“MEREKA HADIR DALAM SAKITKU”
Aku terbaring lemas di tempat
tidurku. Dalam keterpurukan kesehatanku rupanya telah mengaduk aduk pikiranku,
tentang masa depan, pasangan hidup maupun cerita Sobar tentang kisah Cinta
Durjananya. Kesehatanku terganggu mungkin karena aku belum bisa mengelola waktu
dan tenagaku, diantara mengisi kebutuhan masa mudaku, menjadi dosen muda,
menemui pelanggan , dan menyelesaikan beberapa proyek property yang sedang aku
garap dengan teman-temanku. Belum lagi permintaan mendekor ruang sidang DPRD.
Aku benar-benar KO, dan untuk
adik-adikku masih bisa emngurus segala keperluan dan menghantarkan aku ke
dokter. AKu mesti istirahat Kata Dokter Nani, sahabatku saat sama-sama SMA. Dia
masih lincah dan centil seperti dulu. Padahal…….
“Bang, makan dulu buburnya, nanti
dingin. Ini aku siapkan obatnya” teriak adikku dari kamarnya. “Ya akan aku
selesaikan”. Sambil aku menyantap bubur ayam, walau pahit mulutku kudengarkan
temanku penyiar yang sedang bertugas di Radio BM-FM. Memang sungguh pintar dia
memilih lagu, dan mengammbil hati para wanita. Tidak ibu-ibu, para gadis maupun
para remaja. Memang tidaklah salah bila ia dijuluki sebagai penyiar Idola.
Seorang penyiar setianya
menciptakan lagu penyiar Idola untuknya. Kira-kira begini syair lagunya:
Bercelana blue jin, berkaos T Shirt..
Bercelana blue jin, berkaos T Shirt..
Duduk sendirian di dalam
Menyapa dan mengjibur pendengarnya,
Para muda-mudi…..
Salah satunya aku, yang sama-sama
Datang Wakuncar ke seorang gadis
cantik
Seorang pedagang Oleh-oleh
Di pasar Kumba sari….
Hahahaha, memang dia pemuda yang
sangat beruntung, dipuja ribuan penggemarnyaa, diidolakan pria wanita karena ia
pintar menghibur hati para pendengarnya yang sedang lara, sedang patah hati
atau menambah melambungkan hati para penggemarnya yang lagi jatuh cinta.
Di dalam keasyikanku mendengarkan
radio, pintu kamarku ada yang mengetuk, ku jawab dengan teriakan “masuk….” Kukira
adikku akan pamitan kerja ternyata kedua orang tuaku datang. “Katanya kau
sakit, lol masih bisa berteriak” kata ayahku. “Itu kan karena baru habis makan
bnubur dan minum obat, ayah”
Aku tak menyangka mereka datang,
sepagi ini. Telah kuduga pasti ini ulah adik gadisku yang sedang sibuk-sibuknya
di kantornya, ditambah mengurus aku yang sedang sakit. Makanya dia telepon
orang tuaku rupanya untuk datang kesini. Ibuku segera merapikan kamar tidurku
yang sedang berantakan, aku segera mandi dan merapikan badan yang sudah tiga
hari terbaring lemas karena flue jahanam yang menyerangku, sehingga menyisakan
batuk yang sangat menganggu walau badan sudah enakan.
Seperti biasanya ayahku menyurh
aku segera menikah. Bahkan beliau menwarkan untuk menikahi seorang gadis anak
kenalannya. Dia baru smsester 2 kuliahnya di Fakultas Ekonomi. Aku jawab dengan
halus, bahwa aku malah sedang dibuat bimbang karena aku tertarik dua gadis saat
ini. “Ayo kau kenalkanlah sama kami” sahut ibuku.
Aku merasa tidak enak
mengatakannya karena kedua gadis ini, orang-orang yang telah mapan dalam
kerjanya. Pasti ayahku akan bilang tidak romatislah, odipuss komplek lah. Akan
ku coba menjelaskan nanti siang saja siapa tahu salah satu diantaranya mampir
ke tempatku. Apakah Luna atau Marlina akan mampir. Biasanya mereka mampir kalau
mendengar aku lagi sakit, sama seperti aku akan mengunjunginya kalau mereka
sakit.
Ternyata benar, pagi itu Luna
datang membawakan aku bubur ayam. Terima kasih Luna, kau telah mampir. Silahkan
masuk……, dan kenalin ini kedua orang tuaku. “Selamat Pagi Kami orang tuanya
Reno, aku ayahnya Reno, panggil saja papa
Ratno dan Ini ibunya Reno, kau bisa panggil mama Reni”. “Ya selamat Pagi, saya
Luna….” .
Ayah berterima kasih kepada Luna,
yang telah memperhatikan aku. Bahkan dia langsung menebak bahwa Luna adalah
pacarku, sehingga Luna memerah mukanya. “Bapak Tanya saja Reno… apa namanya
hubungan kami” “Ayo Ren, pasti pacarkan….?” Ayah mendesakku agar aku segera
memperkenalkan kedua orang tuaku ke orang tua Luna.
Kalian menunggu apa lagi, kalian
segeralah menikah. Ayah tidak akan mencampuri pilihan kalian. Karena aku sudah
merasakan bagaimana rasanya kalau orang tua pilih-pilih calon untuk anaknya,
aku sudah alami. Segeralah kau bina hubungan ini agar menjadi lebih mantap,
menuju ke jenjang pernikahan. Bapak dan ibu akan sangat mendukungnya. Aku
sangat merindukan punya mantu dan cucu dari anak sulungku ini.
Keringatku ngucur sepagi itu.
Ayah to the point saja rupanya berbicara pada Luna yang terbiasa berbicara
runtun dan sistimatis. “Semua itu inisiatif kan ada dari pihak pria pak, kami
pihak wanitanya akan memberikan respon”. “Orang tua yang mana tidak
mengharapkan putraputrinya segera menikah kalau mereka sudah mapan, sudah
bekerja, punya usaha sampingan seperti Reno” sambung Luna.
Ayahku kelihatannya nyambung ngobrol
sama Luna. Maklum psikolog yang mudah nyambung berbicara dengan siapa saja.
Ibuku kelihatannya bengong saja, diam seperti kebanyakan wanita desa yang hanya
membiarkan suaminya yang berbicara, sebelum dipersilahkan memberikan suara. “Bagaimana
menurut Ibu, setuju kalau kita punya mantu nak Luna” kata ayahku.
“Aku serahkan ke ayah saja,
pilihan Reno kan pilihan kita. Pilihan ayah juga pilihan aku” katanya. Luna
berpamitan dengan kami, karena dia sudah mempunyai janji siang ini dengan
kliennya di Kantor Biro. Dan ia sempat menawari orang tuaku untuk mampir
berkenalan dengan keluarganya. Kami mengantarkannya sampai di mobilnya, ayahpun
kelihatan memanjakannya dengan membukakannya pintu mobilnya.
Ayah memujiku karena aku memilih
seorang gadis yang sangat luwes, santun bahasanya. Kami perhatikan memang tubuh
Luna, tinggi semampai layaknya seperti seorang penari kebanyakan. Pinggangnya
panjang dan lehernya jenjang, rmabut lurus terurai dan matanya itu …… cerlang
cemerlang seperti bintang.
KUjelaskan kepada orang tuaku
bahwa Luna sebenarnya konselorku, yang memotivasi aku agar segera merampungkan
kuliah yang sebelumnya smepat madeg beberapa lama. Memang aku tertarik
dengannya, begitu pula dengan Luna. Hanya kujelaskan kepada ayahku bahwa dia
puti tunggal seorang anggota parlemen, seorang pengusaha. Tapi beliau sangat
demokratis menyerahkan pilihan hidup anak-anaknya ke mereka masing-masing. Luna
putrid bungsunya sekarang tinggal berdama ke dua orang tuan ditemani dua
ponakannya.
Sebenarnya tidak jauh beda dengan
orang tuaku, hanya saja ayah kelihatannya selalu memburu aku agar segera
menikah. Katanya tidak mau seperti mereka yang menikah telat. Memang ayah telat
menikah, tetapi karena beliau orangnya easy going dan menikmati hidup ini,
kelihatannya lebih muda duapuluh tahun kebanding umurnya.
Tak terasa aku berbincang dengan
orangtuaku sudah cukup lama rupanya, hari sudah tengah hari. Aku coba bubur
bawaan Luna. Kelihatannya enak sekali, mari yah kita cobain buburnya Luna.
Kamipun bertiga menikmati bubur bawannya Luna. Rupanya bubur Manado, masih
panas, rupanya ibuku memanasi sebelumnya. Kata ibuku ini dibuat dengan bumbu
kasih-sayang makanya rasanya sangat nikmat. Hahahaha aku tertawa berderai
bersamaan dengan ayahku. Ayah mengatakan kepadaku bahwa ibuku dulu seperti
Luna. Badannya masih kelihatan bagus karena ibu seorang penari, sampai saat ini
juga masih melatih memari di waktu senggangnya melatih anak-anak SMP di
kampungku, yang kebetulan lokasi sekolahnya tidak jauh dari rumah.
Ayah mendesak aku, untuk mengajak
mereka berkenalan dengan keluarga Luna. Aku malah takut bila ayah secara
buru-buru mengungkapkan keinginannya untuk menikahkan aku dengan Luna. Aku
sebenarnya belum pernah secara serius mengungkapkan isi hatiku kepada Luna.
Tapi kalau aku perhatikan ia tahu kalau aku saying padanya, demikian juga aku
merasakan bahwa dia saying kepadaku, walau tidak pernah terungkap dengan
kata-kata.
Dia membantuku keluar dari
kererpurukan studi dengan tanpa pamerih, dilakukannya secara professional.
Kelihatan tidak mengharapkan apa-apa. Apakah itu sifat wanita, aku tak tahu.
Dia kelihatannya menjunjung tinggi adat ketimuran, tidak akan mengungkapkan isi
hatinya mendahului ungkapan isi hati pria pujaannya.\
Hei hei hei….. kau ngelamun ya
Reno, Ayahku berteriak, Tak baik kalau sedang sakit suka melamun, nanti lama
sembuhnya. Nggak kok yah, aku sudah sembuh kok……. Nah kau belum minum obatkan
siang ini. Tadi adikmu mengingatkan aku untuk mengingatkan kamu siang mimun
obat agar cepat sembuh. Ok aku minum obat dulu yah.
Tiba-tiba ibuku mempersilahkan
seseorang untuk masuk rumahku. Aku turun ke bawah kutemui mereka setalah minum
obat. Hehehe ternyata Bu Marlina.
“Selamat Siang Reno”
“Selamat Siang Bu, apa kabar”
“Baik, Baik, bagaimana kesehatanmua Reno”
“Lumayan Bu, mudah-mudahan besok sudah mulai bisa ke kampus”
“Baik, Baik, bagaimana kesehatanmua Reno”
“Lumayan Bu, mudah-mudahan besok sudah mulai bisa ke kampus”
Oh kenalin Bu. Ini orang tua
kami. Ini ayah, “Panggil saja Papa Ratno” dan ini ibu “Selamat Siang, pamggil
saja mama Reni” “Wah aku ngiri melihat kalian masih memiliki orang tua masih
lengkap”. Ibu Marlina kukenalkan kepada orang tuaku, adalah rekan kami sesame dosen
sekarang di kampus, sebelumnya sebagai pembimbing skripsi dan tesisku.
“Wah-wah kau sangat beruntung Reno, memiliki dosen
yang masih…….. seperti Bu Marlina
ini, masih segar, semangat, cantik lagi”
“Bapak bisa saja, saya juga tidak
menyangka bahwa bapak semuda ini sudah punya putra Reno”
Ibuku kelihatannya tidak senang
kalau ayahku memuji Bu Marlina. Aku harus menetralisirnya. Kulihat ibu telah
menyiapkan minum, kupersilahkan Bu Marlina minum. Kami menikmati sekali siang
itu. The buatan ibu yang sudah lama tidak aku rasakan, siang itu aku rasakan
kembali. Pisang gorang sebagai oleh-oleh dari kampong aku cobain bersama. “Wah
pisang gorengnya lain ya Ren” ucap Bu Marlina. Memang bu, itu pisang khusus dipakai
ibuku, namanya pisang ‘gedang sabo’ rasanya manis, kental tidak berminyak,
kering karena memakai tepung beras.
Setelah Bu Marlina pamitan dan
aku janji besok akan mulai ke kampus, ayahku naluri lelakinya muncul. Reno itu
Bu Marlina juga cocok untuk kamu, kelihatammya ia tertarik sama kamu. Masak
seorang dosen melihat anak muridnya sakit. Jangan-jangan kau play boy ya Reno.
Itu bodynya sangat sintal, dandanannya masa kini, apa nggak bikin pusing para
muridnya. Komentar ayahku tentang Bu Marlina.
Ayah perhatikan badannya tinggi,
padat berisi, dan jalannya sangat energik. Bagaimana pendapat ibu tentang Bu
Marlina, apa cocok jadi mantu kita. Aduh aduh, ini bapak seperti anak muda yang
baru puber saja. Memperhatikan wanita sebegitunya……. . “itu kan aku hanya
mewakili Reno, menilainya bu. Rupanya mereka sengit berdebat tentang Luna dan
Marlina, kudengar dari kamarku. Setalah Bu Marlina pergi, ibu menyuruh aku
istirahat di kamar agar cepat sembuh.
Ibu masuk ke kamarku, karena ayah
istirahat di kamar adikku. Ibu sih terserah kamu Ren, yang mana kamu pilih. Toh
siapaun pilihan kamu dia akan menjadi menantu ibu. Ibu hanya mengharapkan ia
dan keluarganya mau saling menghormati
dengan keluarga kita. Apalagi ibu kan orang kampung. Mungkin karena ibu seorang
penari, kelihatannya dia lebih serek dengan Luna, tapi ayah yang masih senang
rupanya melihat cewek modern masa kini, juga mengharapkan aku memikirkan juga
Bu Marlina.
Kubilang keibuku, bahwa kalau
memang jodoh tidak akan kemana. Biarkanlah aku menikmati masa masa bebas aku,
untuk melakukan penilaian terhadap mereka, termasuk melihat gadis anak kenalan
ayah yang hendak dijodohkan kepadaku.
Akh kepalaku jadi pusing ma,
kalau memikirkan itu. “Tak usah kau pikirkan terus”, kata mamaku. “Nikmati saja
seperti aliran sungai yang mengalir, menikmati benturan, muncratan, terjunan
dan sebagainya, dan tetap mengalir menuju muara”. Asal kau tidak menyakiti
satupun dari mereka ibu setuju, tapi kau harus punya pilihan.
Ibupun tak kusadari telah lama
memijit mijit kakiku, sama seperti beliau memijit kakiku saat sakit masa
kecilku bersama beliau. Suatu pijatan penuh dengan kasih saying. Dalam hati aku
berjanji akan mencari psangan yang mendekati sifat ibuku. Dia tidak pernah
menuntut. Sangat menikmati kesehariannya. Sehingga aku lihat ayah sangat nyaman
bersitrikan ibuku.
Wajah Luna, dan wajah Bu Marlina
silih berganti muncul dibenakku, sampai kusaksikan mereka berdua berantem,
saling ledek satu sama lainnya, sehingga aku berteriak “diam”………………………….
Hahaha kau mimpi rupanya Reno,
kamu tetap sama seperti saat kau kecil, bila sakit ibu pijitin kakimu
ketiduran. Kau mimpi apa……..tanyanya. Akh aku memipikan kedua gadis tiu ibu……
Kalau mimpi mimpikanlah satu sehingga kau menikmatinya…. Jangan dua-duanya
sehingga menjadikannya kau berteriak.
Alamak….rupanya
instinkmu tahu kalau aku memimpikannya.
Pondok Betung, akhir Maret 2014.
Di tunggu Pak, Sobar-7.....terimakasih
BalasHapusSabar Pak Kadarsyah, mencari inspirasi dululah
Hapus