Social Icons

Selamat Datang di Blog Itik-Bali

Selamat Jumpa Pembaca yang budiman, selamat datang di blog ini. Blog ini dibuat hanya untuk proses pencurahan hati dan ingin menghibur pembaca sekalian.

Dengan bahasa ringan sehari-hari, saya ingin berbagi cerita pendek yang mudah-mudahan bersambung, sehingga pembaca sekalian diundang untuk melepas lelah dan penat di blog ini.

Semoga pembaca sekalian menikmati dan terhibur setelah membaca. Tentu komentar dan saran anda sangat kami nantikan.

Salam

Jumat, 08 Agustus 2014

Rani 22 : Pertemuan Orang Tua Yang Terpisah.

“TANDA HITAM DI TANGAN RANI, MEMANCING AIR MATA LADAWA”

Suasana Belakang Villla Salmah
Tanda tanya menyeruak dihati Rani semenjak pulang dari tawangmangu. Apakah benar Suster Salmah Ibunya, apakah benar Ayahnya masih ada di Mataram, kenapa Romo merahasiakan hal ini sebelumnya?. Masak sih mereka tega tidak datang saat pernikahanku dulu? kalau diurut itu akan jauh lebih panjang dan berulang di benak Rani. Dan satupun dia tidak mendapatkan jawabannya. Sementara perut Rani sudah semakin membuncit dalam kehamilannya yang kedua ini. Rani tetap dengan kesibukannya selama dua hari full di kampus, selebihnya ia sudah mulai membantu Kanjeng Mami mengelola perusahaan bersama suaminya Coke. Kanjeng Mami kelihatannya masih asyik bercengkrema dengan Cucu kesayangannya Cokde Junior.
Pagi itu, pertanyaan seupa muncul kembali. Sehabis sarapan biasanya Rani bergegas pergi menuju kampus karena memang setiap hari Selasa dia memiliki acara memberikan Kuliah pada mahasiswanya di tingkat magister, dan memberikan bimbingan sebagai ko promotor untuk program doktor. Para muridnya memuji kecantikan Rani. Kata mereka Bu Rani semakin cantik pada kehamilannya kali ini. Mungkin akan melahirkan seorang putri. “Akh kalian bisa saja” jawab Rani ketika seorang mahasiswinya memuji kecantikan Rani.

Rani mondar=mandir di taman samping sambil memperhatikan burung-burung disangkarnya yang sedang bersautan bunyinya, antara perkutut, puter maupun burung punglor yang sangat genit, selalu menicicit, sambil menari-narikan batang lehernya. Seakan dia tahu tuannya memperhatikannya. Hampri setengah jam Rani bercengkerema dengan burung burung itu.
Yande masih menunggu di mobil yang sudah siap meluncur ke kampus menghantarkan Rani. Yande tak tahu kenapa tuannya itu meminta ia menghantarkannya berangkat ke kampus. Padahal biasanya Rani sudah biasa menyetir sendiri. Mobil berjalan perlahan Yande memuji kecantikan tuannya. “Akh kamu Yande sama saja dengan Mahasiswa mbak, selalu memuji aku” Kata Rani. Memang benar Doro Putri tambah cantik dan maaf lebih menor pada kehamilan ini” jawab Yande. Tawa Ranipun berderai ditengah perjalanan.

Rani mengajak mampir Yande ke Starbucks, katanya kok selama kehamilan ini Rani ngidam Rasberry Coffee cream. Ada ada saja kata Rani. Yande turun kembali dengan dua cup pesenan itu, yang akan mereka nikmati di kampus. Mobilpun merapat ke kampus. Kelihatan sudah ada beberapa mahasiswa menunggu Rani di taman samping ruangannya, mereka bercanda khas candaan mahasiswa. Rani berlalu mereka semua berdiri dan memberikan salam. “Maaf ya tunggu saja sebentar, Ibu mau minum sebentar ya” kata Rani.
Yande bergegas membawakan tas dan barang barang bawaan Rani ke ruangannya, termasuk dua cup kopi kream dingin yang dibelinya tadi. Yande diminta menunggu di mobil saja. Iapun sibuk dengan ipadnya, melihat-lihat laporan perusahaan, perintah Cokde, atau Kanjeng mami yang biasanya pagi-pagi sangat banyak, untuk acara hari itu yang harus ditindak lanjuti.

Tengah hari hampir semua bimbingan Rani, yang menunggu dari pagi telah dilayani dengan ramah dan tegas oleh Rani. Terlihat ada yang gembira keluar dari ruangan, ada pula yang kelihatan kesel, bahkan beberapa keluar dengan garuk-garuk kepala. “Makanya kalau menghadap Bu Rani, kalian harus siap dan telah melaksanakan perintah sebelumnya, melakukan koreksi dan revisi apa-apa yang menjadikan catatan beliau” ucap seorang mahasiswa. “Memang aku mau coba tidak melakukan revisi seperti catatan beliau, hanya ku print ulang dengan pontasi berbeda. Rupanya beliau tahu, akh aku kena semprot, dan tak boleh konsultasi dua minggu ini sebelum melakukan revisi dan perintah baru yang beliau berikan” gerutu seorang mahasiswa.

Yande ketawa tertahan mendengarkan gerutuan mahasiswa Rani. Tiba-tiba Rani sudah duduk di jok belakang, memerintahkan Yande untuk bergerak lagi. Kita menuju Hotel maharani Yan, perintah Rani. Siap Doro. Mobil dipacu sedang-sedang saja, Yande menyetel radio yang melantunkan lagu-lagau lama dalam irama bosanova. Rani sangat menikmati, menurutnya lagu tersebut sangat pas dengan suasana hatinya.

Di sebuah cafe di sayap bangungan Hotel Maharani, Cokde dengan dua orang yang seakan rani kenal telah menunggu, Mereka salaman . Ternyata Suster Salmah datang dengan seorang lelaki hampir enam puluhan lebih, tetapi masih gagah. Ia memperhatikan lengan Rani, dia memperhatikan telapak tangan ku sejak salaman tadi. Lama lelaki itu tidak berkata apapun. Cokde memecah kesunyian itu dengan kau mau pesan apa Ma, tawarannya kepada Rani. Aku minta Lime Tea saja hangat, kalau ada dengan madu,
Rupanya lelaki itu, menahan air matanya, tetapi tetap tidak sanggup, sehingga menetes di pipinya. Suster Salamah mengelapinya, kelihatan masih mesra. Akhirnya lelaki itu berkata, Mah, aku sangat ingat tangan itu sempat aku ingat, ada toh atau tanda hitam sedikit besar di punggung tangan itu. Dia anak kita Mah. Salmah pun meneteskan air mata, mereka kelihatannya sangat mesra, dan tak menganggap yang lainnya ada, mereka berpelukan menangis berdua. Aku tahu tanda di tangan kananku yang hitam dan sedikit tumbuh bulu ini yang mereka perhatikan.

Naluri Ranipun tersentuh, dia beranjak dari duduknya ikut berpelukan melepas tangis haru. Keharuan pertemuan sepasang suami-istri dengan putrinya yang telah lama berpisah. Perpisahan ini terjadi karena keegoan orang tua Suster Salmah. Mereka tidak mau mengakui pernikahan mereka, sehingga Salmah minggat dari rumah. Dalam kebimbangan Salmah dia berpaling mengabdikan dirinya di Gereja, menjadi pelayan umat. Dia berkelana ke manca negara, selama hampir dua puluh lima tahunan, setelah sebelumnya di dalam negeri beberapa tahun. Ia dapat kepercayaan melanglang buana ke luar negeri karena kelebihan Salmah yang menguasai beberapa bahasa asing. Lelaki yang mendampingi Salmah Rupanya Ladawa.

Karena cintanya ke Suster Salmah, walau ia anak tunggal, Ladawa tetap tidak menikah kembali sampai saat ini, sampai ia memasuki masa pensiun dua tahun lalu dari Kepala Dinas di Propinsi Gora tersebut. Ladawa tokoh pengembang pariwisata di tiga Gili di Lombok, rupanya sudah biasa selama ini berbisnis dengan Keluarga Cokde. Pantesan Yande sangat kenal kelihatannya dengan Ladawa, hanya saja demi kesopanan dia menjauh saat pertemuan ini.

Rasa ikatan itu memang terasa, walau kelihatannya tidak realistis tapi Rani merasakan. Cokde melihat ikatan itu ada diantara mereka. Wajah Rani perpaduan antara Solo dan Lombok. Cokde tahu Ladawa, mantan pejabat di Mataram, dia masih keturunan bangsawan Karangasem, hanya saja keluarga mereka tidak memakai gelar kebangsawanannya sudah dua generasi ini.

“Sudah kuduga Mah, kita pasti akan bertemu lagi, ayo kamu pulang ke Mataram, pintu rumah Papa tak pernah ku kunci sejak kau pergi dengan Ratna – panggilang sayang Ladawa kepada Rani-   demikian pula hati ini, kukunci untuk semua orang hanya kubuka untuk kamu Mah”. Kata Ladawa. Rani melirik Lelaki itu, pilihanku rupanya tak jauh berbeda dengan postur dengan postur Bapak. Cokde mengatakan bahwa dengan keluarha Ladawa di Karangasem sejatinya keluarganya masih ada ikatan kekerabatan.
Ladawa, walau sudah tua masih punya kharisma, rambutnya masih gondrong, dan bawaannya tas berkelas, dengan smartphone terbaru yang tak pernah lupa dibawa. “Bagaimana Cokde kalian harus datang ke rumah Bapak di Mataram, kita rayakan pertemuan ini dengan besar-besaran”.usal Ladawa. Mama kalian Salma, aku yakin dia pasti setuju, dan menetap denganku. “Akh style yakin saja pa”, jawab Rani dan Salmah berbarengan.

Cokde menawarkan, agar tidak ada yang tersinggung terutama Kanjeng Mami, apalagi Pak ladawa, sudah sangat kenal dengan kharakter Mami. “Bagaimana kita rembugkan dengan Kanjeng Mami, kita menemui beliau sore ini” tawar Cokde. Bapak dan Mama Salmah jalan-jalan dulu di sini melihat lihat Kuta, kita ketemuan nanti malam di rumah Puri Gading saja.

Meraka setuju semua, dan Salmah menepati janjinya akan menyayangi ladawa Sehidup semati, sama dengan Cinta Ladawa kepada Salmah. Meraka kelihatannya sepasang pasangan yang sangat serasi. Tapi mengapa ya orang tua mereka menghalangi. Oh itu masih kuingat Romo pernah bilang di tawangmangu, karena kakek rani, yang masih ningrat di Solo, telah menerima tawaran kerabatnya ddari kalangan ningrat, selepas Mama Salmah sekolah di Surabaya. Rupanya Salmah dan Ladawa menikah duluan, kawin lari masih mengikuti adat Bali.

Tapi menurut pengakuan Ladawa tadi sebelum rani datang, keluarga Mama Salmah sudah menerima Ladawa sebagai mantunya, sejak kunjungan Ladwa ke Solo, menghadiri pemakaman nenek Rani. Meraka sudah seperti anak mantu dengan mertua, Ladawa sering menginap di Solo kalau ada keperluan bisnis disana. Demikian juga Mbah Kakung Rani Raden Pawiro, sudah beberapa kali dijemput Ladawa untuk istirahat di Mataram.

Eyang kakung katanya sangat menikmati kalau lagi liburan di Gili Trawangan, bisa sampai dua minggu betah disana. Jadi hubungan mereka sebenarnya sudah baik, bukan hanya gencatan senjata saja. Hanya saja Salmah yang tidak mengetahuinya, karena Suster Salmah memang putus singkong hubungannya dengan keluarga maupun dengan Ladawa, selama hampir dua puluan tahun ini.
Ladawalah yang menjemput Salmah ke Semarang ke kediaman Romo, setalah Salmah memutuskan ingin menemui suaminya. Dia tidak bisa melanggar sumpahnya yang telah diucapkan untuk sehidup semati dengan Ladawa, terlebih setalah Rani mereka temukan kembali.

Meraka tampak mesra sekali, hanya saja Suster, hehe Mama Salmah kelihatannya masih agak canggung karena tugas dan pakaian yang dikenakannya selama ini. Kata beliau baru beberapa hari setelah di Mataram kembali memakai pakaian biasa, meninggalkan pakaian ke susterannya. Sungguh suatu insan yang sangat tepat janji.

Meraka kelihatan bergembira menyaksikan para wiasatawan berjemur, ditepian pantai Kuta berjejer, atau berselancar memburu ombak, sungguh suasana yang menggembirakan hati. “Mah nanti sepulang ke Lombok kita istirahat beberapa waktu di Gili, di Villa Salmah, sebuah villa yang sengaja aku bangun sebagai tonggak kenangan abadi cinta kita. Selama ini hanya aku sendiri yang menempati sekali sekali villa itu, saat peak seasonpun papa tidak sewakan. Romantisnya..........
Puti gading, 9 Agustus 2014.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar