Social Icons

Selamat Datang di Blog Itik-Bali

Selamat Jumpa Pembaca yang budiman, selamat datang di blog ini. Blog ini dibuat hanya untuk proses pencurahan hati dan ingin menghibur pembaca sekalian.

Dengan bahasa ringan sehari-hari, saya ingin berbagi cerita pendek yang mudah-mudahan bersambung, sehingga pembaca sekalian diundang untuk melepas lelah dan penat di blog ini.

Semoga pembaca sekalian menikmati dan terhibur setelah membaca. Tentu komentar dan saran anda sangat kami nantikan.

Salam

Sabtu, 24 Oktober 2015

Sobar 18 : Musim Gugur Terakhir di Tokyo



“MUSIM GUGUR TERAKHIR DI TOKYO”

Musim Gugur di Tokyo (google.com)
Seharusnya Reno pulang ke Indonesia empat hari lagu, dan dia langsung bertemu dengan istrinya Luna yang telah menyelesaikan dan ijin belajarnya. Luna kembali ke almamaternya sebagai seorang psikolog pendidikan remaja. Beberapa pendidikan professional dia ikuti selama mendapngi Reno menuntut ilmu Bangunan Tahan Gempabumi di Tokyo University. Reno sibuk sengan seminar Indternasional memperkenalkan hasil risetnyaterkait teknologi gempabumi.

Terakhir dia pergi ke Dallas, Colorado seminar di USGS, dengan pakar-pakar seluruh dunia. Karena perkembangan tornado di belahan selatan Amerika Serikat, penerbangan Reno di tawari reschedule dan reroute karena beberapa hari penerbangan lewat Guam akan dihentikan menghindari Tornado. Iapun memilih balik lewat Tokyo, dia akan memberikan surprise ke istrinya, dan akan pulang bersama ke Indonesia.
***
Senja itu aku seperti biasa bersama teman teman pergi kepantai dengan sepeda motor, menikmati mandi di deburan ombak, berlari bersama menyusuri bibir ombak yang menjilat pantai di keremangan sore itu. Dara anak petani garam kulita masih saja giat bekerja membuat garam, mereka menjadi tontonan para remaja putra yang juga ke laut sore itu.

Tak terasa sore itu kami sudah kelelahan, badan pada lengket kami berendam seperti biasa di kuala, muara pertemuan air sungai dengan air laut sehingga airnya masih bisa membuat air sabun mengeluarkan busa. Aku bercengkerema dengan teman-temanku. Membilas badan dengan air tawar dan mempersiapkan diri untuk pulang. Aku perhatikan jelas tanjung menutupi muara tempat aku membilas, ditimur sebuah tanjung, yang tidak terlalu menjorok, sehingga pantai Tanah Lot dengan Puranya masih samar-samar terlihat dari tempatku.

Di barat pantai semenanjung, yang sering kusebut sebagai Jung, dengan beberapa pohon kelapa yang tinggi, membuat temaran jingga senja itu semakin romantic. Kuperhatikan beberapa pasang remaja masih berasyik masyok dengan pasangannya menyongsong malam, melewati sandya kala. Kami berbegas pulang dengan motornya masing-masing, sehingga kelompokku meninggalkan deru yang kuat di keremangan sore itu meninggalkan pantai.

Kupacu motor perlahan, sama teman-teman larinya kira-kira 20 km/jam. Paling-paling dari pantai ke rumah lima belas menitan. Ku terkejut didepan rumahku, banyak sekali orang bergerombol. Ku taruh motor begitu saja di pinggir jalan, dan menerobos masuk ke pekarangan rumah. Aku lihat dengan jelas seorang telah dimadikan.

Siapakah dia hatiku berdegup lebih kencang. Keterobos kerumunan orang, ternyata tubuh ayahku Sobar terbaring dimandikan tangan-tangan kerabat. Beberapa ibu-ibu melantunkan kidung kematian. Kidung mengatar roh kembali ke Sang Maha Pencipta. Air mataku tak dapat kubendung, aku menangisi jasad itu disampingnya. Para kerabat melarangku ikut memandikan. Kenapa, kenapa, aku kan anaknya? Tanyaku.

Mereka semua memandangku dengan tatapan penuh curiga. Dan isak tangiskupun semakin kuat, hanya saja kutahan jangan sampai menambah gaduh suasana. Kucari mana Ibuku, mana kakakku. Tidak aku lihat satupun kakakku. Bagaimana ini saudaraku. Aku mencari kesana kemari, kutemukan Ibuku sedang kusuk memanjatkan doa di amben bawah lumbung padi kami> Dia ditemani anak-anakku dan keponakanku semua. Mereka tetap saja bergayur, ada yang memegangi tangannya, dan dikecil kulihat duduk di pangkaun neneknya.
Aku tidak berani menganggunya. Kulihat Ibu sangat tabah. Dia kuliah pasrah melepas kepergian ayahku, Sobar. Beberapa bulir air bening menetes dari sudut matanya yang masih kulihat sangat lentik itu. Itu kelebihan Ibuku, kecantikannya lebih menonjol dari bentuk matanya yang indah, yangs sangat sering dipuji ayah kalau lagi memuji ibu.
Apak anak-anakku dan saudara sepupunya tidak tahu kalau kakeknya meninggal, dan sedang dimandikan di bale-bale. Akh kudengar sangat merdu kidung itu, dan mantram pemuput pemandian jenasah sangat pilu, walau genta itu biasa kudengar suarnya. Tapi kenapa kali ini sangat memilukan. Ketika badan itu diangkat dan dibaringkan kembali di Bale Suka Duka, aku tak tahan melihatnya.
Tak sadar aku teriak kuat-kuat Ayahhhhhhhhh, Ayahhhhhhhhh………………………………… sampai-sampai aku tak sadar bahwa suamiku telah duduk disebelahku, emnyodirkan segelas air putih. “Reno, Ayah ………..?”

Aku peluk suamiku, dengan ingatan yang masih kacau. Kuminum air putih itu, Pelan-pelan aku tersadar bahwa aku masih di Tokyo. Iya kami masih di Tokyo. Reno rupanya tidak mau memberitahukan reroute dan reskeduling penerbangannya. Karena perkembangan tornado dan lebih cepat selesai kegiatannya di Universitas Colorado. 

Kami duduk di teras, kami lihat jelas sosok Gunung Fujiyama dari kejauhan, bagai seluet di terangi fajar galang kangin saat itu. Masih ada sisa kopi dan snack yang kupersiapkan dibawa dalam penerbangan pulang ke Indonesia, kunikmati bersama pagi. Itu Reno menceritakan bahwa tidurku sangat pulas, beberapa kali berteriak, dia tidak berani mebangunkan aku. Karena memang mulanya dia ingin memberiku surprise, ternyata dia sampai lewat tengah malam, dan aku lupa mengunci pintu. Rupanya aku kecapean packing barang-barang mau pulang.

Reno bercerita, beberapa kali Bapak menelpon menanyakan penerbangan kepulangan kita. Beliau kaget saat aku yang terima, karena beliau tahu aku rencananya langsung pulang. Tapi kujelaskan kendala-kendala terutama tornado itu beliau faham, bahkan bersyukur tahu sebelumnya. Itulah perakiraan cuaca memang sangat diperlukan dalam sebuah penerbangan.

Kami menikmati pagi dinihari  itu berdua, di teras rumah kami di tepian kota Tokyo meikati kopi susu kesukaanku, seperti saat-saat pacaran dulu. Bahkan aku lupa bahwa kami sudah ada anak tiga.Kelupaan itu mungkin terbawa suasana, karena anak-anak kami sudah dijemput kakek neneknya enam bulan lalu saat menjelang hari raya. 

Tiba-tiba telepon bordering, di kejauhan Luna mendengan suara Sobar…. Halo Luna Kengken Kabare?, Luna tidak bisa berbicara apa-apa, kulihat dia menangis tersedu lagi kuikuti pembicarannya dengan jelas karena ia pasang speaker saat telponan. Dia ceritakan bahwa Luna memimpikan Sobar telah meninggal dan di mandikan dalam mimpinya. Mimpi itu belum dia ceritakan kepada ku. Kujelaskan bahwa terkadang mimpi itu berbalikan dengan keadaan sebanarnya, karena Bapak menceritakan bahwa beliau baik-baik saja. Kebetulan karena terbangun subuh beliau nelpon kami. Sobar seperti biasa lebih banyak menceritakan laporan pandangan mata semua keluarga di sana, dari Bapak dan Ibu Sobar, Ayah dan mama ku, ketiga anakku serta semua keponakanku, disamping beliau hanya menanyakan nomor penerbangan kami. Kebetulan walau reroute kami dapat nomor penerbangan yang sama dengan Luna.

Pagi tiu kami bergegas mandi dengan Luna terus sembahyang memanjatkan doa dan puji syukur, apa yang dialami Luna rupangan hanya dalam mimpi saja, Dia rupanya kecapekan habis packing segala barang yang masih harus dibawa, sisa yang kami kirim pakai container lewat jasa pengiriman. Kami berdua ingin menikmati kota Tokyo berdua dalam dua-tiga hari terakhir ini, sebelum mengucapkan Sayonara.

Puri Gading, Medio Oktober 2015

Rabu, 14 Oktober 2015

De-Karma - 8" Rindik mencairkan suasana Keluarga Sri



“SOLUSI BUDE SEDERHANA, SESEDERHANA LANGGAM RINDIK"


Pemain rindik Bali (google.co.id)



Mentari telah meninggi, anak-anakku seperti biasa telah rapi dimandikan Bu De nya, anak dari Kakaknya Bapak, namanya Romawi. Dia tinggal sendirian di kampong, namun sejak anakku lahir Bapak memintanya ikut denganku di kota. Dia sangat terampil mengurus anak-anak, padahal dia belum memiliki anak. Karena dua tahun pernikahannya saat itu belum dikarunia anak. Suaminya seorang penabuh kendang Karnada mengalami kecelakaan sepulang dari mentas di Hotel, dia atas sepeda motor Vario nya. Kasiha Mbok Rama. 

Romawi, sesekali menari diiringi Bapak dan Suamiku yang lagi belajar menabuh gamelan, dan belajar rindik. Kami sekeluarga menjadi sangat terhibur, bahkan anak-anakku yang baru lancer berjalan ikut-ikutan diajarnya menari. Yah…. Memang lingkungan mempengaruhi pertumbuhan anak-anakku. 

Kedua anak kembarku, telah bergayutan berebutan meminta ‘nenen’ kehausan habis bermain-main berlarian dihalaman rumahku. Sambil aku berkemas mempersiapkan diri untuk menghadiri pertemuan, diskusi tentang virus VAR yang sedang menggila di daerahku saat ini. Penyakir anjing gila, atau rabies memang belakangan sedang endemic di beberapa kabupaten .

Aku sangat menikmati saat saat aku menyusui anakku, kuperhatikan mereka sudah semakin tinggi karena sekarang mereka senang naik kekursi menyusu sambil berdiri, yang satu di kanan menyusup dari ketiakku, dan yang satunya di kiri. Wah sejak kecil mereka sudah terbiasa berkompetisi. Romawi kudengar telah menyajikan santapan snack pagi, di tengah lamat-lamat suara rindik yang mengalun ditabuh suamiku Suchita dan Bapakku. Mereka sudah bisa saling bersahutan, dan Romawi karena dia penari ngerti juga dengan irama rindik. Dia mentor yang baik. Karena pelatih rindik hanya datang dua kali seminggu. Dan itupun kalau suamiku pas ada Bisnis di Bali.

“Sri… Sri…. Sri…… sudah siang, kok belum berangkat”.
“ Iya sebentar ini Sutero dan Sutera masih nenen ini, kasihan dia belum kenyang”.  AKu sudah siap kataku menjawab teriakan Bapak dari balik rindiknya.  Bude Romawi menghampiri kedua anakku mengajak pergi, “Ayo belajar nari yuk, sama Bude” katanya. Kedua anakku ke cium sayang sebelum dibawa Bude nya ke luar.

Suara rindik aku nikmati dari balik kamar riasku, kedua anakku digendong Budenya kri kanan, aduh mereka sangat lengket sekami. Terima kasih Tuhan kau telah menganugrahkan jalan bagi kami, punya saudara yang sangat terampil perhatian dengan anak-anak, terlebih dia sangat sayang kepada anak-anakku. Jadi kemanapun kami pergi dia pasti akan ikut.

Aku kembali bergabung dengan mereka, menikmati alunan rindik di pagi menjelang siang itu. Mentari semakin menjilat halaman Bale Gde ku dimana Bapak dan Suamiku menabuh rindik. “Lho kok balik” kata suamiku. “Iya ada sms tadi, katanya pertemuan di batalkan, karena beberapa peserta berhalangan hadir karena ada kegiatan di kampong mereka” kataku. “Iya hari ini kan  hari persembahyangan, lihat saja Bude kamu dari kemaren telah mempersiapkannya’ sahut Bapak.

Kutatap Sutera yang kulitnya lebih gelap dibandingkan Suteru, dia akan diajak Bapaknya ke Jepang beberapa bulan ini. Kesepakatan sementara keluarga Sutera akan dibesarkan disana agar dia terbiasa dengan kebudayaan ayahnya, sedangkan Suteru akan dibesarkan di kampungku agar dia berekmbang di tengah budaya keluarga kami. Bapak kelihatan sangat berkeberatan. Kamipun menjadi bimbang, karena kedua cucunya itu merupakan cucu dalam pertama dan kedua.

Akupun menjadi bimbang, walau aku masih punya proyek tiga tahun lagi untuk bolak balik Tokyo – Denpasar, demikian pula suamiku yang akan bolak balik Bali-Sinagpura-Vietnam dan Tokya, urusan bisnisnya. Terkadang masalah ini tak jarang timbul kembali menjadi polemic diantara kami, bapak, suamiku dan aku. Romawi belum tahu keputusan ini.

Kelihatannya kesempatan aku kembali duduk menikmati alunan rindik bersama anak-anakku menyaksikan ayah dan kakeknya merindik, digunakan Bude untuk me’banten’ sembahyang menghaturkan sesaji yang terkait dengan hari besar keagamaan hari ini.

Kasihan anak-anak, kasihan Bude, Kasihan Bapak kalau di pisahkan dengan anak-anankku. Suamiku masalah ini lebih banyak diam, dia hanya anak-anaknya tidak melupakan kebudayaan jepang, minimal dia tahu basic dan berbahasa Jepang katanya. Di Jepang rencananya akan di rawat oleh sepupunya yang punya akan hampir sebaya, tapi anaknya perempuan. Dia yang dipercaya sebagai salah satu Komisaris Perusahaan Farmasi disana.
Hubungan kami menjadi terkadang kaku, bila mememikirkan masalah ini. Suamiku lebih banyak diam, tetapi bapak sering megutarakan keberatannya. Demikian pula pagi itu, saat mereka beristirahat merindik menikmati kopi dan lemper ketan dan kue serabi yang dihidangkan Bude. AKu diam saja, karena aku memang karena pekerjaanku tidak bisa full merawat anak-anakku, lebih banyak ku percayakan Bude, namun diapun belum tahu keputusan ini.

Bude sampai selesai sembahyang dan kembali merapikan pakaiannya, ikut bergabung dengan kami. Dia ikut menyimak semua pembicaraan kami. Kami takut dia tersinggung kalau kami beritahu. Tiba-tiba ia nyeletuk:
“Aduh begitu saja kok dipikirkan adik-adikkua sangat berat” sela Bude.
“Maksudnya Bude” kataku
“Iya ini masalah anak-anak yang akan dipisah kan, Bapak pernah mengeluh padaku, beliau tidak mau dipisahkan dengan cucu cucunya, walaupun yang satu tetap bersama”
“Bagaimana kamu Suchita” Kataku
“Iya, aku ikur bagaimana baiknya saja agar tidak ada salah satu keluarga yang merasa dipisahkan. Aku mengerti keberatan Bapak” Kata Suchita.

Sekarang Bude, apa kamu ada usul atau pendapat yang bisa membuat semua pihak senang, aku minta Bude memberikan pendapatnya. “Kalau Bude memberikan pendapat, apa kalian mau terima, Bude kan hanya orang kampong, saja” Sahutnya. “Silahkan Bude” sampaikan saja biar kami bisa dengar bersama.
Bude meminta maaf kepada kami sebagai adik-adiknya ( walau sebenarnya sebagai ponakannya. Tapi karena tidak terpaut banyak umur kami, mai memanggil Mbak, dan membahasakan anak-anakku dengan Bude).
Iya Bude hanya memberikan pendapat yang sangat sederhana mengharapkan tidak ada yang tersinggung dengan pendapat atau usulnya. Bude mengusulkan keduanya tidak usah dipisahkan, biarkan dia tumbuh dalam dua budaya, budaya ayahnya, dan juga budaya ibunya. Dia mengusulkan agar keduanya dibiasakan dengan pekerjaan Ayah ibunya, kalau memang Sri masih punya proyek di Tokyo dan disini, Bude menyarankan anak-anak mengikuti pergerakan ibunya. Dan Bude mau mendampingi terus.

Bapak sangat berkeberatan dengan usulan itu. Namun setelah Bude menjelaskan dia tidak akan membiarkan pamannya hidup sendirian di rumah, Bapak ikut saja, sesuka bapak. Begitu oendaoat Bude. Oke Bapak setuju, sangat setuju  bapak akan menyusul cucuk bapak ke manapun di bawa bila bapak kangen. Kalian bisa bawa. Saat ada di Jepang cucu-cucuku ikut serta, dia bisa belajar budaya di kampung bapaknya. Demikian juga saat Sri ada dan kerja disini dia akan belajar dikampung kakeknya.

Oke oke oke, begitu kata suamiku. Dia sangat setuju dengan pendapat Bude, terima kasih Bude katanya. "Ini win win solution, hanya Bude akan lebih capek" kataku. "Tidak apa-apa Bude kan sudah biasa capek, dan sudah beberapa kali juga ke Jepang dalam lawatan tari terdahulu bersama group tari sekolahnya Kokar Bali. Seluruh keluargaku menjadi cair kembali hubungan semuanya, dan rindikpun mengalun lagi, dan Bude menarikan sebuah tarian joged, Asmaradana, Semarandana. Agar lebih ramai siang itu, dengan sisa-sisa ingatanku aku ikut ngibingi Romawi, sangat sengit tarian siang itu. Rindikpun semakin bersemangat…… keringat kamipun semuanya bercucuran, anak-anak kamipun tertegun melihat Ibunya ikut menari.

Ternyata aku masih ingat menari, dan dapat mengimbangi Bude Romawi walau nafasku kedodoran. Memang menjaga stamina dengan menari, disamping membuat senang, fikiran rileks olah tibuh juga sempurna. Sejak saat itu aku rajin latihan menari kembali untuk menjaga kebugaran dan melatih ingatanku, serta menyerasikan fisik dan mentalku, agar emosi selalu terjaga.

Siang itupun kembali cerah, solusi Bude kami rayakan bersama dengan pergi menikmati bebek goreng krispi, di Restoran langganan suamiku, Bebek Krispi Kunyit Putih, maknyusssss

Puri Gading, 15 Oktober 2015


Minggu, 26 Juli 2015

de Karma 7: Sri Menemukan Kebahagiaan



“KEBAHAGIAAN SRI”


Cinta Sri Bersemi seperti bunga Anggrek
Senja telah mulai merona , burung-burung telah mulai beterbangan menyambar nyamuk-nyamuk di udara bersama kelelawar yang banyak hidup di sekitar studionya Karma. Dia kelihatannya  masih menikmati tidurnya di kursi malas, sedangkan Sri baru kutinggal menyiapkan minuman dan santapan ringan malah ikut tertidur di sofa, dekat Karma suamiku tidur.
Sri baru saja datang, dia agak bête di rumahnya. Namanya juga penganten baru. Suaminya masih tertinggal di Singapura ada sedikit urusan bisnis katanya. Mungkin dia capek karena pesawatnya tertunda beberapa hari disana tak bisa mendarat di Ngurah Rai karena tutupan debu erupsi Gunung Raung. Sri sejatinya sekarang adik iparku. Aku ikut berbahagia melihat dia hamil, mungkin kepulangannya juga untuk acara tujuh bulanan kandungannya, atau untuk persiapan melahirkan disini.
Kuhidangkan sepiring tape Bondowoso panggang keju, dengan kopi capucino. Karena aroma kopi yang aduhai, Karma menjadi terbangun dari tidurnya. Dia terkaget melihat Sri tidur pulas di sebelahnya. Aku sempat selimuti dia dengan sebuah kain pantai biar tidurnya tidak terlalu banyak angin.
Tadi saat Sri datang, dia menanyakan lagu yang Karma stel sambil tiduran. Lagu itu ku tahu dulu di beli Karma saat kami pergi urusan bisnisnya Karma di Jakarta. Tepatnya di sebuah took kaset di dekat Kota Lama, hehehe maksudku Kota Tua. Itu dia beli setelah mendengarkan sebuah lagu yang agak nge beet, dengan hentakan drum yang sangat rancak.
Setelah terbangun dan mencicipi kopi yang ku siapkan Karma, menyetel lagu itu kembali. Liriknya sangat pas kata Sri.
…… Sepuluh tahun membeku, hati beku bagai salju;
yang dulu mati membeku kini hidup bergelora; dan seterusnya
…..Bersemilah bersemilah bersemilah ditubuhku;
Kau penolong jiwa raga, walau kau cinta kedua
Betapa hidupku rugi bila hati beku mati
Nikmat cinta tak kumiliki, aduhai betapa rugi
Sebagai insan biasa, nikmat hidup punya cinta.
Dug..dug..dug dududug ………. Itu kendangnya terus menggema.
“Bli Karma, itu lagu tadi ditanyakan Sri, apa nama lagunya, dan siapa nama penyanyinya”
“Oh itu, itu kaset yang ku beli di dekat Kola Lama, saat bersama kita ke Jakarta beberapa bulan lalu”
Itu lagunya bernama Bersemilah, di daur ulang oleh Band anak muda, penyanyinya Zillo dari d’Matrix. Sambil mematikan kaset itu, Karma meneruskan menikmati Tape Panggang keju yang kusiapkan. Dia sangat menikmati dan memuji ku. Entah itu memang dia sangat senang atau hanya sekedar basa basi. Tapi aku tak memerdulikannya, karena memang aku sangat suka pujiannya.
Aku ambil sebuah piring kecil aku ikut menikmatinya tape panggang itu. Hanya saja aku tak suka kopi aku telah siapkan juga the hijau kegemaranku. Aku menemani suamiku yang memang kelihatannya sangat bahagia hari ini. Projeknya baru selesai, desain yang dia buat untuk sebuah produk kecantikan ternama di terima dengan penuh apresiasi, walau nuansa Asia sangat kental dalam desain kemasan yang dia buat. Aku tahu karena beberapa hari lalu dia meminta penilaian aku untuk rancangannya.
Beberapa prin out desain dengan berbagai pilihan warna masih rapi bertumpuk di meja sebelah suamiku tertidur, di dekat tape rekoreder jinjing yang dia pakai memutar lagu ……bersemilah Zillo. Kuperhatikan suamiku sangat menikmati snak sore yang kusuguhkan, rambutnya yang gondrong menjadi tidak rapi ditiup angina sore itu. Kuperjatikan rambut suamiku mirip Kitaro. Seniman Jepang yang mendunia itu. Cepat sekali hampir tiga potong tape panggang keju dilahapnya, kopi kapucinopun hanya tertinggal sepertiganya.
Diapun menanyakan Sri, “Apakah sudah lama dia datang?, Kok aku biarkan dia tertidur di lua” . Aku bilang dia mungkin sangat kecapekan baru semalam sampai dari Singapura, sore ini dia mampir karena bête di rumah. Ayahnya Sri pergi ngadu ayam menjelang siang sudah berangkat dengan teman-temannya, kata Sri.
“Memang kelihatannya, dia sangat pulas tidurnya”. Kasihan dia kelihatannya capek, walau di raut mukanya kulihat kebahagiaan taka ada tara. Dia beruntung mendapatkan suami, pada saat yang tepat, saat umurnya masih produktif. Dia menjanda saat yang tepat menjelang Posdok nya di Jepang. Dia bertemu orang yang tepat. Itu secara beruntun kuucapkan dengan lirih ketelinga suami kua.
“Diapun seperti kita menjadi pasangan yang tepat, dan mempunyai ipar yang baik seperti kita”
“Hahahahahahahahaha” tawa kami tak tertahan, secara bersamaan sampai membangunkan Sri dari tidurnya. Diapun ikut tertawa. “Aduh kalian memang pasangan yang sangat berbahagia” kata Sri lirih sambil membenahi duduknya.
“Aku tertidur pulas, aku sampai bermimpi indah” kata Sri.
Makanya kami biarkan Sri tidur, dan menikmati tidur dengan pulas. Walau tidur di Sofa. Lagu yang kau putar tadi Karma yang sangat berkesan di hatiku, ujar Sri. Oh itu ku pencet lagi tombol ‘on’ tape itu, dan mengalunlah beet-beet indah gendang mengiringi suara Zillo, itu lagu pernah dipopulerkan Mukhsin Alatas, sekarang di daur ulang, atau di rearrange atau di aransemen ulang biar lebih anak muda, dibawakan oleh Zillo itu, vokalis d’Matrix.
Memang lagu itu lagu kesukaan Karma, dia akan putar berulang, karena telah deprogram dan rekam ulang, sehingga dapat deprogram diputar 30 menit atau beberapa menit yang  disukai. Kamu boleh bawa nanti aku siapkan dalam flashdisk Sri, kau bisa mengulang memutarnya di mobil atau di rumah.
Terima kasih Karma. Maaf aku tertidur di dekatmu tadi, maaf Souchi aku tak sengaja tertidur di sofa dekat suamimu De Karma. “Akh nggak apa-apa, aku tak mungkin cemburu, kau kan sekarang telah menjadi anggota keluarga kami, Ayo nikmati tape panggangnya, minumnya kopi atau the hijau?” kata Souchi.
“Biarkan sesekali aku minum kopi kapucino dan mencicipi tape panggang keju ini Suchi” jawab Sri.
Souchi menydorkan sepiring kecil tape panggang dan secangkir kopi kapucino ke dekat Sri. Silahkan.
Merakapun melewatkan sore itu dengan sangat akrab. Memang Sri dan Karma dua sahabat lama yang sudah sangat saling kenal, hanya saja Karma tidak menanggapi cinta Sri. Dia sangat megang prinsip. Dia tidak mau terlanjur mencintai Sri karena dia lebih tua sedikit, serta kedua orang tua mereka awalnya sahabat, namun belakangan dalam perjalanannya agak renggang. Biasa kalau sahabat yang terlalu akrab, maka renganggnya juga awet. Itu ku ketahui dari Ayahnya Sri.
“Sri, kulihat kamu sangat bahagia, dalam kondisi tertidurpun kamu kelihatan sangat bahagia”
“Ya memang, aku bahagia, persis seperti syair lagu itu yang kualami Karma”
Sri baru menemukan kebahagian, setalah sepuluh tahun lebih berkeluargakan seorang gay, yang lebih mencintai sesame lelaki daripada mencintai istrinya. Hatinya sakit, betapa tidak suaminya didepan mata istrinya terkadang bercumbu dengans sesamanya dengan tdiak malu malu. Drngan penuh keberanian dan merobek dinding tabu, dia ungkapkan kondisinya kepada orang tuanya. Pada awalnya ayah Sri memang tidak percaya, karena menganggap anak gadisnya aman-aman saja dengan suaminya terdahulu. Itu Sri lakukan semata-mata tidak ingin menyakiti hati orang taunya, biarlah hati dia yang sakit.
PAda akhirnya asap tidak bisa selamanya ditutupi pada akhirnya akan ketahuan pula. Saat suaminya mesra dengan teman lelakinya ayah Sri memergokinya. Saat itlah Sri menenangkan ayahnya serta dengan hato-hati menyampaikan kondisi sebenarnya, serta mengemukakan maksud bercerai dengan suaminya.
Walau ayahnya marah besar dengan penuh penyesalan, Sri tetap menenangkannya. Sri tidak mau membuka lebar aib keluarga itu, karena pernikahan Sri merupakan perkdohan yang dilakukan ayahnya, semat-mata karena dia ingin segera mempunyai cucu dalam. Ayahnya merasa menyesal sehingga pelariannya berjudi, adu ayam atau tajen.
Harapan kami –kata Sri- dengan kehamilanku ini, ayah akan mulai mengurangi ke’gila’annya berjudi tajen. Beliau pasti akan senang dengan anak yang aku kandung, cucunya. Hasil USG dia laki-laki. AKu merencanakan melahirkan di sini saja. Kebetulan bulan lalu semua laporan projek posdok ku, sudah selesai. Semuanya tentang penyakit endemic tropis, demam berdarah dan malaria.
Sri minta Karma dan Souchi mendisain acara tujuh bulanan Sri. Dia minta agar mempunyai nuansa internasional. Karena Sri dan Suami merencanakan mengundang teman-temannya kerumah yang belum sempat datang saat resepsi pernikahan terdahulu. Khususnya teman-teman bisnis suaminya yang sudah menyatakan akan hadir kalau diundang, demikian juga teman-temannya di IDI yang belum sempat kenal dengan pasangan ini.
Duh bahagianya. “Kami berdua, mewakili keluarga besar de Karma juga ikut berbahagia Sri” kata De Karma. Adikku akan kupanggil pulang dari Dili, agar membawa jeruk Timtim untuk pesta itu. M<erupakan varietas unggul yang rasanya beda dengan jeruk disini.
Sore telah menjelang senja, dan malam haripun tiba. Karma memutar kembali lagu Zillo d’ Matrik maka bergemalah beet-beet drum gaya anak muda mengirinyi lagu melayu lawas,
….. yang dulu mati membeku kini hidup bergelora…….
………betapa hidupku rugi, bila cinta tak kumiliki…….
………sebagai insan biasa nikmat hidup punya cinta…….
Ku teriakkan sambil mengawali musiknya. Selamat Sore Sri.
Puri Gading, akhir Juli 2015

Minggu, 14 Juni 2015

De Karma 6 Pelabuhan Cinta Sri



“PELABUHAN CINTA SRI”


Bunga Sakura Mekar Bersama Cinta Sri
Aku heran, mulanya aku kira Bapak Mandala seorang Bapak yang demokratis, karena dia memberikan kepercayaan penuh kepada anak-anak gadisnya  menuntut ilmu sampai ke luar Pulau, Sri mengambil spesialis nya di Jogyakarta, dan Wanti kakak Sri mengambil pendidikan S2 dan S3 nya di Luar Negeri. Seperti baru saja diceritakannya kepadaku, beliau sangat menyesal dan merasa bersalah dengan kegagalan rumah tangga Sri. Memang aku tahu Sri dijodohkan dengan seorang Arsitek, namanya Sarmana  yang lama belajar di Luar Negeri, bahkan sempat hidup disana untuk beberpa tahu. Hati Pak Mandala hancur, dan merasa bersalah terhadap Sri setelah pengakuan pribadi Sarmana kepadanya, bahwa dia adalah seorang Homo, dan dia tidak mampu menggauli Sri layaknya lelaki normal, sehingga memupus harapan Mandala untuk mendapatkan cucu dari pasangan Sri Sarmana.

Aku tak menyangka kehidupan keluarga Sri demikian, dan aku merasa bersalah telah mengabaikan cintaku, dan aku mengerti kenama Meida tidak merestui kalau aku mencintai Sri. Aku tahu walau ibuku itu memberikan alasan hanya karena perbedaan umurku dengan Sri terpaut beberapa bulan, tak sampai setahun Sri lebih tua dariku. Karena dia hidup di kota makanya ia umur 5 tahun sudah mulai sekolah SD sedangkan aku yang tinggal dikampung yang tidak melewati sekolah TK harus masuk SD setelah umurku tujuh tahun.

Kata Mandala, ayahku adalah teman dekatnya di SMA, bahkan tidak jarang mereka tertarik dengan wanita yang sama. Mereka berteman sangat baik, sampai mereka berdua sama-sama kerja. Orang tuaku menjadi pegawai negeri dan Pak Mandala sebagai seorang pengusaha perhotelan sukses di kota ini. Meraka rupanya sama-sama tertarik dengan wanita yang sama. Rupanya ayahku lebih beruntung mendapatkan gadis itu. Dan gadirs itu adalah Meida, ibuku. Ibuku tak pernah cerita masalah itu, tapi dia tahu bahwa Mandala menaruh hati juga padanya. 

Dari kekecewaan Mandala, karena ayahku duluan menikah, iapun meminta keluarganya untuk menjodohkannnya dengan seorang kerabat. Makanya Mandala akhirnya dinikahkan dengan ibu Nilawati, yang masih kerabatya seorang dokter. Nilawati tidak berumur panjang dia ikut menjadi korban pesawat PAN-AM yang jatuh di lereng utara pegunungan di Bali, beberapa puluh tahun yang lalu. Sehingga Wanti dan Sri dibesarkan oleh orang tua tunggal.  Wanti menikah dengan seorang peneliti berkewarganegaraan Autralia, dengan beberpa anak, mereka hidup disana sama-sama sebagai peneliti.

Aku sangat kasihan kepada Sri, ternyata didalam keceriaannya terdimpan dula lara yang sangat dalam dihatinya. Kenapa dia tidak pernah cerita ya...., kenapa kehidupan keluarganya terlihat sangat harmonis bahkan menurutku tampak luarnya sangat harmonis. Semilir angin sore itu membuat aku tertidur di sofa teras. Rupanya Neni telah menyiapkan aku minum dan snak sore kesukaanku. Secangkir kopi capucino dan tape goreng. Lho kok ada dua cangkir kopi......... aku menjadi bingung sendiri?.

Hampir kuteriak memangngil Neni, kulihat seorang gadis berambut panjang tertidur pulas di kursi goyang sebelahku. Dia nampak kelelahan. Souchi istriku mendekati aku, sitttt jangan berisik, dia baru sekitar 15 menit tertidur disana, setalah aku tinggalkan memanggil Neni mempersiapkan minum. Rupanya dia capek, habis visite pasien di Rumah Sakit Daerah.

Sri kelihatannya capek sekali, dia mau menjemput orang tuanya, dan aku sampaikan bahwa orang tuanya sedang istirahat di kamarnya Karma, maka dia kutemani ngobrol di sebelah kamu yang tertidur pulas.
Mandala walau jarang dia bertandang ke rumah Karma, terlihat seperti orang tua sendiri. Dia menumpang tidur, karena memang dia mempunyai jadwal ketat untuk tidur siang. Itu arahan Sri agar orang tuanya tidak main ayam saja di siang hari dengan tetua kampung, yang memang mempunyai kebiasaan ngadu ayam jago (tajen) disiang bolong. Sambli meneguk kopi yang dihidangkan Neni, Karma menikmati sekali. Kasihan Sri ma, kata Karma kepada istrinya. Makanya kita harus bantu dia. Sahut Souchi,

Ya justru itu aku mau meminta pendapatmu. Mungkin kalian sama sama wanita mempunyai perasaan yang sama. Sehingga mencari solusinya bisa bersifat feminim, kataku. Yah nanti kita bicarakan setelah mereka pulang. Jangan ayo kita pindah saja ke Bele bengong kataku. Kita bicarakan disana.

Perbincangan dilanjutkan di Bale Bengong antara aku dan istriku. Kuceritakan bahwa saat ini status Sri sebenarnya sudah janda, dia bercerai dengan suaminya dengan kebaikan mereka bersama. Suami Sri tidak normal, dia seorang bisexual yang sangat di benci oleh Sri. Suami yang sebenarnya merupakan pilihan Mandala itu, yang berinisiatif untuk bercerai, walaupun Sri ingin memper tahankan rumah tangganya. Mandala marah besar dia kembalikan secara adat Sarmana kekeluarganya.  Karena status Sarmana sebagai sentana, mengingat anak Mandala keduanya wanita, Wanti dan Sri. Wanti sudah keluar menikah tinggallah Sri yang akan meneruskan keluarga itu.

Menurut Mandala, Sri telah memohon agar orang tuanya merestui pernikahannya dengan pria pilihannya. Pilihannya dan hubungannya itu yang membuat Mandala sedikit marah. Pertama Sri akan menikah dengan pria, ekpatriat sama dengan Wanti. Tapi Sri belum menyatakan bahwa pria itu asli mana. Kedua Sri mengatakan bahwa dia telah terlambat datang bulan, karena sudah terlalu jauh berhubungan dengan pria itu.

Dia memberikan alasan, bahwa pria itu sangat baik, dia sangat dewasa, seorang berpendidikan dan sekarang menjadi seorang pengusaha yang mondar-mandir ke Indonesia. Meraka bertema saat beberapa kali ketemu sama-sama diperjalanan, lalu saling kunjungi di Luar Negeri terus jatuh cinta. Alasan Sri, walaupun ayahnya tidak menyetujui pernikahannya dengan pria itu dia akan terus merawat janinnya sebagai penerus trah Mandala. Itu yang menjadikan Manda kaget, kok sejauh itu pikirannya. Memang kalau wanita itu melahirkan di rumah orangtuanya, maka anaknya akan menjadi akhliwaris Mandala.

“Kalau aku, sangat menyetujui bila Sri menikah kembali, karena dia masih muda, sibuk sangat memerlukan tempat curahan hati, untuk sharing membagi suka dan dukanya”

Ya itu memang mau aku katakan kepada Mandala tadi, tetapi aku belum berani memutuskan karena aku belum tahu siapa pria yang menjadi calon suami Sri, makanya aku meinta waktu untuk mempelajarinya. Aku berjanji akan datang bersama keluarga bersilaturahmi ke rumah Mandala bila aku sudah siapkan penadangan dan pendapatku.

Hahahahahaha Shouchi istri ku tertawa sambil menutup mulutnya, seperti ciri khas ketawanya wanita Jepang. Bli Karma Bli Karma katanya. “Kamu belum tahu rupanya siapa pria tersebut, sehingga kau belum mau memberikan jawaban”

Kata Sri tadi saat ngobrol bersamaku, kata Souchi bahwa  calon suaminya adalah seorang putra Jepang. Wah aku senang karena aku akan mempunyai teman diskusi, sama sama orang Jepang. Dia malah banyak menanyakan hal-hal yang menjadi kebiasaan lelaki Jepang. Aku beritahu sejauh yang aku tau. Dan Sri kelihatannya manggut-manggut saja menyetujui apa yang aku ucapkan.

Wah jangan-jangan..... Kataku kepada Souchi.
Jangan jangan apa? Kata Souchi.
Aku curiga jangan jangan Sri berhubungan dengan Souchita. Kenapa dia mengarahkan Mandala untuk berdiskusi padaku. Kenapa dia curhat tentang prianya kepada Souchi. Wah bisa gawat ini. Masak sih bisa. Kan Souchita adikku itu lebih muda dari Sri, apa Sri mau dengan dia orangnya katrok itu adikku, belum pernah kenal wanita. Kata Souchi.

“Kalau iya bagaimana?” suara dari belakang kami, ternyata suara Sri. Rupanya Sri sudah bangun dan diam-diam ikut memperhatikan percakapan kami berdua. Sripun melanjutkan. Memang laki-laki itu adalah Souchita. Dia yang membantu aku saat sedang mendapatkan kesempatan memberikan pengalaman kami dalam membangkitkan serta menentramkan hati masyarakat pasca gempabumi Fukushima. Kami sharing pengalaman yang dulu kita lakukan di Jogyakarta saat gempa tahun 2006. 

Dari kebersamaan itulah kami saling memperhatian dan saling jatuh cinta. Souchita katanya sudah mendapat restu dari kakaknya untuk segera menikah.  Jadi menurut firasatku, pasti kalian berdua sudah merestuai Souchita untuk menikah. Wanita itu adalah aku, Bli Karma dan Mbok Souchi.

Meraka berdua kelihatannya kompak geleng-geleng kepala sambil garuk-garuk kepala. “Nah kalau itu aku setuju Sri” kata Karma. “Hehehe jangan asal setuju saja, Karma kan sudah menjadi keluargaku juga kenapa kau tak meminta pendapatku Karma” sahut Souchi. Aku tahu kau pasti akan menyetujui. Masalah keturunan, masalah perusahaan, masalah tempat tinggal bisa kita rundingkan hehehe bisa kalian Sri dan Souchita rembugan bersama, tentu dengan Souchi..

Souchi sangat menghargai pendapat suaminya Karma, dia tidak akan memprotes kalau suami sudah memutuskan. Dia sudah melebihi perempuan Bali setianya terhadap suami, terutama dalam pendapat kelaurga, Perut Souchi yang sudah hamil anak ke dua Karma kelihatannya berontak mengikuti perbincangan kami. “Nah ini akakku saka kelihatannya senang kalau om nya segera menikah”. Kata Souchi sambil mengelus perutnya, sembai membaca message yang masuk ke bbm nya.

Rupanya dari adiknya Souchita yang mengabarkan dalam waktu dekat dia akan datang ke Bali, untuk suatu urusan. Sri pamit pergi ke rumah dimana Mandala tidur siang, karena sudah mendekati waktunya bangun. Dia harus ada di sana seperti janjinya tadi pagi sebelum Mandala pergi.

Momen ini harus kita laksanakan dengan baik kata Karma kepada Istrinya. Sebelum Souchita datang, aku harus sudah memberikan pendapat kepada Mandala dan menyampaikannya sedemikian rupa agar dia jangan sampai menganggap ini rekayasa keluarga. Besok sore kita akan pergi ke rumag Sri bersama Meida, Souchita dan Neni. Aku akan memberikan masukanku kepada Mandala, setuju dan tidaknya aku terhadap dia memilih menantu asing lagi, tidak merupakan penjodohan seperti pernikahan Sri sebelumnya.

Mandala benar saja, setelah dihampiri Sri sudah bangun dari tidurnya. Dia sudah minum teh sore dengan tape goreng yang disediakan Neni. Sebelum mereka pulang kukatakan bahwa besok sore, aku akan datang menemui Mandala di rumahnya, dan memberikan masukan yang dia janjikan.

“Jangan lupa ajak Meuda ibumu datang kerumah”  kata Mandala sambil naik ke mobilnya Sri. “Oke astungkara Pak” jawabku sambil melambaikan tangan mengikuti pergerakan mobil Mercy merahnya Sri meninggalkan halaman rumahku. 

Ternyata memang sangat rumit fikiranku, aku harus yakinkan ma. Nanti malam aku harus Skype an dengan Souchita aku tanyakan keseriusannya, jangan sampai dia main-main sama keluarga Sri. Nanti kita menjadi tidak enak dengan keluarganya.

“Bagaimana nggak serius Bli Karma, wong Sri nya sudah hamil. Tak usah banyak rundingan kita harus selamatkan keluarga-keluarga ini”

Ya kita harus segera berbuat, ternyata Sri akan menjadi ipar kita ma.......... Perbincangan kami selesai dengan datangnya Sandikala, Meida rupanya datang dari kampung. Sudah dibenahi bawaannya oleh Neni. Kami menghampir Meida, dan melanjutkan dengan menikmati makan malam bersama, menikmati lawar yang dibawa Meida dari kampung. 

====
Pondok Betung, Bintari, 15 Mei 2015