DUA WANITA PLUS SATU
Angin dingin musim kemarau masih sangat terasa menusuk kulitku. Bunga kamboja masih terlihat rajin rontok, walau halaman baru saja disapu Meyan. Kulihat Mami sedang duduk santai di Bale Bengong, menikmati the sore serta sepiring makanan kecil. Itu kulihat dari bali jendela kamar tidurku. Aku terasa sangat capek, setalah hampir seharian menemui beberapa Guru Besar, yang mau menjadi pembimbing tesis S2 ku. Meraka umumnya mereka sangat tertarik dengan topik yang ku pilih, masalah Penyakit Malaria pada Anak-anak. Mereka sangat minim pengetahuan tentang malaria, bahkan ada diantara mereka sejak jadi dokter belum pernah ngobati malaria. Besok aku ada janji dengan Dekan Fakultas Kedokteran, yang mengundangku untuk berdiskusi proposal yang aku susun.
Akh lupakan sejenak masalah
proposal, aku ingin segera bergabung denga Mami, rilek sejenak ikut menikmati
sandiakala –waktu senja menjelang malam- ngobrol di Bale Bengong, siapa tahu
beliau ad ad aide, memberikan aku jalan keluar, karena ku tahu kenalan beliau
sangat luas, termasuk di kalangan IDI Daerah. Ku rapikan rambutku, dan segera
bergabung di Bale Bengong.
“Selamat Sore Rani” Mami
menyapaku duluan. “Selamat Sore”, jawabku. “Bagaimana dengan proposalmu, apa
sudah ada dosen yang bersedia menjadi pembimbingnya?”. Akh belum mami, semuanya
mengatakan tidak punya pengalaman dengan wabah malaria. Malah ada yang
mengarahkannya ke penelitian demam berdarah, atau flu burung. Tapi Rani masih
ingin memberikan sedikit sumbangsih ke daerah Papua, yang telah mewarnai karir
dan profesi Rani sebagai seorang dokter.
Udahlah mami, kita tidak usah
membicarakan itu dulu, Rani percaya pasti akan ada pembimbing yang bersedia,
besok Rani diberikan waktu Pak Dekan untuk ketemu jam !0 pagi, ketemuan di
ruang beliau. Mudah-mudahan beliau memberikan jalan keluar, terang ku. Oke tak
mengapa kalau kamu optimis begitu, mami yakin pasti akan segera terpecahkan.
==***===
“Selamat Sore, Nyonya dan Nona”,
suara Meyan memecahkan kesunyian sore itu, dan menyela pembicaraan kami. Meyan
rupanya menyiapkan tek sore juga buatku, setalah melihat aku bergabung di Bele
Bengong.
Mengenai tawaran Mami, Rani fikir
terlalu munafik kalau Rani tolak. Karena sebenarnya Rani sudah tertarik dengan
Cokde yang super cuek itu. Saat aku merawatnya, tanpa mengurangi
Profesionalitas kerja aku tertarik sama pasienku ini. Sudah hampir setengah
tahun lebih saat kami bertemu Mami di Bumi Cenderawasih Papua, beliau secara
tidak langsung mengharapkan aku mau menerima Cokde, sebagai calon suami.
Memang aku tidak mau menjawab
secara langsung saat itu, karena aku belum tahu, bibit, bobot, bebet beliau.
Orangnya memang sangat mudah bergaul, sangat mudah ‘tune in’ diajak ngomomg
apapun, walau ku tahu Cokde seorang pengemar seni, suka mengumpulkan barang
barang antic berbagai etnik, dan suka berpetualangan geologi, sehingga
pengetahuannya terhadap bebatuan,
singkapan batuan sangat mumpuni.
Tapi saat aku berbicara dan
berdiskusi dengen Dokter Regina masalah penyakit, ternyata nyambung juga malah
sangat fasih dengan istilah-istilah medis, sehingga etis nggak ya kalau hal ini
kutanyakan kepada mami. Karena saat kutanyakan ke Cokde, selalu dijawab sebagai
seorang pebisnis,pecinta seni, dan petualangan geologi.
“Mami, apa aku bias tahu, apa
pendikan Cokde yang sbenarnya”, tanyaku kepada mami. Kenapa hal itu kau
tanyakan kepada mami, nggak langsung saja ke Cokde. Karena masalah itu sangat
pribadi, dan mami sudah memegang teguh hal-hal seperti ini tak akan mau
menjelaskannya. “ Kau Tanya saja langsung ke Cokde, atau nanti juga kau tahu”, jawab mami. Menurutku
Cokde itu multi talenta, aku malah kawatir kalau-kalau nantinya aku tak bias
nyambung kalau berbicara dengannya, bila sudah menjadi istrinya. Akh lamunan
liarku kemana mana tanpa diketahui Mami.
“Bagaimana Nak Rani, apakah sudah
siap kalau acara lamaran Mami, segerakan” suara mami memecah lamunanku. Akh
mami bias saja, kan studi Rani belum pasti di universitas Udayana. Masalah
menikah menurut Mami tak ada kaitannya dengan pendidikan, apalagi kalian telah
dewasa. Rani sudah dua puluh delapan tahun, dan Cokde sudah empat puluh tahun.
“Kalau urusan studi, mami
tanggung jawab, kalau sampai waktunya belum dapat pembimbing” ujar mami. Aku
jadi malu dengan tantangai itu. Kan masih ada janji dengan Pak Dekan besok
mami, biarlah Rani mengahdap dulu
kedapanya. Kalau Rani sudah menyerah, baru memohon bantuan mami, jawabku. Nah
harusnya begitu, tak usah mudah menyerah, bila perlu mami ikut ketemu dengen
Pak Dekan, dia Prof Gde Malian kan. Itu dulunya asisten Bapak saat masih aktif.
Masalah yang masih mengganjal
hatiku adalah masalah keluargaku. Karena aku tidak tau kedua orang tuaku. Yang
ku tau aku dibesarkan di Panti Asuhan, dan sekolah di dukung oleh Gereja,
khususnya Romo Nappeng. Apakah mami bsa menerima keadaanku, yang tidak jelas
asal usulnya, serta tidak punya orang tua sebagai wali nikahku.
Kujelaskan kepada mami semua itu,
dan mami bias memakluminya. Malah ingin ketemu langsung dengan Romo Nappeng,
ingin mengutarakan niatnya akan mempermantukan aku, dan merundingkan hari pernikahan.
Minggu lalu sempat kutarakan minat mami kepada Romo, dan Romo menyerahkan semua
keputusan padaku.
Kuingat pesan beliau. Rani, kamu
sudah dewasa kamu bias memutuskan sendiri masalahkamu, Romo akan mendukung
apapun keputusan kamu. Yang Romo ingatkan untuk selalu mengingat Tuhan, walau
dengan cara manapun. Karena hidup ini ibarat air yang mengalir disuangai dia
akan bermuara pada terminal akhir yaitu kematian. Sedangkan dalam kematian
sejatinya semua rokh kita akan kembali, ke asalnya. Manunggal Ing Kawula lan
Gusti, dimana kembali nya arwah menyatu kemali ke asalnya Tuhan Yang Maha Esa.
“Mami, semua keputusan itu ada di
tanganku< Romo berpesan apapun keputusanku, beliau akan mendukung”, ujarku.
Nah apalagi begitu, apa yang kau nak Rani tunggu lagi, bantulah Mami, berikan
segera jawaban yang pasti. Sehingga Mami dapat mempersiapkan dengan segera
segala-sesuatu yang terkait, termasuk pertemuan Mami dengan Romo Nappeng, di
Salatiga, atau beliau kita undang kesini” kata mami.
Sebenarnya aku juga malu menyampaikannya
kepada mami, beliau sangat baik kepadaku, demikian juga kepada orang lain yang
menjadi tamunya. Seharusnya mami sudah tahu jawabanku. Tingkah lakuku, terhadap
keluarga beliau. Beliau taklu mengejar jawaban formal dengan ku. Aku sebenarnya
siap diambil menjadi mantunya, karena sesungguhnya sejak pandangan pertama aku
dan Cokde sudah ada chemistry. Bukannya aku Geer, itu feelingku berbicara.
Terserah mami, kataku. Kapan mau
bertemud engan Romo Nappeng, saranku sebaiknya kita, maksudnya mami, saya dan
Cokde yang mendatangi beliau di seminari Salatiga, karena kudenngar beliau
karena usia, telah mengurangi kegiatannya. Hanya memimpin persembahyangan
Minggu pagi saja. Tapi menurutku, akan lebih baik bila sudah dapat pembimbing,
dan persetujuan proposal dan studiku telah pasti dilanjutkan disini. Bau wangi
aromatic, dan asap dupa karena Meyan telah melakukan persembahyangan, sandikala
pun bergerak menjadi malam, teh sore dengan pisang keju bakarpun telah habis
kami nikamti, mami menyalami dan mencium pipiku. Terlihat benar di keremangan
awal malam, kebahagiaan Mami dengan jawabanku. Beliaupun berjanji akan menemani
aku ke Dekan besok pagi, karena beliau pas agendanya kosong besok pagi. Beliau
ingin ketemu dengan Prof Malian, lengkapnya Prof I Gde Made Maliana, tapi lebih
dekenal dengan Prof Malian.
“Nah Meyan ikut Bahagia Kanjeng
Mami, Mudah-mudahan salaman tadi pertanda sudah menjadi awal berita baik”,
tiba-tiba suara Meyan mengagetkanku. Meyan salaman dan mencium tangan Mami.
Demikian pula kami memberikan salam kepada Meyang, sambil memberikan cium pipi
kepadanya. Meyan mempersilahkan kami untuk berkemas makan malam yang sudah
dipersiapkannya. Tapi Mami memerintahkan mala mini, makan malam agar dilakukan
bersama dengan seluruh anggota keluarga yang ada di Puru Gading. Meyan tolong
sampaikan ke Cokde, Yande, agar sejam lagi kita bias bertemu di meja makan
untuk makan bersama.
Ini pertanda Kanjeng Mami sedang
berbahagia, Meyan pun mengiyakan dan segera menghubungi keluarga yang belum
sampai di rumah, agar segera bergabung di Ruang Makan, untuk Makan Malam
bersama.
Kami pun bubaran setelah
berpamitan kepada Mami dan Meyan, untuk mandi dulu, sebelum acara Makan malam
bersama. Bukan mami saja yang berbahagia. Rupanya hatikupun berbagahagia.
Ternyata keluarga ini mau menerima aku yang tidak tahu asal usul orang tuaku.
Kusenandungkan lagu “Diru Nina” lagu Papua kesukaanku. Diru diru Nina ooooo, sawape Diru Nina… Nina ooooo. Itu salah satu
representasi saat hatiku bahagia, selama tinggal di papua. Algu itupun kusenandungkan
selama madi.
============================================= Bintaro, awal Nopember 2013===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar