Social Icons

Selamat Datang di Blog Itik-Bali

Selamat Jumpa Pembaca yang budiman, selamat datang di blog ini. Blog ini dibuat hanya untuk proses pencurahan hati dan ingin menghibur pembaca sekalian.

Dengan bahasa ringan sehari-hari, saya ingin berbagi cerita pendek yang mudah-mudahan bersambung, sehingga pembaca sekalian diundang untuk melepas lelah dan penat di blog ini.

Semoga pembaca sekalian menikmati dan terhibur setelah membaca. Tentu komentar dan saran anda sangat kami nantikan.

Salam

Minggu, 28 Februari 2016

Winda 6 : Kerinduan Mama Ingin Segera Pulang



“ MAMA INGIN SEGERA PULANG”

Candi Prambanan dan Kekuatan Cinta (google.com)
Sore itu aku duduk sendiri di teras hotel. Lelahku lumayan. Mamakupun belum kembali ke hotel mungkin sesi Tanya jawab, atau sesi nostalgianya yang berkepanjangan. Maklum biasanya acara seminat merupakan ajang pertemuan antar mereka setelah berapa lama tidak bertemu dan disibukkan oleh kesibukan masing masing dengan pasien dan penyakit penyakit baru. Mama memang kerap menjadi pembicara masalah penyakit anak yang menjadi spesialisnya.

Secangkir kopi capucino dan sepiring pisang goreng kipas menemaniku merajut sore itu, setelah seharian aku berkeliling Jogya. Mama merekomendasikan aku untuk pergi ke Candi Prambanan, Candi Hindu Ciwa, yang megah itu tempat pementasan sendratari Ramayana di kala bulan purnama. Sangar romantic kubayangkan, dan aku ingin hadiah pernikahanku kelak salah satu diisi dengan pentas sendratari disana.

Seperti kata orang waktu di Jogya terasa sangat lambam merambatnya. Setelah mengantar mama ke tempat seminar –kudengar kebiasaan mama tidak mau nginap satu hotel dengan tempat acara- aku meluncur ke Candi Prambanan di temani sopir sewa Pak Novek yang sangat sok akrab dengan kami, tapi dia sangat lincah mengemudi, aku sering tertidur sebentar dibawanya, dia hafal dengan tujuan yang kucari dan sangat humoris.

Lamat-lamat di sistem radio hotel kudengat alunan rindik, dengan lagu-lahu nusantara. Lagu manuk dadali, walang kekek, sampai lagu bali Putri Cening Ayu.  Kubayangkan betapa setianya lelaki zaman dulu, kalau dikaitkan dengan cerita Novek tentang pembangunan Candi Prambanan. Dalam anganku betapa bahagianya wanita yang mendapatkan lelaki seperti Bandung Bondowoso, yang bersedia membangunkan candi untuk kekasihnya. Walau sebenarnya itu hanya sekedar cara halus untuk menolak cintanya. Betapa polosnya pikiran lelaki zaman dulu ya. Hahahaha ….. dalam batinku kok begitu mudah ya memperdaya lak-laki.
Sambil nyeruput kopi aku meandang jauh kea rah utara dari teras hotelku, terlihat jelas sosok Gunung Merapi yang melumat tubuh kokoh Marijan saat letusan terakhirnya. Marijan sosok Bandung Bondowoso. Marijan sangat cinta dengan pekerjaannya dan sangat setia dengan masyarakat lereng Merapi, sama dengan kecintaannya dalam membuat tetenger prilaku Merapi. Sebagai abdi dalam dia setia memantau secara visual, membuat upacar terkait dengan prilaku Merapi.

Siang tadi aku sempat sejenak melihat sisa sisa letusannya. Betapa besarnya kekuasaan dan kekuatan Tuhan yang dikeluarkanNya melalui kemampuan mengatur alam ini agar terus bermanfaat bagi umat manusia. Walau sebenarnya diberikannya dalam bentuk bencana. Bukankah ditengah sebuah bencana selalu terselip berkah yang terkadang kita baru tahu jauh setelahnya. Akh kita nikmati saja keindahan alam Merapi. Batu-batu masih berserakan, belukar sudah mulai tumbuh. Ribuan kubik pasir diangkut hasil muntahannya di sungai yang dilalui lahar, tiap hari oleh ratusan truk keluar Merapi.

Yah aku melihat betapa besar kekuasaan dan kekuatan Tuhan ada disana, beliau dibuatka stana indah seperti Candi Prambanan, menginspirasiku tentang kesetiaan dan kekuatan dari cinta. Cinta manusia terhadap Tuhannya, juga cinta antara pria dengan wanita, ataupun cinta manusia dengan alamnya yang ditunjukkan Marijan.

Lamunan itu membawaku sampai tertidur di teras hotel. Aku sangat menikmati perjalananku sight seeing di Jogya. Terbawa dalam mimpiku rasa nikmat ‘mawut ikan’ yang kunikmati dengan pak sopir di Bantul. Aku sangat senang bila membayangkan senyum pelayannya yang sangat ikhlas, menjelaskan proses pembuatan mawut, yang membius lidah dan pikiranku siang tadi. Kami beruntung , kami masih kebagian mawut walau datangs edikit terlambat karena keasyikan menikmati Merapi.

Aku tak melihat mamaku pulang, beliau rupanya ikut nimbrung di teras duduk disebelah aku tertidur. Seperti kebiasaan beliau yang tidak akan membangunkan aku yang sedang menikmati tidur, beliau setia duduk disebelahku sambil melafalkan sebuah sebuah kalimat. Lamat lamat aku dengar Tuhan Aku ingin pulang, jemputlah aku…… Tuhan aku ingin pulang jemputlah aku……………. Itu diucapkannya berulang kali. 

Sambil mengusap ngsap mataku, aku bilang “Sudah lama ma”. Kupeluk mamaku, kulihat bulir air deras mengalir dari ujung matanya. Kutanga beliau “Mau pulang kemana ma?”. Akh tidak itu hanya lafal sebuah lagi elaknya.

AKu tahu dari status FB maupun status display BB mama selalu menulis Aku ingin pulang, Jemputlah aku Tuhan atau Tuhan aku ingin pulang. Aku sangat yakin itu merupakan sebuah kerinduan mama. Sebuah pencarian yangs salami ini beliau cari yang sebanarnya lamat-lamat aku tahu, senuah pencarian sesuatu yang telah lama hilang. Entah itu suasana apa, entah itu siapa. Akh aku tidak mau berspekulasi, lebih baik ke tunggu mama menceritakannya.

Setelah mama tenang dan menyeka air matanya dipipinya, aku membantu mama membersihkan air mata itu dengan tisu, walau pipiku juga ikut basah oleh air mata mama yang kurasakan hangat membasahi pipiku saat berpelukan tadi. “Mama kenapa mama menangis, apa mama meras sedih dengan keadaan kita” tanyaku. Beliau menjawab : “ justru sebaliknya anakku, mama sudah sangat lama tidak merasakan pelukanmu, pelukan itu….. Pelukanmu Winda dengan lengamu yang jauh lebih panjang dari mama, mama rasakan pelukan itu adalah pelukan papamu. Kehangatan bandanmu mengingatkan mama dengan kehangatan papamu. Aku sangat merindukannya… aku ingin segera pulang anakku.

Ternyata mama yang demikian tegar sangat merindukan kehangatan. Kehangatan papaku. Apakah dia papa yang bertanggung jawab sampai meninggalkan mamaku kesepian seperti kesepian Merapi. Apakah dia perlu meletus dengan kemarahannya. Kulihat mama tidak demikian, beliau sangat bisa mengontrol emosinya, beliau sangat menghormati papaku walau selama ini aku tak tahu. Apakah ini yang menjadi alasan kenapa beliau tidak mau bersama serumah denganku agar beliau menikmati kesendiriannya.

Akh kutak biarkan pikiran liarku menebak-nebak. Aku pamit manti ke mama. Tapi beliau ingin menceritakan sesuatu dulu. “Ayu Winda kau duduk dulu disini, mama ingin curhat, kamu dengarkan saja”.

Winda, mama sangat ingin pulang. Mama bersalahs selama ini karena memisahkan kamu dengan papa dan kakakmu. “Lho dengan kakakku juga ma” selaku. Ayo jangan menyela kau dengarkan saja biar mama meneruskan cerita mama. Kamu mempunyai seorang kakak leki-laki. Dia bersama papa mu di seberang sana, menekuni karir seperti mama, tapi spesialisnya kebidanan dan penyakit kandungan. Perawakannya lebih kecil dari kamu. Dia lebih banyak mewariskan sifat mama, lebih ringkih darimu dia tidak segesit kamu Winda.

Mama salah, mama egois, mama belum bisa beradaptasi saat itu, karena jiwa muda mama. Saat kamu berumur balita mama membawa kamu pergi dari rumah papamu. Aku pamit pergi ingin menunjukkan bahwa aku mampu membesarkanmu, dan papamu aku minta membesarkan kakakmu. Aku tak tahu Winda, setan mana yang mempengaruhi mama ingin meninggalkan keluarga papamu, yang mama sangat tahu sangat menyayangi mama. Mama sangat egois Winda. Kulihat bulir-bulir halus deras mengalir lagi dari ujung mata mama.

Mama meninggalkan papa dengan kakakmu, dan memutuskan hubungan dengan pergi jauh. Rupanya papamu dengan caranya selalu mengutus orang untuk membuntutiku. Keluarga papamu keluarga yang dihormati sekali dikampungnya, sehingga banyak orang yang dengan sukarela mau mengikuti mama atas perintah keluarga, terutama mengawasi kesehatan dan pertumbuhanmu. Papamupun tidak pernah meninggalkan mama.

Mama egois, mama seakan membencinya, walau dalam hati mama sangat merindukannya. Papa dengan setia datang menengok mama, walau hal itu tetap kurahasiakan kepadamu, demikian juga mama diajak papamu secara rutin melihat kakakmu terutama perkembangan sekolah dan kesehatannya. Jadi mama sangat egois dalam hal ini. Mama terhimpit situasi, mama di tinggalkan keluarga mama di Solo karena mama menolak keinginan Eyangmu untuk menikahkan mama dengan kerabatnya. Yang belakangan mama tahu bahwa dia lelaki yang kurang baik, jadi filing mama dalam hal ini cukup baik.

Mama khawatir tidak bisa mengabdi sebagai istri yang baik, karena masyarakat di kampong lingkungan keluarga papa yang demikian sibuk dengan kegiatan social. Ternyata mama lupa, seharusnya mama bisa lebih berperan dengan kemampuan intelektual mama, dengan profesi mama untuk mengabdi disana. Mama selama ini sering menjadi tamu dalam kegiatan social di kampong papa, dengan posisi sebagai taumu. Padahal mama rindau akan hal itu, rindu melihat kakakmu, juga sebagai pembelajaran mama akan masuk ke dalam situasi itu.

Mama memang sangat egois, dan saatnya mama ingin pulang. Papamu walau digandrungi banyak wanita, mama menilai cintanya sangat tulus ke mama, beliau sejatinyab tidak pernah meninggalkan mama. Nafkah kahir batin sampai umur mama seperti ini sekarang, masih beliau berikan… kapanpun mama minta. Hahaha Kapanpun ma? Tanyaku kepad mama. Hahahahaha mamapun mengikuti derai tawaku.

Ia, tentunga tidak bisa serta merta, ada selang waktu, karena papamu punya pekerjaan dan berjarak tinggal dengan mama. Pantesan mama kelihatannya tidak pernah kesepian. Pantesan mama mengajarkan aku untuk mandiri sejak kerja dan tidak tinggal bersama. Pantesan mama selalu punya apartemen dekat kerjanya…………………. Hahahaha terlalu banyak pantesannya.

Pokoknya mama ingin segera pulang, ingin mempertemukan kamu dengan keluarga besarmu keluarga besar papa. Mama ingin mendampingi papamu untuk menikmati masa tuanya. Mama sudah mengajukan pension dini atau pindah kerja ke kota dimana papamu tinggal atau dekat kampong papa. Mama ining mendorong kakakmu segera menikah, karena ia mensyaratkan akan menikah bila mama kembali kerumah. Maafkanlah mama Win………………………. Mama sangat egois………………… 

Mama kurang pergaulan saat mama muda. Makanya kau Winda mama berikan kebebbasan. Mama tahu semua kisah cintamu, dengan siapa dimana dan seterusnya. Karena mama dan papamu mengikutimu dengan orang kepercayaan keluarga.

Kamu tidak mengerti bahwa kamu pernah jatuh cinta dan bercinta cukup lama dengan orang yang mama dan papamu sangat kenal. Tapi mama tahu kamu seorang anak yang dapat mama percayai, karena tetap tidak mau mempermalukan dirinya sendiri, keluarga maupun komunitasnya. Kau sangat pintar Winda dalam hal itu. Mamapun iri kepadamu.

Kamu Winda perpaduan yang serasi antara kecantikan mama, postur papamu, serta keromantisan kamu dalam bercinta. Tapi mama ingin mengajakmu pulang dalam waktu yang tidak terlalu lala, mama ingin mengenalkan lebih jauh, walau sebenarnya kamu telah kenal papamu, kakakmu baru kita pulang. Mama sih pinginya ke kota dimana papa berkarya, atau di kampong papa yang sangat romantic itu. Mama ingin menkmati masa masa yang hilang  tercecer selama mama mengikuti kehendak hati mama.
Maafkan mama Winda, maafkan mama. Begitu juga ma Winda minta maaf ternyata mama terus memantau Winda. Winda jadi malu ma, masak semua pacar Winda mama tahu…… Winda malu ma, Winda ketahuan………

Puri Gading, akhir Pebruari 2016

Minggu, 21 Februari 2016

Winda -5 :"Kacau Pikiran Winda"



“KACAU BALAU PIKIRAN WINDA”


"Ya Di Tepian Kolam Renang Ini" (google.com)
Pagi itu Winda baru saja bangun tidur. Dia duduk di beranda belakang rumah mamanya. Dia menginap lagi karena memang habis Hari Raya, sehari sebelumnya mereka sembahyang bersama . Sesuatu yang sudah lama mereka tidak lakukan bersama. Banyak mata terbelalak menyaksikan kala kedua wanita itu sampai di tempat sembahyang. Biasalah karena banyak diantara mereka yang hadir adalah lelaki jomlo, baik sebagai bulok –bujangan local karena harus berpisah keluarga karena tugas- atau memang masih sendiri. Kata mereka seperti kakak adik saja. Yang satu lebih luwes, tuaan, dan yang satunya cantik namun lebih jenjang pinggang dan lehernya. Keduanya berambut panjang berhidung mancung.

Winda sangat menikmati kicauan burung-burung liar di komplek itu, bershutan dengan suara burung peliharaan warga yang memang gemar memelihara burung. Sesekali suara burung tetanggaku Kang Warja, ngeriwik panjang. Seekor burung anis Bali bulu merah, bersahutan dengan seekor beo yang dipelihata di rumah mama. “Selamat Pagi Nona Winda, selamat pagi Nona Winda” kicaunya. Aku hanya bisa tersenyum saja menikmatinya, bersama secangkir teh manis dengan gula btu kesukaanku, dan sepotong uli bakar yang disebiakan Mbak Asisten Rumah Tangga mamauku. Suatu pagi yang sangat indah di iringi semilir angina bulan Maret yang sudah

Sabtu, 20 Februari 2016

Dosen Jaim

Pak Guruku Jaim Sekali



“OBROLAN GURUKU MENJELANG UJIAN PAS HARI ULANG TAHUNNYA”
Honai Rumah Asli Papua (google.com)
Pak Guru ku ini dikenal orangnya sangat serius, jarang ketawa, apalagi tersenyum. Salahpun jarang minta maaf paling-paling nyengir. Jaim sekali dia, maklum saja dia Guru Fisika, tamatan Universitas Ternama, kepalang basah jadi Guru, karena keasyikang di Bimbingan Belajar saat menjadi Mahasisea, sehingga oleh seorang Kepala Sekolah kala itu ditawari menjadi guru tetao, jadi PNS di sekolahnya.
Saat itu memang guru Ilmu Pasti – Matematika, Fisika, Kimia, Biologi- memang susah pada saat itu. Singkat certia tawaran diteimanya. Sehingga bagai Umar Bakri dia tetap menjadi guru pada usia paruh bayanya. Dan istrinya yang cantikpun konon bekas anak didiknya, yang kasihan melihat Pak Guru menjadi Bujangan Lapok.

Kamis, 11 Februari 2016

Winda-4 : Selera Mama Selera Winda



“SELERA MAMASELERA WINDA”


Bangun tidur pagi itu, mentari telah menjilat kamarku lewat jendela. Gemuruh Kereta Api telah beberapa kali ku dengar, menjemput dan mengantar pawa ‘worker’ dari pemukimannya, menuju tempat ketja. Tapi mata ini masih bisa diajak kompromi, walau lewat tengah malam kami masih berbincang dengan mama. Suasana demikian sudah lama aku tak alami, tidur seranjang dengan mamaku curhat apa saja, seakan mama adalah teman sebayaku, dan mama bisa saja mengimbangi ceritaku. Seakan dia masih seumuranku, termasuk bahasa gaul anak muda saat ini, beliau tahu. Memang mamaku gaul, walau serius dalam kerjanya, beliau masih bisa berkelakar, bercanda maupun nge mop seperti layaknya masyarakat Papua, dimana aku pernah tinggal untuk beberapa lama, karena tugas mama.
Rupanya mama sudah bangun duluan, karena aku terbangun beliau sudah sempat menyetel Home Teater. Aku sangat ingat dan tahu lagu yang beliau stel saat itu, penggalan syairnya yang masih kuingat:
Pertama kali bertemu/kulangsung jatuh cinta/walau kutahu kau sdah ada pemiliknya/ku tak mampu menahan gejolak cinta ini……….Maka ijinkanlah aku mencintaimu/atau hanya sekedar aku sayang padamu.. Itu lagunya Chrisye yang ada into lagu jawanya. 
Sambil menikmati alunan lagu-lagu Chrisye aku masuk ke kamar mandi mama. Memang dua hari ini aku nginep di rumah mama, karena aku memang ingin sama-sama curhat. Biasa curhatnya perempuan. Aku sering berdebat seru dengan mama, ketika aku membandingkan kecantikanku dengan mama. AKu bilang kok postur tubuhku beda dengan mama, aku lebih seksi, lebih jenjang karena pinggangku panjang, demikian juga leherku lebih kokoh dan panjang, demikian juha aku lebih tinggi sekitar 15 cm dibandingkan mama.
Parasku memang mirip mama. Kalau soal postur mama selalu bilang itu postur dari postur ayah, yang sampai saat ini aku belum tahu secara pasti. Aku tak mau mendesak mama untuk menceritakannya. Beliau berjanji akan menceriterakan ke kami hal yang sebenarnya. Hanya saja mamaku selalu bilang bahwa beliau tidak pernah bercerai dengan papaku.
Mama bilang dirinya sangat egois, meninggalkan papaku sekitar 22 tahun yang lalu, saat aku berumur tiga tahunan. Beliau tak tahu kenapa emosinya saat itu begitu liar mengajaknya pergi dari kediaman ayahku di Pulau Dewata. Yang ku tahu mama bilang papa ku seorang Arsitek, yang juga menekuni seni lukis sejak beliau masih sekolah menangah dulu di kotanya. Itu karena sekolah beliau memang sekolah SMA terkenal di Bali, dengan ciri khasnya selalu melahirkan pelukis, seperti Nyoam Nuarta, itu lho perupa yang sangat terkenal yang membangun ratusan patung di Indonesia, dari Arjuna Wijaya di dekat Air Mancur Jakarta, patung Garuda Wisnu Kencana dan ratusan lainnya yang menghiasi perkotaan dan pemukiman di Nusantara. Aku dengar juga tamatan sekolah itu. Pada periode 1970 an sekolah itu dipimpin oleh seorang seniman.
Kata mama beliau masih berhubungan baik, saling menafkahi walau saling berpisah tempat tinggal. Demikian juga aku dan kakakku, dua-duanya tidak hidup dengan orang tua yang lengkap. Kakakku yang hanya ku kenal lewat fotonya, bersama papa. Kata mama dia menjadi seorang  dokter spesialis kandungan, yang sangat banyak pasiennya. Maklum dia dokter masih muda usia dan tampan lagi. Kata mamaku, pantes saja para ibu-ibu pingin diperikasa olehnya. Namun kudengar karena kakakku bertangan dingin, lebih banyak pasien merasa nyaman dan aman ditangani beliau.
Aku sangat merindukan untuk berbincang dengannya. Kata mama dia berpostur mirip dengan aku. Jadi dekat dengan postur papa, tinggi, kekar tapi dia agak sering tak tahan dengan stress pekerjaan. Sifatnya lebih banyak mengambil sifat mamaku.
Kakakku sudah hampir menjelang kepala tiga belum juga menikah. Kakak menurut mama sangat pendiam dan cenderung pasif dengan wanita, walau selalu ada pacarya. Dia tipe pria setia. Tidak seperti aku. Aku sudah beberapa kami punya pacar, walau berlangung cukup lama dengan pacar-pacarku tapi lebih banyak putus, itu mungkin karena emosiku yang tidak stabil, yang sering merajok untuk segera diputus kalau ada masalah. Pria mana yang tahan kalau selalu ditekan untuk memutuskan cinta, apalagi kalau terus ditekan saat dia lagi ada masalah juga.
Demikian juga mama, aku yakin banyak pria yang mendekatinya kalau tidak tahu bila mama dengan papa masih belum berpisah resmi, hanya berpisah rumah saja. Mama sangat bertanggung jawab dengan putra putri beliau, apalagi papa. Beliau kata mama tipikal pria yang sangat romantic, setia dan pekerja keras serta tanggung jawab ke keluarga sangat besar.
Beberapa kali mama di jemput untuk di ajak pulang kumpul kembali untuk keluarga, mama masih belum menerimanya, karena egois dan rasa malunya kepada keluarga besar papa. Terhadap keluarga besar mama di Karanganyar, Solo. Kelihatan mama masih gencatan senjata. Seakan mama di buang dari keluarga, karena mama menolak dijodohkan Eyang dengan seorang pamong praja yang masih kerabat.
Mama baru berani pulang kampong saat dijemput Pak Lik disaat Eyang kakung kritis, sebelum mangkatnya. Beliau telah merestui pernikahan mama dengan papa. Kudengat papa dan kakakku pun hadir saat pemakaman Eyang di Solo. Aku tak sempat memperhatikannnya karena mama sangat memprotek agar aku tidak mengetahui papa dan kakakku sebelum saatnya beliau memberitahu.
Mama dalam kesendiriannya, menurut cerita beliau semalam sangat sering ditaksir sesame rekan seprofesinya baik sesame dosen, sesame dokter maupun oleh mahasiswanya. Memang aku dengan mama kalau pergi bareng sering disangka orang kakak adik. Sungguh senang punya mama awet muda.
Nah kembali ke lagu tadi jangan-jangan mama pernah jatuh cinta atau ditaksir oleh orang yang sama sama sudah punya keluarga, akh aku tak peduli. Mama juga tidak pernah mau tahu hubunganku dengan siapa saja. Dengan pacarku yang sebaya, dengan pacarku yang beda status, dengan pacarku yang beda keyakinan sampai dengan pacarku yang beda usia denganku. Beliau sebagai pengamat dan wasit yang baik, selalu mengingatkan menjaga nama keluarga. Menjaga kesetiaan kepada pasangan.
Nah itu yang banyak kupelajari dari mama, sehingga aku seperti murid yang mengidolakan dosennya, bila mama dosenku. Sangat sering aku meniru mama, baik dalam dandanan, model rambut, warna lipstick, warna bedak  sampai pada mode pakaian. Padahal kami tidak pernah bersama saat membelinya. Mungkin ada gen yang sama terkait dengan selera mode tersebut.
Mamaku memang egois, kalau aku masih lebih toleran dan bisa demokratis dalam hubungan. Aku sangat menghormati pasanganku, demikian juga aku mau dihormati oleh mereka. Aku senang di manja, dan disanjung. Kalau mama sangat pede dengan kecantikannya. Memang putri Solo sangat percaya diri, kata beliau.
Tak terasa aku sudah hampir sejan di kamar mandi mama, kuperhatikan semua perlengkapan kamar mandi mama kok sama ya dengan aku, aku mau protes mama yang mengikuti seleraku. Sabun body shop jenis dan parfum pilihan mama sama persis denganku, sabun, maupun warna dan motif kamar mandinya kok sama ya. Cuman kamar mandi mama lebih terasa kurang pribadi kebanding kamar mandiku.
Yayaya, memang karena mama belum pernah bercerai dengan papa. Meraka berdua katanya masih tetap saling menafkahi, berarti papa mungkin sering nginap disini, sehingga mama selalu menjaga privasinya. Demikian juga aku sejak berkiprah di ibukota kembali, aku mohon diijinkan mama untuk tinggal di rumah lain sendiri. Beliau tidak berkeratan asal beliau punya akses untuk mengawasiku. Lupa aku mama masih tetap menagwasiku, sehingga selera tetap terjaga kesamaannya.
Winda, winda….. apa kamu tidur di kamar mandi Win?. Panggilan mama kepada ku dengan lembut di depan pintu kamar mandi, sebentar ma, aku lagi beresin ini pakaian bekas. Ku masukkan kekeranjang pakaian bekas, aku perhatikan kok sudah ada pakaianku padahal aku belum memasukkannya kekeranjang.  Ternyata seleraku sama dalam pilihan merk dan warna pakaian dalam. Mama memang mengajariku untuk memilih pakaian dalam yang baik, walau lebih mahal akan tetapi enak dipakai dan tidak kelihatan kusut, apa lagi kalau ngecap keluar. Beliau punya selera yang tinggi. Bayangkan sejak SMA aku sudah bisasa beliau belikan merk yang terkenal yang kupakai sampai saat ini.
Aku sudah rapi, menghampiri mama. Mama bercerita habis jalan-jalan mengeliling komplek. Mama bertemu kawan lamanya saat di daerah Ibu Ongko, itu istrinya Dokter Yahya, sama sama pernah dinas di Papua. Sambil bernostalgia keduanya bercengkerema di taman, yang masih dihiasi oleh kembang-kembang yang hanya mekar di bulan Desember. Menyaksikan tukang sapu menyapunya, membangkitkan kenangan lama, sata keduanya duduk bersama di halaman komplek rumah sakit Dok II, di taburi rontoknya kembang Desember, sambil memandang lautan Pasifik di bawah komplek, serta di sinari mentari pagi, sebelum menjumpai pasien rawat inap maupun pasien rawat jalan yang terkadang sangat banyak jumlahnya.
“Bu Ongko, memuji kecantikan mama yang masih tetap seperti saat muda”. Memangnya mama sudah tua gumannya, kan anaknya baru dua. Hehehe mama jangan ngelantur ma, eling ma. Mama sudah punya anak yang cukup dewasa, dan sudah waktunya punya cucu ma. Mama harus segera berkumpul dengan papa, kita bangun keluarga baru dengan semangat baru, semangat rekonsiliasi. “Apanya rekonsiliasi Winda, mama tak pernah meninggalkan papamu, kakakmu. Hanya karena keegoisan mama yang saat ini sudah mulai tergerus, ada restu Eyang kalian, mama mau tata kembali.
Mama tidak pernah menyia nyiakan kalian, papamu, keluarga mama maupun keluarga papa. Papa mu adalah cinta sejati mama, demikian juga mama cinta sejatinya papa kamu. Sebentar lagi akan mama ajak kamu, kakak dan papa bertemu untuk merencanakan masa depan kita. Mama sudah menyiapkan itu semuanya, demikian pula kelihatannya papa. Dasar mama ku orang sangat egois.
Puri Gading, Wagen Galungan Pebruari 2016