Kabut Asap
Temanku teriak.......
Bantulah aku, aku sulit bernafas
Asap mengepung kampungku sudah tiga bulan
Matahari malu menerangi kampungku
dia bersembunyi dibalik asap
seakan main petak umpet
Anak-anakku menjerit, katanya
Tak bisa sekolah karena sekolah diliburkan
mereka tak bisa belajar di kelas
Nafas mereka, nafas guru mereka juga
ter engah engah
kekurangan oksigen
Ya Tuhan, aku ingat engkau
Aku ingat temanku yang lama bermukin disana
saat dia pindah ke daerah kerja baru
Dia merasa merdeka, merdeka dari kepungan asap
Pantesan saja Pak Dolo semakin berseri
semakin muda kelihatan setelah pindah tugas dari Pekanbaru
Kasihan
Kasihan
Sungguh Kasian Mereka
Bebaskanlah mereka Tuhan
Dari kepungan asap
Puri Gading Akhir Oktober 2015
Selamat Datang di Blog Itik-Bali
Selamat Jumpa Pembaca yang budiman, selamat datang di blog ini. Blog ini dibuat hanya untuk proses pencurahan hati dan ingin menghibur pembaca sekalian.
Dengan bahasa ringan sehari-hari, saya ingin berbagi cerita pendek yang mudah-mudahan bersambung, sehingga pembaca sekalian diundang untuk melepas lelah dan penat di blog ini.
Semoga pembaca sekalian menikmati dan terhibur setelah membaca. Tentu komentar dan saran anda sangat kami nantikan.
Salam
Rabu, 11 November 2015
Sabtu, 24 Oktober 2015
Sobar 18 : Musim Gugur Terakhir di Tokyo
“MUSIM GUGUR TERAKHIR
DI TOKYO”
Musim Gugur di Tokyo (google.com) |
Seharusnya Reno pulang ke
Indonesia empat hari lagu, dan dia langsung bertemu dengan istrinya Luna yang
telah menyelesaikan dan ijin belajarnya. Luna kembali ke almamaternya sebagai
seorang psikolog pendidikan remaja. Beberapa pendidikan professional dia ikuti
selama mendapngi Reno menuntut ilmu Bangunan Tahan Gempabumi di Tokyo
University. Reno sibuk sengan seminar Indternasional memperkenalkan hasil
risetnyaterkait teknologi gempabumi.
Terakhir dia pergi ke Dallas,
Colorado seminar di USGS, dengan pakar-pakar seluruh dunia. Karena perkembangan
tornado di belahan selatan Amerika Serikat, penerbangan Reno di tawari reschedule
dan reroute karena beberapa hari penerbangan lewat Guam akan dihentikan
menghindari Tornado. Iapun memilih balik lewat Tokyo, dia akan memberikan surprise
ke istrinya, dan akan pulang bersama ke Indonesia.
***
Senja itu aku seperti biasa
bersama teman teman pergi kepantai dengan sepeda motor, menikmati mandi di
deburan ombak, berlari bersama menyusuri bibir ombak yang menjilat pantai di
keremangan sore itu. Dara anak petani garam kulita masih saja giat bekerja
membuat garam, mereka menjadi tontonan para remaja putra yang juga ke laut sore
itu.
Tak terasa sore itu kami sudah
kelelahan, badan pada lengket kami berendam seperti biasa di kuala, muara
pertemuan air sungai dengan air laut sehingga airnya masih bisa membuat air
sabun mengeluarkan busa. Aku bercengkerema dengan teman-temanku. Membilas badan
dengan air tawar dan mempersiapkan diri untuk pulang. Aku perhatikan jelas
tanjung menutupi muara tempat aku membilas, ditimur sebuah tanjung, yang tidak
terlalu menjorok, sehingga pantai Tanah Lot dengan Puranya masih samar-samar
terlihat dari tempatku.
Di barat pantai semenanjung, yang
sering kusebut sebagai Jung, dengan beberapa pohon kelapa yang tinggi, membuat
temaran jingga senja itu semakin romantic. Kuperhatikan beberapa pasang remaja
masih berasyik masyok dengan pasangannya menyongsong malam, melewati sandya
kala. Kami berbegas pulang dengan motornya masing-masing, sehingga kelompokku
meninggalkan deru yang kuat di keremangan sore itu meninggalkan pantai.
Kupacu motor perlahan, sama
teman-teman larinya kira-kira 20 km/jam. Paling-paling dari pantai ke rumah
lima belas menitan. Ku terkejut didepan rumahku, banyak sekali orang
bergerombol. Ku taruh motor begitu saja di pinggir jalan, dan menerobos masuk
ke pekarangan rumah. Aku lihat dengan jelas seorang telah dimadikan.
Siapakah dia hatiku berdegup
lebih kencang. Keterobos kerumunan orang, ternyata tubuh ayahku Sobar terbaring
dimandikan tangan-tangan kerabat. Beberapa ibu-ibu melantunkan kidung kematian.
Kidung mengatar roh kembali ke Sang Maha Pencipta. Air mataku tak dapat
kubendung, aku menangisi jasad itu disampingnya. Para kerabat melarangku ikut
memandikan. Kenapa, kenapa, aku kan anaknya? Tanyaku.
Mereka semua memandangku dengan
tatapan penuh curiga. Dan isak tangiskupun semakin kuat, hanya saja kutahan
jangan sampai menambah gaduh suasana. Kucari mana Ibuku, mana kakakku. Tidak
aku lihat satupun kakakku. Bagaimana ini saudaraku. Aku mencari kesana kemari,
kutemukan Ibuku sedang kusuk memanjatkan doa di amben bawah lumbung padi
kami> Dia ditemani anak-anakku dan keponakanku semua. Mereka tetap saja
bergayur, ada yang memegangi tangannya, dan dikecil kulihat duduk di pangkaun
neneknya.
Aku tidak berani menganggunya.
Kulihat Ibu sangat tabah. Dia kuliah pasrah melepas kepergian ayahku, Sobar. Beberapa
bulir air bening menetes dari sudut matanya yang masih kulihat sangat lentik
itu. Itu kelebihan Ibuku, kecantikannya lebih menonjol dari bentuk matanya yang
indah, yangs sangat sering dipuji ayah kalau lagi memuji ibu.
Apak anak-anakku dan saudara
sepupunya tidak tahu kalau kakeknya meninggal, dan sedang dimandikan di
bale-bale. Akh kudengar sangat merdu kidung itu, dan mantram pemuput pemandian jenasah
sangat pilu, walau genta itu biasa kudengar suarnya. Tapi kenapa kali ini
sangat memilukan. Ketika badan itu diangkat dan dibaringkan kembali di Bale
Suka Duka, aku tak tahan melihatnya.
Tak sadar aku teriak kuat-kuat
Ayahhhhhhhhh, Ayahhhhhhhhh………………………………… sampai-sampai aku tak sadar bahwa
suamiku telah duduk disebelahku, emnyodirkan segelas air putih. “Reno, Ayah ………..?”
Aku peluk suamiku, dengan ingatan
yang masih kacau. Kuminum air putih itu, Pelan-pelan aku tersadar bahwa aku
masih di Tokyo. Iya kami masih di Tokyo. Reno rupanya tidak mau memberitahukan
reroute dan reskeduling penerbangannya. Karena perkembangan tornado dan lebih
cepat selesai kegiatannya di Universitas Colorado.
Kami duduk di teras, kami lihat
jelas sosok Gunung Fujiyama dari kejauhan, bagai seluet di terangi fajar galang
kangin saat itu. Masih ada sisa kopi dan snack yang kupersiapkan dibawa dalam
penerbangan pulang ke Indonesia, kunikmati bersama pagi. Itu Reno menceritakan
bahwa tidurku sangat pulas, beberapa kali berteriak, dia tidak berani
mebangunkan aku. Karena memang mulanya dia ingin memberiku surprise, ternyata
dia sampai lewat tengah malam, dan aku lupa mengunci pintu. Rupanya aku
kecapean packing barang-barang mau pulang.
Reno bercerita, beberapa kali
Bapak menelpon menanyakan penerbangan kepulangan kita. Beliau kaget saat aku
yang terima, karena beliau tahu aku rencananya langsung pulang. Tapi kujelaskan
kendala-kendala terutama tornado itu beliau faham, bahkan bersyukur tahu
sebelumnya. Itulah perakiraan cuaca memang sangat diperlukan dalam sebuah
penerbangan.
Kami menikmati pagi dinihari itu berdua, di teras rumah kami di tepian kota
Tokyo meikati kopi susu kesukaanku, seperti saat-saat pacaran dulu. Bahkan aku
lupa bahwa kami sudah ada anak tiga.Kelupaan itu mungkin terbawa suasana,
karena anak-anak kami sudah dijemput kakek neneknya enam bulan lalu saat
menjelang hari raya.
Tiba-tiba telepon bordering, di
kejauhan Luna mendengan suara Sobar…. Halo Luna Kengken Kabare?, Luna tidak
bisa berbicara apa-apa, kulihat dia menangis tersedu lagi kuikuti pembicarannya
dengan jelas karena ia pasang speaker saat telponan. Dia ceritakan bahwa Luna
memimpikan Sobar telah meninggal dan di mandikan dalam mimpinya. Mimpi itu
belum dia ceritakan kepada ku. Kujelaskan bahwa terkadang mimpi itu berbalikan
dengan keadaan sebanarnya, karena Bapak menceritakan bahwa beliau baik-baik
saja. Kebetulan karena terbangun subuh beliau nelpon kami. Sobar seperti biasa
lebih banyak menceritakan laporan pandangan mata semua keluarga di sana, dari
Bapak dan Ibu Sobar, Ayah dan mama ku, ketiga anakku serta semua keponakanku,
disamping beliau hanya menanyakan nomor penerbangan kami. Kebetulan walau
reroute kami dapat nomor penerbangan yang sama dengan Luna.
Pagi tiu kami bergegas mandi
dengan Luna terus sembahyang memanjatkan doa dan puji syukur, apa yang dialami
Luna rupangan hanya dalam mimpi saja, Dia rupanya kecapekan habis packing
segala barang yang masih harus dibawa, sisa yang kami kirim pakai container lewat
jasa pengiriman. Kami berdua ingin menikmati kota Tokyo berdua dalam dua-tiga
hari terakhir ini, sebelum mengucapkan Sayonara.
Puri Gading, Medio Oktober 2015
Rabu, 14 Oktober 2015
De-Karma - 8" Rindik mencairkan suasana Keluarga Sri
“SOLUSI BUDE SEDERHANA, SESEDERHANA LANGGAM RINDIK"
![]() |
Pemain rindik Bali (google.co.id) |
Mentari telah meninggi,
anak-anakku seperti biasa telah rapi dimandikan Bu De nya, anak dari Kakaknya
Bapak, namanya Romawi. Dia tinggal sendirian di kampong, namun sejak anakku
lahir Bapak memintanya ikut denganku di kota. Dia sangat terampil mengurus
anak-anak, padahal dia belum memiliki anak. Karena dua tahun pernikahannya saat
itu belum dikarunia anak. Suaminya seorang penabuh kendang Karnada mengalami
kecelakaan sepulang dari mentas di Hotel, dia atas sepeda motor Vario nya.
Kasiha Mbok Rama.
Romawi, sesekali menari diiringi
Bapak dan Suamiku yang lagi belajar menabuh gamelan, dan belajar rindik. Kami
sekeluarga menjadi sangat terhibur, bahkan anak-anakku yang baru lancer berjalan
ikut-ikutan diajarnya menari. Yah…. Memang lingkungan mempengaruhi pertumbuhan
anak-anakku.
Kedua anak kembarku, telah
bergayutan berebutan meminta ‘nenen’ kehausan habis bermain-main berlarian
dihalaman rumahku. Sambil aku berkemas mempersiapkan diri untuk menghadiri
pertemuan, diskusi tentang virus VAR yang sedang menggila di daerahku saat ini.
Penyakir anjing gila, atau rabies memang belakangan sedang endemic di beberapa
kabupaten .
Aku sangat menikmati saat saat
aku menyusui anakku, kuperhatikan mereka sudah semakin tinggi karena sekarang
mereka senang naik kekursi menyusu sambil berdiri, yang satu di kanan menyusup
dari ketiakku, dan yang satunya di kiri. Wah sejak kecil mereka sudah terbiasa
berkompetisi. Romawi kudengar telah menyajikan santapan snack pagi, di tengah
lamat-lamat suara rindik yang mengalun ditabuh suamiku Suchita dan Bapakku.
Mereka sudah bisa saling bersahutan, dan Romawi karena dia penari ngerti juga
dengan irama rindik. Dia mentor yang baik. Karena pelatih rindik hanya datang
dua kali seminggu. Dan itupun kalau suamiku pas ada Bisnis di Bali.
“Sri… Sri…. Sri…… sudah siang,
kok belum berangkat”.
“ Iya sebentar ini Sutero dan
Sutera masih nenen ini, kasihan dia belum kenyang”. AKu sudah siap kataku menjawab teriakan Bapak
dari balik rindiknya. Bude Romawi
menghampiri kedua anakku mengajak pergi, “Ayo belajar nari yuk, sama Bude”
katanya. Kedua anakku ke cium sayang sebelum dibawa Bude nya ke luar.
Suara rindik aku nikmati dari
balik kamar riasku, kedua anakku digendong Budenya kri kanan, aduh mereka
sangat lengket sekami. Terima kasih Tuhan kau telah menganugrahkan jalan bagi
kami, punya saudara yang sangat terampil perhatian dengan anak-anak, terlebih
dia sangat sayang kepada anak-anakku. Jadi kemanapun kami pergi dia pasti akan
ikut.
Aku kembali bergabung dengan
mereka, menikmati alunan rindik di pagi menjelang siang itu. Mentari semakin
menjilat halaman Bale Gde ku dimana Bapak dan Suamiku menabuh rindik. “Lho kok
balik” kata suamiku. “Iya ada sms tadi, katanya pertemuan di batalkan, karena
beberapa peserta berhalangan hadir karena ada kegiatan di kampong mereka”
kataku. “Iya hari ini kan hari
persembahyangan, lihat saja Bude kamu dari kemaren telah mempersiapkannya’
sahut Bapak.
Kutatap Sutera yang kulitnya
lebih gelap dibandingkan Suteru, dia akan diajak Bapaknya ke Jepang beberapa
bulan ini. Kesepakatan sementara keluarga Sutera akan dibesarkan disana agar
dia terbiasa dengan kebudayaan ayahnya, sedangkan Suteru akan dibesarkan di
kampungku agar dia berekmbang di tengah budaya keluarga kami. Bapak kelihatan
sangat berkeberatan. Kamipun menjadi bimbang, karena kedua cucunya itu
merupakan cucu dalam pertama dan kedua.
Akupun menjadi bimbang, walau aku
masih punya proyek tiga tahun lagi untuk bolak balik Tokyo – Denpasar, demikian
pula suamiku yang akan bolak balik Bali-Sinagpura-Vietnam dan Tokya, urusan
bisnisnya. Terkadang masalah ini tak jarang timbul kembali menjadi polemic diantara
kami, bapak, suamiku dan aku. Romawi belum tahu keputusan ini.
Kelihatannya kesempatan aku
kembali duduk menikmati alunan rindik bersama anak-anakku menyaksikan ayah dan
kakeknya merindik, digunakan Bude untuk me’banten’ sembahyang menghaturkan
sesaji yang terkait dengan hari besar keagamaan hari ini.
Kasihan anak-anak, kasihan Bude,
Kasihan Bapak kalau di pisahkan dengan anak-anankku. Suamiku masalah ini lebih
banyak diam, dia hanya anak-anaknya tidak melupakan kebudayaan jepang, minimal
dia tahu basic dan berbahasa Jepang katanya. Di Jepang rencananya akan di rawat
oleh sepupunya yang punya akan hampir sebaya, tapi anaknya perempuan. Dia yang
dipercaya sebagai salah satu Komisaris Perusahaan Farmasi disana.
Hubungan kami menjadi terkadang
kaku, bila mememikirkan masalah ini. Suamiku lebih banyak diam, tetapi bapak
sering megutarakan keberatannya. Demikian pula pagi itu, saat mereka
beristirahat merindik menikmati kopi dan lemper ketan dan kue serabi yang
dihidangkan Bude. AKu diam saja, karena aku memang karena pekerjaanku tidak
bisa full merawat anak-anakku, lebih banyak ku percayakan Bude, namun diapun
belum tahu keputusan ini.
Bude sampai selesai sembahyang
dan kembali merapikan pakaiannya, ikut bergabung dengan kami. Dia ikut menyimak
semua pembicaraan kami. Kami takut dia tersinggung kalau kami beritahu. Tiba-tiba
ia nyeletuk:
“Aduh begitu saja kok dipikirkan
adik-adikkua sangat berat” sela Bude.
“Maksudnya Bude” kataku
“Iya ini masalah anak-anak yang
akan dipisah kan, Bapak pernah mengeluh padaku, beliau tidak mau dipisahkan
dengan cucu cucunya, walaupun yang satu tetap bersama”
“Bagaimana kamu Suchita” Kataku
“Iya, aku ikur bagaimana baiknya
saja agar tidak ada salah satu keluarga yang merasa dipisahkan. Aku mengerti
keberatan Bapak” Kata Suchita.
Sekarang Bude, apa kamu ada usul
atau pendapat yang bisa membuat semua pihak senang, aku minta Bude memberikan
pendapatnya. “Kalau Bude memberikan pendapat, apa kalian mau terima, Bude kan
hanya orang kampong, saja” Sahutnya. “Silahkan Bude” sampaikan saja biar kami
bisa dengar bersama.
Bude meminta maaf kepada kami
sebagai adik-adiknya ( walau sebenarnya sebagai ponakannya. Tapi karena tidak
terpaut banyak umur kami, mai memanggil Mbak, dan membahasakan anak-anakku
dengan Bude).
Iya Bude hanya memberikan
pendapat yang sangat sederhana mengharapkan tidak ada yang tersinggung dengan
pendapat atau usulnya. Bude mengusulkan keduanya tidak usah dipisahkan, biarkan
dia tumbuh dalam dua budaya, budaya ayahnya, dan juga budaya ibunya. Dia mengusulkan
agar keduanya dibiasakan dengan pekerjaan Ayah ibunya, kalau memang Sri masih
punya proyek di Tokyo dan disini, Bude menyarankan anak-anak mengikuti
pergerakan ibunya. Dan Bude mau mendampingi terus.
Bapak sangat berkeberatan dengan
usulan itu. Namun setelah Bude menjelaskan dia tidak akan membiarkan pamannya
hidup sendirian di rumah, Bapak ikut saja, sesuka bapak. Begitu oendaoat Bude.
Oke Bapak setuju, sangat setuju bapak akan menyusul cucuk bapak ke manapun di bawa bila bapak
kangen. Kalian bisa bawa. Saat ada di Jepang cucu-cucuku ikut serta, dia bisa
belajar budaya di kampung bapaknya. Demikian juga saat Sri ada dan kerja disini dia
akan belajar dikampung kakeknya.
Oke oke oke, begitu kata suamiku.
Dia sangat setuju dengan pendapat Bude, terima kasih Bude katanya. "Ini win win solution, hanya Bude akan lebih capek" kataku. "Tidak apa-apa Bude kan sudah biasa capek, dan sudah beberapa kali juga ke Jepang dalam lawatan tari terdahulu bersama group tari sekolahnya Kokar Bali. Seluruh
keluargaku menjadi cair kembali hubungan semuanya, dan rindikpun mengalun lagi,
dan Bude menarikan sebuah tarian joged, Asmaradana, Semarandana. Agar lebih
ramai siang itu, dengan sisa-sisa ingatanku aku ikut ngibingi Romawi, sangat
sengit tarian siang itu. Rindikpun semakin bersemangat…… keringat kamipun
semuanya bercucuran, anak-anak kamipun tertegun melihat Ibunya ikut menari.
Ternyata aku masih ingat menari,
dan dapat mengimbangi Bude Romawi walau nafasku kedodoran. Memang menjaga
stamina dengan menari, disamping membuat senang, fikiran rileks olah tibuh juga
sempurna. Sejak saat itu aku rajin latihan menari kembali untuk menjaga
kebugaran dan melatih ingatanku, serta menyerasikan fisik dan mentalku, agar
emosi selalu terjaga.
Siang itupun kembali cerah,
solusi Bude kami rayakan bersama dengan pergi menikmati bebek goreng krispi, di
Restoran langganan suamiku, Bebek Krispi Kunyit Putih, maknyusssss
Puri Gading, 15 Oktober 2015
Minggu, 26 Juli 2015
de Karma 7: Sri Menemukan Kebahagiaan
“KEBAHAGIAAN SRI”
Cinta Sri Bersemi seperti bunga Anggrek |
Sri baru saja datang, dia agak bête
di rumahnya. Namanya juga penganten baru. Suaminya masih tertinggal di
Singapura ada sedikit urusan bisnis katanya. Mungkin dia capek karena
pesawatnya tertunda beberapa hari disana tak bisa mendarat di Ngurah Rai karena
tutupan debu erupsi Gunung Raung. Sri sejatinya sekarang adik iparku. Aku ikut
berbahagia melihat dia hamil, mungkin kepulangannya juga untuk acara tujuh
bulanan kandungannya, atau untuk persiapan melahirkan disini.
Kuhidangkan sepiring tape
Bondowoso panggang keju, dengan kopi capucino. Karena aroma kopi yang aduhai,
Karma menjadi terbangun dari tidurnya. Dia terkaget melihat Sri tidur pulas di
sebelahnya. Aku sempat selimuti dia dengan sebuah kain pantai biar tidurnya tidak
terlalu banyak angin.
Tadi saat Sri datang, dia
menanyakan lagu yang Karma stel sambil tiduran. Lagu itu ku tahu dulu di beli
Karma saat kami pergi urusan bisnisnya Karma di Jakarta. Tepatnya di sebuah took
kaset di dekat Kota Lama, hehehe maksudku Kota Tua. Itu dia beli setelah
mendengarkan sebuah lagu yang agak nge beet, dengan hentakan drum yang sangat
rancak.
Setelah terbangun dan mencicipi
kopi yang ku siapkan Karma, menyetel lagu itu kembali. Liriknya sangat pas kata
Sri.
…… Sepuluh tahun membeku, hati
beku bagai salju;
yang dulu mati membeku kini hidup
bergelora; dan seterusnya
…..Bersemilah bersemilah
bersemilah ditubuhku;
Kau penolong jiwa raga, walau kau
cinta kedua
Betapa hidupku rugi bila hati
beku mati
Nikmat cinta tak kumiliki, aduhai
betapa rugi
Sebagai insan biasa, nikmat hidup
punya cinta.
Dug..dug..dug dududug ………. Itu kendangnya
terus menggema.
“Bli Karma, itu lagu tadi
ditanyakan Sri, apa nama lagunya, dan siapa nama penyanyinya”
“Oh itu, itu kaset yang ku beli
di dekat Kola Lama, saat bersama kita ke Jakarta beberapa bulan lalu”
Itu lagunya bernama Bersemilah,
di daur ulang oleh Band anak muda, penyanyinya Zillo dari d’Matrix. Sambil
mematikan kaset itu, Karma meneruskan menikmati Tape Panggang keju yang
kusiapkan. Dia sangat menikmati dan memuji ku. Entah itu memang dia sangat
senang atau hanya sekedar basa basi. Tapi aku tak memerdulikannya, karena
memang aku sangat suka pujiannya.
Aku ambil sebuah piring kecil aku
ikut menikmatinya tape panggang itu. Hanya saja aku tak suka kopi aku telah
siapkan juga the hijau kegemaranku. Aku menemani suamiku yang memang
kelihatannya sangat bahagia hari ini. Projeknya baru selesai, desain yang dia
buat untuk sebuah produk kecantikan ternama di terima dengan penuh apresiasi,
walau nuansa Asia sangat kental dalam desain kemasan yang dia buat. Aku tahu
karena beberapa hari lalu dia meminta penilaian aku untuk rancangannya.
Beberapa prin out desain dengan
berbagai pilihan warna masih rapi bertumpuk di meja sebelah suamiku tertidur, di
dekat tape rekoreder jinjing yang dia pakai memutar lagu ……bersemilah Zillo.
Kuperhatikan suamiku sangat menikmati snak sore yang kusuguhkan, rambutnya yang
gondrong menjadi tidak rapi ditiup angina sore itu. Kuperjatikan rambut suamiku
mirip Kitaro. Seniman Jepang yang mendunia itu. Cepat sekali hampir tiga potong
tape panggang keju dilahapnya, kopi kapucinopun hanya tertinggal sepertiganya.
Diapun menanyakan Sri, “Apakah
sudah lama dia datang?, Kok aku biarkan dia tertidur di lua” . Aku bilang dia
mungkin sangat kecapekan baru semalam sampai dari Singapura, sore ini dia
mampir karena bête di rumah. Ayahnya Sri pergi ngadu ayam menjelang siang sudah
berangkat dengan teman-temannya, kata Sri.
“Memang kelihatannya, dia sangat
pulas tidurnya”. Kasihan dia kelihatannya capek, walau di raut mukanya kulihat
kebahagiaan taka ada tara. Dia beruntung mendapatkan suami, pada saat yang
tepat, saat umurnya masih produktif. Dia menjanda saat yang tepat menjelang
Posdok nya di Jepang. Dia bertemu orang yang tepat. Itu secara beruntun
kuucapkan dengan lirih ketelinga suami kua.
“Diapun seperti kita menjadi pasangan
yang tepat, dan mempunyai ipar yang baik seperti kita”
“Hahahahahahahahaha” tawa kami
tak tertahan, secara bersamaan sampai membangunkan Sri dari tidurnya. Diapun
ikut tertawa. “Aduh kalian memang pasangan yang sangat berbahagia” kata Sri
lirih sambil membenahi duduknya.
“Aku tertidur pulas, aku sampai
bermimpi indah” kata Sri.
Makanya kami biarkan Sri tidur,
dan menikmati tidur dengan pulas. Walau tidur di Sofa. Lagu yang kau putar tadi
Karma yang sangat berkesan di hatiku, ujar Sri. Oh itu ku pencet lagi tombol ‘on’
tape itu, dan mengalunlah beet-beet indah gendang mengiringi suara Zillo, itu
lagu pernah dipopulerkan Mukhsin Alatas, sekarang di daur ulang, atau di
rearrange atau di aransemen ulang biar lebih anak muda, dibawakan oleh Zillo
itu, vokalis d’Matrix.
Memang lagu itu lagu kesukaan
Karma, dia akan putar berulang, karena telah deprogram dan rekam ulang,
sehingga dapat deprogram diputar 30 menit atau beberapa menit yang disukai. Kamu boleh bawa nanti aku siapkan
dalam flashdisk Sri, kau bisa mengulang memutarnya di mobil atau di rumah.
Terima kasih Karma. Maaf aku
tertidur di dekatmu tadi, maaf Souchi aku tak sengaja tertidur di sofa dekat
suamimu De Karma. “Akh nggak apa-apa, aku tak mungkin cemburu, kau kan sekarang
telah menjadi anggota keluarga kami, Ayo nikmati tape panggangnya, minumnya
kopi atau the hijau?” kata Souchi.
“Biarkan sesekali aku minum kopi
kapucino dan mencicipi tape panggang keju ini Suchi” jawab Sri.
Souchi menydorkan sepiring kecil
tape panggang dan secangkir kopi kapucino ke dekat Sri. Silahkan.
Merakapun melewatkan sore itu
dengan sangat akrab. Memang Sri dan Karma dua sahabat lama yang sudah sangat
saling kenal, hanya saja Karma tidak menanggapi cinta Sri. Dia sangat megang
prinsip. Dia tidak mau terlanjur mencintai Sri karena dia lebih tua sedikit,
serta kedua orang tua mereka awalnya sahabat, namun belakangan dalam
perjalanannya agak renggang. Biasa kalau sahabat yang terlalu akrab, maka
renganggnya juga awet. Itu ku ketahui dari Ayahnya Sri.
“Sri, kulihat kamu sangat
bahagia, dalam kondisi tertidurpun kamu kelihatan sangat bahagia”
“Ya memang, aku bahagia, persis
seperti syair lagu itu yang kualami Karma”
Sri baru menemukan kebahagian,
setalah sepuluh tahun lebih berkeluargakan seorang gay, yang lebih mencintai sesame
lelaki daripada mencintai istrinya. Hatinya sakit, betapa tidak suaminya
didepan mata istrinya terkadang bercumbu dengans sesamanya dengan tdiak malu
malu. Drngan penuh keberanian dan merobek dinding tabu, dia ungkapkan
kondisinya kepada orang tuanya. Pada awalnya ayah Sri memang tidak percaya,
karena menganggap anak gadisnya aman-aman saja dengan suaminya terdahulu. Itu
Sri lakukan semata-mata tidak ingin menyakiti hati orang taunya, biarlah hati
dia yang sakit.
PAda akhirnya asap tidak bisa
selamanya ditutupi pada akhirnya akan ketahuan pula. Saat suaminya mesra dengan
teman lelakinya ayah Sri memergokinya. Saat itlah Sri menenangkan ayahnya serta
dengan hato-hati menyampaikan kondisi sebenarnya, serta mengemukakan maksud
bercerai dengan suaminya.
Walau ayahnya marah besar dengan
penuh penyesalan, Sri tetap menenangkannya. Sri tidak mau membuka lebar aib
keluarga itu, karena pernikahan Sri merupakan perkdohan yang dilakukan ayahnya,
semat-mata karena dia ingin segera mempunyai cucu dalam. Ayahnya merasa
menyesal sehingga pelariannya berjudi, adu ayam atau tajen.
Harapan kami –kata Sri- dengan
kehamilanku ini, ayah akan mulai mengurangi ke’gila’annya berjudi tajen. Beliau
pasti akan senang dengan anak yang aku kandung, cucunya. Hasil USG dia
laki-laki. AKu merencanakan melahirkan di sini saja. Kebetulan bulan lalu semua
laporan projek posdok ku, sudah selesai. Semuanya tentang penyakit endemic tropis,
demam berdarah dan malaria.
Sri minta Karma dan Souchi
mendisain acara tujuh bulanan Sri. Dia minta agar mempunyai nuansa
internasional. Karena Sri dan Suami merencanakan mengundang teman-temannya
kerumah yang belum sempat datang saat resepsi pernikahan terdahulu. Khususnya
teman-teman bisnis suaminya yang sudah menyatakan akan hadir kalau diundang,
demikian juga teman-temannya di IDI yang belum sempat kenal dengan pasangan
ini.
Duh bahagianya. “Kami berdua,
mewakili keluarga besar de Karma juga ikut berbahagia Sri” kata De Karma.
Adikku akan kupanggil pulang dari Dili, agar membawa jeruk Timtim untuk pesta
itu. M<erupakan varietas unggul yang rasanya beda dengan jeruk disini.
Sore telah menjelang senja, dan
malam haripun tiba. Karma memutar kembali lagu Zillo d’ Matrik maka bergemalah
beet-beet drum gaya anak muda mengirinyi lagu melayu lawas,
….. yang dulu mati membeku kini
hidup bergelora…….
………betapa hidupku rugi, bila
cinta tak kumiliki…….
………sebagai insan biasa nikmat
hidup punya cinta…….
Ku
teriakkan sambil mengawali musiknya. Selamat Sore Sri.
Puri Gading, akhir Juli 2015
Minggu, 14 Juni 2015
De Karma 6 Pelabuhan Cinta Sri
“PELABUHAN CINTA SRI”
Bunga Sakura Mekar Bersama Cinta Sri |
Aku tak menyangka kehidupan
keluarga Sri demikian, dan aku merasa bersalah telah mengabaikan cintaku, dan
aku mengerti kenama Meida tidak merestui kalau aku mencintai Sri. Aku tahu
walau ibuku itu memberikan alasan hanya karena perbedaan umurku dengan Sri terpaut
beberapa bulan, tak sampai setahun Sri lebih tua dariku. Karena dia hidup di
kota makanya ia umur 5 tahun sudah mulai sekolah SD sedangkan aku yang tinggal
dikampung yang tidak melewati sekolah TK harus masuk SD setelah umurku tujuh
tahun.
Kata Mandala, ayahku adalah teman
dekatnya di SMA, bahkan tidak jarang mereka tertarik dengan wanita yang sama.
Mereka berteman sangat baik, sampai mereka berdua sama-sama kerja. Orang tuaku
menjadi pegawai negeri dan Pak Mandala sebagai seorang pengusaha perhotelan
sukses di kota ini. Meraka rupanya sama-sama tertarik dengan wanita yang sama.
Rupanya ayahku lebih beruntung mendapatkan gadis itu. Dan gadirs itu adalah
Meida, ibuku. Ibuku tak pernah cerita masalah itu, tapi dia tahu bahwa Mandala
menaruh hati juga padanya.
Dari kekecewaan Mandala, karena
ayahku duluan menikah, iapun meminta keluarganya untuk menjodohkannnya dengan
seorang kerabat. Makanya Mandala akhirnya dinikahkan dengan ibu Nilawati, yang
masih kerabatya seorang dokter. Nilawati tidak berumur panjang dia ikut menjadi
korban pesawat PAN-AM yang jatuh di lereng utara pegunungan di Bali, beberapa
puluh tahun yang lalu. Sehingga Wanti dan Sri dibesarkan oleh orang tua
tunggal. Wanti menikah dengan seorang
peneliti berkewarganegaraan Autralia, dengan beberpa anak, mereka hidup disana
sama-sama sebagai peneliti.
Aku sangat kasihan kepada Sri,
ternyata didalam keceriaannya terdimpan dula lara yang sangat dalam dihatinya.
Kenapa dia tidak pernah cerita ya...., kenapa kehidupan keluarganya terlihat
sangat harmonis bahkan menurutku tampak luarnya sangat harmonis. Semilir angin
sore itu membuat aku tertidur di sofa teras. Rupanya Neni telah menyiapkan aku
minum dan snak sore kesukaanku. Secangkir kopi capucino dan tape goreng. Lho
kok ada dua cangkir kopi......... aku menjadi bingung sendiri?.
Hampir kuteriak memangngil Neni,
kulihat seorang gadis berambut panjang tertidur pulas di kursi goyang
sebelahku. Dia nampak kelelahan. Souchi istriku mendekati aku, sitttt jangan
berisik, dia baru sekitar 15 menit tertidur disana, setalah aku tinggalkan
memanggil Neni mempersiapkan minum. Rupanya dia capek, habis visite pasien di
Rumah Sakit Daerah.
Sri kelihatannya capek sekali,
dia mau menjemput orang tuanya, dan aku sampaikan bahwa orang tuanya sedang
istirahat di kamarnya Karma, maka dia kutemani ngobrol di sebelah kamu yang
tertidur pulas.
Mandala walau jarang dia
bertandang ke rumah Karma, terlihat seperti orang tua sendiri. Dia menumpang tidur,
karena memang dia mempunyai jadwal ketat untuk tidur siang. Itu arahan Sri agar
orang tuanya tidak main ayam saja di siang hari dengan tetua kampung, yang
memang mempunyai kebiasaan ngadu ayam jago (tajen) disiang bolong. Sambli
meneguk kopi yang dihidangkan Neni, Karma menikmati sekali. Kasihan Sri ma,
kata Karma kepada istrinya. Makanya kita harus bantu dia. Sahut Souchi,
Ya justru itu aku mau meminta
pendapatmu. Mungkin kalian sama sama wanita mempunyai perasaan yang sama.
Sehingga mencari solusinya bisa bersifat feminim, kataku. Yah nanti kita
bicarakan setelah mereka pulang. Jangan ayo kita pindah saja ke Bele bengong
kataku. Kita bicarakan disana.
Perbincangan dilanjutkan di Bale
Bengong antara aku dan istriku. Kuceritakan bahwa saat ini status Sri
sebenarnya sudah janda, dia bercerai dengan suaminya dengan kebaikan mereka
bersama. Suami Sri tidak normal, dia seorang bisexual yang sangat di benci oleh
Sri. Suami yang sebenarnya merupakan pilihan Mandala itu, yang berinisiatif
untuk bercerai, walaupun Sri ingin memper tahankan rumah tangganya. Mandala
marah besar dia kembalikan secara adat Sarmana kekeluarganya. Karena status Sarmana sebagai sentana,
mengingat anak Mandala keduanya wanita, Wanti dan Sri. Wanti sudah keluar
menikah tinggallah Sri yang akan meneruskan keluarga itu.
Menurut Mandala, Sri telah
memohon agar orang tuanya merestui pernikahannya dengan pria pilihannya.
Pilihannya dan hubungannya itu yang membuat Mandala sedikit marah. Pertama Sri
akan menikah dengan pria, ekpatriat sama dengan Wanti. Tapi Sri belum
menyatakan bahwa pria itu asli mana. Kedua Sri mengatakan bahwa dia telah
terlambat datang bulan, karena sudah terlalu jauh berhubungan dengan pria itu.
Dia memberikan alasan, bahwa pria
itu sangat baik, dia sangat dewasa, seorang berpendidikan dan sekarang menjadi
seorang pengusaha yang mondar-mandir ke Indonesia. Meraka bertema saat beberapa
kali ketemu sama-sama diperjalanan, lalu saling kunjungi di Luar Negeri terus
jatuh cinta. Alasan Sri, walaupun ayahnya tidak menyetujui pernikahannya dengan
pria itu dia akan terus merawat janinnya sebagai penerus trah Mandala. Itu yang
menjadikan Manda kaget, kok sejauh itu pikirannya. Memang kalau wanita itu
melahirkan di rumah orangtuanya, maka anaknya akan menjadi akhliwaris Mandala.
“Kalau aku, sangat menyetujui
bila Sri menikah kembali, karena dia masih muda, sibuk sangat memerlukan tempat
curahan hati, untuk sharing membagi suka dan dukanya”
Ya itu memang mau aku katakan
kepada Mandala tadi, tetapi aku belum berani memutuskan karena aku belum tahu
siapa pria yang menjadi calon suami Sri, makanya aku meinta waktu untuk
mempelajarinya. Aku berjanji akan datang bersama keluarga bersilaturahmi ke
rumah Mandala bila aku sudah siapkan penadangan dan pendapatku.
Hahahahahaha Shouchi istri ku
tertawa sambil menutup mulutnya, seperti ciri khas ketawanya wanita Jepang. Bli
Karma Bli Karma katanya. “Kamu belum tahu rupanya siapa pria tersebut, sehingga
kau belum mau memberikan jawaban”
Kata Sri tadi saat ngobrol
bersamaku, kata Souchi bahwa calon
suaminya adalah seorang putra Jepang. Wah aku senang karena aku akan mempunyai
teman diskusi, sama sama orang Jepang. Dia malah banyak menanyakan hal-hal yang
menjadi kebiasaan lelaki Jepang. Aku beritahu sejauh yang aku tau. Dan Sri
kelihatannya manggut-manggut saja menyetujui apa yang aku ucapkan.
Wah jangan-jangan..... Kataku
kepada Souchi.
Jangan jangan apa? Kata Souchi.
Aku curiga jangan jangan Sri
berhubungan dengan Souchita. Kenapa dia mengarahkan Mandala untuk berdiskusi
padaku. Kenapa dia curhat tentang prianya kepada Souchi. Wah bisa gawat ini.
Masak sih bisa. Kan Souchita adikku itu lebih muda dari Sri, apa Sri mau dengan
dia orangnya katrok itu adikku, belum pernah kenal wanita. Kata Souchi.
“Kalau iya bagaimana?” suara dari
belakang kami, ternyata suara Sri. Rupanya Sri sudah bangun dan diam-diam ikut
memperhatikan percakapan kami berdua. Sripun melanjutkan. Memang laki-laki itu
adalah Souchita. Dia yang membantu aku saat sedang mendapatkan kesempatan
memberikan pengalaman kami dalam membangkitkan serta menentramkan hati
masyarakat pasca gempabumi Fukushima. Kami sharing pengalaman yang dulu kita
lakukan di Jogyakarta saat gempa tahun 2006.
Dari kebersamaan itulah kami
saling memperhatian dan saling jatuh cinta. Souchita katanya sudah mendapat
restu dari kakaknya untuk segera menikah.
Jadi menurut firasatku, pasti kalian berdua sudah merestuai Souchita
untuk menikah. Wanita itu adalah aku, Bli Karma dan Mbok Souchi.
Meraka berdua kelihatannya kompak
geleng-geleng kepala sambil garuk-garuk kepala. “Nah kalau itu aku setuju Sri”
kata Karma. “Hehehe jangan asal setuju saja, Karma kan sudah menjadi keluargaku
juga kenapa kau tak meminta pendapatku Karma” sahut Souchi. Aku tahu kau pasti
akan menyetujui. Masalah keturunan, masalah perusahaan, masalah tempat tinggal
bisa kita rundingkan hehehe bisa kalian Sri dan Souchita rembugan bersama,
tentu dengan Souchi..
Souchi sangat menghargai pendapat
suaminya Karma, dia tidak akan memprotes kalau suami sudah memutuskan. Dia
sudah melebihi perempuan Bali setianya terhadap suami, terutama dalam pendapat
kelaurga, Perut Souchi yang sudah hamil anak ke dua Karma kelihatannya berontak
mengikuti perbincangan kami. “Nah ini akakku saka kelihatannya senang kalau om
nya segera menikah”. Kata Souchi sambil mengelus perutnya, sembai membaca
message yang masuk ke bbm nya.
Rupanya dari adiknya Souchita
yang mengabarkan dalam waktu dekat dia akan datang ke Bali, untuk suatu urusan.
Sri pamit pergi ke rumah dimana Mandala tidur siang, karena sudah mendekati
waktunya bangun. Dia harus ada di sana seperti janjinya tadi pagi sebelum
Mandala pergi.
Momen ini harus kita laksanakan
dengan baik kata Karma kepada Istrinya. Sebelum Souchita datang, aku harus
sudah memberikan pendapat kepada Mandala dan menyampaikannya sedemikian rupa
agar dia jangan sampai menganggap ini rekayasa keluarga. Besok sore kita akan
pergi ke rumag Sri bersama Meida, Souchita dan Neni. Aku akan memberikan
masukanku kepada Mandala, setuju dan tidaknya aku terhadap dia memilih menantu
asing lagi, tidak merupakan penjodohan seperti pernikahan Sri sebelumnya.
Mandala benar saja, setelah
dihampiri Sri sudah bangun dari tidurnya. Dia sudah minum teh sore dengan tape
goreng yang disediakan Neni. Sebelum mereka pulang kukatakan bahwa besok sore,
aku akan datang menemui Mandala di rumahnya, dan memberikan masukan yang dia
janjikan.
“Jangan lupa ajak Meuda ibumu
datang kerumah” kata Mandala sambil naik
ke mobilnya Sri. “Oke astungkara Pak” jawabku sambil melambaikan tangan
mengikuti pergerakan mobil Mercy merahnya Sri meninggalkan halaman rumahku.
Ternyata memang sangat rumit
fikiranku, aku harus yakinkan ma. Nanti malam aku harus Skype an dengan
Souchita aku tanyakan keseriusannya, jangan sampai dia main-main sama keluarga
Sri. Nanti kita menjadi tidak enak dengan keluarganya.
“Bagaimana nggak serius Bli
Karma, wong Sri nya sudah hamil. Tak usah banyak rundingan kita harus
selamatkan keluarga-keluarga ini”
Ya kita harus segera berbuat,
ternyata Sri akan menjadi ipar kita ma.......... Perbincangan kami selesai
dengan datangnya Sandikala, Meida rupanya datang dari kampung. Sudah dibenahi
bawaannya oleh Neni. Kami menghampir Meida, dan melanjutkan dengan menikmati
makan malam bersama, menikmati lawar yang dibawa Meida dari kampung.
====
Pondok Betung, Bintari, 15 Mei 2015
Langganan:
Postingan (Atom)