“ WINDA DI RAWAT, TAK KUAT
MENAHAN GEJOLAK CINTA DI HATINYA”
RS Sanglah Denpasar (google.com) |
Tak terasa sudah lima hari aku
terkurung di kamar rumah sakit ini. Aku merasakan badanku sudah kembali baik,
tetatpi dokter belum memperbolehkan aku untuk pulang, katanya untuk obesrvasi
lebih lanjut. Kebetulan Randa temanku juga melarangku jangan pulang dulu
sebelum dia datang. Mungkin juga dia meninggalkan pesan kepada sejawatnya yang
merawatku disini. Sudah beberapa majalah habis kubaca, Dokter Amir pun kala
kutanya tentang sakitku beliau hanya tertawa saja. “Sudah Non Winda
istirahatlah dulu” itu jawaban beliau.
Memang sakitku aneh, katanya sih
hanya infeksi virus yang menyerang lambungku, menyebabkan badanku menggigil
deman yang sangat tinggi. Aku takut bila aku kejang. Kata mama memang aku waktu
anak-anak sampai aku remaja bila panas aku sering pingsan. Mungkin daya tahanku
sudah lumayan tahan. Sejak akil balik aku sudah tidak pingsan lagi bila demam.
Tapi kali ini aku takut bila aku mengalaminya kembali.
Mungkin karena persoalan yang
berkecamuk dihatiku, yang menyebabkan asam lambungku meningkat, selera makanku
menurun sehingga tidak ingat makan. Maunya makan Pizza saja, padahal sangat
banyak ladanya, yang sebenarnya menjadi musuh lambungku. Sejak aku membuat
keputusan untuk tidak menikah dan banting haluan untuk mengabdi kepada masalah
kerokhanian dan kemanusiaan, dalam hatiku berkecamuk, kecamuk yang tak mampu
kubendung. Inilah gelora cinta yang tak mampu kubendung. Ya Tuhan aku hanya
manusia biasa, punya batas kemampuan. Apakah ini karma ku, yang biasanya dengan
mudah melupakan kekasihku bila ku putus atau di putus.
Mama sangat menentang keputusanku
untuk tidak menikah. Mama ingin aku tetap menikah, karena menurutnya. Sebagai
wanita kita harus mempunyai tugas untuk melehirkan generasi penerus. Kuingat
yang mama katakana saat itu. Winda Ingat Ingat, kita dilahirkan, untuk hidup
berpasangan, untuk berkembang biak dan mencapai kebahagiaan. Itulah salah satu sloka dalam weda yang
selalu mama ingatkan kepadaku. Mama memang seorang akademisi, suka membaca
termasuk buku-buku weda dilahapnya. Dalam beberapa tahun terakhir beliau terjun
kedunia itu dengan spirit untuk ‘ngayah’.
Beda dengan papaku, walau aku
lama tidak bersama dengannya. Papalah tempatku bersandar, idolaku seperti
beliau, orangnya cuek, tapi romantic; pendiam tapi banyak petuah kalau diminta;
jarang marah sebagai tempatku mengadu; beliau lebih banyak mendengar dari pada
menasehati. Lain dah dengan mama. Papa menyerahkan keputusan kepada ku, “kau
menikah ya silahkan papa akan ikut bahagia, kamu memutuskan tetap sendiri papa
tak melarang, kau akan tetap menjadi anak papa, anak-anak kesayangan papa”
katanya.
Hanya Kang Cecep sopirku, yang
setia menemaniku hampir lina tahun terakhir, sebelumnya sejak bujangan Kang
Cecep adalah driver mama. Jadi aku sangat faham dengannya. Kang Cecep,
mengingatkan aku. “ Non, jangan terlalu cepat memutuskan sesuatu, pikirkan
baik-baik, lebih baik non kansel saja dulu keputusan untuk tidak menikah itu”.
Menurut Kang Cecep Solomo lelaki yang cocok untukku, karena dia merupakan
perpaduan sifat papa dan mamaku. Orangnya memeng super cuek, sangat
menyayangiku lebih dari menyayangi dirinya. Akan memberikan nasehat bila
kuminta. Aku tak pernah dimarahinya. Malah aku sering menumpahkan kekesalanku
kepadanya. Padahal masalahku bukan sama Salomo.
Aku masih mondar mandir di teras
Paviliun Rumah Sakit MMC Bintaro, menyaksikan lalau gunung di selatan yang
gagah menjulang, seakan ngeledek hatiku yang sedang galau, tidak bisa tegar
setegar gunung itu. Ku bayangkan disanalah, disalah satu arah selatan Gunung
Salak berada, tempatku sering berpasrah diri. Mencari kehadiran Nya. Sudah
beberapa kali purnama memang aku absen, karena kegalauanku. Padahal merupakan
saat yang tepat untuk meredam kegalauan hati.
Aku terkaget Suster Nining telah
berdiri disampingku, mengingatkan aku untuk sarapan, karena Dokter akan visit
lebih pagi. “Non Winda, sarapan dulu, sebentar lagi dokter visit, nanti saya
dimarahi kalau Non belum sarapan, dan belum minum obat”. Aku tiduran saat dia
mengukur suhu badanku, sambli memoh maaf meletakkan punggung telapak tangannya
ke dahiku. Tensi bagus, suhu badan stabil 36 katanya. Lalu seperti biasa dia
menyetelkan aku radio. Teredengar diradio lantunan lagu :Bila Cinta Menggoda”
nya Chrisye.
Kami berdua, aku dan suster
Nining ikut bersenandung. …… dan ijinkanlah aku mencintai mu…….. ku tak sanggup
menahan gejolak cinta ini. atau hanya berharap cinta darimu ... Nah begitu
dong Non, Nining yakin non akan segera sembuh bila semangat seperti ini
menjalani hidup ini. Hahahaha Sus Nining, Sus Nining apa aku selama ini tidak
semangat menjalani hidup ini. Suster tak tahu gejolak hatiku. Aku sarapan
ditemani suster Nining dan diakhiri dengan menyiapkan obat yang harus masih
kuminum pagi itu. Iapun pamit dan aku merapikan diri, menunggu visit dokter
pagi itu.
“Selamat Pagi Non Winda, wah pagi
ini lebih indah ya?” dokter Amir
menggodaku. Winda bila aku melihat kamu, aku teringat mantanku, “yang orang
Bali dulu. Jari lentik, mata tajam, pinggangmu jenjang, demikian juga betis
panjang kekuningan, dengan rambut lurus yang panjang. Aku bisa klepek klepek
lagi, bila membayangkannya. Aku tak jadi menikah dengannya karena dia mendapat
kontrak menari di LN selama tiga tahun sambil mengambil pendidikan
pascasarjananya. Dia seorang Psikolog. Ya sudahlah, akhirnya aku menikah dengan
ibu, sambil berbisik karena ibu keburu hamil duluan”. Nah itu namanya jodoh Dok
selaku. Kau beruntung Dokter Randa, kenal dengan Winda, semoga kalian berjodoh,
kata Dokter Amir. Sebagai basa-basi Randa menjawabnya, amin dok.
Silahkan konsultasinya teruskan
saja dengan Dokter Randa katanya, sambil menepuk punggungku Dokter Amir pamit
meneruskan visit pasien lain. Tinggal aku dan Randa di ruangan, Nining juga
pamit untuk mendampingi Dokter Amir melanjutkan visit. “Winda, aku bawakan kau
Piza, kita makan Piza di teras saja sambil ngobrol kata Randa.
Hehehe kau Randa, tahu saja bahwa
aku senang dengan Piza, bahkan tergila gila pizza belakangan ini. Padahal saat
sama sama di Tokyo dulu aku tak suka bahkan anti dengan yang namanya pizza. Aku
geli bila menjilat pastanya. Dia bawakan satu buah Piza Hawaian Chicken
Pavorite, dengan potongan nanas di permukaannnya, ektra cheese dan dengan
cemolan keju dipinggirannya. AKu heran dari mana dia tahu kesukaanku ya.
Randa masih sangat akrab
denganku, dia memanggilku Mbak Win, kami berbeda tiga tahunan, pernah sama sama
dalam satu organisasi senat saat satu Universitas di Jakarta. Kami tak tahu
kalau dia masih ada hubungan kekerabatan dengan papaku. Sekarang dia dinas di
Kutai Kertanegara. Dia ku kabari saat aku masuk rumah sakit, dan kebetulan dia
ada di Jakarta. Katanya ada urusan dinas, menyiapkan peralatan yang akan
didatangkan dari Jepang, jadi dia banyak berhiunungan dengan Kedutaan Jepang.
Sambil menikmati Piza, dia hanya
mengatakan kepadaku, Mbak Win, kau batalkan keputusan itu. menikahlah. Aku taju
kau sangat mencintai Salomo, Jangan biarkan batinmu bergolak, seperti gejolak
cinta dalam lagunya Chrisye yang terlantun di radio tadi. Aku tahu mbak ku ini
biasa dengan eksperimennya, tapi untuk keputusan menikah jangan main-main mbak.
Karena di dalamnya akan bermain rasa yang paling dalam. Dia dapat mengaduk
aduks egala isi hati kita, sama dengan tsunami yang pernah menyapu pantai timur
Jepang. Ingat kan mbak!.
Kamu sok tahu Randa, kaupun belum
menikah kok kamu menasehati mbak. Kataku ke Rangga. Hahahaha tawanya berderai.
Menasehati itu tidak harus duluan mengalami mbak. Kalau menyembuhkan sakit
mbak, apa Randa harus sakit duluan. Kan nggak kan mbak. Kalau Randa boleh
menikahi mbak, akan kurayu mbak dan mengajaknya untuk menikah. Dalam kegalauan
begini. Kayanya mbak mau…. Aklh kamu Randa bisa saja…. Kan kamu kuanggap
sebagai adikku. “Itu kan hanya sebagai adik, mbak”
Randa mengeluarkan smartphonemya,
dia memutar sebuah rekaman. Rupanya semua keluahku dia rekam secara diam-diam,
dia bekerjasama dengan Dokter Amir dan Suster Nining. Pantesan Nining setiap pagi
kekamarku selalu meyetelkan aku radio, rupanya saat itu dia mengambil dan
menaruh yang baru alat perekam kamarku. Tidak bisa dik, aku telah membuat
keputusan. Walau keputusan itu membuatku galau seperti ini.
Persis…. Kata Randa, Mbak Winda
asam lambungnya meningkat sangat deras. Mungkin mbak Winda pernah mengalami
iritasi lambung yang sangat akut, Ia ia aku ingat aku pernah OD saat aku
kecewa, putus pertama dengan pacarku karena perbedaan keyakinan, dia menganggap
aku tak punya keyakinan, dan memaksaku mengikuti keyakinannya. Tentu aku murka
besar. Dia seenaknya memvonis aku tidak mempunyai keyakinan, makanya lebih baik
bubar dari pada mengikutinya. Aku sangat idealis seperti mamaku, apa yang aku
yakini tak boleh orang lain mencelanya, apalagi dia calon pendampingku.
“Nah itulah yang kambuh saat ini,
lambungmu terluka parah, dan secara psikologis mbak lagi mengalami konflik
bathin”. Semakin cepat mbak putuskan semakin cepat mbak stanbil. Bukan sehat,
karena sejatinya mbak sehat, hanya mengalami kecelakaan kecil, luka lambung
yang terus terinfeksi virus. Jangan biarkan hari bergolak lama mbak. Randa
cuman sarankan mbak Winda, segera menikah. Titik.
Windi medekatkan mukanya ke
telingaku. Randa, apa ini nggak pesan sponsor?. Bukan pesan mama?. “Nggak, ini professional,
aku belum sempat ngobrol dengan mama dan papamu, walau kulihat tadi sudah ada
di ruang tamu Dokter Amir”. Kami cuman sempat salaman dan beliaupun tak tahu
kalau aku akan ke ruangan kamu Kak Win.
Randa mengeluarkan sebuah kertas
darid alam tasnya. Kutaktahu maksudnya. Dia menunjukkan ke aku lembar keduanya.
Aku disurunya membaca. Ayo Mbak Win, baca yang keras!
“Apabila didalam keputusan ini
terjadi kekelirian, maka akan diadalan perbaikan sebagaimana mestinya”. Terus
istimewanya apa Ran, tanyaku. Ya itu mbak, itu kutunjukkan pertama agar mbak ku
ini ikut berbahagia, mendengar beriuta bahwa aku dipromosikan menjadi Kepala
Dinas, dan kedua aku ingin mengingatkan mbak, bahwa setiap keputusan kalau itu
salah bisa dan harus dilakukan perbaikans ebagaimana mestinya. Kami pun tertawa
berderai Ha, ha, haaaaaaaa. Kamu benar, mbak akan pikirkan.
Jadi selama tiga hari ini, semua
keluhan mbak di dalam kamar ini kau rekam ya Ran?. “Iya mbak karena aku tahu
kebiasaan mbak, menumpahkan isihati sendiri di kamar, itu sangat ku ingat,
makanya ku rekam ku pelajari. Nining mengirim copinya ke aku, setiap pagi lewat
internet. Itu kesimpulan aku dan Dokter Amir tentang masalahmu mbak. Oke...... mbak
akan fikirkan kembali keputusan itu.
Tepat jam 12 00 seiring dengan
ketukan dipintu kamarku, Randa mohon pamit dan mohon doa restu karena dia akan
menikah sebelum dilantik menjadi Kepala Dinas di Kabupaten Kutai Kertanegara.
Aku ingat calon istrinya hitam manis, gadis sedaerahnya, seorang yang menekuni
filsafat agama. Kelihatannya mereka sebagai pasangan yang cocok.
Pintu kamar kami pun terbuka,
Randa salaman, dan Suster Nining mengantarkan mama, papa dan Solomo datang
menjemputku. Aku saling melepas rindu sama mama, sama papa, dan tentu sama
Solomo. Dia tetap cuek dan kalem seperti biasanya tidak terlalu menunjukkan
ekspresi nya dihadapan mama dan papa. Suster Nining, sedikit berbasa basi
dengan orang tuaku, dan papa memulai pembicaraan.
Kami duduk di kamar itu, Solomo
duduk disebelahku, mama didepanku dan papa berdiri memulai pembicaraan.
Bagaimana Win, apa kita ngobrol disini apa di rumah?. Aku bengong. Lho memeng aku sudah boleh
pulan?. Iya boleh sebenarnya sudah kemaren kamu boleh pulang, tapi semua itu
harus menunggu Randa yang akan menyampaikan kepadamu. Tapi tadi Dokter Amir
meralatnya, papa disuruh menyampaikannya. Rupanya aku tak dapat megontrol diri,
aku berpaling memeluk dan mencium dengan penuh kasij Solomo, maka dan papa ke
teras menikmati Piza yang ada dan aku sedikit melepas rindu kepada Solomo, dan
aku berbisik ketelinganya “Sujatinya aku rindu mas”. “Iya aku juga
sama, tapi ini rumah sakit, aku malu sama papa dan mama”. “Yah biarkan saja mas…..
aku sangat rindu mas Solomo”
Siang itu berlalu, akupun pulang
kembali kerumah, dianter Suster Nining, dan Dokter Amir sampai lobi rumah
sakit, kami berlima pulang kerumah. Aku, Mas Solomo, Mama dan Papa serta Randa,
hehehe Dokter Randa ikut ke rumahku.
Puri Gading, akhir Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar