Social Icons

Selamat Datang di Blog Itik-Bali

Selamat Jumpa Pembaca yang budiman, selamat datang di blog ini. Blog ini dibuat hanya untuk proses pencurahan hati dan ingin menghibur pembaca sekalian.

Dengan bahasa ringan sehari-hari, saya ingin berbagi cerita pendek yang mudah-mudahan bersambung, sehingga pembaca sekalian diundang untuk melepas lelah dan penat di blog ini.

Semoga pembaca sekalian menikmati dan terhibur setelah membaca. Tentu komentar dan saran anda sangat kami nantikan.

Salam

Kamis, 24 Maret 2016

Winda -8 : Akankah Cinta Lama Bersemi Kembali?



“KEGALAUAN SENJA MENEMUKANKU KEMBALI DENGAN MAS SALO”

Lukisan Wanita (google.co.id)
Kemesraan pertemuan antara senjadengan malam, kemesraan pertemuan antara sinar mentari jingga yang menjemput sinar rembulan malam menghiasi senja itu. Ku duduk merenung dan menyaksikan betapa kemesraan mama dengan papa ku. Mereka telah memakai pakaian kebesarannnya, kusebut begitu karena mereka pakai saat sembahyang. Pakian putih-putih yang sangat sederhana itu sebuah kain panjang yang membalut tuluh tua mereka, dengan sehelai kebaya bagi mama, dan sehelai baju koko untuk papaku. Dengan dipinggang mereka terbelit sebuah selendang dengan warna senada namun sedikit kekuningan.

Perpaduan antara senja dan malam, sandikala. Mereka berduaan duduk bersila menghadapi setanggi dupa, dengan penuh konsentrasi menyatukan fikiran kepada Nya memohon kesejahteraan dunia. ‘Sarwa Prami Hitangkarah’. Cukup lama mereka memanjatkan doa doa, dan memuji kebesarann Nya. Biasanya aku ikut mereka, namun kali ini aku absen karena sedangn berhalangan, sehingga aku hanya bisa menikmati lahiriah senja itu.

Burung migran masih kelihatan dilangit bergerombol terbang ke utanra, karena diselatan sudah mulai musim dingin. Kita sepatutnya meniru burung burung itu, yang selalu dapat menyesuikan diri dengan perubahan musim, atau kita harus mampu mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan iklim, pemanasan global, atau global warming kata para pakar iklim belakngan ini.

Sesaat pikiranku mengelana jauh kenegeri China, disaat aku pernah mengikuti Konferensi Internasional Perubahahan iklim. Sesaat satu persatu lelaki yang pernah mengisi hatiku, serta yang pernah hatinya kuisi melintas dalam benaknya. Kenangan manis serta manis berikutnya mampu menyunggingkan senyumku untuk bergembira malam itu, Padahal seperti biasanya hatikus edang tidak mood, karena aku lagi kedatngan tamu bulanan.

Aku dikagetkan, sebuah pesang WA masuk ke HP ku. Kulirik sejenak, hehehe dari Salomo, orang yang baru kulamunkan bersama lamaunan lain mengirimi aku pesan sangat mesara, sama seperti saat aku masih memadu kasih padanya. Isinya singkat. “Win, kau sedang dimana, aku di Pantai Barat sedang melepas senja, aku kangeun”. Aku sangat faham artinya. Dia sedang menikmati suasana pantai, suasana yangs erring kami cari dikala melepas senja. Solomo memang jaug terpaut umurnya denganku, dia sudah hampir 55 saaat aku baru melepas usia 25 ku. Namun aku nyaman sekali bersamanya.

Dia melepasku hanya karena keegoisanku, karena jiwa mudaku yang tidak memahami kesibukannya yang sudah menapak karier dengan matang, aku sering ganggu dia saar rapat, aku sering goda dia saaat melukis, sebuah kegiatan yang paling dia gemari sejak di bangku sekolah menengah. Kata Salo – maksudku mas Salomo- kepala sekolahnya seorang genius dalam ilmu pasti tapi mempunyai jiwa seni yang baik, seorang pelukis naturalis yang handal. Mereka sering menyebutnya Pak DeeS. Dia berpakaian sangat rapi, kacamatanya sangat bening, belum menikah sampai umur 55 tahun. Hehehe kok cocok dengan dia ya, jangan jangan like teacher like student.

“Aku ada di rumah papa, aku jua sedang menikmati senja mas, aku juga kangeun”  kujawab WA nya. Terus aku melanjutkan menikmati sore itu, melanjutkan lamanunan kecilku. Musik yang di stel papa karena sudah selesai sembahyang, masih kudengar lamat-lamat, berirama continental, dengan stair yang masih kuingat, karena sangat sering kudengar di kala pulang ke rumah papa. Kata papa itu lagu pop mandarin, dalam satu-satunya album sebuah band terkenal tahun 70 an.
Kenanganku di Kota Hongkong,
Penuh dengan kasih nan mesra,
Penari riang gembira,
Menambah suasana malam,
Rasa hati ingin kembali,
Semalam di kota Hongkong.

Ia lagu itu membuat lebih jauh lamunanku, kembali jauh ketika tiga malam aku bersfari melintasi Macau, Guangzau, Zuhai dan Hongkong. Hanya dalam tiga malam. Ketika setiap malam aku berpindah kota dan pindah hotel, bagai serombingan kaisar yang dijamu oleh tuan rumah, sersama Salomo mengikuti ceramah anta budaya yang dia lakukan atas undangan rekan kerjanya di Universitas setempat.

Aku heran kok bisa ya, karena kutahu Solomo seorang yang menekuni Ilmu Kebumian, Geo Sains tamatan Universitas Boston, hanya saja yang ku tahu PhD nya dia ambil dalam Sosial Affair. Akh semuanya itu tak perlu bagiku, hanya dalam hatiku berkecamuk kerinduan kepadanya, aku sangat kangen –kangeun- padanya, tapi ku tak tahu dimana dia.

Teganya dia tidak menjemputku malam itu, apakah dia tak tahu apa yang sedang berkecamuk di dadaku, apakah dia juga mengalami hal yang sama. Pikiranku menjadi kacau, sampai-sampai aku tidak sadar sudah mondar mandir di tepi kolam, didepan teras tempat aku menikmati hari sejak sore.

“Ayo Winda, siap-siap, apakah kau jadi ikut kami ke pembukaan pameran itu” suara mama lembut kudengar. Papa kulihat telah mengenakan pakaian sedikit formal, dengan celana kodorenya, dengan sebuah kemeja tenunan NTT yang sudah agak bujel warnanya. Mama hanya mengenakan rok bawahan senada warna dengan papa, dengan atasan kebaya.

Oke kataku, aku ikut, daripada aku galau dirumah sendiri. Ku tarik sebuah sweeter warba ping muda, kupadankan dengan celana panjang yang kupakai, dengan tanktop yang membalut ketat badanku yang sedikit montok. Suatu anugrah yang aku syukuri. Kata orang aku memiliki dada yang jenjang dengan bokong yang tidak terlalu besar. Aku tinggi seperti papa dengan pinggang jenjang, seperti kebanyakan keluarga papa. Hanya aku lebih beruntung dapat warisan wajah dan kulit putih dari mama,

Kami pergi bertiga, kali ini aku menjadi ajudan mama dan papa. Aku duduk di depan disamping Yande yang mengemdikan mobil, mama dan papa duduk di kursi tengah. Mereka kulirik dari kaca spion, sungguh mesra aku menjadi iri kepada mereka. Mesra sekali, walau usia pernikahan lebih dari tigapuluh tahun. Terima kasih Tuhan kau limpahkan kebahagiaan ini kepada kami, doa kupanjatkan melihat betapa bahagia dan mesranya mama bersandar di dada jenjang papaku.

Sebagai Ketua asosiasi pelukis professional, kami mendapat kehormatan mengisi meja yang didepan bertiga bersama papa dan mama. Papa memberi sambutan sebagai ketua asosiasi, aku tak menyimaknya, namun aku asyik dengan gadget ku. Aku meneruskan membaca pesan-pesan yang belum ku baca di WA.

Rupanya Salo, lagi berada di kotaku, dia bilang dia sedang berada di Pantai Kuta menikmati sundet, mebayangkan aku ada di mana mentari itu turun, di Jakarta Hahahahahaha, rupanya dia kangen berat padaku kalau kuperhatikan WA ku, karena dia juga mengirimkan sebuah foto yang pernah ku jadikan statusku. Rupanya diam-diam dia menyimpannya, karena akupun sudah tak punya. Lho fotoya kok sama memakai sweeter yang kukenakan.

Tepuk gemuruh terdengar diruangan itu, di sebuah ruangan pamer lukisan di pasar seni yang tidak jauh dari Kudeta, aku tidak menyadarinya itu kawan pantai Kuta. Aduh betapa kacaunya pikiranku, apa juga mungki karena kecuekanku, yang jarang mengingat masa lalu. Entahlah, itulah aku terkadang melankonias, terkadang aku bisa garang seperti harimau…. Namun hatiku tetap lembut, Narsis dikit.

Pemberi sambutan kulirik, lho kok rasanya aku kenal orang ini siapa ya. Kuseimak apa yang dia katakana dalam samutannya. Dia katakana bahwa pameran yang dia adakan kali ini, dia dedikasikan kepada seorang yang pernah dan masih mengisi relung hatinya. Seorang waanita berfikiran odern tapi tetap teguh memegang tradisi, sangat suka pada budaya walau dia mempunyai pendidikan modern.

Pikirku sanga berbahagia wanita itu, sampai-sampai dedikasi mantannya masih khusus dipersembahkan kepadanya. Kuperhatikan lho lho kok suaranya kayaknya kukenal sekali. Samar samar kudengar kembali dalam akhir sambutannya, bahwa lukisan-lukisan ini kami dedikasikan kepada seorang wanita, yang saat ini sudah menjauh dariku, namun aku yakin dia masih menyompan kenangan kami di hatinya, yang setiap saat siap untuk di bongkar kembai.

Mudah-mudahan dia berkenan hadir disini, karena beberapa hari lalu aku sempat mengiriminya surat undangan. Dia seorang wanita yang formal, tidak mau menerima undangan melalui media social, jadi kukirimkan kartu undangan untuknya.
Wanita yang kumaksud adalah Winda, dia seorang Arsitek yang sekarang terjun dalam kegiatan curator dan mengelola sebuah geleri seni di Ibu kota. Mudah-mudahan ia hadir di acara ini, dan aku ingin mengkudeta kembali hatinya.
Kami undang secara khusus dia Winda, kalau kau hadir di acara ini aku persilahkan ke atas panggung dan memukul gong memulai acara ini.

Aku tergagap, apakah dia Salo, apakah Winda itu aku, jangan-jangan Winda lain. Papa dan mama ku menoleh aku. Apa kamu Winda yang dimaksud. Ayo maju ke atas panggung. Dengan kaki berat dan hati berbunga bunga aku melangkah k eats panggung dengan pakian yang sangat sederhana, sebuah High Hell, Celana jean, tank top dan klaser pink mudaku.

Dia mejulurkan kedua tangannya dan berkata, filingku benar orang yang ku maksud benar ada disini. Kusamgut uluran tangannya, kupeluk erat-erat dia, kurasakan kembali degup dan irama jantung yang telah beberapa lama pernah kurasakan. Aku tak peduli dengan hadirin dan mama papa ku, aku terhanyut dengan rasa haru, dia sangat menghargaiku. 

Oke-oke kukatakan, terima kasih Mas Salo, maksudku Salomo yang telah mendedikasikan pameran ini untukku. Bersama ini pula aku menungundang para seniman yang hadir disini untuk memamerkan lukisannya atau hasil karya seni lainnya di Galeriku. Kesempatan langka ini juga kugunakan untuk promosi. Aku merasa sangat tersanjung dan mendapat kehormatan, karena telah dipanggil ke atas panggung ini, aku tak mampu menolak untuk melakukannya karena yang memintanya adalah orang yang sangat istimewa, seorang seniman besar.

Untuk kemajuan budaya kita dan kemajuan seni ku nyatakan pameran ini dimulai. Gong---- Gong----Gong---- Gong---- Gong. Kupukul gong yang sudah tersedia, sebanyak lima kali, angka yang hanya aku yang tahu. Kamipun diantar Mas Salo ke kedua orang tuaku, serta papa dan mamapun mengundang Mas Salo untuk datang ke rumah, untuk sebuah pertemuan yang masih belum ku tahu. Kankah Cinta Lama Bersemi Kembali. Biarlah sang waktu yang akan membuktikannya.
Malam yang sangat membahagiakan. 

Puri Gading,  Jumat Kelurut, Maret 2016

Minggu, 20 Maret 2016

Ayo Senyum



Yang Suka Boleh baca “Senyumpun Tak Dilarang”

Beberapa hal aneh saya alami dalam hidup ini yang mungkin susah dilupakan dan terkadang menjadikan geli bila mengingatnya, diantaranya saat baru menjadi:  murid sma, menjadi mahaisiswa, kerja sebagai PNS, dan kerja di beberpa tempat. Diantaranya akan ditulis sebagai bahan share semoga dapat mengundang senyuman atau kah menggugah kemarahan karena mengganggu emosi pembacanya. Itu harapan penulisnya tentu.
1.      Saat SMA
Kami masuk sekolah SMA, sangat jadul. Punya celana panjang hanya satu, kalau memakainya juga naik ke atas tempat tidur karena takut koior dan lecek. Saat itu kami menjadi anak kos. Umur segitu masih banyak geng di kota termasuk kota dima sekolah kami berada. Singkat cerita kami sering nongkrong di Jl Gajahmada setiap malam, karena suntuk belajar dan listrik juga masih belum terang. Di saat pulang kampong kami di siding orang tua, yang mendapay laporan seorang guru smp yang ngajar di kota yang sama. Kami di ceramahi orang tua panjang lebar. Kami hanya menenangkannya, dengan sebuah janji Kalau Kami bertanggung jawab dengan hasil maksimal dan ijazah tepat waktu.  Akhirnya orang tua tenang dan tidak mau percaya denga berita sejenis.

2.      Saat Kuliah merantau lebih jauh lagi.
Kami merupakan orang kampong kami yang mendobrak tradisi. Walau ada kebiasaan di kampong kami orang sekolah merantau pasti jual sawah atau tanah tegalan. Kami yang taka da warisan, memberanikan diri kuliah merantau ke ibu kota> Tentu kedua orang tua dan adik-adik merindukan kalau kami sesekali pulang. Suatu saat liburan saya pulang kampong. Biasa selepas sandikala (magrib) biasaah anak muda nongkrong di warung, ya neranilah karena uang TID –Tunjangan Ikatan Dinas- masih ada. Saat itu banyak sekali anak dara dab bujang yang nongkrong. Orangtua ku, tepatnya ayah melihat dan ikut masuk kewarung. Neliau langsung memanggil aku. Dengan pesan, tolong kamu pulang, nggak tahu tadi ibu mencari kamu. Cuma itu pesan kemarahan beliau, akupun pulang dan ngobrol sama ibuku. Kutanyakan apa benar beliau mencariku. Dia hanya ketawa. Nah itulah ayahmu, kalau anaknya tak pulang dirindukan agar pulang, sudah pulang dia pusing sendiri dan berharap cepat kembali ke rantauan, katanya. Betul saja tak lama ayahku menyusul pulang dan menyuruhku besok mencari tiket untuk segera kembali ke ibukota, dan melarangku lama lama libur di kampong. Alah makkkkk

3.      Saat Mulai Jadi PNS
Aku beruntung mengikuti pendidikan ikatan dinas, lulus hnaya dalam lima semester, karena ada program nasional diklat perhubungan, sehingga aku ikit widusa bulan Pebruari, padahal harusnya bulan Agustus. Kami langsung di angkat menjadi CPNS. Tapi untung tidak selamanya bisa di raih, karena pergeseran pejabat pengangkatanku terbengkalai sampai 1 Januari tahun berikutnya, sehingga jadi ‘pengangguran’ hampir setahun. Namun pengangur total rupanya tidak terjadi padaku, aku dikontrak kerja di Unesco selama empat bulan, dan tetap menjadi guru sma.
Hal lucu yang ku alami adalah saat libur ke kampong. Ibuku saat aku buka baju beliau bertanya apadaku. Apa kamu sudah kerja nak. Sudah kataku. Lho orang kerja kok tidak memakai baju kaos dalam. Hahahaha rupanya beliau memperhatikan kebiasaanku yang tak suka memakai kaos dalam. Beliau hanya berpesan : Kalau sudah kerja, pakialah pakaian dalam yang lengkap. Kalau bisa belilah satu potong pakian secara rutin, walau hanya itu celana atau kaos dalam. Ingat badan mu itu adalah assetmu yang paling  berharga. Itu pesan sederhana selalu teringat di benakku.

4.      Apakah aku merubah nasib orang?.
Saya ingat sekali suatu saat ketemu dengan stafku di salah satu subgidang di kantorku di  Jakarta. Kami ngobrol santai habis makan makanan kecil. Di ruangan memang sudah rada sepi karena kami pulang belakangan, ada yang masih di ketik setafku ini, dan aku menunggunya. Tiba-tiba ia berkata : Pak, coba kalau DP3 saya baik saja terus, saya sudah menjadi pegawai Departemen Keuangan pak, katanya. Ku jawab kenapa mas. Dulu tahun sekian, kan DP saya sempat tidak baik pak. Coba bapak paksakan untuk baik kan nasib saya tidak begini. Kira-kira itu ucapannya. AKu ternyuh, terus ku ingat, benar saja dia pernah beberapa lama meninggalkan pekerjaan tanpa ketahuan alasannya. Karena kakaknya sobatku, kupanggillah dia melalaui kakaknya. Dia datang aku suruh kerja seperti biasa. Saat membuat penilaian prestasi kerja kusuruh dia membuat sendiri sesuai apa yang pernah dia lakukan. Disitulah dia menulis salah satu unsur tidak baik. Kuingat itu. Lalu ku katakana, itu bukan saya yang membuat penilaiannya, kan kamu sendiri menilai dirimu sendiri kataku. Terus iya menjawab, coba bapak paksakan saya ngsisi baik semua mungkin saya sudah menjadi pegawai Departemen keuangan, karena saaat itu banyak pegawai ditempat kami menggunakan tawaran yang di berikan untuk pegawai instansi lain bergabung ke Departemen keuangan. Benar juga ya coba ku paksakan beri nilai baik, dia mungki merubah nasibnya di Deparemen Keuangan. Tapi ya sudahlah, itu karena ulahnya sendiri.

5.      Sangat Sportif
Kejadian lucu saat aku menjadi instruktur di Balai Diklat Penerbangan Jayapura. Seperti biasa ku acak dari siswa untuk maju menyelesaikan masalah. Pada suatu saat aku suruh siswa bernama sebut saja “Mote”. Kuminta dia menyelesaikan soal matematika sma yang sederhana hanya mencari penjumlahan matriks (2x3), dia belum juga menyelesaikan pekerjaannya padahal banyak temannya yang sudah melewatkan kerjaannya. Tiba-tiba dia mendekatiku. Bapak katanya, aku tak bisa mengerjakan soal itu pak. Hukumlah aku katanya. AKu terkaget, dan spontan bertanya. Hukuman apa? Yanyaku. Jawabnya : lari keliling lapangan 10 kali, atau push up 30 kali. Akhirnya kubilang tak usah, sudah kau duduk saja, nanti belajar lagi bapak kasih tahu.

Nah segitu dulu sharingnya …………….. semoga berguna.

Sabtu, 12 Maret 2016

Winda-8 : Papa Aku sangat sayang kamu pa.



“WINDA, KALAU KAMU CINTA KEJAR DAN DAPATKAN”


Rembulan Malam (google.com)
Aku sangat berbahagia melihat mama dan  papa ku dapat tinggal serumah kembali. Ibu telah menyadari keegoisnannya. Meraka berdua lebih memilih jalan menuju kebahagiaan hidup, yang sudah sangat lama menghilang dari hidup mereka. Walaupun ada dugaanku itu hanya kewajiban minimal dan belum sampai ke tingkat soulnya suatu proses menikmati kehidupan.

Aku tidak tahu sebelumnya bahwa mamaku sangat rajin bersemedi, berdoa dan membaca kitab suci. Padahal waktunya sangat sibuk di Yayasan, mengajar dan menerima pasiennya. Tapi beberapa bulan terakhir aku lihat beliau membatasi diri, dan lebih banyak memberikan kesempatan ke asisten beliau, yang beliau bombing dalam penelitian tugas akhir. Katanya reken-reken membantu mereka untuk mengatasi kehidupan di kota besar, dan biaya kuliah yang tidak sedikit, serta tentunya melihat langsung kondisi lapangan serta mempraktekkan ilmu yang sedang dituntut. Bila mereka rajin, mereka tidak terasa telah melaksanakan penelitian tugas akhir mereka.

Kata mamaku, beliau menyuruh semua harus di rekap detail penyalitnya dalam laptop, setelah habis praktek. Mama setiap hari kulihat sekarang lebih banyak memakai pakaian putih, dan membiarkan rambutnya panjang, walau satu dua sudah ada warna putihnya. Demikian pula papa sudah biasa dengan pakaian kesehariannya, memakai kain putih, T-shirt putih, dengan bebat dipingang dan destar yang lebih banyak bertengger di kepala beliau. Tak jauh dari kebiasaan beliau sehari-hari sebagai pelukis, hehehe arsitek yang pelukis.

Usaha galeri lukisan, villa dan bisnis curator lukisannya demerger dengan usahaku yang memang tidak jauh dari itu. Biro Arsiteknyapun aku mengelaolanya. Semakin menjauhkan saja aku dari kebiasaan enjoy ku menjalani hidup ini. Hehehe tidak juga papa meberikan kebebasan kepadaku. Beliau akan tetap memback-up bersama Tim Yande yang selama ini beliau percayai sebagai tangan kanan perusahan.

Papaku, belum aku ceritakan banyak. Ternyata papaku itu adalah Maestro yang menerima aku untuk menginap di villa serta mengajak aku keliling Bali, menikmati keindahan alam ini. Beliau sangat terbuka dan mengetahui serta memahami apa yang aku lakukan selama ini. Rupanya aku mempunyai bodyguard bayangan yang selalu mengawasi aku selama ini. Mereka akan memberikan laporan kepada papa apa yang aku lakukan dan dengan siapa aku dekat.

Wah aku malu, seperti saaat aku berduaan saja dengan papa, di tengah malam, karena mama bobok duluan setelah sembahyang panjang sore nya. Aku sangat nyaman bersandar di pundak papa, sambil menyaksikan sinar rembulan yang agak malu-malu di tutup awan tipis di langit sebelah timur. Papa menjadi pendengar setia. Kuceritakan dengan rasa hormat dan tidak malu malu sama beliau. Beliau tak menunjukkan kemarahan sekalipun. Sangat bijak papa rupanya.

Beliaupun sangat tahu saat aku jatuh cinta kepada lelaki yang seumuran dengan papa. Kuceritakan orangnya sangat romantic, sering membuat aku kangen setengah mati, aku tak tahu kenapa ya. Aku ceritakan aku bingung apakah aku jatuh cinta, entah apa namanya. Yang jelas aku menjadi semangat bekerja, sampai-sampai tahun itu aku bisa membeli apartemen, di dekat senayan. Saking inginnya aku setiap hari aku bertemu dengannya, aku telah memintanya untuk mendesig interior apartemenku, walau aku biasa membuatkan renvcangan disain untuk klienku. AKu tak tahu aku nyaman, aku merindukannya dan aku tidak pedulid engan perbedaan yang ada.

Papa sempat menanyakan apa aku masih cinta padanya?. Kukatakan aku sebenarnya masih sangat cinta padanya, tapi keegoisanku, sama dengan sifat mama rupanya. Aku merasa tidak dihiraukan karena kesibukannya aku minta putus. Staratnya gampang aku minta ditemani semalaman di sebuah café dutraktir es krim, dan putus. Itu permintaanku. Karena aku paksa diapun mengiyakannya. Dia menjauh dariku. Tapi kulihat, walau sembunyi sembunyi statusnya, kelihatannya dia masih sangat menyayangi aku. Sama dengan perasaanku. Apa mungkin aku GR ya, kataku.

Papa hanya berpesan, kalau kau senang kenapa malu untuk mengejarnya kembali. Kejar dan dapatkan pesan beliau. Ahhhh papa nyuruh aku untuk mengejarnya. Iya kata papa rang itu pasti morang baik dan setia, Itu sih feeling lelaki katanya. Apa pa aku harus mengejarnya kembali?. Bukan mengejarnya, dia bilang untuk mendapatkannya. Beliau sangat setuju kalau aku menikah dengan orang yang sangat kucintai dan sangat setia itu. 

Aku tak tahu kok papa kelihatannya tahu apa yang pernah aku alami. Bahkan seperti tahu siapa orangnya yang aku cintai. Papa malah menebaknya sangat tepat, ketika beliau mengatakan kalau begitu Winda, kekasihmu  itu pasti dia seorang seniman, dia sedikit pendiam, sangat cerdas bisa diajak berbicara apa saja. Kalau tak ditanya pasti akan tetap diam. Aku harus pandai memancing pembicaraan agar suasana lebih romatis kataku. Nah itu benar, pasti seniman di Kota Solo kata beliau.

Akupun terkaget sambil melepaskan sandaran kepalaku di pundak papa, aku duduk di sepan beliau. Dan menanyakan kok papa tahu ya. Papa memeata matai aku ya. Papa bahkan sudah kenal sejak lama dengan kekasihku itu, karena pernah bersama sama mempunyai projek besar, dan beberapa bulan lalau mampir ke galleri ayah, menceritakan nahawa beliau lagi jatuh cinta dengan gadis yang sangat dewasa dalam pemikiran, walau umurnya pantas menjadi anak gadisnya.

“Ketika itu, aku teringat kamu Winda, jangan-jangan aku mau memiliki menantu temanku sendiri” nah kalau itu memang takdir, siapa yang bisa menolak takdir kata beliau. Disatu sisi aku sangat menghargai pendapat ayah yang tidak memarahi aku telah mempunyai kekasih yang beda umur, di satu pihak menerima semuanya kalau itupun terjadi sebagai sebuah takdir.

“Lha apa ayah setuju kalau aku menikah dengannya?”. Kenapa tidak jawab beliau, yang penting putriku berbahagia dengan orang yang dicintainya. Itu merupakan amplifikasi kebahagiaan hidup papa, itu akan mengandakan kebahagian papa sama mamamu. Karena kamipun dulu tidak mau dihalangi saat kami meutuskan untuk menikah.

Mama menjadi korban ketidak setujuan orang tua dengan pilihannya sendiri, sehingga restu itupun beliau dapat setelah beberapa lama menjelang Eyang ku mangkat. Walau hubungan secara lahiriah mereka, ayah, ibu dengan Eyang di Jawa, begitu juga Eyang di Bali dengan Eyang di Jawa, atau hubungan mama dengan Eyangku di Bali sangat baik. Bahkan cenderung dimanja, walau kami berpisah tempat tinggal lama.

Aku dan kakakkulah sebagai perekatnya. Aku bersama ibu, dimana sifat aku yang dominan kuwarisi dari papa dan kakekku di Bali, serta kakakku yang tinggal bersama papa, yang memiliki sifat dominan warisan sifat mama. Tekun, lebih banyak diam, sangat pintar dan trampil dalam pendidikannya.

Aku tanyakan sekali lagi, apa papa setuju kok nyuruh aku mendapatkannya kalau aku masih cinta. Papa ku manggut manggut dan aku tak sadar memeluk beliau dan menciumi beliau, ya ciuman kerinduan seorang anak dengan papanya. Kepenasaranku di jawab ayah dengan mengeluarkan smartphone nya, dan mengirim gambar ke smartphone ku. “Coba kau lihat Winda, apa itu gambar orang yang kau maksudkan sebagai kekasihmu?”

Aku bergebas membukanya dan ternya iya. Dan kamipun tertawa bersama, sehingga keeningan malam itupun menjadi lebih ramai. Karena curhatan anak gadis dengan papa yang lama tidak pernah terjadi. Keramaian karena tertawa kami, rupanya mengundang mama untuk terbangun dan beliaupun mendekat ke kami. Ada apa anak sama papa kok ramai sekali, ini sudha jam berapa? Kata mamaku.

Sebelum kami menjawabnya kluruk ayam di kejauhan sudah mulai ramai terdengar, dan kamupun bertiga masuk kamat, aku minta sama mama untuk ikut sekamar bertiga mama, papa dan aku, aku mau disebelah papa, aku sangat rindu ‘bau’ keteknya, yang selalu di berikan deodorant dengan farpum yang sama dengan farpum kekasihku, heheheh mantan deh.

Selamat malam ma, selamat malam pa. dan akupun terlelap disamping papa, suatu kondisi yang sudah lama sekali aku rindukan. Selamat Malam.
Puri Gading, 11 Maret 2016


Jumat, 04 Maret 2016

Winda 7 : Nostalgia Cinta di Hotel Marau Biak

Hotel Marau Biak (google.com)


“CINTA MAMA DAN PAPA SEPERTI OMBAK DAN TEPIAN PANTAI, TAK HENTI BERTEMU”

Pertemuanku dengan papa terpaksa tertunda, walau mama sangat besar kerinduannya akan pulang. Rekan seprofesinya mengajak mama untuk menemani pergi ke Papua, melihat jejak Perang Dunia ke II, di Benua Mutiara Hitam ini. Aku diajak mama, hitung-hitung napak tilas masa kecilku yang pernah disana. Tugu Mc Arthur masih memesona hati pengunjung saat datang ke Ifar Gunung, di tengah-tengah kawasan Rindam Cenderawasih. Aku masih teringat Pak Komang teman papa yang dulu pernah dinas disana, kudengar beliau masih tinggal bersama istrinya seorang guru disana.

Panorama Danau Sentani nan asri, dengan dayung kano masyarakat setemoat memburu ikan, dilator belakangi sebuah Pulau dimana salah satu Gubernur Papua lahir, dengan megah berdiri dengan gereja mungil disebelahnya. Pesawat hilir mudik take of fan landing di kejauhan di Bandara Sentani masih jelas terlihat dari Tuga Mc Arthur. Derap sepatu calon prajurit masih terngiang di telingaku, Aku masih membayangkannya sampai aku di perjalanan pulang transit dua hari di Biak.