“SUNSET DI TIMAN AGUNG”
Mataharipun telah condong ke barat, dua sejoli itu telah
sampai di Timan Agung, sebuah bukit
karang yang menjorok ke laut, di Pamtai Kelating, dua lelaki tua sudah berada
di salah satu Bale Bengong menikmati semilir angin laut basah sambil
menyaksikan burung laut terbang rendah menyambar-nyambar ikan di depan gulungan
ombak. Dua kelapa muda, dua buah gelas sisa kopi, asbak yang penuh punting ada
di mejanya, serta piring dengan sepotong pisang gorang yang masih tersisa.
Meraka kelihatannya berdiskusi serius sekali.
Anak-anak remaja putri dari tukang garam nampak menyajikan air kelapa muda dengan snak
tradisional Bali.
“Silahkan Tuan”
“Kamu tak sekolah har ini”
“Pas libur Tuan”
“Keduanya bersalaman mencium Tangan Tangan Kami”.
Kemudian meninggalkan kami berdua menikmati siang beranjak sore. Mentari nampak terhalang awan CB sehingga rona keemasan memburat di langit.
Dalam hati kami berguman, sungguh besar Keagungan Tuhan dengan segala ciptaannya yang dapat
dinikmati keindahannya oleh manusia. Kami mengambil tempat sebuah Bale Bengong
yang persis berada di pojok barat daya Timan Agung, sehingga sangat dekat
dengan hantaman ombak ke tepian bukit karang terjal. Persis di muara sungai.
Terkadang muka kami kecipratan butiran air halus, saat ombak menghantam tebing.
Rani sangat menikmati minuman kelapa
muda segar yang disajikan anak-anak itu. Ia mencoba hidangan Klepon yang
dihidangkan bersama La Klak, serabi Bali yang dimodifikasi menyerupai Pancake.
Sungguh nikmat rasanya, komentarnya. Segarnya air kelapa muda dalam aroma
lemon, manisnya klepon dan gurihnya serabi semuanya menyusun kolaborasi
kenikmatan tersendiri.
“Rani, apa kau mau kopi. Akan kusuruh
anak-anak itu membikinkan kopi” tanya Cokde ke Rani.
“Akh tak usah Cok, tadi pagi aku
sangat menikmati kopi Luwak di…. mana tadi namanya”
“Di Bukit Bantiran, itu kopi
Luwak Produksi sendiri, itupun bukan yang Kelas 1, karena merupakan kopi
sortiran, yang besar butirannya tak memenuhi syarat”
“Yang sortiran saja rasanya
nikmat begitu, bagaimana yang asli Cok”
“Masalah rasa sih sama saja, kan
proses permentasinya sama, pohonnya sama, hanya besar butirannya lebih kecil”
“Iya sangat nikmat rasa kopi,
dengan pisang goreng nya yang kering itu”
“ Oh itu pisangnya dari jenis
pisang kepok khusus, yang di sini disebut dengan pisang saba”
Pisangnya memang lebih legit,
lebih kering, manis dengan warnanya kemerahan. Hanya bentuknya lebih kecil dan
lebih pipih dari kapok umumnya. Yang direbus bagaimana komentar kamu Ran. Pisang
rebusnya sangat bagus, kering dan manis dan guruh rasanya. Menjadikan aku
sepanjang jalan dari Bantiran kesini, sekitar Sembilan puluh menit tidak
tertidur sedetikpun.
“itu karena kopi apa drivernya”
goda Cokde
“iya karena pengemudi dan kopinya
deh”
Dua lelaki tua yang terlebih dulu
sampai di Timan Agung menghampiri kami, bersalaman ke kami. Meraka mau pamitan,
katanya sudah dari jam 10 pagi ada disini. Mereka menyusun strategi untuk
pertandingan tinju yang mereka rancang, dalam pegelaran tinju di Perth
Australia beberapa hari lagi. Meraka terus saja berlalu kelihatannya sangat
serius dengan permasalahannya. Berjalanpun diskusinya masih seru.
“Kayaknya seorang itu aku kenal
yang pria lokal itu” ucap Rani
“Ayo tebak siapa. Kalau kamu
pecinta tinju tanah air pasti tau dia”
“Oh siapa ya namanya, tapi kutahu
dia punya taktik seperti ayam jago mau mematuk, ayam betina mau bertelur gitu”
ungkap Rani.
Ia benar itu Daniel Bandari, dia
boss tinju professional di Bali. Dia
sangat dekat dengan mendiang ayah, walau bukan teman bisnis. Sama-sama
penggemar tinju, dan mereka kuat berdebat masalah olah raga keras itu, ber
jam-jam disini. Tempat ini memang tempat yang sering mereka pilih dalam
merancang, ataupun sekedar debat masalah tinju. Penjaga dan pelayan, sudah dua
generasi hafal dengan mereka. Demikian juga kesenangannya, dengan minum kopi
pahit, dan suka makan ikan bakar segar yang dibeli langsung kenelayan. Pak
Daniel itu sangat piawai membuat bumbu ikan bakar. Pak Daniel juga mengangkat
beberapa dari mereka sebagai anak asuh, ada yang dididk tinju, ada yang
disekolahkan.
Rani sangat terkesan dengan
pembudidayaan kopi luwak di Bantiran, semua kebun yang satu dengan yang lainnya
di sekat dengan pagar kawat ayak secara permanen, yang tidak memungkinkan untuk Luwak berpindah
tempat. Semua kebun selalu ada pohon cemara, pohon pisang kapok dan burung punglor,
sudah tentu pohon kopi yang di tanam sangat teratur, dan luwak hidup liar
dengan nyaman.
Burung punglor sangat berguna
untuk memakan ulat-ulat yang mengganggu kopi, daun pisang dan cemara merupakan
bahan baku untuk sarang punglor yang berkembang alami di kebun kopi. Bila kau
perhatikan di kebun tadi Rani, kamu pasti lihat ada tempat-tempat yang basah
dan beberapa batang pohon cokelat. Karena itu akan menjadi tempat cacing
berkembang biak sebagai makanan tambahan burung punglor, dan pohon coklat
tempat sebagian burung bersarang karena lebih rimbun, dan lebih jarang di jamah oleh pekerja kebun. Setiap kebun
menurut organisasi subak abian, minimal memilki 5 ekor punglor, selebihnya
boleh di jual.
“Kopi yang kau sruput tadi pagi
itu, juga dicampur sedikit coklat yang diproduksi sama dengan proses kopi
luwak. Buah cokelat yang sudah matang juga disenangi oleh Luwak, dan bijinya
kemudian keluar bercampur dengan kotorannya. Jadi kopi maupun coklat semuanya
hasil permentasi di usus Luwak itu.
Kedua insan yang sedang dimabuk
asmara ini menjalin tali kasih mereka sambil menikmati cepatnya sore berselang
menuju sandi kala, matahari sangat anggun menuju peraduannya. Momen indah itu
diabadikan oleh para pengunjung Timan Agung. Aku tak memperhatian mereka,
ternyata ada enam pasang touris bule,
yang mengisi Bale-Bale Bengong yang kosong, dan menikmati hidangan special Timan
Agung sama seperti kami. Kelihatannya mereka sudah lama datang.
Mereka semuanya menggunakan tele
lens untuk mengabadikan Mentari berangkat ke peraduannya sebagai sunset of
Bali. Merakapun bersorak sorai saat mentari lengkap hilang di ufuk barat daya dan semburat malam sudah tiba. Senja itu kami memang tidak mau membicarakan
masalah-masalah yang harus kami selesaikan, dalam tujuan Rani mampir ke Bali.
Anak-anak remaja petugas waitress
di Timan Agung, yang menjadi binaan Keluarga Cokde, telah mulai membersihkan
sampah yang ditinggal para tamu. Rupanya kaleng bir telah bersrakan sisa
minumnya para Bule. Cokde terlihat bernjak
menyalami mereka dan memberikan sesuatu, dan berkata.
“Dibagi rata ya”
“Inggih Thank You, Tuan” mereka
memang disuruh membiasakan diri berbahasa inggris.
“OK lanjutkan bekerja. Bekerja yang
baik ya dik”
“Ayo Rani, kita berangkat pulang
ke Puri”
Rani ikut mengucapkan terima
kasih ke mereka itu, dengan sopannya mereka mengantarkan kami sampai keparkiran
mobil. Mobil kami merupakan mobil
terakhir meninggalkan Timan Agung.
Hari mulai gelap, diperjalanan
kami disambut rembulan, bentuknya bulat
sempurna keemasan, karena kami tak sadar bahwa malam itu malam bulan purnama. Mobil
kujalankan perlahan saja menyusuri jalan selatan saja, melintasi jalan Tanah
Lot, dengan suara deburan air laut sepanjang perjalanan. Beberapa kali menemui
mobil wisata yang pulang dari Tanah Lot, sama sepeti tujuan kami memburu sunset
Bali. Sepanjang jalan kami dapat menyeksikan rembulan, karena arah perjalanan
kami dominan ke timur.
“Bagaimana Ran, apa kamu
menikmati hari ini”
“Very much, I am enjoy Gus”
Sykurlah kami bersama dapat
menikmati hari ini, dengan melupakan
segala urusan bisnis yang membelit, dan harus diselesaikan setiap hari. Aku tak
tahu kok Mami bisa enjoy ya menjalani harinya dengan begitu banyak kesibukan
lamunku. Aku saja merasa kewalahan padahal baru sekitar lima tahunan membantu
beliau.
Memang sepertinya. kalau sudah
profesi semua dapat dinikmati dalam
passion. Passion aku mungkin di profesi lain, profesiku semula, sebagai Dokter
spesialis, sebagai dosen, dan sebagai peneliti mikrobiologi. Mungkin Mami menikmatinya,
sama dengan saat aku memyaksikan pasienku sembuh dan datang bertandang kembali,
atau sama seperti senangnya aku menerima berbagai pujian dan uplause saat
membawakan hasil penelitianku di Simposium Internasional. Rupanya selama lima
tahun ini passionku semu, atau passion pelarian. Apa karena Rani ya aku
berubah.
Aku sangat menikmati bagai mana
memperhatikan anak bimbinganku dipanggil naik podium untuk memberikan sedikit testimony
karena mereka lulus summa cum laude
saat diwisuda. Mungkin aku harus segera menemui Prof Malean, aku terima saja
tawarannya, dengan menyingkirkan egoku, karena sebenarnya aku sangat merindukan
kembali ke kampus, dan kembali ke rumah sakit. Tidak hanya sebagai hiden
konsultan saja, harussssssss, teriakku. Tak
sadar rupanya aku berteriak. Sampai Rani terkejut dari keheningannya menikmati
rembulan.
Aku akan segera mendiskusikan hari yang pas
untuk hari pengukuhan Guru Besarku. Menerima tawaran temanku untuk kembali ke
kampus. Dan ikut membantu Rani sebagai promoter S3 nya, seperti tawaran Pak
Dekan. “Apa tak di cap KKN nanti, karena Rani sebentar lagi jadi istriku” Aku
tak boleh mempunyai pikiran dan dihantui pikiran itu, aku harus Profesional”. Sebagai
dosen dan peneliti, aku punya etika profesi. Etoa akan menjadi pedomanku.
“Ada apa Gus, kok berteriak”
“Akh enggak aku Cuma kesenangan
bersama kamu menikmati hari yang indah ini”
Rembulanpun sudah meninggi, ku
minta Rani menghidupkan tape mobil karena sedari pagi sebenarnya telah
kusiapkan sebauh kaset kesenangan Ayah, yang sering ku dengar beliau menyetel
saat menjelang malam, kalau lagi berbahagia. Sudah “on” kan saja di dalamnya
sudah ada CD. Rani meng “on” kan dan terdengarlah sebuah lagu pop mandarinnya
The Mercy’s. yang syairnya cocok dengan hampir seluruh suasana hati kami.
Di suatu malam yang indah
Di bawah bulan purnama
Duduk bersama
Dua remaja
Memadu kasih Asamara
Si Pria merayu rayu
Sang Gadispun malu-malu
Dia bertanya Pada sang Pria
Agar hatinya percaya.
Hahahahaha Rani tertawa terbahak,
lagunya romantic Gus, tapi sangat melo. Kita kan bukan remaja Gus. “Ya kan tak apa, anggap saja masih remaja,
biar awet muda:. Hahahahah Rani tertawa lagi,
“Oke oke aku setuju Gus, kita
Remaja Tua”
“Boleh-boleh mungkin itu lebih
pas, post remaja”
Itu lagu kegemaran mendiang ayah
dan Mami yang diam-diam aku rekam kembali ke CD sehingga lebih awet untuk
disimpan, karena aku sudah lama menunggu momen menyetelnya. Ternyata hari ini
adalah hari yang pas. Aku senang karena kamu Ran menikmatinya juga.
Tak terasa mobil sudah memasuki
halaman Puri Gading, aku langsung bawa Rani ke Garasi, dan tak menurunkannya di
lobi. Disana Rani lagi memberikan ciumannya yang hangat kepadaku dan berucap “Terima
kasih Gus, aku sangat menikmati Hari ini”
“Terima kasih juga Ran, syukur
kamu dapat menikmatinya”
Diapun meninggalkan garasi, dan
aku menyusul di belakangnya ………
Memang hari yang panjang…….
Dan hari yang sangat menyenangkan
Membangkitkan semangatku
Untuk kembali ke passion
Profesiku semula…..
==Bukit Jimbaran, Desember
2013===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar