Social Icons

Selamat Datang di Blog Itik-Bali

Selamat Jumpa Pembaca yang budiman, selamat datang di blog ini. Blog ini dibuat hanya untuk proses pencurahan hati dan ingin menghibur pembaca sekalian.

Dengan bahasa ringan sehari-hari, saya ingin berbagi cerita pendek yang mudah-mudahan bersambung, sehingga pembaca sekalian diundang untuk melepas lelah dan penat di blog ini.

Semoga pembaca sekalian menikmati dan terhibur setelah membaca. Tentu komentar dan saran anda sangat kami nantikan.

Salam

Senin, 18 Juli 2016

Winda- 12 : Kebahagian Winda di Lereng Lawu




“KEBAHAGIAN WINDA TAK TERLUKISKAN DI LERENG LAWU”

Panorama Lawu dari Margoyoso (google.com)
Sudah hampir enam tahun  aku menikah dengan mas Solomo, yang sering ku sebut mas Lomo, sebagao plesetan panggilannya sebagai Romo, pemimpin upacara di Candi Dukuh, sebuah candi peninggalan zaman Siwa—Budha yang masih terawatt dengan baik di lereng barat Lawu, di wilayah Desa Perkampungan kami Margoyoso, Karanganyar. Pendaulatan Mas Lomo, sebagai Pemangku Candi menyebabkan pernikahan kami batal, karena dua pendapat yang menghendaki Mas Lomo tetap membujang, dan pendapat lain tetap membolehkan kami menikah, tapi dalam kurun waktu lima tahun harus sudah tidak mengandung lagi.
Tapi keputusanku waktu itu menunda pernikahan memberikan waktu untuk keluarga besar Margoyoso mengadakan perundingan, demikian juga saya dapat melakukan perenungan karena tuntutan bathin ini yang menuntut untuk tidak menikah. Syukur semuanya itu dapat dilalui, dan kamipun melangsungkan pernikahan secara meriah, walau kami sempat memutuskan untuk tidak menikah dan mengalami sakit yang cukup serius.
Untung Mas Lomo juga sangat pengertian, dan kukuh dengan pendapatnya dia harus menikah dulu baru mau memangku jabatan spiritual di Candi, dan tidak akan menikah kalau tidak menikah dengan aku. Nah aku seakan di skak match. Kondisi ini, dorongan Mama, dan sopirku Pak Cecep, Dokter Randa yang memberikan aku support dan mendorong untuk mengurungkan keputusanku menjadikan aku memutuskan melanggar keputusan sebelumnya untuk tidak menikah.
Anak kami sudah tiga, si sulung kembar pasangan laki perempuan : Raka dan Gadis serta si bungsu Winsal, semuanya hampir lebih banyak tidak bersama kami. Raka ikut kakak ku, karena beliau belum mau mempunyai momongan mengingat istrinya masih menuntut ilmu saat Raka masih lucu-lucunya mereka mengajaknya sebagai teman sehari-hari, Raka seperti anaknya sendiri, bahkan melebihi sampai sekarang istrinya mengandung anak pertama. Gadis ikut mama dan papa di pasraman, menemani niangnya (niang = nenek) nya sehari-hari, sebagai pembayaran kaul mama kalau aku bersedia menikah, dan Winsal anak laki bungsuku yang sangat lengket dengan papanya, lebih banyak hidup disanggar dengan ayahnya Mas Lomo.
Aku sendiri, dapat dikatakan hanya bersama mereka kalau sedang berada di rumah kami di Bukit Jimbaran, yang aku bangun sendiri, dengan arsitek ayahku, serta desain interior dan landscape dibantu Mas Lomo. Tempat aku bercengkerema dengan anak-anak sesekali bila aku sedang ada di Bali. Mereka sangat senang bobo besama aku maminya, padahal aku mempunyai kebiasaan tidur telanjang. Tapi mereka menagnggapknya biasa. Namun aku harus membatasi nya hanya sampai mereka tujuh tahunan.
Pagi ini sudah menjelang siang, mata kari sudah lenih dari 50 derajat di atas horizon, aku masih memanjakan diriku, masih berendam pada kolam air deras, yang dibuat sedemikian rupa di belakang rumahku, dengan mendesign aliran air kali di tengah perkebunan tek keluarga di Margoyoso, sehingga menjadi kamar mandi pribadi di alam terbuka, di sana terdapat sebuah pancuran, sebuah kolam (bathtub) air deras, dan kolam air kumkum yang dapat di isi dan dikuras dengan cepat. Batu-batu besar di susun sedemikian rupa sehingga saat mandi aku merasakan mandi di alam terbuka, dapat duduk di atas batu berjemur, dapat rendaman sambil tiduran, sambil menikmati sinar mentari.
Mas Lomo, seakan tahu kesenanganku, suka mandi (maaf) telanjang di alam terbuka. Dia membuatkan aku tempat madi yang sangat privat, dengan dobel pagar yaitu pagar tembok yang tinggi di lapisi luar dalam dengan pepohonan dinding yang asri. Kalau bukan keluarga tidak akan tahu bahwa itu adalah tempat mandi alami kami.
Aku sangat menikmati suasana seperti ini, hampir sudah tiga tahunan setelah komplek bangunan perumahan keluarga di pugar di Margoyoso sebelum kami intensif memulai kegiatan memimpin ritual, kami secara rutin menikmati suasana ini, minimal dua kali setahun bisa lebih. Seperti kali ini habis purnama kasa ( Kesatu ) yang setiap tahun jatuh pada bulan Juli, kami baru melakukan ritual dan semedi bersama penduduk kampong. Hampir pk 02 00 kami baru selesai, saat rembulan sudah berani menampakkan diri dengan telanjang, dengan bulatnya menyinari bumi ini. Aku terbangun hampir pk 09 00 langsung mandi sendiri, Mas Lomo bersama beberapa pemangku desa naik, melanjutkan persembahyangan di Puncak Lawu sebagai bagian ritual malam itu. Intinya memohon keselamatan, kemakmuran desa, sambil mengucap syukur atas hasil yang melimpah diperoleh desa tahun ini.
Pikiranku melayang, mengenang saat-saat indah bersama Mas Lomo, dia memang telat menikah. Padahal aku juga karena aku menikah sudah umur tigapuluh tahun lebih, dan selisih umur kami dua belas tahun. Mas Lomo, bukan tipeku sebenarnya akan tetapi dialah yang akhirnya enaklukkan hatiku. Dia pasif seperti mesin disel, tetapi kalau sudah panas, sangat menggebu dan sangat romatis. Mungkin dunia seni dan masa keilnya membentuk dia begitu. Walau begitu aku sangat menikmatinya sebagai istrinya, dia sangat memanjaku, orangnya sangat rajin mengumpulkan ‘arta’ sehingga aku yang harun memplaning ‘kama’ nya. Untuk dia tetap mempunyai semangat, mempunyai ambisi, dan mempunyai libido. Itu salah satu petuah mama, yang sudah ikut mambantu kami memantau sifat Mas Lomo. Maklum mamaku memang konsultan, disamping dokter spsesialis.
Mas Lomo menjadi bagian hidupku. Hidupku tak merasa lengkap tanpanya. Kami saling melengkapi, mensinergikan power masing-masing untuk mengeliminasi kekurangan kami. Kami sama sama sudah mapan sebelum menikah, sama sama dewasa. Walau terus terang kusadari, bahwa aku petualang cinta sebelum menikah. Aku bisa membawa diri, membatasi diriku sehingga tidak menjadi MBA (Married By Accident). Hahahaha…..
Siang itu aku bisa berlama lama di temoat mandi, Mas Lomo biasanya akan turun menjelang sore dari puncak Lawu seperti biasanya.  Dalam lamunanku, kudengar “Mbak monggo makan dulu sudah siang”.  Mbak Reni kerabat Mas Lomo menghantarkan makan siangku ke dalam tempat mandi. Memang jtempat mandinya hamir selapangan volley. Aku mengambil handuk melilitkan di tubuhku, sambil bilang terima kasih mbak Reni.
Reni dan Cecep, dua orang yang sangat setia terhadap keluarga kecilku. Reni masih kerabat Mas Lomo yang ikut Mas Lomo sejak masih SMP ikut sekolah di Denpasar, sampai saat ini dia kuliah di Institut Seni Indonesia Denpasar. Dia sangat setia dan menghormati kami, sampai-sampai setiap menentukan pilihan akan memperhatikan pendapat kami. Mbak Reni meninggalkan kami sendirian lagi di ruang mandi.
Aku sangat bahagia, sambil santap sederhana ala Jawa, nasi liwet, ayam kampong, temped an tahu bacem, sayur lodeh dengan es dawet nangka dan rujak manis (Lotis Kemuning), aku memperhatikan lompatan kesana kemari di dahan sekeliling ruang mandiku, burung cerukcuk yangs edang bercinta dengan pasangannya. Kupu-kupu beterbangan menikmati kemilau kembang yang bermekaran, maklum Juli merupajan banyak bunga bermekaran. Lamat-lamat ku dengar Reni memutar langgam Jawa di ruang keluarga, dia memang sedikit sibuk karena minggu depan akan Ujian Akhir Semester.
Aku teringat tempat ini sering menjadi saksi bisu kami memadu kasih dengan Mas Lomo. Dia sangat senang menikmatinya sambil rendaman di kolam kumkum, kalau aku lebih menikmatinya sambil menikmati kuciran air pancuran, terasa lebih liar dan sensasinya berbeda saja. Terima kasih Mas Lomo, kamu telah menjadikan aku sebagai ratu, membuatkan tempat ini sangat kena di hati, yang seblumnya tidak pernah aku bayangkan. Sepeti biasa Mas Lomo jarang mendiskusikan suati design kepadaku, hanya dia menjadikan masukan kesukaanku sehari-hari, Demikian juga aku, akan tidak banyak protes, dan lebih banyak memuji –memang hasil karyanya patut dipuji- hasil karyanya, apa lagi dibuatkan khusus untukku.
Jadi aku merasa beruntung mengurungkan niatku mengurungkan keputusanku untuk tetap melajang. Aku ingat sekali sloka yang sering disebutkan mama :”Kau diciptakan (Nya), terlahir untuk hidup berpasangan dan berkembang biak, guna mencapai kebahagiaan”. Aku merasa tanpa menikahpun aku sudah meras bahagia. Namun penglihatan orang tua, yang tidak akan mau menyakirti hati putra putrinya akan lebih lengkap. Mama mungkin melihat aku akan lebih berbahagia bila menikah, dan tentu walau diam beliau sebenarnya tidak suka melihat aku yang gonta-ganti pasangan. Baik suku, ras, profesi, agama maupun umur, silih berganti menjadi pasanganku. Bahkan dapat dikatakan banyak yang sudah begitu dekat denganku, termasuk Mas Lomo pernah singgah di hatiku, hanya saja dia tidak segresif yang lain. Dia tekun dan sabar menunggu hatiku luluh, dan jatuh kepelukannya.
Mungkin karena parasku yang cantik (hehehe narsis), manja suka menggoda menjadikan banyak lelaki dekat denganku, dan memupuk subur petualangan cintaku. Kini aku sampai pada sebuah perlabuhan, sebuah terminal cinta, yang namanya mahligai rumah tangga dengan Mas Lomo. Hidupku tidak dapat dipisahkan dengan bisnis, seni dan sosialku serta kegiatan spiritualku, menyebabkan aku sangat mobile hidup, antara Jakarta, Denpasar dan Karanganyar Solo.
Aku sangat berbahagia, demikian seluruh keluarga kecilku ku harap dapat berbahagia melihat kehidupan kami. Hidup cukup dengan tiga anak, anak-anakku menjadi rebutan untuk diasuh mama, kakak dan hanya satu yang bersama bapaknya di sanggar di Denpasar. Winsal walau masih empat tahunan, sudah ikut corat-coret ayahnya ikut mulai belajar melukis. Yang tua Raka lengket dengan kakak iparku yang baru mulai hamil, Gadis lengket dengan Niangnya, sehingga membuat aku iri terhadap mereka. Tapi bila aku ada di Denpasar minimal satu-dua hari mereka akan datang berkumpul dengan kami. Meraka faham walau kami tak memintanya. Seorang anak tetap harus mendapatkan kasih sayang dari mamanya, walau kasih sayang yang melimpah telah didapat dari Niang, dari Om dan Tante yang sudah dia anggap sebagai orang tua kandung, maupun hanya dari papanya saja.
Rupanya kami sempat tertidur di atas bebatuan rindang di bawah bayang-bayang pepohonan pelindung ruang mandi, membuaiku mimpi jauh sekali, menghilangkan penatku dan menambah kebahagiaanku siang itu. AKu bergegas mengenakan piyama kembali ke kamar, sedikit merawat diriku karena Mas Lomo dan rombongan sebentar lagi akan sampai, pulang daru uncak Lawu.

===
Lamunan di Puri Gading, akhir Juli 2016

Rabu, 06 Juli 2016

Belajar Kesederhanaan Ala Kampung



“BELAJAR KESEDERHANAAN DARI MASYARAKAT KAMPUNG”

Lebaran ini, libur lumayan panjang. Teringat waktu masih di desa dengan segala keserhanaan. Kesederhanaan hidup, kesederhanaan pandang, kesederhanaan berfikir dan lain sebagainga, termasuk menyebutkan hari raya. Hari raya inti Hindu sudah pada di kenal masyarakat, dengan Galungan yang paling ramai, karena ada acara potong memotong hewan, sehingga bagi anak-anak dan penduduk kampong lainnya merupakan acara yang dinanti nanti disamping sembahyang bersama juga ada makan ‘besar’ karena pasti ada daging. Sehingga hari raya dimudahkan menyebutkan sebagai Galungan saja. Dalam rejeki yang tertunda juga sering disebut Kalau nggak Galungan ya Kuningan, untuk menggambarkan bahwa kalau rezeki nggak akan kemana, hanya waktunya saja yang tertunda.
Hal memudahkan ini kemudaian berlangsung juga untuk menyebutkan hari raya untuk teman-teman umat agama lain, seperti untuk Idul Fitri disebut dengan Galungan Jawa, itu mengacu pada pendatang yang sering disebut ‘nak’ Jawa, yang kalau dulu umumnya tinggal di Kampung Jawa, sehingga saat kami kecil bila mencari teman yang merentau ke kota kami dari luar daerah, sangat mudah ditemukan di Kampung Jawa ini. Untuk Imleks disebutkan dengan Galungan Cine, demikian pula dengan Natal disebut dengan Galungan Kristen.
Cara piker yang sederhana masyarakat menjadikan semuanya sederhana, sehingga untuk menyebutkan Hari pertama sesudah hari rata pun diidentikkan dengan yang berlaku di Bali. Untuk hari pertama sesudah Galungan disebut Umanis Galungan, demikian juga untuk Lebaran ke 2 disebut  Umanis Lebaran, dan lain sebagainya.
Demikian pula dengan kebiasaan musim atau cuaca yang menyertai. Seperti kita ketahui untuk Imleks teman-teman yang merayakan mengharapkan turun hujan. Sehingga untuk daerah kami yang bila Imlek biasanya dihindari untuk kegiatan outdoor, karena dikhawatirkan hujan. Saat membakar genteng misalnya yang didahului dengan menjemur genteng, bila nertepatan dengan Imlek selalu dihindari, karena kawatir akan hujan, mengingat pengalaman kami Imlek umumnya di barengi dengan hujan.
Dikampung sering kita dengar dari ucapan orang tua kita kepada anak cucunya, pertanyaan seperti ini. He Wayan, kok tak sekolah?. “Libur Bu, Idul Fitri” ooooo Galungan Jawa ya, ibu lupa, begitu kira-kira perbincangannya. Untuk Imlek biasanya ditandai dengan adanya beberapa orang yang membersihkan beberapa kuburan (Bong) yang ada di sudut Setra (Tempat Pemakaman Desa Adat), orang-orang yang lewat umumnya nanya. Kapan Galungan Cine nya, “Hari ini Galungan Cine”. Kalau sudah begitu banyak anak-anak ikit membantu membersihkannya. Karena biasanya mereka dibagi kue atau hadiah kalau pemiliknya datang sembahyang. Biasanya mereka datang menjelang siang.
Dari semuanya itu terlihat kesederhanaan berfikir masyarakat, mereka mengidentikkan kegiatan lain dengan kegiatan mereka sendiri, Galungan Jawa digunakan untuk Idul Fitri, merujuk pada teman-teman pendatang saat itu yang umumnya dari Jawa, beragama islam, sehingga Jawa diidentikan dengan muslim (walau sebenarnya tidak sepenuhnya benar, karena teman Jawa dan pendatang lainnya tidak semuanya muslim), Galungan Cina Untuk Imlek, merujuk pada yang mereyakannya umumnya teman peranakan Cina.
Cara berfikir masyarakat sangat sederhana, namun sangat mudah memahaminya. Cara berfikir mereka sederhana dengan tidak ada tendensi macam-macam. Semoga pemikiran itu tetap lestari dan berkembangs esuai zamannya sehingga kerukunan umat di negara kita ini tetap berjalan dengan baik, tetap saling menjaga, saling menghormati satu sama lainnya.
Selamat Merayakan Idul Fitri 1437 H

Jumat, 01 Juli 2016

Winda-11 : Cancel Keputusan Winda



“SAKSI BISU KULMINASI CINTA WINDA”


Telaga Sarngan
Semilir angin lembah naik menyusuri bukit, menyapa Winda di Telaga  Sarangan pagi itu. Winda tengan asyik menikmati udara pagi sambil berjalan santai mengitari tepian telaga. Beberapa burung kuntul hinggap di tepian telaga sambil mengintip ikan yang bergembira menyambut pagi. Cecep dengan setia mengikuti Winda.
Angin terasa berlomba dengan sinar matahari menggoda kulitku. Kubiarkan kulitku bebas, aku hanya memakai yukensi, dengan selembar selendang melingkar di leherku. Selendang itu mengingatkan aku dengan Salomo, orang yang kuajak janjian disini di Telaga Sarangan. Aku duduk di tepian telaga yang dekat jalan menuju air terjun Nglueng, semilir angin membuaiku tertidur sejenak. Aku bermimpi memutar memoriku apa yang kukunjungi kemaren.
Sepanjang perjalanan ku kemarin dari Solo, Karanganyar, Tawangmangu hingga telaga Sarangan. Pasar Tawangmangu terlihat jauh lebih rapi dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu, saat aku kesana dengan mama. Grojogan Sewu pun kulihat sudah lebih rapi, jalan menuju kesana sudah bagus, hanya saja airnya tidak sebanyak dulu. Semilir angina menghempas butiran air terjun membasahi rambutku.
Kenangan lain ketika itupu masih aku ingat, pertemuan aku dengan seseorang anggota pramuka dari Jogya. Dia dari sekolah De-Brito. Dia sangat Macho, berambut gondrong, kulit putih hidung mancung. Kulit dan rambutnya sangat kontras. Sempat menemani aku saaat remaja di tepian Grojogan Sewu. Aku tak ingat persisnya,  apakah pemuda itu yang mencium ku untuk pertama kali.
Aku menyusuri Gandasuli, sebuah desa dekat dengan Cemoro Sewu, di puncak lereng Lawu perbatasan Karanganyar dengan Magetan. Batu itu masih tegar berdiri. Batu yang menjadi tempatku bercengkerema sepuluan tahun silam. Dimanakah pemuda itu sekarang. Aku tak tahu aku merindukannya. Saat motornya mogok tak kuat merambat naik kembali dari Sarangan kembali ke Tawangmagu, kuingat betapa keringat kami bercucuran, aku yang ikut mendorongnya, dia yang menuntun. Seperti dalam cerita Penganten Remaja saja.
Aku terbangun karena terik matahari menjilat mukaku yang belum kena apa-apa pagi itu, Kang Cecep tersenyum disebelah mengawasiku. Dia sopir mama, yang diwariskannya kepadaku. Dia sangat setia keada keluargaku, demikian juga dengan keluargaku. Dia sangat care terhadap aku. “Selamat pagi non, enak tidurnya, Bapak lihat tidurnya sangat nikmat, pakai senyum senyum segala non” sapanya. Iya mang aku sempat bermimpi segala memutar kenanganku beberapa tahun silam.
Aku meneruskan jalan pagiku, didampingi Kang Cecep, sambil memperhatikan candaan burung kuntul mengintip ikan di telaga. Bergegas menuju hotel, kembali untuk mempersiapkan diri janjiku menikmati Telaga Sarangan dengan Mas Salomo, yah aku sering sebut namanya Salomo, atau Solomo. Apalah artinya sebuah huruf o apa a sama saja bagiku.
###
Sore itu kuserahkan ke Mas Salomo untuk memilih tempat, karena aku tahu dia lebih tahu suasana di Telaga Sarangan, karena ia memang berasal dari Karanganyar. Tepat Jam 13 siang aku disamperinya. Sangat romantic dia menjemputku dengan sebuah delman. Tapi aku tak tahu kok dia tahu hotel dimana aku menginap, padahal aku tidak memberitahunya.
Aku diajaknya menikmati siang sampai sore itu, dosebuah restoran ekslusip, yang dapat melihat kegagahan Gunung Lawu, romatismenya telaga Sarangan dan hamparan kampong di sela persawahan yang mempermadanai Lawu di lereng Timur. Sungguh pintar ia memilihkan aku tempat. Sambil menikmati kuliner ala Jawa Tengah dan Jawa Timuran, aku membuka pembicaraan siang itu.
Aku jelaskan pertimbangan kenapa sebelumnya aku memutuskan untuk tidak menikah. Itu semata suatu jalan spiritual yang kuanggap kala itu akan mampu membawa aku ke suasana yang damai, suasana hati adem. Ternyata tidak. Kepurusanku itu mendapat tantangan, ditentang mamaku. Beliau sangat keras menentang keputusan aku. Walau papa lebih demokratis, beliau menyerahkan semua keputusan kepadaku. Karena papa menganggap aku sudah cukup dewas untuk mengambil keputusan. Tanteku yang memang juga tidak menikah seumur hidupnya, cukup menentang keputusanku.
Kang Cecap, kelihatannya memihak mama tapi lebih moderat caranya menyampaikannya, Dia menyuruh aku untuk mengcancel dulu keputusan tidak menikah itu. Belum lagi Randa yang suka mengganggu dengan chatting wa nya, padahal dia akan segera menikah dengan dengan seorang wanita yang menurutku sangat pas mendampinginya yang sangat homoris. Dalam salah sat WA nya dia mengatakan, dia akan cansel lamaran ke calonnya, bila aku mengoyakan tembakannya. Hahahaha kaya sk yang perlu ada perbaikan. Aku tak mau merusak hubungan mereka berdua. Apa Randa mengalami Odiphus Compleks. Hahahaha.
Dokter Amir pun sering menggoda aku setiap aku control kembali, Dokter Amir selalu bilang aku periss mantannya, bahkan reinkarnasimantannya. Hahaha berarti mantan pacar Dokter Amir perempuan sempurna,  betisnya kekuningan, pinggang ceking panjang jari lentik berkuku panjang, dada berisi dan kalau rambut memang mahkotaku tak pernah pendek semenjak aku bisa merawat rambut. Aku tak tahu apakan dokter Amir serius apa hanya memotivasi aku agar segera menikah, aku yakin Dokter Amir dan Dokter Randa disponsori mama sesame sejawatnya.
Dik Winda, mas Salomo memulai pembicaraan, seperi kau tahu mas tidak pandai merangkai kata, apalagi yang serius seperti saat ini. Yang jekas Mas Solomo, oleh keluarga diminta untuk menjadi Pendeta yang menjadi penanggung jawab di Candi Sukuh, sebagai penerus kewajiban keluarga. Punya waktu hanya 5 tahun untuk proses keturunan, menurut keluargaku setelah itu biasanya sudah tidak punay keturunan lagi. Aku hanya ingin menikahi kamu dik. Bila kau tidak menerima, dan tetap seperti keputusan semua. Mas akan memilih tidak menikah pula.
Aku memberhentikan makanku menikmati tengkleng kambing yang sangat amknyus. Bener ne mas, sahutku. Aku tak menjawabnya tapi aku melompat dari tempat dudukku ke lompat kepangkuannya, aku tak perduli pengunjung lain …. Hehehehe memang aku cuman berdua, aku tak sadar aku terlena dalam kegembiraanku aku menciuminya dengan ganas, aku tak tahu aku seperyi kesetanan. Aku baru tahu bahwa Mas Solomo, seiman dengan ku, suatu jalan Tuhan mempertemukan kami.
Saat itu saat sandikala, persis pertemuan antara siang dan malam (magrib) dimana muka orangakan terlihat kabur bila berada di luar. Burung-burung malam mulai beterbangan di atas telaga Sarangan, lampu villa sudah pada menyala, kelelawarpun sudah mulai aktip menyambar nyambar buah sawo yang tumbuh di depan restoran tempatku menikmati sore itu bersama mas Salomo. Derit kereta luncur anak-anak Sarangan sudah mulai sepi. Aku menemukan kembali kehidupanku,
Kang Ceceppun yang setia mengikuti aku, di ruang sebelah dalang bertepuk tangan, juga tak aku pedulikan. Aku lupa dengan rayuan gombal Randa, maupun pujian Dokter Amir tentang aku yang dia bilang aku sebagai reinkarnasinya pacar beliau.
Tak kusadari lebih dari lima jam.  romatisme Telaga Sarangan telah kunikmati bersama Mas Solomo, dari aku ceritakan mimpi pagiku di tepian Sarangan dan Kenangnku dengan seorang pemuda Macho beberpa tahun silam itu. Hehehe ternyata pemuda Macho tersebut adalah Solomo. Walau dia dari SMA IPA, de Brito Jogya, rupanya dia tertarik masalah seni, dia melanjutkan pendidikannya ke Fakulta Teknik Udayana, Jurusan Seni dan Design Grafis yang belakangan demerger dengen ISI Denpasar.
Disana ia bertumbuh, mengenal seni adat dan budaya Bali yang rupanya tidak jauh berbeda dengan adat istiadat di keluarganya di Karanganyar. Dia berkembang dibawa nasibnya menjadi seorang pelukis yang cukup disegani, karena gaya hidup seniman menyebabkan pembawaannya tua. Biar tua nggap apa kalau memang jodoh kemanapun aku tak dapat bersembunyi.
Kulihat Mas Salomo, memencet mencet Smarphone nya. Ku bentak Mas Salomo. Saat begini masih chatting mas, apa tak menikmati puncak kebahagiaan ini mas. Oke dik Winda, justru karena sanat menikmatinya aku ingin membagikan beritai ini kesemua orang dekatku, terutama mama dan papa yang mungkin sangat menunggu keputusan kamu dik.
Ia aku lupa aku sering mengatakan mas, bahwa berita baik harus segera kita sampaikan kepada orang orang terdekat. Sekali lagi kupeluk mesra Mas Solomo, dia tetap cuek merespon sekenanya, secuek patungnya di bengkel. Dia berjanji besok akan menemani aku seharian menikmati Telaga Sarangan dan sekitarmya sampai Candi Plaosan, menengok Pak Brintik di Ngerong seorang teman papa yang biasa menemani papa ‘nangkil’ di Pauncak Lawu, mencari inspirasi dan membuang kejenuhannya sebagai kolektor dan seniman. Dia berjanji segera mengumpulkan keluarga besarnya bersama keluarga besarku, untuk menentukan Hari pernikahan, dengan segera sebelum purnama ke sepuluh tahun ini.
Dengan delman yang sama kami menuju hotel, dan dibawa kesebuah villa yang sudah disipkan khusus untukku oleh Mas Solomo. Dia pemuda lapok yang sangat menghormati wanita, bahkan sangat memanjaku. Kang cecep tetap menemani ku melewatkan kegembiranku. Dia tahu kalau aku gembira pasti akan tidurnya larut. Dia sangat tahu kebiasaanku.
Puri Gading, 1 Juli 2009