“SAKSI BISU KULMINASI CINTA WINDA”
Telaga Sarngan |
Angin terasa berlomba dengan
sinar matahari menggoda kulitku. Kubiarkan kulitku bebas, aku hanya memakai
yukensi, dengan selembar selendang melingkar di leherku. Selendang itu
mengingatkan aku dengan Salomo, orang yang kuajak janjian disini di Telaga Sarangan.
Aku duduk di tepian telaga yang dekat jalan menuju air terjun Nglueng, semilir angin
membuaiku tertidur sejenak. Aku bermimpi memutar memoriku apa yang kukunjungi
kemaren.
Sepanjang perjalanan ku kemarin dari Solo, Karanganyar, Tawangmangu
hingga telaga Sarangan. Pasar Tawangmangu terlihat jauh lebih rapi dibandingkan
dengan sepuluh tahun lalu, saat aku kesana dengan mama. Grojogan Sewu pun
kulihat sudah lebih rapi, jalan menuju kesana sudah bagus, hanya saja airnya
tidak sebanyak dulu. Semilir angina menghempas butiran air terjun membasahi
rambutku.
Kenangan lain ketika itupu masih aku ingat, pertemuan aku dengan
seseorang anggota pramuka dari Jogya. Dia dari sekolah De-Brito. Dia sangat
Macho, berambut gondrong, kulit putih hidung mancung. Kulit dan rambutnya
sangat kontras. Sempat menemani aku saaat remaja di tepian Grojogan Sewu. Aku
tak ingat persisnya, apakah pemuda itu
yang mencium ku untuk pertama kali.
Aku menyusuri Gandasuli, sebuah desa dekat dengan Cemoro Sewu, di
puncak lereng Lawu perbatasan Karanganyar dengan Magetan. Batu itu masih tegar
berdiri. Batu yang menjadi tempatku bercengkerema sepuluan tahun silam.
Dimanakah pemuda itu sekarang. Aku tak tahu aku merindukannya. Saat motornya
mogok tak kuat merambat naik kembali dari Sarangan kembali ke Tawangmagu,
kuingat betapa keringat kami bercucuran, aku yang ikut mendorongnya, dia yang
menuntun. Seperti dalam cerita Penganten Remaja saja.
Aku terbangun karena terik
matahari menjilat mukaku yang belum kena apa-apa pagi itu, Kang Cecep tersenyum
disebelah mengawasiku. Dia sopir mama, yang diwariskannya kepadaku. Dia sangat
setia keada keluargaku, demikian juga dengan keluargaku. Dia sangat care terhadap aku. “Selamat pagi non,
enak tidurnya, Bapak lihat tidurnya sangat nikmat, pakai senyum senyum segala
non” sapanya. Iya mang aku sempat bermimpi segala memutar kenanganku beberapa
tahun silam.
Aku meneruskan jalan pagiku,
didampingi Kang Cecep, sambil memperhatikan candaan burung kuntul mengintip
ikan di telaga. Bergegas menuju hotel, kembali untuk mempersiapkan diri janjiku
menikmati Telaga Sarangan dengan Mas Salomo, yah aku sering sebut namanya
Salomo, atau Solomo. Apalah artinya sebuah huruf o apa a sama saja bagiku.
###
Sore itu kuserahkan ke Mas Salomo
untuk memilih tempat, karena aku tahu dia lebih tahu suasana di Telaga
Sarangan, karena ia memang berasal dari Karanganyar. Tepat Jam 13 siang aku
disamperinya. Sangat romantic dia menjemputku dengan sebuah delman. Tapi aku
tak tahu kok dia tahu hotel dimana aku menginap, padahal aku tidak memberitahunya.
Aku diajaknya menikmati siang
sampai sore itu, dosebuah restoran ekslusip, yang dapat melihat kegagahan
Gunung Lawu, romatismenya telaga Sarangan dan hamparan kampong di sela
persawahan yang mempermadanai Lawu di lereng Timur. Sungguh pintar ia
memilihkan aku tempat. Sambil menikmati kuliner ala Jawa Tengah dan Jawa
Timuran, aku membuka pembicaraan siang itu.
Aku jelaskan pertimbangan kenapa
sebelumnya aku memutuskan untuk tidak menikah. Itu semata suatu jalan spiritual
yang kuanggap kala itu akan mampu membawa aku ke suasana yang damai, suasana
hati adem. Ternyata tidak. Kepurusanku itu mendapat tantangan, ditentang
mamaku. Beliau sangat keras menentang keputusan aku. Walau papa lebih
demokratis, beliau menyerahkan semua keputusan kepadaku. Karena papa menganggap
aku sudah cukup dewas untuk mengambil keputusan. Tanteku yang memang juga tidak
menikah seumur hidupnya, cukup menentang keputusanku.
Kang Cecap, kelihatannya memihak
mama tapi lebih moderat caranya menyampaikannya, Dia menyuruh aku untuk
mengcancel dulu keputusan tidak menikah itu. Belum lagi Randa yang suka
mengganggu dengan chatting wa nya, padahal dia akan segera menikah dengan
dengan seorang wanita yang menurutku sangat pas mendampinginya yang sangat
homoris. Dalam salah sat WA nya dia mengatakan, dia akan cansel lamaran ke
calonnya, bila aku mengoyakan tembakannya. Hahahaha kaya sk yang perlu ada
perbaikan. Aku tak mau merusak hubungan mereka berdua. Apa Randa mengalami
Odiphus Compleks. Hahahaha.
Dokter Amir pun sering menggoda
aku setiap aku control kembali, Dokter Amir selalu bilang aku periss mantannya,
bahkan reinkarnasimantannya. Hahaha berarti mantan pacar Dokter Amir perempuan
sempurna, betisnya kekuningan, pinggang
ceking panjang jari lentik berkuku panjang, dada berisi dan kalau rambut memang
mahkotaku tak pernah pendek semenjak aku bisa merawat rambut. Aku tak tahu
apakan dokter Amir serius apa hanya memotivasi aku agar segera menikah, aku
yakin Dokter Amir dan Dokter Randa disponsori mama sesame sejawatnya.
Dik Winda, mas Salomo memulai pembicaraan, seperi kau tahu mas tidak
pandai merangkai kata, apalagi yang serius seperti saat ini. Yang jekas Mas
Solomo, oleh keluarga diminta untuk menjadi Pendeta yang menjadi penanggung
jawab di Candi Sukuh, sebagai penerus kewajiban keluarga. Punya waktu hanya 5
tahun untuk proses keturunan, menurut keluargaku setelah itu biasanya sudah
tidak punay keturunan lagi. Aku hanya ingin menikahi kamu dik. Bila kau tidak
menerima, dan tetap seperti keputusan semua. Mas akan memilih tidak menikah
pula.
Aku memberhentikan makanku
menikmati tengkleng kambing yang sangat amknyus. Bener ne mas, sahutku. Aku tak
menjawabnya tapi aku melompat dari tempat dudukku ke lompat kepangkuannya, aku
tak perduli pengunjung lain …. Hehehehe memang aku cuman berdua, aku tak sadar
aku terlena dalam kegembiraanku aku menciuminya dengan ganas, aku tak tahu aku
seperyi kesetanan. Aku baru tahu bahwa Mas Solomo, seiman dengan ku, suatu
jalan Tuhan mempertemukan kami.
Saat itu saat sandikala, persis
pertemuan antara siang dan malam (magrib) dimana muka orangakan terlihat kabur
bila berada di luar. Burung-burung malam mulai beterbangan di atas telaga
Sarangan, lampu villa sudah pada menyala, kelelawarpun sudah mulai aktip
menyambar nyambar buah sawo yang tumbuh di depan restoran tempatku menikmati
sore itu bersama mas Salomo. Derit kereta luncur anak-anak Sarangan sudah mulai
sepi. Aku menemukan kembali kehidupanku,
Kang Ceceppun yang setia
mengikuti aku, di ruang sebelah dalang bertepuk tangan, juga tak aku pedulikan.
Aku lupa dengan rayuan gombal Randa, maupun pujian Dokter Amir tentang aku yang
dia bilang aku sebagai reinkarnasinya pacar beliau.
Tak kusadari lebih dari lima jam.
romatisme Telaga Sarangan telah
kunikmati bersama Mas Solomo, dari aku ceritakan mimpi pagiku di tepian
Sarangan dan Kenangnku dengan seorang pemuda Macho beberpa tahun silam itu.
Hehehe ternyata pemuda Macho tersebut adalah Solomo. Walau dia dari SMA IPA, de
Brito Jogya, rupanya dia tertarik masalah seni, dia melanjutkan pendidikannya
ke Fakulta Teknik Udayana, Jurusan Seni dan Design Grafis yang belakangan demerger
dengen ISI Denpasar.
Disana ia bertumbuh, mengenal
seni adat dan budaya Bali yang rupanya tidak jauh berbeda dengan adat istiadat
di keluarganya di Karanganyar. Dia berkembang dibawa nasibnya menjadi seorang
pelukis yang cukup disegani, karena gaya hidup seniman menyebabkan pembawaannya
tua. Biar tua nggap apa kalau memang jodoh kemanapun aku tak dapat bersembunyi.
Kulihat Mas Salomo, memencet mencet
Smarphone nya. Ku bentak Mas Salomo. Saat begini masih chatting mas, apa tak
menikmati puncak kebahagiaan ini mas. Oke
dik Winda, justru karena sanat menikmatinya aku ingin membagikan beritai ini
kesemua orang dekatku, terutama mama dan papa yang mungkin sangat menunggu
keputusan kamu dik.
Ia aku lupa aku sering mengatakan
mas, bahwa berita baik harus segera kita sampaikan kepada orang orang terdekat.
Sekali lagi kupeluk mesra Mas Solomo, dia tetap cuek merespon sekenanya, secuek
patungnya di bengkel. Dia berjanji besok akan menemani aku seharian menikmati
Telaga Sarangan dan sekitarmya sampai Candi Plaosan, menengok Pak Brintik di
Ngerong seorang teman papa yang biasa menemani papa ‘nangkil’ di Pauncak Lawu,
mencari inspirasi dan membuang kejenuhannya sebagai kolektor dan seniman. Dia
berjanji segera mengumpulkan keluarga besarnya bersama keluarga besarku, untuk
menentukan Hari pernikahan, dengan segera sebelum purnama ke sepuluh tahun ini.
Dengan delman yang sama kami
menuju hotel, dan dibawa kesebuah villa yang sudah disipkan khusus untukku oleh
Mas Solomo. Dia pemuda lapok yang sangat menghormati wanita, bahkan sangat
memanjaku. Kang cecep tetap menemani ku melewatkan kegembiranku. Dia tahu kalau
aku gembira pasti akan tidurnya larut. Dia sangat tahu kebiasaanku.
Puri Gading, 1 Juli 2009
Ninggalin jejak dulu
BalasHapus