Social Icons

Selamat Datang di Blog Itik-Bali

Selamat Jumpa Pembaca yang budiman, selamat datang di blog ini. Blog ini dibuat hanya untuk proses pencurahan hati dan ingin menghibur pembaca sekalian.

Dengan bahasa ringan sehari-hari, saya ingin berbagi cerita pendek yang mudah-mudahan bersambung, sehingga pembaca sekalian diundang untuk melepas lelah dan penat di blog ini.

Semoga pembaca sekalian menikmati dan terhibur setelah membaca. Tentu komentar dan saran anda sangat kami nantikan.

Salam

Senin, 18 Juli 2016

Winda- 12 : Kebahagian Winda di Lereng Lawu




“KEBAHAGIAN WINDA TAK TERLUKISKAN DI LERENG LAWU”

Panorama Lawu dari Margoyoso (google.com)
Sudah hampir enam tahun  aku menikah dengan mas Solomo, yang sering ku sebut mas Lomo, sebagao plesetan panggilannya sebagai Romo, pemimpin upacara di Candi Dukuh, sebuah candi peninggalan zaman Siwa—Budha yang masih terawatt dengan baik di lereng barat Lawu, di wilayah Desa Perkampungan kami Margoyoso, Karanganyar. Pendaulatan Mas Lomo, sebagai Pemangku Candi menyebabkan pernikahan kami batal, karena dua pendapat yang menghendaki Mas Lomo tetap membujang, dan pendapat lain tetap membolehkan kami menikah, tapi dalam kurun waktu lima tahun harus sudah tidak mengandung lagi.
Tapi keputusanku waktu itu menunda pernikahan memberikan waktu untuk keluarga besar Margoyoso mengadakan perundingan, demikian juga saya dapat melakukan perenungan karena tuntutan bathin ini yang menuntut untuk tidak menikah. Syukur semuanya itu dapat dilalui, dan kamipun melangsungkan pernikahan secara meriah, walau kami sempat memutuskan untuk tidak menikah dan mengalami sakit yang cukup serius.
Untung Mas Lomo juga sangat pengertian, dan kukuh dengan pendapatnya dia harus menikah dulu baru mau memangku jabatan spiritual di Candi, dan tidak akan menikah kalau tidak menikah dengan aku. Nah aku seakan di skak match. Kondisi ini, dorongan Mama, dan sopirku Pak Cecep, Dokter Randa yang memberikan aku support dan mendorong untuk mengurungkan keputusanku menjadikan aku memutuskan melanggar keputusan sebelumnya untuk tidak menikah.
Anak kami sudah tiga, si sulung kembar pasangan laki perempuan : Raka dan Gadis serta si bungsu Winsal, semuanya hampir lebih banyak tidak bersama kami. Raka ikut kakak ku, karena beliau belum mau mempunyai momongan mengingat istrinya masih menuntut ilmu saat Raka masih lucu-lucunya mereka mengajaknya sebagai teman sehari-hari, Raka seperti anaknya sendiri, bahkan melebihi sampai sekarang istrinya mengandung anak pertama. Gadis ikut mama dan papa di pasraman, menemani niangnya (niang = nenek) nya sehari-hari, sebagai pembayaran kaul mama kalau aku bersedia menikah, dan Winsal anak laki bungsuku yang sangat lengket dengan papanya, lebih banyak hidup disanggar dengan ayahnya Mas Lomo.
Aku sendiri, dapat dikatakan hanya bersama mereka kalau sedang berada di rumah kami di Bukit Jimbaran, yang aku bangun sendiri, dengan arsitek ayahku, serta desain interior dan landscape dibantu Mas Lomo. Tempat aku bercengkerema dengan anak-anak sesekali bila aku sedang ada di Bali. Mereka sangat senang bobo besama aku maminya, padahal aku mempunyai kebiasaan tidur telanjang. Tapi mereka menagnggapknya biasa. Namun aku harus membatasi nya hanya sampai mereka tujuh tahunan.
Pagi ini sudah menjelang siang, mata kari sudah lenih dari 50 derajat di atas horizon, aku masih memanjakan diriku, masih berendam pada kolam air deras, yang dibuat sedemikian rupa di belakang rumahku, dengan mendesign aliran air kali di tengah perkebunan tek keluarga di Margoyoso, sehingga menjadi kamar mandi pribadi di alam terbuka, di sana terdapat sebuah pancuran, sebuah kolam (bathtub) air deras, dan kolam air kumkum yang dapat di isi dan dikuras dengan cepat. Batu-batu besar di susun sedemikian rupa sehingga saat mandi aku merasakan mandi di alam terbuka, dapat duduk di atas batu berjemur, dapat rendaman sambil tiduran, sambil menikmati sinar mentari.
Mas Lomo, seakan tahu kesenanganku, suka mandi (maaf) telanjang di alam terbuka. Dia membuatkan aku tempat madi yang sangat privat, dengan dobel pagar yaitu pagar tembok yang tinggi di lapisi luar dalam dengan pepohonan dinding yang asri. Kalau bukan keluarga tidak akan tahu bahwa itu adalah tempat mandi alami kami.
Aku sangat menikmati suasana seperti ini, hampir sudah tiga tahunan setelah komplek bangunan perumahan keluarga di pugar di Margoyoso sebelum kami intensif memulai kegiatan memimpin ritual, kami secara rutin menikmati suasana ini, minimal dua kali setahun bisa lebih. Seperti kali ini habis purnama kasa ( Kesatu ) yang setiap tahun jatuh pada bulan Juli, kami baru melakukan ritual dan semedi bersama penduduk kampong. Hampir pk 02 00 kami baru selesai, saat rembulan sudah berani menampakkan diri dengan telanjang, dengan bulatnya menyinari bumi ini. Aku terbangun hampir pk 09 00 langsung mandi sendiri, Mas Lomo bersama beberapa pemangku desa naik, melanjutkan persembahyangan di Puncak Lawu sebagai bagian ritual malam itu. Intinya memohon keselamatan, kemakmuran desa, sambil mengucap syukur atas hasil yang melimpah diperoleh desa tahun ini.
Pikiranku melayang, mengenang saat-saat indah bersama Mas Lomo, dia memang telat menikah. Padahal aku juga karena aku menikah sudah umur tigapuluh tahun lebih, dan selisih umur kami dua belas tahun. Mas Lomo, bukan tipeku sebenarnya akan tetapi dialah yang akhirnya enaklukkan hatiku. Dia pasif seperti mesin disel, tetapi kalau sudah panas, sangat menggebu dan sangat romatis. Mungkin dunia seni dan masa keilnya membentuk dia begitu. Walau begitu aku sangat menikmatinya sebagai istrinya, dia sangat memanjaku, orangnya sangat rajin mengumpulkan ‘arta’ sehingga aku yang harun memplaning ‘kama’ nya. Untuk dia tetap mempunyai semangat, mempunyai ambisi, dan mempunyai libido. Itu salah satu petuah mama, yang sudah ikut mambantu kami memantau sifat Mas Lomo. Maklum mamaku memang konsultan, disamping dokter spsesialis.
Mas Lomo menjadi bagian hidupku. Hidupku tak merasa lengkap tanpanya. Kami saling melengkapi, mensinergikan power masing-masing untuk mengeliminasi kekurangan kami. Kami sama sama sudah mapan sebelum menikah, sama sama dewasa. Walau terus terang kusadari, bahwa aku petualang cinta sebelum menikah. Aku bisa membawa diri, membatasi diriku sehingga tidak menjadi MBA (Married By Accident). Hahahaha…..
Siang itu aku bisa berlama lama di temoat mandi, Mas Lomo biasanya akan turun menjelang sore dari puncak Lawu seperti biasanya.  Dalam lamunanku, kudengar “Mbak monggo makan dulu sudah siang”.  Mbak Reni kerabat Mas Lomo menghantarkan makan siangku ke dalam tempat mandi. Memang jtempat mandinya hamir selapangan volley. Aku mengambil handuk melilitkan di tubuhku, sambil bilang terima kasih mbak Reni.
Reni dan Cecep, dua orang yang sangat setia terhadap keluarga kecilku. Reni masih kerabat Mas Lomo yang ikut Mas Lomo sejak masih SMP ikut sekolah di Denpasar, sampai saat ini dia kuliah di Institut Seni Indonesia Denpasar. Dia sangat setia dan menghormati kami, sampai-sampai setiap menentukan pilihan akan memperhatikan pendapat kami. Mbak Reni meninggalkan kami sendirian lagi di ruang mandi.
Aku sangat bahagia, sambil santap sederhana ala Jawa, nasi liwet, ayam kampong, temped an tahu bacem, sayur lodeh dengan es dawet nangka dan rujak manis (Lotis Kemuning), aku memperhatikan lompatan kesana kemari di dahan sekeliling ruang mandiku, burung cerukcuk yangs edang bercinta dengan pasangannya. Kupu-kupu beterbangan menikmati kemilau kembang yang bermekaran, maklum Juli merupajan banyak bunga bermekaran. Lamat-lamat ku dengar Reni memutar langgam Jawa di ruang keluarga, dia memang sedikit sibuk karena minggu depan akan Ujian Akhir Semester.
Aku teringat tempat ini sering menjadi saksi bisu kami memadu kasih dengan Mas Lomo. Dia sangat senang menikmatinya sambil rendaman di kolam kumkum, kalau aku lebih menikmatinya sambil menikmati kuciran air pancuran, terasa lebih liar dan sensasinya berbeda saja. Terima kasih Mas Lomo, kamu telah menjadikan aku sebagai ratu, membuatkan tempat ini sangat kena di hati, yang seblumnya tidak pernah aku bayangkan. Sepeti biasa Mas Lomo jarang mendiskusikan suati design kepadaku, hanya dia menjadikan masukan kesukaanku sehari-hari, Demikian juga aku, akan tidak banyak protes, dan lebih banyak memuji –memang hasil karyanya patut dipuji- hasil karyanya, apa lagi dibuatkan khusus untukku.
Jadi aku merasa beruntung mengurungkan niatku mengurungkan keputusanku untuk tetap melajang. Aku ingat sekali sloka yang sering disebutkan mama :”Kau diciptakan (Nya), terlahir untuk hidup berpasangan dan berkembang biak, guna mencapai kebahagiaan”. Aku merasa tanpa menikahpun aku sudah meras bahagia. Namun penglihatan orang tua, yang tidak akan mau menyakirti hati putra putrinya akan lebih lengkap. Mama mungkin melihat aku akan lebih berbahagia bila menikah, dan tentu walau diam beliau sebenarnya tidak suka melihat aku yang gonta-ganti pasangan. Baik suku, ras, profesi, agama maupun umur, silih berganti menjadi pasanganku. Bahkan dapat dikatakan banyak yang sudah begitu dekat denganku, termasuk Mas Lomo pernah singgah di hatiku, hanya saja dia tidak segresif yang lain. Dia tekun dan sabar menunggu hatiku luluh, dan jatuh kepelukannya.
Mungkin karena parasku yang cantik (hehehe narsis), manja suka menggoda menjadikan banyak lelaki dekat denganku, dan memupuk subur petualangan cintaku. Kini aku sampai pada sebuah perlabuhan, sebuah terminal cinta, yang namanya mahligai rumah tangga dengan Mas Lomo. Hidupku tidak dapat dipisahkan dengan bisnis, seni dan sosialku serta kegiatan spiritualku, menyebabkan aku sangat mobile hidup, antara Jakarta, Denpasar dan Karanganyar Solo.
Aku sangat berbahagia, demikian seluruh keluarga kecilku ku harap dapat berbahagia melihat kehidupan kami. Hidup cukup dengan tiga anak, anak-anakku menjadi rebutan untuk diasuh mama, kakak dan hanya satu yang bersama bapaknya di sanggar di Denpasar. Winsal walau masih empat tahunan, sudah ikut corat-coret ayahnya ikut mulai belajar melukis. Yang tua Raka lengket dengan kakak iparku yang baru mulai hamil, Gadis lengket dengan Niangnya, sehingga membuat aku iri terhadap mereka. Tapi bila aku ada di Denpasar minimal satu-dua hari mereka akan datang berkumpul dengan kami. Meraka faham walau kami tak memintanya. Seorang anak tetap harus mendapatkan kasih sayang dari mamanya, walau kasih sayang yang melimpah telah didapat dari Niang, dari Om dan Tante yang sudah dia anggap sebagai orang tua kandung, maupun hanya dari papanya saja.
Rupanya kami sempat tertidur di atas bebatuan rindang di bawah bayang-bayang pepohonan pelindung ruang mandi, membuaiku mimpi jauh sekali, menghilangkan penatku dan menambah kebahagiaanku siang itu. AKu bergegas mengenakan piyama kembali ke kamar, sedikit merawat diriku karena Mas Lomo dan rombongan sebentar lagi akan sampai, pulang daru uncak Lawu.

===
Lamunan di Puri Gading, akhir Juli 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar