Social Icons

Selamat Datang di Blog Itik-Bali

Selamat Jumpa Pembaca yang budiman, selamat datang di blog ini. Blog ini dibuat hanya untuk proses pencurahan hati dan ingin menghibur pembaca sekalian.

Dengan bahasa ringan sehari-hari, saya ingin berbagi cerita pendek yang mudah-mudahan bersambung, sehingga pembaca sekalian diundang untuk melepas lelah dan penat di blog ini.

Semoga pembaca sekalian menikmati dan terhibur setelah membaca. Tentu komentar dan saran anda sangat kami nantikan.

Salam

Sabtu, 26 Desember 2015

Pak Guruku Jaim Sekali



“OBROLAN GURUKU MENJELANG UJIAN PAS HARI ULANG TAHUNNYA”


Honai Rumah Asli Papua (google.com)
Pak Guru ku ini dikenal orangnya sangat serius, jarang ketawa, apalagi tersenyum. Salahpun jarang minta maaf paling-paling nyengir. Jaim sekali dia, maklum saja dia Guru Fisika, tamatan Universitas Ternama, kepalang basah jadi Guru, karena keasyikang di Bimbingan Belajar saat menjadi Mahasisea, sehingga oleh seorang Kepala Sekolah kala itu ditawari menjadi guru tetao, jadi PNS di sekolahnya.
Saat itu memang guru Ilmu Pasti – Matematika, Fisika, Kimia, Biologi- memang susah pada saat itu. Singkat certia tawaran diteimanya. Sehingga bagai Umar Bakri dia tetap menjadi guru pada usia paruh bayanya. Dan istrinya yang cantikpun konon bekas anak didiknya, yang kasihan melihat Pak Guru menjadi Bujangan Lapok.

Pada pelajaran terakhir para muridnya meminta Pak Guru sedikit bercerita lucu kepada muridnya. Hehehe Mahasiswa nya sebenarnya, karena belakangan setelah menyelesaikan Pasca Sarjana nya Pak Guru di mutasi menjadi dosen. Kebetulan dosen di Perguruan Tinggi Kedinasan (tapi Bukan STMKG lho). “Ayo pak cerita pengalaman lucu bapak menjadi mahasiswa, atau pengalaman menjadi guru agar kita orang tara stress bapak” seorang mahasiswanya nyeletuk. Dari logatnya ia anak-anak dari intim, Indonesia Timur.

Dengan tidak menghilangkan gaya jaimnya Pak Guru bercerita. Tapi kalian kan sudah dewasa semua kan. Siapa tahu cerita Bapak ini ada yang 18+? Tanya Pak Guru
Mereka secara serentak berteriak sudah pak!

Nah cerita pertama

Lebaran Kemaren bapak pulang kampong, bapak sempat mampir kekantor kita di daerah. Aku bertemu banyak bekas anak didikku walau aku ditempatkan disini baru beberapa tahun belakangan. Kulhat mereka sangat menikmati menjadi PNS sepeti bapak ini. 

Seorang pagawai bekas murid bapak memperkenalkan teman-temannya, yangs atu persatu datang pagi itu, karena Bapak sampai kantornya kepagian.

Itu Pak Lihat si Mamat, angkatan 2005 sekarang sudah naik Yamaha NMax baru pa. Tak lama lagi datang Tony, nah itu Tony pak si kutu buku kerjanya sekolah melulu, dia baru selesai S2 mau melanjutkan ke S3. Nah yang belakangan ini Pani, yangs erring bapak ledek dulu hebat dia, gara-gara tukin dia ambil Avanza Veloz Pak. AKu terheran-heran.

Kalau bapak sih memang orang kampung, bapak tidak bangga melihat kalian dengan motor-motor baru itu. Bapak lebih bangga kalau kalian bisa kaya Toni. Dan bapak kalau jadi kalian akan lebih bangga memperkenalkan “siapa yang ada dibelakang kalian saat mengemudi motor” atau siapa yang ada di samping kalian saat mengemudi.
Murid-muridnya pada bengong. Telmi…… kemudia tertawa semua Hahahahahahaha

Cerita kedua:

Cerita ini bapak dapatkan saat bapak Menjadi Sumber Belajar pada sebuah bimbingan test ternama di ibu kota. Kelasnya kelas intensip menjelang UMPTN. Saat itu materi hari itu sudah habis, sebagai formalitas aku persilahkan anak-anak muridku nanya kalau ada pertanyaan, kalau tidak kita bubar tawaranku. Mereka umumnya tak mau buru-buru pulang, karena umumnya mereka dijemput pada waktunya.

Seorang murid bertanya dengan polosnya. Bapak Tanya katanya. Silahkan kataku. Ini Bapak Aku mau Tanya biologi bolehkan. Silahkan kalau bapak tak bisa jawab bapak Tanya Ibu Guru Biologi jawabnya. Begini tanyanya. Kita tahu bahwa kalau perkawinan antar Ras, misalnya Lakinya Kulit Putih, dan sitrinya kulit hitam ( seperti kebalikan pasangan Kim Kardasihan ), anak mereka bisa putih, bisa hitam, atau sedikit gelap saja. Kenapa kalau ayam putih, dikawin ayam hitam anaknya jarang yang putih atau yang hitam polos, pasti yang hitam ada sedikit bulu putih sisana sini, atau anaknya putih dengan selingan beberapa bulu hitam, atau bahkan hitam putih.

Kujawab: Kalian kan sudah belajar Hukum Mendel, apa sudah lupa. Tahu-tahu muridkua teriak Hooooo semua. Aku kaget Lho kenapa kataku, bapak salah katanya. Hoooo itu tho, Bapak lupa kalau kalian sudah dewasa…. Kalau jawaban dewasa kalian diam ya bapak jelaskan. Kalian pernah lihat ibu kalian memblinder telor saat membuat kue? Pernah jawabnya. Nah…. Kalau ibu kalian dan Bapak kalian itu kan bisa memblinder, kalau ayam tak bisa…. Makanya adonannya tak merata, sehingga jadi belang belang.

Mereka bengong dan telmi….. Kuambil tasku kuucapkan selamat sore ya. Baru mereka ngeh gerrrrrrrrrr rupanya proses kawin manusia dan hewan beda…… Hanya sekedar Joke

Cerita ke tiga:

Pak Gito guru yang ditugaskan di Irian Barat sehabis Pepera, Penentuan Pendapat Rakyat. Dia ditempatkan di Genyem sangat beda dengan kampong aslinya di Bantul. Daia sudah hampir sepuluh tahun di Genyem. Masyarakat setempat menanggapnya dia serba bisa walau dia sebenarnya hanya tamatan SPG Negeri. Dari mengajar, sampai mengobati orang sakit.

Suatu Hari Jhon (enggak usah disebut Fam nya), dia pu anjing su lama tram au makan, dia diam saja tara manggong, makin lama makin tak mau makan, hanya minum air saja. Jhon ingat Pak Gito pasti tahu cara mengobati anjingnya. Dia jemput Pak Gito, Jhon ajak kerumahnya. Dia tunjukkan anjingnya yang sakit. Wah Jhon anjing berburu kamu yang sakit ya. Wah bisa mati kalau tidak terobati. Pak Gito menyuruh Jhon ambil sadikit papeda hangat di dapur, siapkan nanti dikasih ya kalau papedanya sudah dingin. Lalu Pak Gito pegang Jhon pu anjing yang su jinak itu. Dia pegang kepalanya dan berkata. Su Asu, yen kuwe arep waras waraso, yen kuwe arep mati matio. Jhon memperhatikan dan mengingat mantra pak Gito. Terus kepala anjing di elus-elus dan dipukul sayang tiga kali. Jhon jangan lupa ko kasikan itu papeda kalau sudah dingin ya. Pak Gito mau pulang. Tak usah kau anter urus kopu anjing ya.

Eh ternyata setelah dirawat tiga hari peliharaan Jhon sehat dan sudah mulai mau makan apa saja. Tapi belum kuat diajak berburu. Pada Minggu kedua dia sudah bisa ajak anjingnya berburu. Dia beruntung hari itu dapat buruan Rusa yang masih muda. Dia potong dia bawa itu paha rusa sebiji ke rumah Pak Gito.

Sampai di rumah Pak Gito, sepi yang ada maitua Gito saja di dapur. Selamat Sore ibu. Sapa Jhon kepada Bu Gitu, sambil emneyrahkan sepaha daging rusa. Papa Gito kemanakah Ibu. Kok sepia pa belum pulang sekolah. Enggak kata Bu Gito, itu papa ada di kamarnya tiduran, dia sakit sudah dari kemaren, mungkin malaria kambuh.

Dengan mengendap endap dia masuk ke kamar Pak Gito, dia berdiri disebelah dipan Pak Gito sambil memegang dahi Pak Gito. Jhon pun berkata “Su Asu, yen kuwe arep waras waraso, yen kuwe arep mati matio”.  Dalam kemeriangan badannya Pak Gito tertwa terbahak-bahak, sampai diapu karinget keluar dan meriangnyapun enteng. Ayo Jhon kominta mama di dapur bikingkan Bapak Teh manis hangat, terus kau bawa kesini kita ngobrol di kamar saja.

Pak Gito pun menjelaskan arti mantra itu, yang awalnya dia hanya ingin menenangkan hati Jhon karena anjingnya sakit. Dia pakai bahasa Jawa. Dan akhirnya dua generasi beda suku itu berpelukans ambil tertawa terbahak-bahak……… Sampai-sampai Bu Gito ikut nombrung.

Yah ternyata Pak Guruku yang jaim, dan tak pernah tersenyum itupun pada hari ini kut tertawa terbahak-bahak di kelas, sementara temanku Resa dan Bagus datang membawa sekedar Kue sebagai peringatan HUT Pak Guru yang memang jatuh hari tu.
Selamat Hari Ulang Tahun Guruku.

Puri Gading, akhir 2015

Jumat, 18 Desember 2015

Kenangan Lingga Pada Neeta



“KENANGAN  LINGGA PADA NEETA”


Senja di Pantai Carita (google.co.id)
Aku terduduk lesu disamping tempat tidur, dimana suamiku tertidur pulas. Kulihat kekecewaan yang teramat berat di wajahnya. Pikiranku menjadi kemana-kemana. Antara perasaan bersalah dan pertanyaan mengapa suamiku tiba-tiba menjadi sosok yang gelisah, dengan mata nanar, mondar mandir di tepian pantai. Saat kujemput dari Villa dia duduk menyendiri di pinggiran muara menatap ombak yang bergemuruh di hadapan kami.
Memang liburan pada long week end kali ini, aku yang menyusun rencana dari pemesanan villa sampai merencanakan perjalanan. Aku sudah buat semaksimal aku mampu, namun tak kuduga akan begini jadinya. Saat istirahat di Villa, kala itu hujan lebat mengguyur kawasan pantai tempat aku liburan, petir bersahutan sekitar sejam an. Setelah hujan reda deburan ombak terdengar lebih kencang, aliran air di muarapun seakan banjir bandang. Semuanya itu jelas terlihat dari villa tempat aku menginap.
Sehabis hujan reda itulah, suamiku terbangun dan mulai kelihatan panik. Sehabis makan siang dia selalu melihat kearah laut, dia mondar-mandir dari ujung pantai ke ujung lainnya. Terkadang dia terduduk di tepian pondok dekat muara untuk beberapa waktu terus mondar-mandir lagi. Dia tidak memperhatikan grimis yang masih terkadang terjadi.
Kuperhatikan sudah hampir enam jam sejak pk 15 00 dia tidak memperhatikan apa-apa selain laut lepas, deburan ombak dan gemulung air muara menjadi perhatiannya. Pada awalnya aku anggap hal itu adalah suatu kegemarannya, namun setelah berlangsung lama aku mulai curiga. Jangan-jangan dia sakit, setahu ku saat berangkat dia sehat dan sangat bersemangat, dia menyetir kendaraan dari tempat tinggalku sampai ke Villa, walau menggunakan kendaraanku.
Dalam kegalauanku aku bbm adik iparku Ani di Denpasar, kuceritakan suamiku Mas Lingga sedang menyueki aku, dia mondar mandir di tepi pantai, terkadang duduk termenung memandangi gemulung air muara. Aku cerita beberapa hari lalau kepada adik Ani rencanaku akan ke Pantai Carita untuk liburan long week end.
Setekah kutunggu berapa lama, Ani menjawab, dia minta maaf baru jawab karena baru saja habis sembahyang. “Mbak, samperin Mas Lingga, ajak dia pulang ke rumah, batalkan saja liburannya” Hanya itu jawaban Ani. Jawaban ke 2. “ Mbak tak usah Tanya macam-macam Mas LIngga, nanti juga pasti di ceritainnya”.
Kebetulan koper perlengkapan belum ku buka. Aku minta room boy memasukkan kembali kemobilku. Aku samperin Mas Lingga, aku pegangan berdua menuju mobil, aku bilang Pasti Mas capek, tidur saja kita pulang mas. Kau tidur saja disebelahku. Aku akan menyetir kita sudahi saja liburan kita, ayo kita habiskan di rumah saja mas. Dia mengangguk  dan duduk manis disebelahku.
Mobilku pacu sedikit cepat melalui jalan tol, tak sampai sejam aku sudah memasuki garasi rumahku. Mbok Asistem Rumah Tanggaku (Mbok) segera membukakan pintu, dan membantu aku menurunkan koperku. Dia tidak banyak nanya. Mbok segera membuatkan kami minum. Mas Lingga dibuatkan the manis, dan aku dibuatkannya segelas susu stroberry di taruhnya di meja kamar kami, dan Mbok pun kembali meninggalkan kami berdua.
Kuperhatikan kembali tidur Mas Lingga sangat lelap. Namun aku tetap lihat kekecewaan berat di wajahnya. Raut wajah demikian baru kulihat sejak kami menikah Sembilan bulan lalu. Setiap long week end kami lewatkan dengan berlibur. Terkadang aku memilih objek yang akan didatangi, tapi terkadang Mas Lingga. Mas Lingga lebih bijaksana kalau dia memilih suatu objek selalu akan menawarkan dulu kepadaku, walau selama ini belum pernah aku menolak pilihannya.
Aku tetap merasa bersalah kali ini, karena aku egois, tak mau meminta persetujuannya. Apakah hati suamiku terluka dengan suasana pantai, atau pilihanku tidak cocok dengan seleraku. Dua cecak kuperhatikan sangat mesra bercanda di tembok kamar kami. Beberapa kali kulihat salah satunya mengejar yang lain, mereka bercengkerama dan melakukan hubungan badan. Aku jadi cemburu.
Masih kudengar kluruk ayam beberapa kali, setelah itu aku tak tahu, aku tertidur duduk di kursi sebelah Mas Lingga tidur. Aku tak mau kalau kalau suamiku terbangun dan keluar tanpa sepengetahuanku dalam kondisinya ‘linglung’ seperti ini. Kelihatan sangat berat beban yang dia alami. Padahal dia sangat bijaksana. Dapat dikatakan selama kami berkeluarga, kami tak pernah cekcok karena suamiku. Semua biasanya aku yang memulai. Aku merindukannya, sesekali aku ingin dia cemburu kepadaku….. eh ternyata tidak bisa.
Saking nyenyaknya tidurku, aku tak tahu kalau aku sudah dipindahkan Mas Lingga dari tempat tidur. Saat terbangun karena ada hawa hangat yang menghembus di tengkukku aku melihat dari celah korden mentari sudah sangat terang. Selamat Siang istriku. Suara itu lirih kudengar, saat itu pula pelukannya sangat erat memeluk badanku. Aku merasakan suamiku sudah pulih kembali dia memeluk ku semakin erat dan kamipun tertidur.
Hampir pk 12 siang, aku terbangun. Sarapan pagi dan makan siang dihidangkan Mbok di meja makan. Setelah mandi berdua siang itu kamipun makan siang bersama. Disanalah Mas Lingga cerita kepadaku.
“Maafkan aku Yoni ( itu nama sayang dari suami kepadaku), aku telah mengacaukan liburanmu. Lain kali sementara kamu jangan mengajakku liburan kepantai yang ada muaranya. Aku masih trauma mendengar deburan ombak yang bergemuruh, serta melihat gemulung air bah di muara sehabis hujan. Itu mengingatkanku dengan kenangan pahitku. Aku merasa bersalah tidak bisa menyelamatkan Neeta. Adik kelasku di desa. Saat menyeberangi muara, waktu kami rekreasi liburan di pantai, kami tergulung air bah, kami berdua berusaha menyelamatkan diri. Kami diselamatkan seorang nelayan yang pas mau mendarat, hanya Neeta tidak ditemukan sampai saat ini.
Kami memang rencananya dijodohkan oleh kedua keluarga kami, karena kami masih ada ikatan kekerabatan. Rencananya sebelum aku kuliah ke Bandung akan dinikahkan dulu. Aku merasa bersalah dengan kejadian itu. Aku merasa tidak bisa melindungi Neeta. Tapi ya sudahlah Neeta tak akan kembali semoga ia damai disinya. Kenangan itu terkadang mengusikku, dalam gemulung air bah di muara terbayang wajahnya yang memelas memanggilku. Suara itu lamat-lamat masih terdengar ketika deburan gemuruh ombak lautan semakin nyaring. Nah itulah yang membuat aku seperti kemarin”.
Aku juga minta maaf sama suamiku, karena aku tak tahu kalau dia mempunyai kenangan pahit terhadap suasana pantai. “Nggak apa apa Yoni, karena kaulah Neetaku yang sesungguhnya saat ini. Kaulah penuntunku disaat aku limbung dlam kehidupan ini”. Demikian juga kau mas kau telah menjadi imam ku di dalam kehidupan ini.
Aku tak sadar dalam mendengarkan permintaan maaf suamiku, aku telah duduk di pangkuannya. Sambil bercerita rupanya dia memangku aku, dan menyuapinya. Rupanya aku tidak sadar siang tiu aku makan cukup banyak, apa karena aku lapar dari kondisi semalam, atau karena makan dalam pangguan dan disuapi suamiku, mungkin juga karena rapelan sarapan sekaligus makan siang.
Aku memberikan ciuman di pipi kanan dan kiri suamiku sambil tetap gelayutan di pangkuannya.  Tepuk tangang si Mbok, mengagetkan aku. Dia mengingatkan aku ada telepon dari Villa Carita. Rupanya telpon dari Manajer Villa, dengan permohonan maaf karena mengira kami pulang cepat karena pelayanannya tidak memuaskan.
Sehabis menaruh telepon aku gamit tangan suamiku, aku ingin meneruskan kemesraan ini di kamar kami. Masa lalu biarlah menjadi kenangan yang akan buram bersama berlalunya sang waktu. Biarlah aku menjadi Neeta nya mas Lingga saat ini. Dia bilang wajah aku mirip dengan wajahnya….. membuat aku semakin sayang padanya.

Puri Gading, Desember 2015