Social Icons

Selamat Datang di Blog Itik-Bali

Selamat Jumpa Pembaca yang budiman, selamat datang di blog ini. Blog ini dibuat hanya untuk proses pencurahan hati dan ingin menghibur pembaca sekalian.

Dengan bahasa ringan sehari-hari, saya ingin berbagi cerita pendek yang mudah-mudahan bersambung, sehingga pembaca sekalian diundang untuk melepas lelah dan penat di blog ini.

Semoga pembaca sekalian menikmati dan terhibur setelah membaca. Tentu komentar dan saran anda sangat kami nantikan.

Salam

Rabu, 28 Mei 2014

Sobar-9 Wasiat Lasteri dan Reunian Sobar

"WASIAT LASTERI DAN REUNIAN SOBAR DI BUMI PARAHYANGAN" 


Kesegaran Kebun Teh (google.com)
Sehabis menziarahi makan Mama Lastri dan Makam Abah, iring-iringan kami hampir duapuluh orang, keluarga Sobar, Keluarga Reno dan Keluarga Mama Tua, kami pulang ke rumah dengan berjalan kaki beriringan. Daerah itu sedikit diketinggian dipinggiran sebuah lereng, di samping sebuah Surau perkebunan yang terawat rapi dan bersih disena pusara Lastri dan Abah saling berdampingan. Semua kulihat berdoa dengan khusuk. Hanya Luna kulihat lama tidak mau beranjak dari makan Mama Lasteri. Kami menunggu di saung yang ada disebelahnya.

Tidak sampai sepuluh menit berjalan kaki, kamipun sampai di kediaman Mama Tua, Keluarga Lastri. Kami disambut sangat hangat dengan penuh kekeluargaan. Saat disuguhi minum, aku masih teringat segarnya minum teh yang pernah aku rasakan sekitar tiga puluhan tahun lebih seilam. Rupanya rasa teh yang kurasakan saat pulang kesini sama Lastri kurasakan lagi. Balong atau kolam ikan sebelah timur rumah masih ada, ribuan ikan emas saling berkejaran, diitari pohon jengkol, yang tumbuh rimbun.

Masih kuingat pohon jengkol tua yang sangat rajin berbuah, sampai ke akar akarnya yang ningol di dinding Balong berbuah. Aku ingat, kenangan itu menyayat hatiku. Hampir saja aku meneteskan airmata. Untung saja Luna menghampiriku mengajak menikmati makan yang sudah disiapkan keluarga Mama Tua. Betapa nikmatnya nasi hangat, semur jengkol, gorengan ikan emas, dan gorengan ayam kampung, ditemani lalapan khas Jawa Barat. Semuanya mengaruk-garuk luka hatiku, mengikis ke daerah yang paling dalam kalbu memoriku. Akhirnya akupun tak enak makan. Kucoba sedikut nasi dengan seekor ikan emas pepes saja, serta menyantap sebuah pisang raja. Aku cukup kenyang rasanya.

Sambil bersantap, Mamanya Reno mengingatkan kembali Mama Tua untuk mencoba mencari Surat Wasiatnya Mbak Lasteri, yang sudah puluhan tahun disimpan.
 “Bagaimana Ma, apa masih ada surat itu ma” tanya Mamanya Reno.
“Iya ada semalam mama sudah temukan kotaknya, nantilah kita buka saat pada sudah usai makan”
Mama Tua, ditemani Reno masuk ke sebuah kamar, yang rupanya sebuah kamar penyimpanan dokumen keluarga. Mereka keluar membawa sebuah kotak kayu antik. Mama Tua mempersilahkan Sobar membacanya, karena wasiat itu untuknya. Disana jelas tertulis, untuk Kang Gde Sura. Surat itu lebih tepatnya hanya sebuah pesan, tidak panjang.
Bli De Sura yang sangat Kucinta, Kutunggu Kau Tak Datang
Abah dan Aku sangat mengharapkan kedatanganmu
Untuk baktiku Ke Abah aku menerima tawaran nikahnya
Walau hati remuk, aku tak kuasa menolaknya.
Coba kau datang akan kuceritakan deritaku
Kalau kau datang setalah aku tiada
Kuminta juga kau urus kematianku dengan caramu
Sebuah kotak kutitipkan Temanmu Lanang ambillah
Kamu akan tahu semuanya.
Salam Terakhir
Lasteri

Luna kembali menangis sesenggukan, sama seperti saat kami ziarah. Dia memeluk Mama Tua. “Ada apa neng, janganlah memeluk mama begini, Mama jadi teringat pelukan Lasteri”
“Tangismu juga sama dengan tangisan Lasteri, Maafin Mama Tua, mama tidak kuasa menentang keputusan Abahmu. Mama tidak ada hak suara dalam hal pernikahan, karena Abah sebagai walimu yang mempunyai hak  untuk menikahkanmu, Maafin Mama” katanya pelan sambil terisak dalam pelukan Luna.
Oke mah, kami akan melaksanakan apa yang menjadi amanat di dalam wasiat itu. Kumohon mama mau mengikhlaskan dan mengijinkan akan kami lakukan dengan cara kami, semoga Lasteri tenang di alamnya, dan mendapat tempat yang layak disisi Tuhan Yang Maha Esa.

Kenangan masa laluku menjajah pikiranku kembali, setalah melihat anak-anak remaja dan orang tua mereka datang dari kebun menyetor hasil petikan daun teh yang mereka peroleh hari itu. Pohon jengkol tepi kolam itu seakan mengucapkan selamat datang Bli Gde, -sebutan sayang Lasteri kepada Sobar-. Aku masih saya melempar pelet ke kolam sehingga ikan-ikan emas bergerombol, berebutan merebut pelet-pelet tersebut.

Luna menghampiriku, mengingatkan jemputan telah siap, kami akan pamitan untuk kembali lewat Bandung kembali. Aku semobil dengan istriku, Luna dan Mamanya Reno. Ohhhh Rinai, ya Mamanya Reno, punya panggilan sayang dari Mama Tua, Rinai. Sedangkan Papanya Reno, Reno dan Luna dalam satu mobil yang lain. Kami hampir tertidur sepanjang perjalanan.

Di hotel teman-temanku sesaat kuliah, telah menunggu kami, ada pak Komang, Pak Merta, Pak  Yasa, Pak Lanang, Bu Cok, Bu Made Kuning. Meraka semua teman-teman kami seperjuangan yang setelah tamat memutuskan tetap berkarier di Bandung. Mereka umumnya sebagai Dosen, bahkan beberapa dari mereka sudah Guru Besar, atau ikut suami mereka mengelola perusahaan di kota kembang ini.

Malam itu bak reunian angkatan tujuh puluhan, saat kami memakai celana komprang, rambut gondrong, senang dengan lagu-lagu The Beatle, Deep Purple dan sejenisnya, termasuk sebagai penggemar musik lokal The Mercy’s, The Lloyd, Panbers, dan yang paling digandrungi saat itu group band Koes-Plus.
Pak Merta yang memang senang main band saat sekolah, merancang pertemuan kami malam itu di sebuah cafe di Cisitu Hotel, yang home band nya menyajikan lagu-lagu tahun tujuh puluhan. Kami bernostalgia malam itu. Anak-anak kamipun kelihatan menyatu dengan anak-anak mereka, beberapa diantara anak-anak mereka juga membawa anaknya. Bah ini reunian BaliNese kataku. Yaaaa sahut Lanang ini Kelompok BaliNese.

Kuceritakan tujuan aku datang bersama keluarga ke Bumi Parahyangan ini, adalah napak tilas, pergi ke keluarga Lasteri di Tasikmalaya. “Ohhh tunggu-tunggu........., Lasteri pacarmu ya Ra” kata Yasa. “Ya keluarha almarhumah” kataku.  Dia sudah tidak ada, mendahului kita-kita semua. Lanang nyeletuk, ayo untuk orang yang kita kenal, dan kita ajak bersuka, bersedih, saat masih muda, kita berdoa sejenak dengan cara kita” seketika seisi cafe tersebut hening, karena Lanang menyampaikannya di panggung minjam mic dari MC cafe. Hadirin  dari kelompok lain juga ikut serta walau tidak tahu persis doa untuk siapa, Hahahaha lucu juga.

“Ma ternyata Mama Lasteri, mereka kenal, mereka mengheningkan cipta dan memanjatkan doa untuk Mama Lasteri” kata Luna. “Ya betapa cantiknya Mama Lasteri, tadi kudengar“ Ma ternyata Mama Lasteri, mereka kenal, mereka mengheningkan cipta dan memanjatkan doa untuk Mama Lasteri” kata Luna. “Ya betapa cantiknya Mama Lasteri, tadi kudengar Lanang juga menaksirnya saat muda, sehingga pertemanan papamu pernah kurang baik dengan Lanang” sahut mamaku. "Akh menurut aku mamalah yang lebih cantik. Luar dalam lagi, Ya Ma". Ek'e ek'e jawab Mama geli. "Bener lho ma" kata Luna lagi.

Papa memanggil waitress, memberikan secarik kertas kecil untuk disampaikan ke penyanyi di panggung. Habis lagu yang mereka nyanyikan itu, kuingat kayanya lagu Jhon Lennon, aku lupa judulnya, tapi sangat akrab ditelingaku. Kemudian penyanyi nya memberitahukan atas permintaan seorang yang sangat terhormat, tamu spesial di cafe ini, akan dinyanyikan sebuah lagu dari The Mercy’s “Hatiku Sunyi”.

Semua hening mendengarkan lagu yang sedikit berirama country itu. Rupanya lagu itu merupakan lagunya Pak Lanang, saat dia kecewa karena Sobar yang mendapatkan Lasteri. Lanangpun ngalah dan menikah dengan saudaranya dari Bali, dia adalah Bu Lanang. Dia seorang penari Bali, tapi juga sangat pawai dalam menyanyi.

Sebagai tamu kehormatan, Bu Lanang diundang ke panggung untuk bernyanyi, dia berbisik ke pada pemusik menyamakan kunci dan irama lagu yang akan dinyanyikannya.  Berkumandanglah lagu “Dokar Cinta”. Lagu ini mengisahkan sepasang kekasih yang jatuh cinta saat sama-sama naik Dokar, (Delman) dari sebuah perkampungan baru yang disebut Monang-Maning sampai jalan Gajah Mada. Saat itu memang jalan Gajah Mada merupakan jalan tempat hang outnya para remaja yang lagi jatuh cinta. Wah sangat mesra, kata mama. Mama hafal lagu tersebut. "Ia lah Mama hafal, itu kan lagu kenangan mama juga".

Tak terasa kalau sesama kawan lama ber reunian, waktu sangat cepat berlalu. Jam telah menunjuk kan jam 21 45, kami harus segera kembali ke hotel, saat Luna menyelesaikan bill ke kasir, dia di tolak oleh kasir, karena semuanya sudah diselesaikan Pak Merta, seorang dosen yang istrinya sebagai pengusaha konstruksi sukses di Bandung. Aku menggapit tangan Reno untuk maju ke panggung. Kami menyanyikan Cinta Durjana nya Reynold Panggabean bersama Reno di Panggung. Kulihat papaku sangat sumringah malam itu, kami ingin menghiburnya dengan lagu kesayangannya yang selama ini selalu mengiringi kesuksesannya.

Tepuk tangan bergemuruh, teman-teman papa rupanya juga sangat tahu kalau lagu itu merupakan lagu kesayangan papa. Begitu habis lagu Cinta Durjana, semua undangan terutama teman-teman papa bersama keluarga maju kepanggung. Kami menyanyikan Lagu Kemesraan, dan di akhiri dengan Lagu Bungan Sandat ( Bunga kenanga), yang sarat dengan petuah, untuk muda mudi.
Diantaranya adalah:

Tirulah sifat si Bunya Kenanga/ jangan meniru kembang bintang yang tumbuh di sisi gang, banyak yang memetik lalu di lemparkannya/ Bunga Kenanga biar layu dia masih akan tetap wangi, jadilah muda mudi yang saling mengasihi/ pupuklah persatuan, hendaknya saling bantu membantulah”..

Yo i bungan sandat.......selayu-layune miik. Itulah petuah malam inisemoga persaudaraan kita akan tetap kokoh dan tak berubah sampai ke anak cucu kita, persaudaraan yang kita bangun diperantauan. 
Kamipun segera kembali ke hotel, dan mereka teman-teman papa kembali kerumahnya masing masing. Papa kelihatannya sangat menikmati malam itu, beliau tidur dengan nyenyaknya. Renopun  ketemu seorang teman papa yang Guru Besar Teknik Sipl ITB, mereka larut berdiskusi dalam bidangnya, mereka saling bertukar kartu nama. Siapa tahu bisa bekerja sama.

Pagi-pagi, kami sudah siap untuk berangkat kembali dengan penerbangan pertama dari Husein ke Ngurah Rai. Karena penerbangan pertama pk 11 30 siang, kami dapat agak santai. Kami ngobrol kembali di Restoran Hotel. Rombongan kami sengaja memilih meja yang menghadap kolam renang, sambil menikmati gemericik air dan ocehan burung-burung liar di tetamanan hotel, sangat indah pagi itu. Petugas kolam masih membersihkan air kolam. Dan jatuhan kembang kamboja masih bertaburan ditepian kolam, dan beberapa jatuh ke kolam, seperti air kum kum saja kelihatannya.

Kami diantar oleh Pak Lanang dan istrinya pergi ke bandara, mereka pasangan yang sangat mesra. Pak Lanang dosen di Fakultas Seni Rupa ITB, seangkatan Bapak Nyoman Nuarta, yang seangkatan papa di SMA Tabanan dulu. Istrinya seorang Dosen di ISI Bandung, mempunyai sanggar Tari dan sangat sibuk pentas sampai Luar Negeri. Waduh teman-teman papa, rupanya sebagian besar sudah berhasil di rantauan, Bandung.  Mereka kelihatannya masih saling mensupport satu sama lainnya. Ternyata papa ikut membantu pengadaan meterial GWK yang sedang dibangun Nyoman Nuarta di Bukit Bali selatan. Itupun aku baru tahu saat sambutan reunian semalam, yang disebutkan Pak Merta.

Pak Lanang hanya menghantarkan kami sampai di ruang cek in, dia menarik papaku ke mobilnya. Sebuah kotak, tepatnya kotak kayu yang didalamnya ada kardus berisikan buku-buku. Tidak terlalu besar langsung saja papa bawa. Hee ternyata itu titipan Mama Lasteri. Nanti kita lihat di ruang tunggu saja kata Papa, sehabis kami pamitan kepada Pak dan Bu Lanang, kami masuk ke ruang tunggu. Kami tak perlu antre karena pihak hotel sudah membantu kami untuk city ceck-in.

Kotak itu rupanya berisikan buku-buka  tersebut adalah buku agama. Sebuah Bagawadgita, Sarasamuscaya, Upadeca, dan buku perbandingan Agama yang ditulis seorang Pastur terkenal di Jakarta. Kami tahu rupanya Mama Lastri telah mencoba mengetahui ajaran Agama kami, karena seperti yang aku tahu, umumnya istri akan mengikuti suami dalam adat dan kebiasaan Bali. Mama Lasteri kelihatannya sudah mencoba ke arah sana, kulihat banyak coretan di setipa halamannya.
Sudah tak usah dikeluarkan, kita rapikan kembali kotaknya, nanti kita baca setelah sampai di rumah. Pemberitahuan terdengar dari informasi bandara, para penumpag pesawat garuda sudah dipersilahkan untuk memasuki pesawat. Kamipun naik ke peswat Garuda yang akan membawa kami pulang meninggalkan Bumi Parahyangan.

Seperti biasa Luna asyik dengan menulis apa yang dia alami di iPadnya, setelah pesawat mencapai ketinggian jelajahnya. Pramugaripun menghidangkan santapan siang dan beraneka minuman. Kami kompak tidak makan karena masih kenyang, hanya minta kopi saja.

Kuseruput kopi yang disuguhkan, hehe ternyata Kopi siang itu sangat nikmat sekali. Sesekali kami tertawa menyaksikan film yang kami putar di panel pesawat, yang kami tonton rupanya sama The Proposal, kami banyak tertawa menyaksikan ulahnya Sandra Bullock yang menjadi bintang utama film itu. Agak konyol memang tapi cukup menghibur, dan menganjal ngantuk kami. Kunikmati tegukan terakhir kopi ku, ternyata kopi masih nikmat sekali. Ku tanyakan kepada Pramugari kopi yang dihidangkannya itu. Ternyata kopi itu adalah Kopi Luwak Liwa, dari Lampung Barat. Hahahaha aku diledek Reno.... kalah kita ya, Luwak beraknya saja diburu, dan dinikmati manusia. Oh iyaa...... biarin kataku, yang penting kan nikmatnya.

Kami diingatkan untuk memasang sabuk pengaman kembali, hampir berbarengan dengan habisnya The Proposal” karena pesawat akan segera mendarat. Sebuah perjalanan yang mengoyak-oyak hati, perjalanan spritual, nostalgis, sedih, haru, senang, gembira, bercampur aduk semua, sehingga rasa pegal kakiku baru terasakan saat akan mendarat, sebagai dampak perjalanan aku mengelilingi kebun teh Mama Tua selama di Tasikmalaya.

Pondok Betung, Bintaro, akhir Mei 2014.

  

Selasa, 27 Mei 2014

Rani-19 "MENGISI RELUNG KOSONG HATI RANI"

“MENGISI RELUNG KOSONG HATI RANI”


Lilin Penerang Relung Hati
Sore itu aku duduk sendirian dengan segelas starbauck capucino, dan sepotong roti menyaksikan hilir mudik wisatawan di Jalan Pantai Kuta, sambil menunggu sunset. Entah kenapa dalam hatiku berkecamuk berjuta rasa yang tidak enak. Anakku lebih lengket dengan Mami, neneknya. Kolev kulihat begitu mesra dengan Puspa, Suamiku sangat mesra dengan Puspa, dan yang menyita  sebagian besar ruang hatiku yang sedang galau ini, kenapa anakku sangat mirip dengan anaknya Puspa.

Berbagai pertanyaan muncul dibenakk. Anakku kali ini sedang bercengkerema dengan neneknya di Halong Bay. Mami mertuaku memang sepuluh hari terakhir ini mengambil cuti kerja untuk menikmati indahnya Viet Nam, melepaskan lelah, ingin menjauhkan anakku sementara aku mempersiapkan ujian terbuka program doktorku. Mereka pergi berempat Anakku, Mami, Meyan dan anak mantunya Meyan.

Jumat, 09 Mei 2014

Rani- 18 : Mimpi Rani, Spritualisasi Tingkat Tinggi



“MIMPI RANI, SPIRITUALISASI TINGKAT TINGGI”

Dalam Gendongan (google.com)
Kulihat Mami sangat bahagia menuntun cucunya, Cok Junior yang sudah mulai nakal berlari kesana kemari, walau masih sering terjatuh karena dia belum tahu tinggi rendah. Mami sejak anakku lahir lebih banyak mengendalikan usahanya dari rumah saja, setelah beliau belajar secara umum pemanfaatan teknologi internet, dalam mengawasi pekerja jarak jauh, berkomunikasi jarak jauh termasuk melakukan telekonfrence dengan staf-stafnya di lapangan, baik di pabrik, di kantor maupun di show room.

Ilmu pengusahanya sedikit sedikit telah ditransfer ke istriku Rani, sehingga beberapa kali ia diminta Mami memberikan pendapatnya dalam mengadakan ekspansi bisnis, maupun mengelola konflik yang terjadi di perusahaan. Meyan dengan setia mendampingi Mami dalam mengasuh anak kami. Rani memeng meutuskan untuk menunda lagi untuk memiliki anak ke dua, dia ingin menyelesaikan pendidikannya dengan cepat, sehingga dapat focus nantinya berkecimpung di bisnis.

Sabtu, 03 Mei 2014

Sobar-8 Sura Bharata dan Wasiat Mama Lastri



“SURA BHARATA DAN WASIAT MAMA LASTRI”

Sebuah Surau di Kedamain Kampung
Sobar baru saja sembuh dari sakitnya. Dia sempat dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) lebih dari dua  minggu. Kata dokter sih untuk beristirahat total, karena beban pikirannya yang sangat berat. Sobar orangnya memang sangat tertutup kalau masalah pribadi, sangat kontras dengan sifat demokratisnya. Diapun kelihatan sudah kompak dengan para dokter di RSUP merahasiakan sakitnya, itu memang dapat dilakukan pasien, terlebih dia dirawat di Ruang VVIP, Mahottama. Itu semua permintaan  anak-anak laki-lakinya yang seniman, karena sangat banyak teman-temannya menjadi dokter residen di RSUP. Mungkin mereka tak mau mengganggu pikiran adik perempuannya Luna.