“KEBAHAGIAN WINDA TAK TERLUKISKAN DI LERENG LAWU”
Panorama Lawu dari Margoyoso (google.com) |
Tapi keputusanku waktu itu
menunda pernikahan memberikan waktu untuk keluarga besar Margoyoso mengadakan
perundingan, demikian juga saya dapat melakukan perenungan karena tuntutan
bathin ini yang menuntut untuk tidak menikah. Syukur semuanya itu dapat dilalui,
dan kamipun melangsungkan pernikahan secara meriah, walau kami sempat
memutuskan untuk tidak menikah dan mengalami sakit yang cukup serius.
Untung Mas Lomo juga sangat
pengertian, dan kukuh dengan pendapatnya dia harus menikah dulu baru mau
memangku jabatan spiritual di Candi, dan tidak akan menikah kalau tidak menikah
dengan aku. Nah aku seakan di skak match. Kondisi ini, dorongan Mama, dan
sopirku Pak Cecep, Dokter Randa yang memberikan aku support dan mendorong untuk
mengurungkan keputusanku menjadikan aku memutuskan melanggar keputusan
sebelumnya untuk tidak menikah.
Anak kami sudah tiga, si sulung
kembar pasangan laki perempuan : Raka dan Gadis serta si bungsu Winsal,
semuanya hampir lebih banyak tidak bersama kami. Raka ikut kakak ku, karena
beliau belum mau mempunyai momongan mengingat istrinya masih menuntut ilmu saat
Raka masih lucu-lucunya mereka mengajaknya sebagai teman sehari-hari, Raka
seperti anaknya sendiri, bahkan melebihi sampai sekarang istrinya mengandung
anak pertama. Gadis ikut mama dan papa di pasraman, menemani niangnya (niang =
nenek) nya sehari-hari, sebagai pembayaran kaul mama kalau aku bersedia
menikah, dan Winsal anak laki bungsuku yang sangat lengket dengan papanya,
lebih banyak hidup disanggar dengan ayahnya Mas Lomo.
Aku sendiri, dapat dikatakan
hanya bersama mereka kalau sedang berada di rumah kami di Bukit Jimbaran, yang
aku bangun sendiri, dengan arsitek ayahku, serta desain interior dan landscape dibantu
Mas Lomo. Tempat aku bercengkerema dengan anak-anak sesekali bila aku sedang
ada di Bali. Mereka sangat senang bobo besama aku maminya, padahal aku
mempunyai kebiasaan tidur telanjang. Tapi mereka menagnggapknya biasa. Namun
aku harus membatasi nya hanya sampai mereka tujuh tahunan.
Pagi ini sudah menjelang siang,
mata kari sudah lenih dari 50 derajat di atas horizon, aku masih memanjakan
diriku, masih berendam pada kolam air deras, yang dibuat sedemikian rupa di
belakang rumahku, dengan mendesign aliran air kali di tengah perkebunan tek
keluarga di Margoyoso, sehingga menjadi kamar mandi pribadi di alam terbuka, di
sana terdapat sebuah pancuran, sebuah kolam (bathtub) air deras, dan kolam air
kumkum yang dapat di isi dan dikuras dengan cepat. Batu-batu besar di susun
sedemikian rupa sehingga saat mandi aku merasakan mandi di alam terbuka, dapat
duduk di atas batu berjemur, dapat rendaman sambil tiduran, sambil menikmati
sinar mentari.
Mas Lomo, seakan tahu
kesenanganku, suka mandi (maaf) telanjang di alam terbuka. Dia membuatkan aku
tempat madi yang sangat privat, dengan dobel pagar yaitu pagar tembok yang
tinggi di lapisi luar dalam dengan pepohonan dinding yang asri. Kalau bukan
keluarga tidak akan tahu bahwa itu adalah tempat mandi alami kami.
Aku sangat menikmati suasana
seperti ini, hampir sudah tiga tahunan setelah komplek bangunan perumahan
keluarga di pugar di Margoyoso sebelum kami intensif memulai kegiatan memimpin
ritual, kami secara rutin menikmati suasana ini, minimal dua kali setahun bisa
lebih. Seperti kali ini habis purnama kasa ( Kesatu ) yang setiap tahun jatuh
pada bulan Juli, kami baru melakukan ritual dan semedi bersama penduduk kampong.
Hampir pk 02 00 kami baru selesai, saat rembulan sudah berani menampakkan diri
dengan telanjang, dengan bulatnya menyinari bumi ini. Aku terbangun hampir pk
09 00 langsung mandi sendiri, Mas Lomo bersama beberapa pemangku desa naik,
melanjutkan persembahyangan di Puncak Lawu sebagai bagian ritual malam itu.
Intinya memohon keselamatan, kemakmuran desa, sambil mengucap syukur atas hasil
yang melimpah diperoleh desa tahun ini.
Pikiranku melayang, mengenang
saat-saat indah bersama Mas Lomo, dia memang telat menikah. Padahal aku juga
karena aku menikah sudah umur tigapuluh tahun lebih, dan selisih umur kami dua
belas tahun. Mas Lomo, bukan tipeku sebenarnya akan tetapi dialah yang akhirnya
enaklukkan hatiku. Dia pasif seperti mesin disel, tetapi kalau sudah panas,
sangat menggebu dan sangat romatis. Mungkin dunia seni dan masa keilnya
membentuk dia begitu. Walau begitu aku sangat menikmatinya sebagai istrinya,
dia sangat memanjaku, orangnya sangat rajin mengumpulkan ‘arta’ sehingga aku
yang harun memplaning ‘kama’ nya. Untuk dia tetap mempunyai semangat, mempunyai
ambisi, dan mempunyai libido. Itu salah satu petuah mama, yang sudah ikut
mambantu kami memantau sifat Mas Lomo. Maklum mamaku memang konsultan,
disamping dokter spsesialis.
Mas Lomo menjadi bagian hidupku.
Hidupku tak merasa lengkap tanpanya. Kami saling melengkapi, mensinergikan
power masing-masing untuk mengeliminasi kekurangan kami. Kami sama sama sudah
mapan sebelum menikah, sama sama dewasa. Walau terus terang kusadari, bahwa aku
petualang cinta sebelum menikah. Aku bisa membawa diri, membatasi diriku
sehingga tidak menjadi MBA (Married By Accident). Hahahaha…..
Siang itu aku bisa berlama lama
di temoat mandi, Mas Lomo biasanya akan turun menjelang sore dari puncak Lawu
seperti biasanya. Dalam lamunanku,
kudengar “Mbak monggo makan dulu sudah siang”.
Mbak Reni kerabat Mas Lomo menghantarkan makan siangku ke dalam tempat
mandi. Memang jtempat mandinya hamir selapangan volley. Aku mengambil handuk
melilitkan di tubuhku, sambil bilang terima kasih mbak Reni.
Reni dan Cecep, dua orang yang
sangat setia terhadap keluarga kecilku. Reni masih kerabat Mas Lomo yang ikut
Mas Lomo sejak masih SMP ikut sekolah di Denpasar, sampai saat ini dia kuliah
di Institut Seni Indonesia Denpasar. Dia sangat setia dan menghormati kami,
sampai-sampai setiap menentukan pilihan akan memperhatikan pendapat kami. Mbak
Reni meninggalkan kami sendirian lagi di ruang mandi.
Aku sangat bahagia, sambil santap
sederhana ala Jawa, nasi liwet, ayam kampong, temped an tahu bacem, sayur lodeh
dengan es dawet nangka dan rujak manis (Lotis Kemuning), aku memperhatikan
lompatan kesana kemari di dahan sekeliling ruang mandiku, burung cerukcuk yangs
edang bercinta dengan pasangannya. Kupu-kupu beterbangan menikmati kemilau
kembang yang bermekaran, maklum Juli merupajan banyak bunga bermekaran.
Lamat-lamat ku dengar Reni memutar langgam Jawa di ruang keluarga, dia memang
sedikit sibuk karena minggu depan akan Ujian Akhir Semester.
Aku teringat tempat ini sering
menjadi saksi bisu kami memadu kasih dengan Mas Lomo. Dia sangat senang
menikmatinya sambil rendaman di kolam kumkum, kalau aku lebih menikmatinya
sambil menikmati kuciran air pancuran, terasa lebih liar dan sensasinya berbeda
saja. Terima kasih Mas Lomo, kamu telah menjadikan aku sebagai ratu, membuatkan
tempat ini sangat kena di hati, yang seblumnya tidak pernah aku bayangkan.
Sepeti biasa Mas Lomo jarang mendiskusikan suati design kepadaku, hanya dia
menjadikan masukan kesukaanku sehari-hari, Demikian juga aku, akan tidak banyak
protes, dan lebih banyak memuji –memang hasil karyanya patut dipuji- hasil
karyanya, apa lagi dibuatkan khusus untukku.
Jadi aku merasa beruntung
mengurungkan niatku mengurungkan keputusanku untuk tetap melajang. Aku ingat
sekali sloka yang sering disebutkan mama :”Kau diciptakan (Nya), terlahir untuk
hidup berpasangan dan berkembang biak, guna mencapai kebahagiaan”. Aku merasa
tanpa menikahpun aku sudah meras bahagia. Namun penglihatan orang tua, yang
tidak akan mau menyakirti hati putra putrinya akan lebih lengkap. Mama mungkin
melihat aku akan lebih berbahagia bila menikah, dan tentu walau diam beliau
sebenarnya tidak suka melihat aku yang gonta-ganti pasangan. Baik suku, ras,
profesi, agama maupun umur, silih berganti menjadi pasanganku. Bahkan dapat
dikatakan banyak yang sudah begitu dekat denganku, termasuk Mas Lomo pernah
singgah di hatiku, hanya saja dia tidak segresif yang lain. Dia tekun dan sabar
menunggu hatiku luluh, dan jatuh kepelukannya.
Mungkin karena parasku yang
cantik (hehehe narsis), manja suka menggoda menjadikan banyak lelaki dekat
denganku, dan memupuk subur petualangan cintaku. Kini aku sampai pada sebuah
perlabuhan, sebuah terminal cinta, yang namanya mahligai rumah tangga dengan
Mas Lomo. Hidupku tidak dapat dipisahkan dengan bisnis, seni dan sosialku serta
kegiatan spiritualku, menyebabkan aku sangat mobile hidup, antara Jakarta,
Denpasar dan Karanganyar Solo.
Aku sangat berbahagia, demikian
seluruh keluarga kecilku ku harap dapat berbahagia melihat kehidupan kami.
Hidup cukup dengan tiga anak, anak-anakku menjadi rebutan untuk diasuh mama,
kakak dan hanya satu yang bersama bapaknya di sanggar di Denpasar. Winsal walau
masih empat tahunan, sudah ikut corat-coret ayahnya ikut mulai belajar melukis.
Yang tua Raka lengket dengan kakak iparku yang baru mulai hamil, Gadis lengket
dengan Niangnya, sehingga membuat aku iri terhadap mereka. Tapi bila aku ada di
Denpasar minimal satu-dua hari mereka akan datang berkumpul dengan kami. Meraka
faham walau kami tak memintanya. Seorang anak tetap harus mendapatkan kasih
sayang dari mamanya, walau kasih sayang yang melimpah telah didapat dari Niang,
dari Om dan Tante yang sudah dia anggap sebagai orang tua kandung, maupun hanya
dari papanya saja.
Rupanya kami sempat tertidur di
atas bebatuan rindang di bawah bayang-bayang pepohonan pelindung ruang mandi,
membuaiku mimpi jauh sekali, menghilangkan penatku dan menambah kebahagiaanku
siang itu. AKu bergegas mengenakan piyama kembali ke kamar, sedikit merawat
diriku karena Mas Lomo dan rombongan sebentar lagi akan sampai, pulang daru uncak
Lawu.
===
Lamunan di Puri Gading, akhir Juli 2016
===
Lamunan di Puri Gading, akhir Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar