Social Icons

Selamat Datang di Blog Itik-Bali

Selamat Jumpa Pembaca yang budiman, selamat datang di blog ini. Blog ini dibuat hanya untuk proses pencurahan hati dan ingin menghibur pembaca sekalian.

Dengan bahasa ringan sehari-hari, saya ingin berbagi cerita pendek yang mudah-mudahan bersambung, sehingga pembaca sekalian diundang untuk melepas lelah dan penat di blog ini.

Semoga pembaca sekalian menikmati dan terhibur setelah membaca. Tentu komentar dan saran anda sangat kami nantikan.

Salam

Kamis, 01 Desember 2016

Winda- 14 : Keputusan Winda

“ WINDA LEBIH FOKUS DI LUAR BISNIS”

Image result for pantai pandawa bali
Pantai Pandawa Bali (Google.com)


Benarkah keputusan Winda Menurut Saudara?

Sore itu, dari bandara aku tidak langsung pulang kerumah. Aku ingin menyepi di Pantai Pandawa. Kulihat jam tanganku, waktu sudah menunjukkan pk 17 30 aku masih asyik memandangi deburan ombak yang begitu semangat membentur kokohnya dinding selatan Pulau Balu. Ketiga anakku yang menemani sejak bandara seakan tidak tahu gemuruh amukan di hati mamanya yang sedang ‘sandikala’ yang ingin ber’hijrah’ dari glamournya dunia bisnis entertainmen, ke dunia spiritual. Gadis masih menggelayut di punggungku, si Winsal mendeplok dipangkuanku sedangkan si sulung Raka asyik menangkap anak kepiting dan setiap dapat nangkap diberikannya kepadaku untuk dimasukkan ke botol aqua.

Itu suasana kebahagiaan dengan putra putriku yang kurasa hilang sampai saat ini. Walau kulihat mereka sangat bahagia. Raka dengan kakakku, dia disayang seakan melebihi kasih saying kepada anak kandungnya, gadis sangat bahagia dengan Niang – Kakiang ( Nenek dan Kakek ) nya, yaitu ibu dan bapak kandungku, sedangkan si bungsu sangat dekat dengan ayahnya Mas Lomo. Tak kurasa air mataku menetes, di lihat sama gadis. “Ma, mama menangis ya, kenapa, gadis nakal ya ma” dia bertanya sampai berulang ulang, aku terbuai kebahagiaan yang kudamba bercengkerema dengan putra-putriku.

“Tidak saying, mama tidak menangis karena kalian nakal, tapi mama menangis karena mama sangat bahagia memiliki kalian” Tiba-tiba Raka nemprok menciumi aku, kubiarkan saja dia melepaskan kekangenannya kepadaku, kupeluk ketiganya, kuciumi dengan gemes satu persatu. Kamu beriringan pulang. Rumahku tidak terlalu jauh dari pantai, kami berjalan beriringan. Aku melihat ketiga anakku berbeda satu sama lain, mungkin pengaruh pengasuhnya. Raka sangat mandiri seperti aku dan Om nya, Kakakku yang mengajaknya tinggal selama ini, Bahkan dia memanggil Kakaku dengan Papa dan Inu, sedangkan memanggilku mama, dan kepada bapaknya ayah. Gadisku dengan rambut panjang, selalu rapi ornagnynya walau masih kecil tetapi sudah perfeksionis, sama dengan Niangnya, dan juga seperti aku, serta Winsal, dia sedikit slebor, tidak suka cukur rambut, sedikir cuek seperti ayahnya.

Aku tiba dirumah, anak-anak melanjutkan mandi di kolam renang aku temani mereka untuk melepas kepenatan, aku tak sempat membuka pakaian aku ditarik rame-rame oleh mereka sehingga t-shirt dan celana legging tetap kupakai untuk berenang. Mas Lomo kelihatan tidak sanggup sendirian di pinggir kolam, dan akhirnya ikut nyemplung. Dengan lima orang di dalam kolam, kolam menjadi sangat ramai. Tak terasa kami bermain air, waktu sudah meninukkan pk 19 00 dan Raka segera merapikan dirinya untuk segera menonton pertandingan tim kesayangannya bermain di Kejuaraan Asean, Indonesia melawan Singapura. Dia suka bola ngikuti kesenangan kakakku yang gila bola, terkadang praktekpun disuruh temannya untuk mengantikan bila ada pertandingan bola dikotaku.

Malam semakin larut, aku tetap di ruang keluarga dengan Mas Lomo, sedangkan anal-anak sudah masuk ke kamarnya maisng-masing. Kembali kuungkapkan kepada Mas Lomo aku telah membuat kepurtusan untuk lepas dari dunia bisnis, akan  aku serahkan pengurusannya kepada professional, anak buahku yang ku kader selama ini. Aku akan focus menemani anak-anak, dan mengabdikan diri untuk kerihanian dan masalah social.

Mas Lomo sangat senang dengan keputusanku, karena dia merasa akan menjadi Kepala Keluarha utuh, dia akan buktikan bahwa dengan berkrya dibidang seni dia tetap dapat menghidupi keluarga dengan layak dan mengabdikan diri untuk umat di Lereng Lawu kampungnya. Mas Lomo mengingatkan masalah anak-anak kembali. Tidak mudah buatku untuk menarik mereka dari Kakek-neneknya, maupun menariknya dari pakde nya. Mereka sudah menganggapnya seperti orang tua kandungnya ma. Demikian Mas Lomo mengingtakan.

Oke, masalah itu memang tak pernah aku pikirkan mas, namun tetap aku akan dapat mengawasi mereka dari dekat. Toh rumah kakak, rumah Bapak dan Ibu masih mudah kujangkau, aku dapat mengobati kekangenanku kapan saja. Begitu juga aku bias memanggil mereka kapan saja untuk dating kerumah walau hanya untuk semalam.

Aku sadar masalah itulah yang membuatku merasa rindu, merasa cemburu, merasa bersalah menyatu menjadi satu yang mendorong keputusanku untuk di rumah hanya mengurus Mas Lomo, anak-anak dan kemasalahan umat. Aku ingin total, kenapa mama bias, masak aku tidak bias. Masalah kerinduan ini yang aku tak dapatkan kalau aku tidak di rumah. Berbagai Negara, berbagai kota bisnis dunia telah aku datangi, tapi kerinduanku yang memuncak hanya pada anak-anakku. Mungkin ini naluri seorang ibu. Itu kuungkapkan kepada Mas Lomo.

Mas Lomo malah tertawa,. “kenapa tertawa mas” tanyaku. Dengan enteng seperti bisanya dia menjawab sambil berbisik ketelingaku. Sama aku apa kamu tidak rindu ma. Hahahahahahahahaha akupu  ikut tertawa, tawaku sampai membelah malam itu. Iya iyalah mas. Iyu sudah pasti. Aku tak tahu keinginan bercinta ku belakangan ini malah menggebu gebu mas. Seperti aku jatuh cinta lagi. Nah begiru dong jangan mengalahkan aku dengan anak anak, ku peluk erat suamiku, dalam malam yang semakin latut itu. Kamipun pindah ke tempat tidur mau meneruskan kemesraan ini.

Lha, begitu masuk kamar tidur kami, ternyata anak-anakku kompak semua tidur di kamar tidur papa=mamanya. Wah suasana menjadi lain, kamipun tidur sebagai pengganjal ketiga nereka, aku disisi kiri dan Mas Lomo disisi kanan. Memang tempat tidurku dibuat demikian besar sehingga kami berlima masih cukup untuk tidur besama.

Mungkin saking capek, saking kebahagiaan yang kunikmati ditengah putra=putriku yang sudah lama kudamba, tidur kami sangat optimal, sangat nyenyak. Loncenga di Tangsi Tentara sangat jelas terdengar berbunyi empat kali, dan ayam pun sudah berkokok. Aku keluar sendiri keluar keteras memandang kea rah laut. Orang kampong sudah pada beriringan pergi kepasar, ada yang masih membawa obor karena melewati tepian hutan bakau. Bau udara laut masih wangi dengan bau garam dan rumput laut membuat kenanganku kembali kemasa muda dulu.

Mama beberapa kali pernah mengajak aku pergi kepantai di kala subuh. Kata beliau agar paru paru mku kuat, udara laut kata mami bersifat menyehatkan dan menguatkan kekebalan paru, Di ufuk timur kulihat mentari sudah merona, mbak asisten rumah tanggaku rupanya sudah pulang dari pasar, di sebelahku sudah disuguhkan kue tradisional pasar : karud, la-Klak, dan jaja ketan kesukaanku.

Aku kembali ke kamat kubangunkan Mas Lomo untuk menemani menikmati sajian pagi yang disiapkan si mbak di teras. Teh poci kegemarnnya langsung dengan daunt eh pilihan yang dipetik di kebun teh keluarga di Kemuning, Karanganyar, dengan la-Klak atau serabi memang jajan kesukaan Mas Lomo, dia sudah terbiasa dengan pengidangan cara Bali, seperti dihidngkan asisten rumah tanggaku, serabi di taburi kelapa dan di gulai juruh diatasnya.

Kami menikmati pagi itu dengan penuh kebahagiaan alami, sambil menikmati jajanan karud jajanan sangat halus yang diberikan aroma daun suji, sangat wangi menjadi kesukaanku. Sedang asyik menikmati jajanan pasar dan sruputan teh poci dengan gula batu, anak-anakku pun sudah pada rapi, rupanya mereka sudah selesai sarapan dan siap dengan seragamnya maisng-masing untuk berangkat keekolah. Yang sulung Raka sekolah di sebuah yang dikelola yayasan Katolik yang sangat termasyur di kota kami dia naru Kelas 3, demikian juga Gadis saudara kembarnya juga Kelas tiga, bersekolah di Gandhi School, sedangkan si bungsu Winsal sekolah keloan sebuah yayasan, dengan cirri khasnya seni.

Ya aku ingat semua pilihan sekolah mereka dipilih dengan pertimbangan mutu sekolah, factor kemudahan akses ke tempat tinggal masing-masing, sehingga mereka disekolahkan sesuai dengan pilihan Kakakku, Ibuku, dan yang bungsu sekolah pilihan ayahnya. Mas Lomo sudah siap mengeluarkan mobil untuk mengantar mereka, aku tak mau diam dirumah aku mau ikut menghantarkan mereka, secarat kilayt ku cabut sebuah switer, walau aku tetap memakai daster, aku duduk di belakang bersama si kembar, dan Winsal seperti biasa duduk siisebelah ayahnya.

Lengkap kebahahagiaan kami sampai pagi itu, sampai mengantarkan mereka kesekolahnya maisng masing. Siang nanti mereka akan dijemput seperti biasa oleh penjemputnya masing masing dan pulang terpencar. Selamat Belajar anak-anakku, semoga kau terus menjadi kebahagianku, tak terasa air mataku menetes kembali dipipiku. Ter mehek-mehek.... ledek Mas Lomo kepadaku. Mobilpun meluncur kembali ke rumah, aku ingin menikmati hari ini bersama Mas Lomo, berdua saja.... ya berdua saja.
Pondok Betung, 2 Desember 2016,



Minggu, 14 Agustus 2016

Winda -13 : Mas Lomo Meti Ide



“MAS LOMO METI IDE”


“dia duduk memperhatikan, sang suami sangat gelisah. Dia tahu karena dia lagi mati ide, dia tahu karena sang suami sudah sangat kangen padanya, sehingga dia harus segera pulang stelah menerima pesan melalui sosmed “ma pulang aku lagi meti (kehilangan ide, diadopsi dari kebiasaan di Papua) sedang dead line sudah dekat”
Tol Laut di Bali

 Aku sedikit lelah sore itu, silir angin timuran kemarau masih kuat menggoyang bunga kamboja yang lagi mekar dan bergerombol di ujung dahan, burung-burung masih beterbangan memburu nyamuk yang sudah mulai keluar sarang, aku masih duduk selonjor di belakang kamar tidur suamiku, di teras belakang yang menghadap kolam renang kecil pribadi. Dimana kamu suka nyemplung saja kalau lagikegerahan, atau suamiku suka nyemplung kesana kalau dia lagi kegembiran telah menyelesaikan sebuah projek, ataupun kembali mendapatkan ide.
Kuperhatikan Mas Lomo, sore itu telah kembali kehabitatnya menemukan ide segar. Aku sangat mengerti kalau dia lagi galau seperti ini. Projeknya setelah hari kemerdekaan harus diserahkan dan dinstalasi di tempat pemesannya seorang konglomerat dari Manado, yang memesan sebuah patung eksotik istrinya, sebuah patung pribadi, yang akan di pasang di rumahnya di pegunungan Tondano.
Dia hanya meminta aku untuk mengantikan modelnya yang sudah bolak balik datang, namun sang suami tidak setuju dengan hasilku, selalu saja ada kritik katanya. Mas Lomo kehilangan ide, malu untuk memintanya kembali hanya untuk menyesuaikan bagian pangkal pahanya. Sehingga iapun menjadi kehilangan ide alias meti.
Kulihat pancaran sinar mata dan raut matanya sudah menunjukkan kegairahan untuk melanjutkan projeknya. Namun aku minta dia menunda mengendapkan dulu, rehat tidak baik kalau lagi capek meneruskan kerjaan. Ibarat pengemudi rehat sejenak di rest area ketika sudah capek dan mengantuk kataku kepadanya. Ia pati menututi aku, daia suami yang sangat menghormati istri, dia sangat mengormati aku setelah mengormati ibu dan kakak perempuannya.
Kusarankan dia mengambil model pahaku saja untuk projeknya. Mas Lomo ku tahu malu bila memintaku untuk mengantikan bagian lain modelnya yang selalu ditolak pemesannya, dia bilang lebih inspiratif dan bisa berlama-lama dan meninggalkan kenangan pribadi pada hasil karyanya. Kenangan itu katanya ya ada padaku. Dia memang seniman ‘nakal’ memasukkan bagian model lain (baca aku) pada karyanya sehingga ada tanda pribadi, seperti tanda tangan dalam lukisan.
“Sudah pakai bagian aku saja mas, untuk melengkapi projekmu. Aku yakin pelanggan mas [asti akan setuju, dan maspun ku tahu menghendaki itu, cuman malu bilang” kataku. Diapun seperti biasa akan memelukku erat, seperti biasanya saat dia melepas kerinduannya kepadaku. Padahal belum sebulan aku tidak bersamanya, karena kesibukan aku mengikuti expo di Jepang lalu ke Singapura. Inipun di Singapura kutinggalkan asisten dan anak buahkku untuk meneruskannya sampai selesai, dan aku segera pulang setelah menerima pesannya. Ini pesan yang sama kuterima dalam tiga hari ini, sehingga aku gi show ke Changi, dan syukur dapat penerbangan langsung ke Denpasar.
Kuteguk wedang secang asli Nganjuk, terasa menyegarkan badanku yang sedikit, yang sedikit capek, namun puas dapat membantu suamiku menemukan idenya. Begitu aku tiba di studionya, biasa dia sedikit cuek, pura-pura tak melihat dan memperhatikan aku. Tapi aku hafal karena sudah beberapa tahun bersamanya.
Ku lempar tas tangan ku di kursi malasnya, kupelauk dia dari belakang, nafasnyapun menggebu membalikan badannya memeluk dan mencium sayang aku. Mas Lomo lupa bahwa tangannya masih sedikit kotor, tak apa pakaianku kotor karenanya, karena nilai sebuah projek akan sangat mahal bila dihitung dengan keberhasilan mengungkap ide pemesannya, dan tentu menambah fulus pundi kami.
“Akh aku lali katanya, bajumu bu kotor tanganku belum ku cuci”. Aku hanya menjawan itu bukan bajuku, tapi bajumu pula, nanti juga kamu Mas yang melepaskannya. Hahahaha................ kami tertawa berderai. Dan kutarik tangannya agar masuk kekamar istrirahatnya di studio, takut ada anak buah Mas Lomo yang datang.
Seperti biasa kami saling melepas kerinduan, mandi bersama sambil dia selalu memperhatikan bagian pangkal pahaku, katanya mencari idea menyempurnakan patungnya. Tak terasa aku beberapa kali telah menikmatinya berdua di kamar mandi studio, lalu pindah ke sofa, aku menjadi modelnya dia seperti sutradara yang memerintah modelnya untuk berganti ganti phose, sehingga akhirnya ter ‘potret’ sebuah pose yang dia anggap paling eksotik. Jepret katanya............... Oke angin datang lagi, katanya mas Lomo. Aku Cuma bilang biduk akan berlayar lagi.
Kuakhiri sesi sore itu dengan bercinta panjang berdua, mencurahkan kerinduan kami yang sudah lama tak bertemu, merayakan kembalinya ide Mas Lomo untuk menyelesaikan projeknya, Kami berdua tertidur pulas rupanya cukup lama, aku bangun belakangan ku lihat lipatan baju tidurku sudah ada di sebelahkan, dan Mas Lomo sudah kudengar berenang di luar.
Pisang goreng keju dan wedang secang kegemaran kami sudah tersedia di teras, di sediakan oleh si Mbak de, di meja teras pinggir kolam renang. Mas Lomo mendekati aku, duduk menikmati wedang secang bersama. Dia berujar terima kasih ma, kamu memang inspirasiku, kamu menghidupkan mesin yang sudah mati dan melayarkan biduk yang sudah berhenti terombang ambing ombak.
Ya sama-sama, kataku, Aku senang dapat berkontribusi pada projek mas. Aku menikmati apa yang ita alami tadi mas, itu titik kulminasi capekku, dia meledak setelah capek expo di Jepang dan di Singapura. Bagaimana respons masyarakat disana ma, tanyanya. Ya cukup baik, ada minimal enam klien yang berminat, mungkin beberapa hari kedepan dia akan menghubungi manajemen untuk menuntaskan pembicaraan, atau si jepang itu mungkin dalam beberapa hari kedepan akan datang ke sanggar berdiskusi sama mas tentang projeknya.
Wah tenanan, aku nggak bisa rehat dong, kata Mas Lomo. Itu tak usah dipikirkan sekarang kalau nsudah deal baru dibuat rencananya. Oke oke katanya. Ku lihat Mas Lomo sangat gembira sore ini, tidak seperti siang tadi kala aku baru tiba. Walau sudah ada tiga anak, masing-masing punya kesibukan dan sangat sering berkomunikasi lewat telepon atau internet, tatap muka dan tatap badan rupanya merupakan vitamin untuk semangat ku, dan semangat suamiku.
Aku harus sudah mulai memikirkan melepas lebih banyak lagi prosentase tanggung jawab dan kerjaku di galeri, aku lebih banyak menyediakan waktu untuk bersama Mas Lomo dan anak-anakku. Benar kata ibuku, harta benda memang perlu, karena dia akan memuaskan kita, hanya saja hanya sesaat. Namun kebahagiaan keluarga perlu dibina, dipupuk, di gelorakan setiap saat sehingga membahagiakan sepanjang masa.
Tiba-tba dalam lamunanku, anak wanita kami telah berteriak dan nemplok di pangkuanku. Padahal aku belum pakai ...... (maaf CD) tapi dia sudah faham maminya kalau tidur jarang pakai pakaian, sehingga biasa saja menurutku, apalagi aku memakai pakaian tidur yang agak tebal sehingga tidak bisa tembus pandang. Dia menarikku kembali ke tempat tidur.
Dia meminta aku menceritakan kemana saja aku selama kutinggal terakhir ini. Itu kebiasaan anak-anakku bila bertemu selalu menanyakan kemana dan apa kegiatan akyu. Biasanya kuceritakan tentang kota yang ku datangi, atau kegiatanku yang terkait dengan pendidikan anak seusianya. Tentang museum, tentang sejarah, maupun tentang sain atau teknologi modern dengan bahasa selevel dia. Kemudaian baru ku tanyakan kegiatan mereka selama aku tinggalkan.
Hehehehe anak gadisku yang tidur masih suka memegang puting nenen maminya, baru kuceritain sekitar lima meneit malah tertidur pulas disebelahku, aku pun ikut tertidur rupanya. Bangun-bangun sudah lepas sandikala, sekitar setengah delapan malam aku terbangun duluan, dan Mas Lomo rupanya ikut tidur lagi disebelah anak gadisku, dengan sketsa pangkal paha patung yang akan diberikan asistennya siap di sebelah tidurnya.
Setelah mandi kami bertiga mendatangi restoran langganan kami untuk santap malam, restoran ‘Sultan Kepiting’ di daerah Sunset Road, menyusuri Tol Laut menikmati semilir angin laut dengan aroma yang khas serta kerlap kerlip lampu kapal di laut serta lampu villa di perbukitan disisi lainnya.
===
Pondok Betung, 15 Agustus 2016





Senin, 18 Juli 2016

Winda- 12 : Kebahagian Winda di Lereng Lawu




“KEBAHAGIAN WINDA TAK TERLUKISKAN DI LERENG LAWU”

Panorama Lawu dari Margoyoso (google.com)
Sudah hampir enam tahun  aku menikah dengan mas Solomo, yang sering ku sebut mas Lomo, sebagao plesetan panggilannya sebagai Romo, pemimpin upacara di Candi Dukuh, sebuah candi peninggalan zaman Siwa—Budha yang masih terawatt dengan baik di lereng barat Lawu, di wilayah Desa Perkampungan kami Margoyoso, Karanganyar. Pendaulatan Mas Lomo, sebagai Pemangku Candi menyebabkan pernikahan kami batal, karena dua pendapat yang menghendaki Mas Lomo tetap membujang, dan pendapat lain tetap membolehkan kami menikah, tapi dalam kurun waktu lima tahun harus sudah tidak mengandung lagi.
Tapi keputusanku waktu itu menunda pernikahan memberikan waktu untuk keluarga besar Margoyoso mengadakan perundingan, demikian juga saya dapat melakukan perenungan karena tuntutan bathin ini yang menuntut untuk tidak menikah. Syukur semuanya itu dapat dilalui, dan kamipun melangsungkan pernikahan secara meriah, walau kami sempat memutuskan untuk tidak menikah dan mengalami sakit yang cukup serius.
Untung Mas Lomo juga sangat pengertian, dan kukuh dengan pendapatnya dia harus menikah dulu baru mau memangku jabatan spiritual di Candi, dan tidak akan menikah kalau tidak menikah dengan aku. Nah aku seakan di skak match. Kondisi ini, dorongan Mama, dan sopirku Pak Cecep, Dokter Randa yang memberikan aku support dan mendorong untuk mengurungkan keputusanku menjadikan aku memutuskan melanggar keputusan sebelumnya untuk tidak menikah.
Anak kami sudah tiga, si sulung kembar pasangan laki perempuan : Raka dan Gadis serta si bungsu Winsal, semuanya hampir lebih banyak tidak bersama kami. Raka ikut kakak ku, karena beliau belum mau mempunyai momongan mengingat istrinya masih menuntut ilmu saat Raka masih lucu-lucunya mereka mengajaknya sebagai teman sehari-hari, Raka seperti anaknya sendiri, bahkan melebihi sampai sekarang istrinya mengandung anak pertama. Gadis ikut mama dan papa di pasraman, menemani niangnya (niang = nenek) nya sehari-hari, sebagai pembayaran kaul mama kalau aku bersedia menikah, dan Winsal anak laki bungsuku yang sangat lengket dengan papanya, lebih banyak hidup disanggar dengan ayahnya Mas Lomo.
Aku sendiri, dapat dikatakan hanya bersama mereka kalau sedang berada di rumah kami di Bukit Jimbaran, yang aku bangun sendiri, dengan arsitek ayahku, serta desain interior dan landscape dibantu Mas Lomo. Tempat aku bercengkerema dengan anak-anak sesekali bila aku sedang ada di Bali. Mereka sangat senang bobo besama aku maminya, padahal aku mempunyai kebiasaan tidur telanjang. Tapi mereka menagnggapknya biasa. Namun aku harus membatasi nya hanya sampai mereka tujuh tahunan.
Pagi ini sudah menjelang siang, mata kari sudah lenih dari 50 derajat di atas horizon, aku masih memanjakan diriku, masih berendam pada kolam air deras, yang dibuat sedemikian rupa di belakang rumahku, dengan mendesign aliran air kali di tengah perkebunan tek keluarga di Margoyoso, sehingga menjadi kamar mandi pribadi di alam terbuka, di sana terdapat sebuah pancuran, sebuah kolam (bathtub) air deras, dan kolam air kumkum yang dapat di isi dan dikuras dengan cepat. Batu-batu besar di susun sedemikian rupa sehingga saat mandi aku merasakan mandi di alam terbuka, dapat duduk di atas batu berjemur, dapat rendaman sambil tiduran, sambil menikmati sinar mentari.
Mas Lomo, seakan tahu kesenanganku, suka mandi (maaf) telanjang di alam terbuka. Dia membuatkan aku tempat madi yang sangat privat, dengan dobel pagar yaitu pagar tembok yang tinggi di lapisi luar dalam dengan pepohonan dinding yang asri. Kalau bukan keluarga tidak akan tahu bahwa itu adalah tempat mandi alami kami.
Aku sangat menikmati suasana seperti ini, hampir sudah tiga tahunan setelah komplek bangunan perumahan keluarga di pugar di Margoyoso sebelum kami intensif memulai kegiatan memimpin ritual, kami secara rutin menikmati suasana ini, minimal dua kali setahun bisa lebih. Seperti kali ini habis purnama kasa ( Kesatu ) yang setiap tahun jatuh pada bulan Juli, kami baru melakukan ritual dan semedi bersama penduduk kampong. Hampir pk 02 00 kami baru selesai, saat rembulan sudah berani menampakkan diri dengan telanjang, dengan bulatnya menyinari bumi ini. Aku terbangun hampir pk 09 00 langsung mandi sendiri, Mas Lomo bersama beberapa pemangku desa naik, melanjutkan persembahyangan di Puncak Lawu sebagai bagian ritual malam itu. Intinya memohon keselamatan, kemakmuran desa, sambil mengucap syukur atas hasil yang melimpah diperoleh desa tahun ini.
Pikiranku melayang, mengenang saat-saat indah bersama Mas Lomo, dia memang telat menikah. Padahal aku juga karena aku menikah sudah umur tigapuluh tahun lebih, dan selisih umur kami dua belas tahun. Mas Lomo, bukan tipeku sebenarnya akan tetapi dialah yang akhirnya enaklukkan hatiku. Dia pasif seperti mesin disel, tetapi kalau sudah panas, sangat menggebu dan sangat romatis. Mungkin dunia seni dan masa keilnya membentuk dia begitu. Walau begitu aku sangat menikmatinya sebagai istrinya, dia sangat memanjaku, orangnya sangat rajin mengumpulkan ‘arta’ sehingga aku yang harun memplaning ‘kama’ nya. Untuk dia tetap mempunyai semangat, mempunyai ambisi, dan mempunyai libido. Itu salah satu petuah mama, yang sudah ikut mambantu kami memantau sifat Mas Lomo. Maklum mamaku memang konsultan, disamping dokter spsesialis.
Mas Lomo menjadi bagian hidupku. Hidupku tak merasa lengkap tanpanya. Kami saling melengkapi, mensinergikan power masing-masing untuk mengeliminasi kekurangan kami. Kami sama sama sudah mapan sebelum menikah, sama sama dewasa. Walau terus terang kusadari, bahwa aku petualang cinta sebelum menikah. Aku bisa membawa diri, membatasi diriku sehingga tidak menjadi MBA (Married By Accident). Hahahaha…..
Siang itu aku bisa berlama lama di temoat mandi, Mas Lomo biasanya akan turun menjelang sore dari puncak Lawu seperti biasanya.  Dalam lamunanku, kudengar “Mbak monggo makan dulu sudah siang”.  Mbak Reni kerabat Mas Lomo menghantarkan makan siangku ke dalam tempat mandi. Memang jtempat mandinya hamir selapangan volley. Aku mengambil handuk melilitkan di tubuhku, sambil bilang terima kasih mbak Reni.
Reni dan Cecep, dua orang yang sangat setia terhadap keluarga kecilku. Reni masih kerabat Mas Lomo yang ikut Mas Lomo sejak masih SMP ikut sekolah di Denpasar, sampai saat ini dia kuliah di Institut Seni Indonesia Denpasar. Dia sangat setia dan menghormati kami, sampai-sampai setiap menentukan pilihan akan memperhatikan pendapat kami. Mbak Reni meninggalkan kami sendirian lagi di ruang mandi.
Aku sangat bahagia, sambil santap sederhana ala Jawa, nasi liwet, ayam kampong, temped an tahu bacem, sayur lodeh dengan es dawet nangka dan rujak manis (Lotis Kemuning), aku memperhatikan lompatan kesana kemari di dahan sekeliling ruang mandiku, burung cerukcuk yangs edang bercinta dengan pasangannya. Kupu-kupu beterbangan menikmati kemilau kembang yang bermekaran, maklum Juli merupajan banyak bunga bermekaran. Lamat-lamat ku dengar Reni memutar langgam Jawa di ruang keluarga, dia memang sedikit sibuk karena minggu depan akan Ujian Akhir Semester.
Aku teringat tempat ini sering menjadi saksi bisu kami memadu kasih dengan Mas Lomo. Dia sangat senang menikmatinya sambil rendaman di kolam kumkum, kalau aku lebih menikmatinya sambil menikmati kuciran air pancuran, terasa lebih liar dan sensasinya berbeda saja. Terima kasih Mas Lomo, kamu telah menjadikan aku sebagai ratu, membuatkan tempat ini sangat kena di hati, yang seblumnya tidak pernah aku bayangkan. Sepeti biasa Mas Lomo jarang mendiskusikan suati design kepadaku, hanya dia menjadikan masukan kesukaanku sehari-hari, Demikian juga aku, akan tidak banyak protes, dan lebih banyak memuji –memang hasil karyanya patut dipuji- hasil karyanya, apa lagi dibuatkan khusus untukku.
Jadi aku merasa beruntung mengurungkan niatku mengurungkan keputusanku untuk tetap melajang. Aku ingat sekali sloka yang sering disebutkan mama :”Kau diciptakan (Nya), terlahir untuk hidup berpasangan dan berkembang biak, guna mencapai kebahagiaan”. Aku merasa tanpa menikahpun aku sudah meras bahagia. Namun penglihatan orang tua, yang tidak akan mau menyakirti hati putra putrinya akan lebih lengkap. Mama mungkin melihat aku akan lebih berbahagia bila menikah, dan tentu walau diam beliau sebenarnya tidak suka melihat aku yang gonta-ganti pasangan. Baik suku, ras, profesi, agama maupun umur, silih berganti menjadi pasanganku. Bahkan dapat dikatakan banyak yang sudah begitu dekat denganku, termasuk Mas Lomo pernah singgah di hatiku, hanya saja dia tidak segresif yang lain. Dia tekun dan sabar menunggu hatiku luluh, dan jatuh kepelukannya.
Mungkin karena parasku yang cantik (hehehe narsis), manja suka menggoda menjadikan banyak lelaki dekat denganku, dan memupuk subur petualangan cintaku. Kini aku sampai pada sebuah perlabuhan, sebuah terminal cinta, yang namanya mahligai rumah tangga dengan Mas Lomo. Hidupku tidak dapat dipisahkan dengan bisnis, seni dan sosialku serta kegiatan spiritualku, menyebabkan aku sangat mobile hidup, antara Jakarta, Denpasar dan Karanganyar Solo.
Aku sangat berbahagia, demikian seluruh keluarga kecilku ku harap dapat berbahagia melihat kehidupan kami. Hidup cukup dengan tiga anak, anak-anakku menjadi rebutan untuk diasuh mama, kakak dan hanya satu yang bersama bapaknya di sanggar di Denpasar. Winsal walau masih empat tahunan, sudah ikut corat-coret ayahnya ikut mulai belajar melukis. Yang tua Raka lengket dengan kakak iparku yang baru mulai hamil, Gadis lengket dengan Niangnya, sehingga membuat aku iri terhadap mereka. Tapi bila aku ada di Denpasar minimal satu-dua hari mereka akan datang berkumpul dengan kami. Meraka faham walau kami tak memintanya. Seorang anak tetap harus mendapatkan kasih sayang dari mamanya, walau kasih sayang yang melimpah telah didapat dari Niang, dari Om dan Tante yang sudah dia anggap sebagai orang tua kandung, maupun hanya dari papanya saja.
Rupanya kami sempat tertidur di atas bebatuan rindang di bawah bayang-bayang pepohonan pelindung ruang mandi, membuaiku mimpi jauh sekali, menghilangkan penatku dan menambah kebahagiaanku siang itu. AKu bergegas mengenakan piyama kembali ke kamar, sedikit merawat diriku karena Mas Lomo dan rombongan sebentar lagi akan sampai, pulang daru uncak Lawu.

===
Lamunan di Puri Gading, akhir Juli 2016