“BELAJAR KESEDERHANAAN DARI MASYARAKAT KAMPUNG”
Lebaran ini, libur lumayan
panjang. Teringat waktu masih di desa dengan segala keserhanaan. Kesederhanaan
hidup, kesederhanaan pandang, kesederhanaan berfikir dan lain sebagainga,
termasuk menyebutkan hari raya. Hari raya inti Hindu sudah pada di kenal
masyarakat, dengan Galungan yang paling ramai, karena ada acara potong memotong
hewan, sehingga bagi anak-anak dan penduduk kampong lainnya merupakan acara
yang dinanti nanti disamping sembahyang bersama juga ada makan ‘besar’ karena
pasti ada daging. Sehingga hari raya dimudahkan menyebutkan sebagai Galungan
saja. Dalam rejeki yang tertunda juga sering disebut Kalau nggak Galungan ya
Kuningan, untuk menggambarkan bahwa kalau rezeki nggak akan kemana, hanya
waktunya saja yang tertunda.
Hal memudahkan ini kemudaian
berlangsung juga untuk menyebutkan hari raya untuk teman-teman umat agama lain,
seperti untuk Idul Fitri disebut dengan Galungan Jawa, itu mengacu pada
pendatang yang sering disebut ‘nak’ Jawa, yang kalau dulu umumnya tinggal di
Kampung Jawa, sehingga saat kami kecil bila mencari teman yang merentau ke kota
kami dari luar daerah, sangat mudah ditemukan di Kampung Jawa ini. Untuk Imleks
disebutkan dengan Galungan Cine, demikian pula dengan Natal disebut dengan
Galungan Kristen.
Cara piker yang sederhana
masyarakat menjadikan semuanya sederhana, sehingga untuk menyebutkan Hari
pertama sesudah hari rata pun diidentikkan dengan yang berlaku di Bali. Untuk
hari pertama sesudah Galungan disebut Umanis Galungan, demikian juga untuk
Lebaran ke 2 disebut Umanis Lebaran, dan
lain sebagainya.
Demikian pula dengan kebiasaan
musim atau cuaca yang menyertai. Seperti kita ketahui untuk Imleks teman-teman
yang merayakan mengharapkan turun hujan. Sehingga untuk daerah kami yang bila
Imlek biasanya dihindari untuk kegiatan outdoor, karena dikhawatirkan hujan.
Saat membakar genteng misalnya yang didahului dengan menjemur genteng, bila
nertepatan dengan Imlek selalu dihindari, karena kawatir akan hujan, mengingat
pengalaman kami Imlek umumnya di barengi dengan hujan.
Dikampung sering kita dengar dari
ucapan orang tua kita kepada anak cucunya, pertanyaan seperti ini. He Wayan,
kok tak sekolah?. “Libur Bu, Idul Fitri” ooooo Galungan Jawa ya, ibu lupa,
begitu kira-kira perbincangannya. Untuk Imlek biasanya ditandai dengan adanya
beberapa orang yang membersihkan beberapa kuburan (Bong) yang ada di sudut
Setra (Tempat Pemakaman Desa Adat), orang-orang yang lewat umumnya nanya. Kapan
Galungan Cine nya, “Hari ini Galungan Cine”. Kalau sudah begitu banyak
anak-anak ikit membantu membersihkannya. Karena biasanya mereka dibagi kue atau
hadiah kalau pemiliknya datang sembahyang. Biasanya mereka datang menjelang
siang.
Dari semuanya itu terlihat
kesederhanaan berfikir masyarakat, mereka mengidentikkan kegiatan lain dengan
kegiatan mereka sendiri, Galungan Jawa digunakan untuk Idul Fitri, merujuk pada
teman-teman pendatang saat itu yang umumnya dari Jawa, beragama islam, sehingga
Jawa diidentikan dengan muslim (walau sebenarnya tidak sepenuhnya benar, karena
teman Jawa dan pendatang lainnya tidak semuanya muslim), Galungan Cina Untuk
Imlek, merujuk pada yang mereyakannya umumnya teman peranakan Cina.
Cara berfikir masyarakat sangat
sederhana, namun sangat mudah memahaminya. Cara berfikir mereka sederhana
dengan tidak ada tendensi macam-macam. Semoga pemikiran itu tetap lestari dan
berkembangs esuai zamannya sehingga kerukunan umat di negara kita ini tetap
berjalan dengan baik, tetap saling menjaga, saling menghormati satu sama
lainnya.
Selamat Merayakan Idul Fitri 1437
H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar