hanya karena
keegoisanku, karena jiwa mudaku yang tidak memahami kesibukannya yang sudah
menapak karier dengan matang, aku sering ganggu dia saar rapat, aku sering goda
dia saaat melukis, sebuah kegiatan yang paling dia gemari sejak di bangku
sekolah menengah. Kata Salo – maksudku mas Salomo- kepala sekolahnya seorang
genius dalam ilmu pasti tapi mempunyai jiwa seni yang baik, seorang pelukis
naturalis yang handal. Mereka sering menyebutnya Pak DeeS. Dia berpakaian
sangat rapi, kacamatanya sangat bening, belum menikah sampai umur 55 tahun.
Hehehe kok cocok dengan dia ya, jangan jangan like teacher like student.
“Aku ada di rumah papa, aku jua sedang menikmati senja mas, aku juga
kangeun” kujawab WA nya. Terus aku
melanjutkan menikmati sore itu, melanjutkan lamanunan kecilku. Musik yang di
stel papa karena sudah selesai sembahyang, masih kudengar lamat-lamat, berirama
continental, dengan stair yang masih kuingat, karena sangat sering kudengar di
kala pulang ke rumah papa. Kata papa itu lagu pop mandarin, dalam satu-satunya
album sebuah band terkenal tahun 70 an.
Kenanganku di Kota Hongkong,
Penuh dengan kasih nan mesra,
Penari riang gembira,
Menambah suasana malam,
Rasa hati ingin kembali,
Semalam di kota Hongkong.
Ia lagu itu membuat lebih jauh
lamunanku, kembali jauh ketika tiga malam aku bersfari melintasi Macau,
Guangzau, Zuhai dan Hongkong. Hanya dalam tiga malam. Ketika setiap malam aku
berpindah kota dan pindah hotel, bagai serombingan kaisar yang dijamu oleh tuan
rumah, sersama Salomo mengikuti ceramah anta budaya yang dia lakukan atas
undangan rekan kerjanya di Universitas setempat.
Aku heran kok bisa ya, karena
kutahu Solomo seorang yang menekuni Ilmu Kebumian, Geo Sains tamatan Universitas
Boston, hanya saja yang ku tahu PhD nya dia ambil dalam Sosial Affair. Akh
semuanya itu tak perlu bagiku, hanya dalam hatiku berkecamuk kerinduan
kepadanya, aku sangat kangen –kangeun-
padanya, tapi ku tak tahu dimana dia.
Teganya dia tidak menjemputku
malam itu, apakah dia tak tahu apa yang sedang berkecamuk di dadaku, apakah dia
juga mengalami hal yang sama. Pikiranku menjadi kacau, sampai-sampai aku tidak
sadar sudah mondar mandir di tepi kolam, didepan teras tempat aku menikmati
hari sejak sore.
“Ayo Winda, siap-siap, apakah kau
jadi ikut kami ke pembukaan pameran itu” suara mama lembut kudengar. Papa
kulihat telah mengenakan pakaian sedikit formal, dengan celana kodorenya,
dengan sebuah kemeja tenunan NTT yang sudah agak bujel warnanya. Mama hanya
mengenakan rok bawahan senada warna dengan papa, dengan atasan kebaya.
Oke kataku, aku ikut, daripada
aku galau dirumah sendiri. Ku tarik sebuah sweeter warba ping muda, kupadankan
dengan celana panjang yang kupakai, dengan tanktop yang membalut ketat badanku
yang sedikit montok. Suatu anugrah yang aku syukuri. Kata orang aku memiliki
dada yang jenjang dengan bokong yang tidak terlalu besar. Aku tinggi seperti
papa dengan pinggang jenjang, seperti kebanyakan keluarga papa. Hanya aku lebih
beruntung dapat warisan wajah dan kulit putih dari mama,
Kami pergi bertiga, kali ini aku
menjadi ajudan mama dan papa. Aku duduk di depan disamping Yande yang
mengemdikan mobil, mama dan papa duduk di kursi tengah. Mereka kulirik dari
kaca spion, sungguh mesra aku menjadi iri kepada mereka. Mesra sekali, walau
usia pernikahan lebih dari tigapuluh tahun. Terima kasih Tuhan kau limpahkan
kebahagiaan ini kepada kami, doa kupanjatkan melihat betapa bahagia dan
mesranya mama bersandar di dada jenjang papaku.
Sebagai Ketua asosiasi pelukis professional,
kami mendapat kehormatan mengisi meja yang didepan bertiga bersama papa dan
mama. Papa memberi sambutan sebagai ketua asosiasi, aku tak menyimaknya, namun
aku asyik dengan gadget ku. Aku meneruskan membaca pesan-pesan yang belum ku
baca di WA.
Rupanya Salo, lagi berada di
kotaku, dia bilang dia sedang berada di Pantai Kuta menikmati sundet,
mebayangkan aku ada di mana mentari itu turun, di Jakarta Hahahahahaha, rupanya
dia kangen berat padaku kalau kuperhatikan WA ku, karena dia juga mengirimkan sebuah
foto yang pernah ku jadikan statusku. Rupanya diam-diam dia menyimpannya,
karena akupun sudah tak punya. Lho fotoya kok sama memakai sweeter yang
kukenakan.
Tepuk gemuruh terdengar diruangan
itu, di sebuah ruangan pamer lukisan di pasar seni yang tidak jauh dari Kudeta,
aku tidak menyadarinya itu kawan pantai Kuta. Aduh betapa kacaunya pikiranku,
apa juga mungki karena kecuekanku, yang jarang mengingat masa lalu. Entahlah,
itulah aku terkadang melankonias, terkadang aku bisa garang seperti harimau…. Namun
hatiku tetap lembut, Narsis dikit.
Pemberi sambutan kulirik, lho kok
rasanya aku kenal orang ini siapa ya. Kuseimak apa yang dia katakana dalam
samutannya. Dia katakana bahwa pameran yang dia adakan kali ini, dia
dedikasikan kepada seorang yang pernah dan masih mengisi relung hatinya.
Seorang waanita berfikiran odern tapi tetap teguh memegang tradisi, sangat suka
pada budaya walau dia mempunyai pendidikan modern.
Pikirku sanga berbahagia wanita
itu, sampai-sampai dedikasi mantannya masih khusus dipersembahkan kepadanya.
Kuperhatikan lho lho kok suaranya kayaknya kukenal sekali. Samar samar kudengar
kembali dalam akhir sambutannya, bahwa lukisan-lukisan ini kami dedikasikan
kepada seorang wanita, yang saat ini sudah menjauh dariku, namun aku yakin dia
masih menyompan kenangan kami di hatinya, yang setiap saat siap untuk di
bongkar kembai.
Mudah-mudahan dia berkenan hadir disini, karena beberapa hari lalu aku
sempat mengiriminya surat undangan. Dia seorang wanita yang formal, tidak mau
menerima undangan melalui media social, jadi kukirimkan kartu undangan
untuknya.
Wanita yang kumaksud adalah Winda, dia seorang Arsitek yang sekarang
terjun dalam kegiatan curator dan mengelola sebuah geleri seni di Ibu kota.
Mudah-mudahan ia hadir di acara ini, dan aku ingin mengkudeta kembali hatinya.
Kami undang secara khusus dia Winda, kalau kau hadir di acara ini aku
persilahkan ke atas panggung dan memukul gong memulai acara ini.
Aku tergagap, apakah dia Salo,
apakah Winda itu aku, jangan-jangan Winda lain. Papa dan mama ku menoleh aku. Apa kamu Winda yang dimaksud. Ayo maju ke
atas panggung. Dengan kaki berat dan hati berbunga bunga aku melangkah k
eats panggung dengan pakian yang sangat sederhana, sebuah High Hell, Celana
jean, tank top dan klaser pink mudaku.
Dia mejulurkan kedua tangannya
dan berkata, filingku benar orang yang ku maksud benar ada disini. Kusamgut
uluran tangannya, kupeluk erat-erat dia, kurasakan kembali degup dan irama
jantung yang telah beberapa lama pernah kurasakan. Aku tak peduli dengan
hadirin dan mama papa ku, aku terhanyut dengan rasa haru, dia sangat
menghargaiku.
Oke-oke kukatakan, terima kasih
Mas Salo, maksudku Salomo yang telah mendedikasikan pameran ini untukku.
Bersama ini pula aku menungundang para seniman yang hadir disini untuk
memamerkan lukisannya atau hasil karya seni lainnya di Galeriku. Kesempatan
langka ini juga kugunakan untuk promosi. Aku merasa sangat tersanjung dan
mendapat kehormatan, karena telah dipanggil ke atas panggung ini, aku tak mampu
menolak untuk melakukannya karena yang memintanya adalah orang yang sangat
istimewa, seorang seniman besar.
Untuk kemajuan budaya kita dan
kemajuan seni ku nyatakan pameran ini dimulai. Gong---- Gong----Gong----
Gong---- Gong. Kupukul gong yang sudah tersedia, sebanyak lima kali, angka yang
hanya aku yang tahu. Kamipun diantar Mas Salo ke kedua orang tuaku, serta papa
dan mamapun mengundang Mas Salo untuk datang ke rumah, untuk sebuah pertemuan
yang masih belum ku tahu. Kankah Cinta Lama Bersemi Kembali. Biarlah sang waktu
yang akan membuktikannya.
Malam
yang sangat membahagiakan.
Puri Gading, Jumat Kelurut, Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar