Social Icons

Selamat Datang di Blog Itik-Bali

Selamat Jumpa Pembaca yang budiman, selamat datang di blog ini. Blog ini dibuat hanya untuk proses pencurahan hati dan ingin menghibur pembaca sekalian.

Dengan bahasa ringan sehari-hari, saya ingin berbagi cerita pendek yang mudah-mudahan bersambung, sehingga pembaca sekalian diundang untuk melepas lelah dan penat di blog ini.

Semoga pembaca sekalian menikmati dan terhibur setelah membaca. Tentu komentar dan saran anda sangat kami nantikan.

Salam

Jumat, 08 Agustus 2014

Rani 22 : Pertemuan Orang Tua Yang Terpisah.

“TANDA HITAM DI TANGAN RANI, MEMANCING AIR MATA LADAWA”

Suasana Belakang Villla Salmah
Tanda tanya menyeruak dihati Rani semenjak pulang dari tawangmangu. Apakah benar Suster Salmah Ibunya, apakah benar Ayahnya masih ada di Mataram, kenapa Romo merahasiakan hal ini sebelumnya?. Masak sih mereka tega tidak datang saat pernikahanku dulu? kalau diurut itu akan jauh lebih panjang dan berulang di benak Rani. Dan satupun dia tidak mendapatkan jawabannya. Sementara perut Rani sudah semakin membuncit dalam kehamilannya yang kedua ini. Rani tetap dengan kesibukannya selama dua hari full di kampus, selebihnya ia sudah mulai membantu Kanjeng Mami mengelola perusahaan bersama suaminya Coke. Kanjeng Mami kelihatannya masih asyik bercengkrema dengan Cucu kesayangannya Cokde Junior.
Pagi itu, pertanyaan seupa muncul kembali. Sehabis sarapan biasanya Rani bergegas pergi menuju kampus karena memang setiap hari Selasa dia memiliki acara memberikan Kuliah pada mahasiswanya di tingkat magister, dan memberikan bimbingan sebagai ko promotor untuk program doktor. Para muridnya memuji kecantikan Rani. Kata mereka Bu Rani semakin cantik pada kehamilannya kali ini. Mungkin akan melahirkan seorang putri. “Akh kalian bisa saja” jawab Rani ketika seorang mahasiswinya memuji kecantikan Rani.

Rani mondar=mandir di taman samping sambil memperhatikan burung-burung disangkarnya yang sedang bersautan bunyinya, antara perkutut, puter maupun burung punglor yang sangat genit, selalu menicicit, sambil menari-narikan batang lehernya. Seakan dia tahu tuannya memperhatikannya. Hampri setengah jam Rani bercengkerema dengan burung burung itu.
Yande masih menunggu di mobil yang sudah siap meluncur ke kampus menghantarkan Rani. Yande tak tahu kenapa tuannya itu meminta ia menghantarkannya berangkat ke kampus. Padahal biasanya Rani sudah biasa menyetir sendiri. Mobil berjalan perlahan Yande memuji kecantikan tuannya. “Akh kamu Yande sama saja dengan Mahasiswa mbak, selalu memuji aku” Kata Rani. Memang benar Doro Putri tambah cantik dan maaf lebih menor pada kehamilan ini” jawab Yande. Tawa Ranipun berderai ditengah perjalanan.

Rani mengajak mampir Yande ke Starbucks, katanya kok selama kehamilan ini Rani ngidam Rasberry Coffee cream. Ada ada saja kata Rani. Yande turun kembali dengan dua cup pesenan itu, yang akan mereka nikmati di kampus. Mobilpun merapat ke kampus. Kelihatan sudah ada beberapa mahasiswa menunggu Rani di taman samping ruangannya, mereka bercanda khas candaan mahasiswa. Rani berlalu mereka semua berdiri dan memberikan salam. “Maaf ya tunggu saja sebentar, Ibu mau minum sebentar ya” kata Rani.
Yande bergegas membawakan tas dan barang barang bawaan Rani ke ruangannya, termasuk dua cup kopi kream dingin yang dibelinya tadi. Yande diminta menunggu di mobil saja. Iapun sibuk dengan ipadnya, melihat-lihat laporan perusahaan, perintah Cokde, atau Kanjeng mami yang biasanya pagi-pagi sangat banyak, untuk acara hari itu yang harus ditindak lanjuti.

Tengah hari hampir semua bimbingan Rani, yang menunggu dari pagi telah dilayani dengan ramah dan tegas oleh Rani. Terlihat ada yang gembira keluar dari ruangan, ada pula yang kelihatan kesel, bahkan beberapa keluar dengan garuk-garuk kepala. “Makanya kalau menghadap Bu Rani, kalian harus siap dan telah melaksanakan perintah sebelumnya, melakukan koreksi dan revisi apa-apa yang menjadikan catatan beliau” ucap seorang mahasiswa. “Memang aku mau coba tidak melakukan revisi seperti catatan beliau, hanya ku print ulang dengan pontasi berbeda. Rupanya beliau tahu, akh aku kena semprot, dan tak boleh konsultasi dua minggu ini sebelum melakukan revisi dan perintah baru yang beliau berikan” gerutu seorang mahasiswa.

Yande ketawa tertahan mendengarkan gerutuan mahasiswa Rani. Tiba-tiba Rani sudah duduk di jok belakang, memerintahkan Yande untuk bergerak lagi. Kita menuju Hotel maharani Yan, perintah Rani. Siap Doro. Mobil dipacu sedang-sedang saja, Yande menyetel radio yang melantunkan lagu-lagau lama dalam irama bosanova. Rani sangat menikmati, menurutnya lagu tersebut sangat pas dengan suasana hatinya.

Di sebuah cafe di sayap bangungan Hotel Maharani, Cokde dengan dua orang yang seakan rani kenal telah menunggu, Mereka salaman . Ternyata Suster Salmah datang dengan seorang lelaki hampir enam puluhan lebih, tetapi masih gagah. Ia memperhatikan lengan Rani, dia memperhatikan telapak tangan ku sejak salaman tadi. Lama lelaki itu tidak berkata apapun. Cokde memecah kesunyian itu dengan kau mau pesan apa Ma, tawarannya kepada Rani. Aku minta Lime Tea saja hangat, kalau ada dengan madu,
Rupanya lelaki itu, menahan air matanya, tetapi tetap tidak sanggup, sehingga menetes di pipinya. Suster Salamah mengelapinya, kelihatan masih mesra. Akhirnya lelaki itu berkata, Mah, aku sangat ingat tangan itu sempat aku ingat, ada toh atau tanda hitam sedikit besar di punggung tangan itu. Dia anak kita Mah. Salmah pun meneteskan air mata, mereka kelihatannya sangat mesra, dan tak menganggap yang lainnya ada, mereka berpelukan menangis berdua. Aku tahu tanda di tangan kananku yang hitam dan sedikit tumbuh bulu ini yang mereka perhatikan.

Naluri Ranipun tersentuh, dia beranjak dari duduknya ikut berpelukan melepas tangis haru. Keharuan pertemuan sepasang suami-istri dengan putrinya yang telah lama berpisah. Perpisahan ini terjadi karena keegoan orang tua Suster Salmah. Mereka tidak mau mengakui pernikahan mereka, sehingga Salmah minggat dari rumah. Dalam kebimbangan Salmah dia berpaling mengabdikan dirinya di Gereja, menjadi pelayan umat. Dia berkelana ke manca negara, selama hampir dua puluh lima tahunan, setelah sebelumnya di dalam negeri beberapa tahun. Ia dapat kepercayaan melanglang buana ke luar negeri karena kelebihan Salmah yang menguasai beberapa bahasa asing. Lelaki yang mendampingi Salmah Rupanya Ladawa.

Karena cintanya ke Suster Salmah, walau ia anak tunggal, Ladawa tetap tidak menikah kembali sampai saat ini, sampai ia memasuki masa pensiun dua tahun lalu dari Kepala Dinas di Propinsi Gora tersebut. Ladawa tokoh pengembang pariwisata di tiga Gili di Lombok, rupanya sudah biasa selama ini berbisnis dengan Keluarga Cokde. Pantesan Yande sangat kenal kelihatannya dengan Ladawa, hanya saja demi kesopanan dia menjauh saat pertemuan ini.

Rasa ikatan itu memang terasa, walau kelihatannya tidak realistis tapi Rani merasakan. Cokde melihat ikatan itu ada diantara mereka. Wajah Rani perpaduan antara Solo dan Lombok. Cokde tahu Ladawa, mantan pejabat di Mataram, dia masih keturunan bangsawan Karangasem, hanya saja keluarga mereka tidak memakai gelar kebangsawanannya sudah dua generasi ini.

“Sudah kuduga Mah, kita pasti akan bertemu lagi, ayo kamu pulang ke Mataram, pintu rumah Papa tak pernah ku kunci sejak kau pergi dengan Ratna – panggilang sayang Ladawa kepada Rani-   demikian pula hati ini, kukunci untuk semua orang hanya kubuka untuk kamu Mah”. Kata Ladawa. Rani melirik Lelaki itu, pilihanku rupanya tak jauh berbeda dengan postur dengan postur Bapak. Cokde mengatakan bahwa dengan keluarha Ladawa di Karangasem sejatinya keluarganya masih ada ikatan kekerabatan.
Ladawa, walau sudah tua masih punya kharisma, rambutnya masih gondrong, dan bawaannya tas berkelas, dengan smartphone terbaru yang tak pernah lupa dibawa. “Bagaimana Cokde kalian harus datang ke rumah Bapak di Mataram, kita rayakan pertemuan ini dengan besar-besaran”.usal Ladawa. Mama kalian Salma, aku yakin dia pasti setuju, dan menetap denganku. “Akh style yakin saja pa”, jawab Rani dan Salmah berbarengan.

Cokde menawarkan, agar tidak ada yang tersinggung terutama Kanjeng Mami, apalagi Pak ladawa, sudah sangat kenal dengan kharakter Mami. “Bagaimana kita rembugkan dengan Kanjeng Mami, kita menemui beliau sore ini” tawar Cokde. Bapak dan Mama Salmah jalan-jalan dulu di sini melihat lihat Kuta, kita ketemuan nanti malam di rumah Puri Gading saja.

Meraka setuju semua, dan Salmah menepati janjinya akan menyayangi ladawa Sehidup semati, sama dengan Cinta Ladawa kepada Salmah. Meraka kelihatannya sepasang pasangan yang sangat serasi. Tapi mengapa ya orang tua mereka menghalangi. Oh itu masih kuingat Romo pernah bilang di tawangmangu, karena kakek rani, yang masih ningrat di Solo, telah menerima tawaran kerabatnya ddari kalangan ningrat, selepas Mama Salmah sekolah di Surabaya. Rupanya Salmah dan Ladawa menikah duluan, kawin lari masih mengikuti adat Bali.

Tapi menurut pengakuan Ladawa tadi sebelum rani datang, keluarga Mama Salmah sudah menerima Ladawa sebagai mantunya, sejak kunjungan Ladwa ke Solo, menghadiri pemakaman nenek Rani. Meraka sudah seperti anak mantu dengan mertua, Ladawa sering menginap di Solo kalau ada keperluan bisnis disana. Demikian juga Mbah Kakung Rani Raden Pawiro, sudah beberapa kali dijemput Ladawa untuk istirahat di Mataram.

Eyang kakung katanya sangat menikmati kalau lagi liburan di Gili Trawangan, bisa sampai dua minggu betah disana. Jadi hubungan mereka sebenarnya sudah baik, bukan hanya gencatan senjata saja. Hanya saja Salmah yang tidak mengetahuinya, karena Suster Salmah memang putus singkong hubungannya dengan keluarga maupun dengan Ladawa, selama hampir dua puluan tahun ini.
Ladawalah yang menjemput Salmah ke Semarang ke kediaman Romo, setalah Salmah memutuskan ingin menemui suaminya. Dia tidak bisa melanggar sumpahnya yang telah diucapkan untuk sehidup semati dengan Ladawa, terlebih setalah Rani mereka temukan kembali.

Meraka tampak mesra sekali, hanya saja Suster, hehe Mama Salmah kelihatannya masih agak canggung karena tugas dan pakaian yang dikenakannya selama ini. Kata beliau baru beberapa hari setelah di Mataram kembali memakai pakaian biasa, meninggalkan pakaian ke susterannya. Sungguh suatu insan yang sangat tepat janji.

Meraka kelihatan bergembira menyaksikan para wiasatawan berjemur, ditepian pantai Kuta berjejer, atau berselancar memburu ombak, sungguh suasana yang menggembirakan hati. “Mah nanti sepulang ke Lombok kita istirahat beberapa waktu di Gili, di Villa Salmah, sebuah villa yang sengaja aku bangun sebagai tonggak kenangan abadi cinta kita. Selama ini hanya aku sendiri yang menempati sekali sekali villa itu, saat peak seasonpun papa tidak sewakan. Romantisnya..........
Puti gading, 9 Agustus 2014.



Sabtu, 02 Agustus 2014

Sobar-13 : Bulan Madu Marlina



“BULAN MADU MARATON PASANGAN MARLINA-RA PAYOU”

Keagungan Taj Mahal
Siang itu sekitar pukul 13 15 Marlina sudah sampai di ruang kerja Prof Suraya, di Rumah Sakit Cinta Keluarga, agak terlambat sebenarnya dari waktu yang telah telah mereka sepakat. Marlina sempat ngirim pesan ‘ bbm’ ke beliau akan sampai agak terlambat, karena kondisi jalanan sebagai buntut liburan ini menjadikan jalanan sedikit macet. Dimana mana parkir meluber kejalanan, karena aku pergi pas waktu makan siang. Seorang suster mempersilahkan Marlina untuk menunggu di dalam ruangan, karena Prof Suraya ada pasien citto yang harus operasi Caesar dalam kelahiran bayinya.
Memang sudah cukup lama Marlina tidak ketemu Prof Suraya. Kalau tidak salah dia ketemu untuk konsultasi saat haid Marlina terganggu siklusnya, pada awal-wal menstruasi waktu remaja hingga menghadapi penyelesaian tugas akhirnya mengambil Insinyurnya. Seingat Marlina sekitar lebih dari lima belas tahun yang lalu. Apakah Prof Suraya masih ingat ya…. Fikir Marlina sambil memperhatikan sebuah artikel pada Majalah Ibu dan Anak yang membahas sebuah kehamilan pada ibu  usia lanjurt.
Secangkir the manis dengan tiga potong kue Secangkir teh manis dan tiga potong kue ‘sumping; diantarkan suster yang menjemput Marilna tadi ke meja tunggu Marlina. Silahkan Bu. Susterpun basa-basi ngobrol, dan bertanya sana-sini untuk memecah kesunyian. Dia katakana bahwa Prof Suraya telah menjadwalkan konsultasi Marlina pk 13 15, namun sekitar lima belas menit sebelumnya ada panggilan citto tersebut.
Langkah Prof Suraya, terdengar jelas mendekati ruangan. Tiba-tiba “Selamat Siang Marlina” sebuah salam sangat familier datang terucap bersamaan dengan grit pintu ruangan di buka tutup. Marlina berdiri menjulurkan tangannya untuk salaman dengan Prof Surya “Selamat Siang Prof”. “Aku kira akau telah terlambat dari janjiku, aduh macet jalanan dari rumah kesini” Kata Marina.
“Akh rasanya sudah lama ya tidak bertemu sama Prof Suraya”
“Benar, kulihat file Marlina tadi sekitar tiga beles tahun lma bulanan”
“Wah-wah benar sekali, sebuah pengarsipan pasien report yang sangat baik Prof”
“Itu Berkat kerja Suster Marini yang mengenteri ulang semua file pasenku”
Marlina tidak merasa telah teriring kepertanyaan esensial seorang dokter kandungan kepasiennya. Marlina menceritakan bagaimana perasaan hatinya setelah menikah dengan Ra Payau, disebuah masjid Agung Kota Casablanka di Afrika Utara, dimana nenek moyang suaminya berasal, walau dia berkewarganegaraan Prancis. Marlina kelihatannya sangat bahagia, hanya saja ada perasaan lain belakangan ini yang menghantui dirinya.
Prof, aku nerasajan suasana yang berbeda dengan saat aku masih lajang. Hehe maaf mungkin sindrom usia kali ya Prof, mengingat umurku yang sudah begini baru menkah. “Akh baru empat pulhan Marlina, sebulan yang lalu aku mempunyai pasien umur empat puluh enam, melahirkan anaknya yang pertama, dengan selamat. Hanya saja melalui operasi Caesar.
Iya Prof perasaan itu adalah perasaan males, aku sangat males untuk berdandan, apa mungkin terbawa oleh kebiasaan suamiku yang super cuek dengan pakaiannya kalau sedang bekerja. Dia hanya rapi kalau ada acara-acara formal saja, dengan tetap ridak pernah merapikan rambutnya. “Hehehe janga-jangan” . “Jangan jangan apa Prof, bikin aku takut saja”. “Jangan-jangan kau hamil Mar, Tapi kita tunggu sebentar hasil labnya untuk memastikannya”
Marlina kelihatannya terkejut, tapi diwajahnya ada kebahagiaan. Wajah cantiknya terlihat jelas dia seorang piyayi yang sangat menjaga kecantikannya, walau dia sebagai wanita karier, dan disegani di faultasnya. “Ku dengarn Guru Besar kalian sudah keluar, Marlina, saat mampir di Rektorat aku dengar dari Pembantu Rektor Satu. Selamat ya untuk keduanya. Kau akan segera menjadi seorang ibu bagi anakmu, dan tak lama lagi akan dikukuhkan sebaai Guru Besar Konstruksi Beton di Teknik Sipil, almamater kita.
Sambil melihat opsion kedua hasil analisis darah yang akan menguatkan hasil laboratorium dari hasil analisa urine, Prof Suraya memberikan aku resep, tambahan suplemen untuk memperkuat posisi ikat janin di kandunganku, yang menurutku sudah cukup tua untuk memiliki anak. Namun mendengarkan penjelasan Prof Suraya tentang pasien-pasiennya sebenarnya masih banyak pasiennya yang jauh lebih tua dari aku. Mudah-mudahan semuanya lancar.
Kata mahasiswiku Vinata, seorang putri dari Banda kabar baik harus segera disebarkan. Maka dengan segera kabar ini aku kabarkan ke suamiku bahwa aku telah hamil, dia akan segera menjadi seorang ayah dari anaknya. Dia sangat gembira saat aku kabari, dan mengatakan akan segera pulang setekah pekerjaannya selesai menginstalasi alat-alat laboratorium di Politeknik Banyuwangi. Mungkin dua tiga hari ini bisa rampung, karena ada temanku Paulus yang ikut membantunya disana. Dia merupakan tenaga teknisi yang handal yang biasa kerja dengan orang asing.
Sore itu, sambil menikmati kegembiraanku, aku memutar kembali video selama aku melakukan nikah tamasya. Kuawali perjalananku dengan menjelajahi India. Bagaimana keindahan Taj Mahal di kota Agra, bagaimana ramainya orang menikmati sore di Veranasi, benares semua terasa sangat romantic. Mungkin suasana romantic dari suamiku yang orang perancis kelewat romantis kali. Dia memanjakanku, sebelum pernikahan resmi kami, palimg-paling dia memberikan kecupan dan pelukan saying padaku. Dia seorang yang sangat menjaga privasi pasangannya. Selama belum menikah dia tetap tidak mau nginap sekamar denganku. Itu prinsip dia, dia sangat menghormati aku. Apa karena dia lebih muda ya, jauh lebih muda kali, karena perbedaan umurku tiga belas tahun. AKh peduli amat dengan umur aku harus menikmati kehidupanku.
Lalu lalang pengunjung berperahu, dikayuh oleh Mister Takur kataku kepada pemilik perahu di Benares,s sangat romatik. Ra Payaou mengabadikannya sangat detail, dia mengambil gambar dengan bantuan Mister Takur. Kami sangat menikmati makan malam ala India disana berbaur dengan pengunjung yangdatang dari segala penjuru dunia, memohon berkah dari Sungai Gangga. Mungkin salah satunya adalah kehamilanku yang sangat cepat ini sebuah berkah dari sana. Hahahahaahaaaaaaaa.
Neni datang sore itu ke rumahku, menemani menyaksikan video perjalananku. Dia datang persis sedang kuputar saat kami akad nikah di LAjazair, disebuah masjid tua, dekat pemukinan keluarga kami, di kota Abijan. Disaksikan petugas dari kedutaan kami melakukan akad nikah dengan hikmat, walau kelihatan sangat sederhana ditengah keluarga besar Ra Payaou. Adik sepupuku Rahmawati yang menikah dengan seorang Bule Italia, Alesandro datang dari Napoli ikut menyaksikan perikahan kami. Dialah menjadi asrot kamera saat akad nikah tersebut.
“Wah sangat berkesan, Bu kata Neni, sambil mempersilahkan aku mencicipi kue klepon yang ia bawakan aku, dari pasar Sukawati, saat diperjalanan ke rumahku bersama Parta” Mereka kelihatan sangat bahagia, keluarga Parta kudengar sangat memanjakan Neni, terlebih saat dokter menyatakan bahwa hasil USG menunjukkan janian di rubuh neni laki-laki. Dialah penerus generasi Parta yang anak tunggal di keluarganya.
Kuusap perutnya Neni, dia sangat bahagia, dan memelukku menangis. Aku merasakan sekarang pas, kalau neni memanggilku Ibu, karena sebentar lagi akupun akan menjadi seorang ibu, sama dengan Neni. Dia sudah kuanggap sebagai saudaraku, dan demikian pula sebaliknya. Dia penyambung tali persudaraan kami dengan keluarga Parta yang batal karena sudah kelamaan berpacaran denganku.
Kami berdua sambil menikmati kue klepon dan the poci dengan gulabatu, melanjutkan menonton Vvideo saat kami berbulan madu di Paris. Orang tua Ra Payaou tinggal di kota Neic, di selatan Prancis, namun dia masih memiliki sebuah Residence, mirip apartemen di tepian kota Paris, kujelaskan gambar apartemennya. Aku berjalan menyusuri Sungai Sein, sangat romantic. Kami ada disana pas punak musim  panas aakhir Juni, sehingga sangat ramai orang yang memadu kasih atau sekedar berjemur ditepiannya. Sungguh pemandangan yang sangat indah dan romatis, seromatis kapal para pesiar yang melintasi beningnya sungai itu.
Menara Eifel terlihat sangat kokoh, melatar belakanginya. Dia menjulang diantara benitu banyaknya bangunan yang ada sekitar Trokadero dimana menara itu berada. Kami berdua berfose memegang sebuah karikayur gambar kami berdua yang dilukis oleh pelukis jalanan di halaman Gereja Kathedral kota Paris. Sungguh pemadangan yang luar biasa, tapi dasar perut yang sudah hamper sebulanan belum kena nasi, kamipun naik metro dari Trocadero menuju Paris 13, sebuah provinsi yang dipenuhi oleh etnis Indo China, Vietnam dan Kamboja. Aku dengar walikotanya seorang imigran Kamboja yang turun kedunia politik.
Dikawasan peciban kata suamiku ini, aku menikmati nasi. Masakan Vietnam, yang nyaris tidak begitu berbeda dengan masalak China di Pecenongan. Hanya saja sebagian besar kurasakan dominan rasa jahenya. Nasinya berkualitas sangat bagus, nama-nama makanannya lebih banyak aku tak tahu. Untung bawa penterjemah, suamiku. Aku menanyakan apakah ada masakan yang medekati sayur lodeh, aku sudah sangat kepingin ne. Kata Rapayaou orang Prancis tidak senang makanan bersantan. Mereka memang pemakan kelas berat, tetapi tidak obesitas. Semuanya terkontrol.
Saat rehat menonton, Neni kutanyai perasaan dia saat ini. Dia mengatakannya sangat berbahagia,d an berterimakasih kepadaku telah dipilihkan suami yang sangat sabar dan penyayang. “Bahkan mandipun Neni sering di madiin Bli Parta” Katanya. Wah-wah sangat romantic Parta ya, padahal beberapa tahun pacaran denganku dia sangat sopan, tidak berani ngapa2 in. Beruntunglah kami Neni, mendapatkan Parta. “Semoga Ibu mendapatkan kebahagiaan yang lebih dari Neni, Tuan Ra Payou Neni lihat juga sangat romantic dengan Ibu. Semoga kebahagian Ibu melebihi kebahagiaan Neni” katanya sambil meneteskan air mata.
Neni dan Parta memang sering menemani aku, selama suamiku pergi. Dia keluargaku yang sangat setia mendampingi, berbagi kebahagiaan denganku. Neni lebih dulu merasakan kebahagiaan itu. Kebahagiaan Neni Parta adalah kebahagianku. Keluarga Parta tetap menganggap aku sebagai bagian dari keluarga mereka.
Sambil meneruskan menyaksikan video petualangan kami di Mali, atau sering disebutkan sebagai Maladewa atau Maldives, sebuah pulau kecil di tengah Samudera India, sekitar arah barat daya India. Suasananya mirip dengan suasana di sebuah Pulau di Maluku, pulau dengan banyak pohon kelapa, banyak gubuk sederhana dengan hamparan pantai yang menggelora. Pantesan banyak wisatawan Indonesia terutama para artis melewatkan bulan madu mereka disini, suatu pulau yang romantic seperti terlihat dalam sebuah foto yang pernah ramai beredar disosial media, kebersamaan penguasa yang politisi Aburizal bakri dengan artis Zalianti.
Kaldera Gunung Taal
Kami melatkan bulan madu kami di negara pulau ini hanya tiga malam, sebelum melanjutkannya ke Philipina. Sambil menikmati santap malam kami bertiga, aku, Parta dan Neni, tak terasa masakan Bibi Lan, ludes kami makan. Nggak tahu mungkin bawaan orang hamil kali ya aku dan Neni sama sama rakus makannya. Ayam bakar yang dihidangkan bersama sayur lodeh yang aku sudah diamkan dari sejak di Paris baru kebayar. Hahahahaa …
Saat ke Philipina aku menyusuri negeri Nyonya Acuino ha,pr seminggu. Kami sempat menginap semalam di puncak Gunung Taal, sebuah gunung yang di puncaknya terdapat danau yang sangat luas, serta di tengah danaunya terdapat Psebuah pulau yang sangat indah. Sebuah pulau di puncak gunung. Nyali ku diuji disini. Sebelum mendaki aku sempat menikmati kuliner, yang mereka sebut Bulalo. Masakan dari daging kernau, kulihat hamper mirip dengan masalak padang kesukaanku. Aku paling menikmati Bulalo yang mirip tunjang di Rumah Makan padang. Akh satu piring kulahap………… tuntas.
Kami mendaki sekitar satu jam sampai bagian datar kaldera sebelum menyeberang dengan perahu ke Pulau, semua itu terabadikan dalam video dokumentasi perjalanan kami. Kelihatan orang barat itu lebih senang mendokumentasikan perjalanannya dengan baik dibandingkan dengan kita ini. Akh memuji suami sendiri kan ngak apa-apa to.
Di pulau kami disambut tarian tradisonal Mindanao, hamper mirip Hawaian, hamper semalam suntuk kami menikmatinya bersama minuman khas, San Mieguel itu lho birnya Philipina, sama dengan Bintang, Bienya Indonesia yang digemari para toris di klub klub di Legian Kuta. Kami menikmati steak kambing muda, malam itu. Malam itu kami sangat kami nikmati berdua, sama dengan para pasangan pasangan yang bertujuan sama untuk berbulan madu, atau merefresh hubungan mereka walau sudah punya beberapa anak.
Aku terlihat di film, sangat lusuh bangun kesiangan di villa sederhana yang terhampar di pulau kaldera Gunung Taal. Lengkaplah romantika penganten baru kualami, dari ke Agungan Cinta, Taj Mahal, romantisme sungai Gangga dengan berbagai permohonan dan harapan. Tradisi Arab-Algere yang teralkulturasi oleh Budaya Prancis, Romantisnya Paris yang angkuh dengan Menara Eifel dengan Sungai Seine yang membelah keramaian kota, serta Indian Ocean Paradise di Mali dengan aroma laut dan lambaian kelapa. Neni walau menyatakan ikut senang dengan apa yang kualami, namun ada keingingan diwajahnya. Kuanjurkan mereka untuk merencanakan kelahiran berikutnya setelah kelahiran anak pertama nantinya. Meraka harus merencanakan perjalanan, bisa perjalanan rohani atau perjalanan bulan madu kedua…… Meraka sangat setuju terutama Parta, nahkan menyatakan siap, saat ini pula bila Neni mau. Heheheeh itu perut apa kuat diajak jalan-jalan. Akh kuat saja, bila perlu kuajak serta Dokter kandunganku, kan mereka penganten baru…. Baru sekitar sebulan lalu menikah. Mungkin bisa kita diskusikan dik Neni saat kunjungan control berikutnya. Selamat ya Parta.

Puri Gading, awal Agustus 2014.