Social Icons

Selamat Datang di Blog Itik-Bali

Selamat Jumpa Pembaca yang budiman, selamat datang di blog ini. Blog ini dibuat hanya untuk proses pencurahan hati dan ingin menghibur pembaca sekalian.

Dengan bahasa ringan sehari-hari, saya ingin berbagi cerita pendek yang mudah-mudahan bersambung, sehingga pembaca sekalian diundang untuk melepas lelah dan penat di blog ini.

Semoga pembaca sekalian menikmati dan terhibur setelah membaca. Tentu komentar dan saran anda sangat kami nantikan.

Salam

Rabu, 22 Juni 2016

Winda -10 : Gejolak hati Winda



“ WINDA DI RAWAT,  TAK KUAT MENAHAN GEJOLAK CINTA DI HATINYA”


RS Sanglah Denpasar (google.com)

Tak terasa sudah lima hari aku terkurung di kamar rumah sakit ini. Aku merasakan badanku sudah kembali baik, tetatpi dokter belum memperbolehkan aku untuk pulang, katanya untuk obesrvasi lebih lanjut. Kebetulan Randa temanku juga melarangku jangan pulang dulu sebelum dia datang. Mungkin juga dia meninggalkan pesan kepada sejawatnya yang merawatku disini. Sudah beberapa majalah habis kubaca, Dokter Amir pun kala kutanya tentang sakitku beliau hanya tertawa saja. “Sudah Non Winda istirahatlah dulu” itu jawaban beliau.
Memang sakitku aneh, katanya sih hanya infeksi virus yang menyerang lambungku, menyebabkan badanku menggigil deman yang sangat tinggi. Aku takut bila aku kejang. Kata mama memang aku waktu anak-anak sampai aku remaja bila panas aku sering pingsan. Mungkin daya tahanku sudah lumayan tahan. Sejak akil balik aku sudah tidak pingsan lagi bila demam. Tapi kali ini aku takut bila aku mengalaminya kembali.
Mungkin karena persoalan yang berkecamuk dihatiku, yang menyebabkan asam lambungku meningkat, selera makanku menurun sehingga tidak ingat makan. Maunya makan Pizza saja, padahal sangat banyak ladanya, yang sebenarnya menjadi musuh lambungku. Sejak aku membuat keputusan untuk tidak menikah dan banting haluan untuk mengabdi kepada masalah kerokhanian dan kemanusiaan, dalam hatiku berkecamuk, kecamuk yang tak mampu kubendung. Inilah gelora cinta yang tak mampu kubendung. Ya Tuhan aku hanya manusia biasa, punya batas kemampuan. Apakah ini karma ku, yang biasanya dengan mudah melupakan kekasihku bila ku putus atau di putus.
Mama sangat menentang keputusanku untuk tidak menikah. Mama ingin aku tetap menikah, karena menurutnya. Sebagai wanita kita harus mempunyai tugas untuk melehirkan generasi penerus. Kuingat yang mama katakana saat itu. Winda Ingat Ingat, kita dilahirkan, untuk hidup berpasangan, untuk berkembang biak dan mencapai kebahagiaan.  Itulah salah satu sloka dalam weda yang selalu mama ingatkan kepadaku. Mama memang seorang akademisi, suka membaca termasuk buku-buku weda dilahapnya. Dalam beberapa tahun terakhir beliau terjun kedunia itu dengan spirit untuk ‘ngayah’.
Beda dengan papaku, walau aku lama tidak bersama dengannya. Papalah tempatku bersandar, idolaku seperti beliau, orangnya cuek, tapi romantic; pendiam tapi banyak petuah kalau diminta; jarang marah sebagai tempatku mengadu; beliau lebih banyak mendengar dari pada menasehati. Lain dah dengan mama. Papa menyerahkan keputusan kepada ku, “kau menikah ya silahkan papa akan ikut bahagia, kamu memutuskan tetap sendiri papa tak melarang, kau akan tetap menjadi anak papa, anak-anak kesayangan papa” katanya.
Hanya Kang Cecep sopirku, yang setia menemaniku hampir lina tahun terakhir, sebelumnya sejak bujangan Kang Cecep adalah driver mama. Jadi aku sangat faham dengannya. Kang Cecep, mengingatkan aku. “ Non, jangan terlalu cepat memutuskan sesuatu, pikirkan baik-baik, lebih baik non kansel saja dulu keputusan untuk tidak menikah itu”. Menurut Kang Cecep Solomo lelaki yang cocok untukku, karena dia merupakan perpaduan sifat papa dan mamaku. Orangnya memeng super cuek, sangat menyayangiku lebih dari menyayangi dirinya. Akan memberikan nasehat bila kuminta. Aku tak pernah dimarahinya. Malah aku sering menumpahkan kekesalanku kepadanya. Padahal masalahku bukan sama Salomo.
Aku masih mondar mandir di teras Paviliun Rumah Sakit MMC Bintaro, menyaksikan lalau gunung di selatan yang gagah menjulang, seakan ngeledek hatiku yang sedang galau, tidak bisa tegar setegar gunung itu. Ku bayangkan disanalah, disalah satu arah selatan Gunung Salak berada, tempatku sering berpasrah diri. Mencari kehadiran Nya. Sudah beberapa kali purnama memang aku absen, karena kegalauanku. Padahal merupakan saat yang tepat untuk meredam kegalauan hati.
Aku terkaget Suster Nining telah berdiri disampingku, mengingatkan aku untuk sarapan, karena Dokter akan visit lebih pagi. “Non Winda, sarapan dulu, sebentar lagi dokter visit, nanti saya dimarahi kalau Non belum sarapan, dan belum minum obat”. Aku tiduran saat dia mengukur suhu badanku, sambli memoh maaf meletakkan punggung telapak tangannya ke dahiku. Tensi bagus, suhu badan stabil 36 katanya. Lalu seperti biasa dia menyetelkan aku radio. Teredengar diradio lantunan lagu :Bila Cinta Menggoda” nya Chrisye.
Kami berdua, aku dan suster Nining ikut bersenandung. …… dan ijinkanlah aku mencintai mu…….. ku tak sanggup menahan gejolak cinta ini.  atau hanya berharap cinta darimu ... Nah begitu dong Non, Nining yakin non akan segera sembuh bila semangat seperti ini menjalani hidup ini. Hahahaha Sus Nining, Sus Nining apa aku selama ini tidak semangat menjalani hidup ini. Suster tak tahu gejolak hatiku. Aku sarapan ditemani suster Nining dan diakhiri dengan menyiapkan obat yang harus masih kuminum pagi itu. Iapun pamit dan aku merapikan diri, menunggu visit dokter pagi itu.
“Selamat Pagi Non Winda, wah pagi ini lebih indah ya?”  dokter Amir menggodaku. Winda bila aku melihat kamu, aku teringat mantanku, “yang orang Bali dulu. Jari lentik, mata tajam, pinggangmu jenjang, demikian juga betis panjang kekuningan, dengan rambut lurus yang panjang. Aku bisa klepek klepek lagi, bila membayangkannya. Aku tak jadi menikah dengannya karena dia mendapat kontrak menari di LN selama tiga tahun sambil mengambil pendidikan pascasarjananya. Dia seorang Psikolog. Ya sudahlah, akhirnya aku menikah dengan ibu, sambil berbisik karena ibu keburu hamil duluan”. Nah itu namanya jodoh Dok selaku. Kau beruntung Dokter Randa, kenal dengan Winda, semoga kalian berjodoh, kata Dokter Amir. Sebagai basa-basi Randa menjawabnya, amin dok.
Silahkan konsultasinya teruskan saja dengan Dokter Randa katanya, sambil menepuk punggungku Dokter Amir pamit meneruskan visit pasien lain. Tinggal aku dan Randa di ruangan, Nining juga pamit untuk mendampingi Dokter Amir melanjutkan visit. “Winda, aku bawakan kau Piza, kita makan Piza di teras saja sambil ngobrol kata Randa.
Hehehe kau Randa, tahu saja bahwa aku senang dengan Piza, bahkan tergila gila pizza belakangan ini. Padahal saat sama sama di Tokyo dulu aku tak suka bahkan anti dengan yang namanya pizza. Aku geli bila menjilat pastanya. Dia bawakan satu buah Piza Hawaian Chicken Pavorite, dengan potongan nanas di permukaannnya, ektra cheese dan dengan cemolan keju dipinggirannya. AKu heran dari mana dia tahu kesukaanku ya.
Randa masih sangat akrab denganku, dia memanggilku Mbak Win, kami berbeda tiga tahunan, pernah sama sama dalam satu organisasi senat saat satu Universitas di Jakarta. Kami tak tahu kalau dia masih ada hubungan kekerabatan dengan papaku. Sekarang dia dinas di Kutai Kertanegara. Dia ku kabari saat aku masuk rumah sakit, dan kebetulan dia ada di Jakarta. Katanya ada urusan dinas, menyiapkan peralatan yang akan didatangkan dari Jepang, jadi dia banyak berhiunungan dengan Kedutaan Jepang.
Sambil menikmati Piza, dia hanya mengatakan kepadaku, Mbak Win, kau batalkan keputusan itu. menikahlah. Aku taju kau sangat mencintai Salomo, Jangan biarkan batinmu bergolak, seperti gejolak cinta dalam lagunya Chrisye yang terlantun di radio tadi. Aku tahu mbak ku ini biasa dengan eksperimennya, tapi untuk keputusan menikah jangan main-main mbak. Karena di dalamnya akan bermain rasa yang paling dalam. Dia dapat mengaduk aduks egala isi hati kita, sama dengan tsunami yang pernah menyapu pantai timur Jepang. Ingat kan mbak!.
Kamu sok tahu Randa, kaupun belum menikah kok kamu menasehati mbak. Kataku ke Rangga. Hahahaha tawanya berderai. Menasehati itu tidak harus duluan mengalami mbak. Kalau menyembuhkan sakit mbak, apa Randa harus sakit duluan. Kan nggak kan mbak. Kalau Randa boleh menikahi mbak, akan kurayu mbak dan mengajaknya untuk menikah. Dalam kegalauan begini. Kayanya mbak mau…. Aklh kamu Randa bisa saja…. Kan kamu kuanggap sebagai adikku. “Itu kan hanya sebagai adik, mbak”
Randa mengeluarkan smartphonemya, dia memutar sebuah rekaman. Rupanya semua keluahku dia rekam secara diam-diam, dia bekerjasama dengan Dokter Amir dan Suster Nining. Pantesan Nining setiap pagi kekamarku selalu meyetelkan aku radio, rupanya saat itu dia mengambil dan menaruh yang baru alat perekam kamarku. Tidak bisa dik, aku telah membuat keputusan. Walau keputusan itu membuatku galau seperti ini.
Persis…. Kata Randa, Mbak Winda asam lambungnya meningkat sangat deras. Mungkin mbak Winda pernah mengalami iritasi lambung yang sangat akut, Ia ia aku ingat aku pernah OD saat aku kecewa, putus pertama dengan pacarku karena perbedaan keyakinan, dia menganggap aku tak punya keyakinan, dan memaksaku mengikuti keyakinannya. Tentu aku murka besar. Dia seenaknya memvonis aku tidak mempunyai keyakinan, makanya lebih baik bubar dari pada mengikutinya. Aku sangat idealis seperti mamaku, apa yang aku yakini tak boleh orang lain mencelanya, apalagi dia calon pendampingku.
“Nah itulah yang kambuh saat ini, lambungmu terluka parah, dan secara psikologis mbak lagi mengalami konflik bathin”. Semakin cepat mbak putuskan semakin cepat mbak stanbil. Bukan sehat, karena sejatinya mbak sehat, hanya mengalami kecelakaan kecil, luka lambung yang terus terinfeksi virus. Jangan biarkan hari bergolak lama mbak. Randa cuman sarankan mbak Winda, segera menikah. Titik.
Windi medekatkan mukanya ke telingaku. Randa, apa ini nggak pesan sponsor?. Bukan pesan mama?. “Nggak, ini professional, aku belum sempat ngobrol dengan mama dan papamu, walau kulihat tadi sudah ada di ruang tamu Dokter Amir”. Kami cuman sempat salaman dan beliaupun tak tahu kalau aku akan ke ruangan kamu Kak Win.
Randa mengeluarkan sebuah kertas darid alam tasnya. Kutaktahu maksudnya. Dia menunjukkan ke aku lembar keduanya. Aku disurunya membaca. Ayo Mbak Win, baca yang keras!
“Apabila didalam keputusan ini terjadi kekelirian, maka akan diadalan perbaikan sebagaimana mestinya”. Terus istimewanya apa Ran, tanyaku. Ya itu mbak, itu kutunjukkan pertama agar mbak ku ini ikut berbahagia, mendengar beriuta bahwa aku dipromosikan menjadi Kepala Dinas, dan kedua aku ingin mengingatkan mbak, bahwa setiap keputusan kalau itu salah bisa dan harus dilakukan perbaikans ebagaimana mestinya. Kami pun tertawa berderai Ha, ha, haaaaaaaa. Kamu benar, mbak akan pikirkan.
Jadi selama tiga hari ini, semua keluhan mbak di dalam kamar ini kau rekam ya Ran?. “Iya mbak karena aku tahu kebiasaan mbak, menumpahkan isihati sendiri di kamar, itu sangat ku ingat, makanya ku rekam ku pelajari. Nining mengirim copinya ke aku, setiap pagi lewat internet. Itu kesimpulan aku dan Dokter Amir tentang masalahmu mbak. Oke...... mbak akan fikirkan kembali keputusan itu.
Tepat jam 12 00 seiring dengan ketukan dipintu kamarku, Randa mohon pamit dan mohon doa restu karena dia akan menikah sebelum dilantik menjadi Kepala Dinas di Kabupaten Kutai Kertanegara. Aku ingat calon istrinya hitam manis, gadis sedaerahnya, seorang yang menekuni filsafat agama. Kelihatannya mereka sebagai pasangan yang cocok.
Pintu kamar kami pun terbuka, Randa salaman, dan Suster Nining mengantarkan mama, papa dan Solomo datang menjemputku. Aku saling melepas rindu sama mama, sama papa, dan tentu sama Solomo. Dia tetap cuek dan kalem seperti biasanya tidak terlalu menunjukkan ekspresi nya dihadapan mama dan papa. Suster Nining, sedikit berbasa basi dengan orang tuaku, dan papa memulai pembicaraan.
Kami duduk di kamar itu, Solomo duduk disebelahku, mama didepanku dan papa berdiri memulai pembicaraan. Bagaimana Win, apa kita ngobrol disini apa di rumah?.  Aku bengong. Lho memeng aku sudah boleh pulan?. Iya boleh sebenarnya sudah kemaren kamu boleh pulang, tapi semua itu harus menunggu Randa yang akan menyampaikan kepadamu. Tapi tadi Dokter Amir meralatnya, papa disuruh menyampaikannya. Rupanya aku tak dapat megontrol diri, aku berpaling memeluk dan mencium dengan penuh kasij Solomo, maka dan papa ke teras menikmati Piza yang ada dan aku sedikit melepas rindu kepada Solomo, dan aku berbisik ketelinganya “Sujatinya aku rindu mas”. “Iya aku juga sama, tapi ini rumah sakit, aku malu sama papa dan mama”. “Yah biarkan saja mas….. aku sangat rindu mas Solomo”
Siang itu berlalu, akupun pulang kembali kerumah, dianter Suster Nining, dan Dokter Amir sampai lobi rumah sakit, kami berlima pulang kerumah. Aku, Mas Solomo, Mama dan Papa serta Randa, hehehe Dokter Randa ikut ke rumahku.

Puri Gading, akhir Juni 2016