Social Icons

Selamat Datang di Blog Itik-Bali

Selamat Jumpa Pembaca yang budiman, selamat datang di blog ini. Blog ini dibuat hanya untuk proses pencurahan hati dan ingin menghibur pembaca sekalian.

Dengan bahasa ringan sehari-hari, saya ingin berbagi cerita pendek yang mudah-mudahan bersambung, sehingga pembaca sekalian diundang untuk melepas lelah dan penat di blog ini.

Semoga pembaca sekalian menikmati dan terhibur setelah membaca. Tentu komentar dan saran anda sangat kami nantikan.

Salam

Minggu, 14 Agustus 2016

Winda -13 : Mas Lomo Meti Ide



“MAS LOMO METI IDE”


“dia duduk memperhatikan, sang suami sangat gelisah. Dia tahu karena dia lagi mati ide, dia tahu karena sang suami sudah sangat kangen padanya, sehingga dia harus segera pulang stelah menerima pesan melalui sosmed “ma pulang aku lagi meti (kehilangan ide, diadopsi dari kebiasaan di Papua) sedang dead line sudah dekat”
Tol Laut di Bali

 Aku sedikit lelah sore itu, silir angin timuran kemarau masih kuat menggoyang bunga kamboja yang lagi mekar dan bergerombol di ujung dahan, burung-burung masih beterbangan memburu nyamuk yang sudah mulai keluar sarang, aku masih duduk selonjor di belakang kamar tidur suamiku, di teras belakang yang menghadap kolam renang kecil pribadi. Dimana kamu suka nyemplung saja kalau lagikegerahan, atau suamiku suka nyemplung kesana kalau dia lagi kegembiran telah menyelesaikan sebuah projek, ataupun kembali mendapatkan ide.
Kuperhatikan Mas Lomo, sore itu telah kembali kehabitatnya menemukan ide segar. Aku sangat mengerti kalau dia lagi galau seperti ini. Projeknya setelah hari kemerdekaan harus diserahkan dan dinstalasi di tempat pemesannya seorang konglomerat dari Manado, yang memesan sebuah patung eksotik istrinya, sebuah patung pribadi, yang akan di pasang di rumahnya di pegunungan Tondano.
Dia hanya meminta aku untuk mengantikan modelnya yang sudah bolak balik datang, namun sang suami tidak setuju dengan hasilku, selalu saja ada kritik katanya. Mas Lomo kehilangan ide, malu untuk memintanya kembali hanya untuk menyesuaikan bagian pangkal pahanya. Sehingga iapun menjadi kehilangan ide alias meti.
Kulihat pancaran sinar mata dan raut matanya sudah menunjukkan kegairahan untuk melanjutkan projeknya. Namun aku minta dia menunda mengendapkan dulu, rehat tidak baik kalau lagi capek meneruskan kerjaan. Ibarat pengemudi rehat sejenak di rest area ketika sudah capek dan mengantuk kataku kepadanya. Ia pati menututi aku, daia suami yang sangat menghormati istri, dia sangat mengormati aku setelah mengormati ibu dan kakak perempuannya.
Kusarankan dia mengambil model pahaku saja untuk projeknya. Mas Lomo ku tahu malu bila memintaku untuk mengantikan bagian lain modelnya yang selalu ditolak pemesannya, dia bilang lebih inspiratif dan bisa berlama-lama dan meninggalkan kenangan pribadi pada hasil karyanya. Kenangan itu katanya ya ada padaku. Dia memang seniman ‘nakal’ memasukkan bagian model lain (baca aku) pada karyanya sehingga ada tanda pribadi, seperti tanda tangan dalam lukisan.
“Sudah pakai bagian aku saja mas, untuk melengkapi projekmu. Aku yakin pelanggan mas [asti akan setuju, dan maspun ku tahu menghendaki itu, cuman malu bilang” kataku. Diapun seperti biasa akan memelukku erat, seperti biasanya saat dia melepas kerinduannya kepadaku. Padahal belum sebulan aku tidak bersamanya, karena kesibukan aku mengikuti expo di Jepang lalu ke Singapura. Inipun di Singapura kutinggalkan asisten dan anak buahkku untuk meneruskannya sampai selesai, dan aku segera pulang setelah menerima pesannya. Ini pesan yang sama kuterima dalam tiga hari ini, sehingga aku gi show ke Changi, dan syukur dapat penerbangan langsung ke Denpasar.
Kuteguk wedang secang asli Nganjuk, terasa menyegarkan badanku yang sedikit, yang sedikit capek, namun puas dapat membantu suamiku menemukan idenya. Begitu aku tiba di studionya, biasa dia sedikit cuek, pura-pura tak melihat dan memperhatikan aku. Tapi aku hafal karena sudah beberapa tahun bersamanya.
Ku lempar tas tangan ku di kursi malasnya, kupelauk dia dari belakang, nafasnyapun menggebu membalikan badannya memeluk dan mencium sayang aku. Mas Lomo lupa bahwa tangannya masih sedikit kotor, tak apa pakaianku kotor karenanya, karena nilai sebuah projek akan sangat mahal bila dihitung dengan keberhasilan mengungkap ide pemesannya, dan tentu menambah fulus pundi kami.
“Akh aku lali katanya, bajumu bu kotor tanganku belum ku cuci”. Aku hanya menjawan itu bukan bajuku, tapi bajumu pula, nanti juga kamu Mas yang melepaskannya. Hahahaha................ kami tertawa berderai. Dan kutarik tangannya agar masuk kekamar istrirahatnya di studio, takut ada anak buah Mas Lomo yang datang.
Seperti biasa kami saling melepas kerinduan, mandi bersama sambil dia selalu memperhatikan bagian pangkal pahaku, katanya mencari idea menyempurnakan patungnya. Tak terasa aku beberapa kali telah menikmatinya berdua di kamar mandi studio, lalu pindah ke sofa, aku menjadi modelnya dia seperti sutradara yang memerintah modelnya untuk berganti ganti phose, sehingga akhirnya ter ‘potret’ sebuah pose yang dia anggap paling eksotik. Jepret katanya............... Oke angin datang lagi, katanya mas Lomo. Aku Cuma bilang biduk akan berlayar lagi.
Kuakhiri sesi sore itu dengan bercinta panjang berdua, mencurahkan kerinduan kami yang sudah lama tak bertemu, merayakan kembalinya ide Mas Lomo untuk menyelesaikan projeknya, Kami berdua tertidur pulas rupanya cukup lama, aku bangun belakangan ku lihat lipatan baju tidurku sudah ada di sebelahkan, dan Mas Lomo sudah kudengar berenang di luar.
Pisang goreng keju dan wedang secang kegemaran kami sudah tersedia di teras, di sediakan oleh si Mbak de, di meja teras pinggir kolam renang. Mas Lomo mendekati aku, duduk menikmati wedang secang bersama. Dia berujar terima kasih ma, kamu memang inspirasiku, kamu menghidupkan mesin yang sudah mati dan melayarkan biduk yang sudah berhenti terombang ambing ombak.
Ya sama-sama, kataku, Aku senang dapat berkontribusi pada projek mas. Aku menikmati apa yang ita alami tadi mas, itu titik kulminasi capekku, dia meledak setelah capek expo di Jepang dan di Singapura. Bagaimana respons masyarakat disana ma, tanyanya. Ya cukup baik, ada minimal enam klien yang berminat, mungkin beberapa hari kedepan dia akan menghubungi manajemen untuk menuntaskan pembicaraan, atau si jepang itu mungkin dalam beberapa hari kedepan akan datang ke sanggar berdiskusi sama mas tentang projeknya.
Wah tenanan, aku nggak bisa rehat dong, kata Mas Lomo. Itu tak usah dipikirkan sekarang kalau nsudah deal baru dibuat rencananya. Oke oke katanya. Ku lihat Mas Lomo sangat gembira sore ini, tidak seperti siang tadi kala aku baru tiba. Walau sudah ada tiga anak, masing-masing punya kesibukan dan sangat sering berkomunikasi lewat telepon atau internet, tatap muka dan tatap badan rupanya merupakan vitamin untuk semangat ku, dan semangat suamiku.
Aku harus sudah mulai memikirkan melepas lebih banyak lagi prosentase tanggung jawab dan kerjaku di galeri, aku lebih banyak menyediakan waktu untuk bersama Mas Lomo dan anak-anakku. Benar kata ibuku, harta benda memang perlu, karena dia akan memuaskan kita, hanya saja hanya sesaat. Namun kebahagiaan keluarga perlu dibina, dipupuk, di gelorakan setiap saat sehingga membahagiakan sepanjang masa.
Tiba-tba dalam lamunanku, anak wanita kami telah berteriak dan nemplok di pangkuanku. Padahal aku belum pakai ...... (maaf CD) tapi dia sudah faham maminya kalau tidur jarang pakai pakaian, sehingga biasa saja menurutku, apalagi aku memakai pakaian tidur yang agak tebal sehingga tidak bisa tembus pandang. Dia menarikku kembali ke tempat tidur.
Dia meminta aku menceritakan kemana saja aku selama kutinggal terakhir ini. Itu kebiasaan anak-anakku bila bertemu selalu menanyakan kemana dan apa kegiatan akyu. Biasanya kuceritakan tentang kota yang ku datangi, atau kegiatanku yang terkait dengan pendidikan anak seusianya. Tentang museum, tentang sejarah, maupun tentang sain atau teknologi modern dengan bahasa selevel dia. Kemudaian baru ku tanyakan kegiatan mereka selama aku tinggalkan.
Hehehehe anak gadisku yang tidur masih suka memegang puting nenen maminya, baru kuceritain sekitar lima meneit malah tertidur pulas disebelahku, aku pun ikut tertidur rupanya. Bangun-bangun sudah lepas sandikala, sekitar setengah delapan malam aku terbangun duluan, dan Mas Lomo rupanya ikut tidur lagi disebelah anak gadisku, dengan sketsa pangkal paha patung yang akan diberikan asistennya siap di sebelah tidurnya.
Setelah mandi kami bertiga mendatangi restoran langganan kami untuk santap malam, restoran ‘Sultan Kepiting’ di daerah Sunset Road, menyusuri Tol Laut menikmati semilir angin laut dengan aroma yang khas serta kerlap kerlip lampu kapal di laut serta lampu villa di perbukitan disisi lainnya.
===
Pondok Betung, 15 Agustus 2016