Social Icons

Selamat Datang di Blog Itik-Bali

Selamat Jumpa Pembaca yang budiman, selamat datang di blog ini. Blog ini dibuat hanya untuk proses pencurahan hati dan ingin menghibur pembaca sekalian.

Dengan bahasa ringan sehari-hari, saya ingin berbagi cerita pendek yang mudah-mudahan bersambung, sehingga pembaca sekalian diundang untuk melepas lelah dan penat di blog ini.

Semoga pembaca sekalian menikmati dan terhibur setelah membaca. Tentu komentar dan saran anda sangat kami nantikan.

Salam

Kamis, 24 Maret 2016

Winda -8 : Akankah Cinta Lama Bersemi Kembali?



“KEGALAUAN SENJA MENEMUKANKU KEMBALI DENGAN MAS SALO”

Lukisan Wanita (google.co.id)
Kemesraan pertemuan antara senjadengan malam, kemesraan pertemuan antara sinar mentari jingga yang menjemput sinar rembulan malam menghiasi senja itu. Ku duduk merenung dan menyaksikan betapa kemesraan mama dengan papa ku. Mereka telah memakai pakaian kebesarannnya, kusebut begitu karena mereka pakai saat sembahyang. Pakian putih-putih yang sangat sederhana itu sebuah kain panjang yang membalut tuluh tua mereka, dengan sehelai kebaya bagi mama, dan sehelai baju koko untuk papaku. Dengan dipinggang mereka terbelit sebuah selendang dengan warna senada namun sedikit kekuningan.

Perpaduan antara senja dan malam, sandikala. Mereka berduaan duduk bersila menghadapi setanggi dupa, dengan penuh konsentrasi menyatukan fikiran kepada Nya memohon kesejahteraan dunia. ‘Sarwa Prami Hitangkarah’. Cukup lama mereka memanjatkan doa doa, dan memuji kebesarann Nya. Biasanya aku ikut mereka, namun kali ini aku absen karena sedangn berhalangan, sehingga aku hanya bisa menikmati lahiriah senja itu.

Burung migran masih kelihatan dilangit bergerombol terbang ke utanra, karena diselatan sudah mulai musim dingin. Kita sepatutnya meniru burung burung itu, yang selalu dapat menyesuikan diri dengan perubahan musim, atau kita harus mampu mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan iklim, pemanasan global, atau global warming kata para pakar iklim belakngan ini.

Sesaat pikiranku mengelana jauh kenegeri China, disaat aku pernah mengikuti Konferensi Internasional Perubahahan iklim. Sesaat satu persatu lelaki yang pernah mengisi hatiku, serta yang pernah hatinya kuisi melintas dalam benaknya. Kenangan manis serta manis berikutnya mampu menyunggingkan senyumku untuk bergembira malam itu, Padahal seperti biasanya hatikus edang tidak mood, karena aku lagi kedatngan tamu bulanan.

Aku dikagetkan, sebuah pesang WA masuk ke HP ku. Kulirik sejenak, hehehe dari Salomo, orang yang baru kulamunkan bersama lamaunan lain mengirimi aku pesan sangat mesara, sama seperti saat aku masih memadu kasih padanya. Isinya singkat. “Win, kau sedang dimana, aku di Pantai Barat sedang melepas senja, aku kangeun”. Aku sangat faham artinya. Dia sedang menikmati suasana pantai, suasana yangs erring kami cari dikala melepas senja. Solomo memang jaug terpaut umurnya denganku, dia sudah hampir 55 saaat aku baru melepas usia 25 ku. Namun aku nyaman sekali bersamanya.

Dia melepasku hanya karena keegoisanku, karena jiwa mudaku yang tidak memahami kesibukannya yang sudah menapak karier dengan matang, aku sering ganggu dia saar rapat, aku sering goda dia saaat melukis, sebuah kegiatan yang paling dia gemari sejak di bangku sekolah menengah. Kata Salo – maksudku mas Salomo- kepala sekolahnya seorang genius dalam ilmu pasti tapi mempunyai jiwa seni yang baik, seorang pelukis naturalis yang handal. Mereka sering menyebutnya Pak DeeS. Dia berpakaian sangat rapi, kacamatanya sangat bening, belum menikah sampai umur 55 tahun. Hehehe kok cocok dengan dia ya, jangan jangan like teacher like student.

“Aku ada di rumah papa, aku jua sedang menikmati senja mas, aku juga kangeun”  kujawab WA nya. Terus aku melanjutkan menikmati sore itu, melanjutkan lamanunan kecilku. Musik yang di stel papa karena sudah selesai sembahyang, masih kudengar lamat-lamat, berirama continental, dengan stair yang masih kuingat, karena sangat sering kudengar di kala pulang ke rumah papa. Kata papa itu lagu pop mandarin, dalam satu-satunya album sebuah band terkenal tahun 70 an.
Kenanganku di Kota Hongkong,
Penuh dengan kasih nan mesra,
Penari riang gembira,
Menambah suasana malam,
Rasa hati ingin kembali,
Semalam di kota Hongkong.

Ia lagu itu membuat lebih jauh lamunanku, kembali jauh ketika tiga malam aku bersfari melintasi Macau, Guangzau, Zuhai dan Hongkong. Hanya dalam tiga malam. Ketika setiap malam aku berpindah kota dan pindah hotel, bagai serombingan kaisar yang dijamu oleh tuan rumah, sersama Salomo mengikuti ceramah anta budaya yang dia lakukan atas undangan rekan kerjanya di Universitas setempat.

Aku heran kok bisa ya, karena kutahu Solomo seorang yang menekuni Ilmu Kebumian, Geo Sains tamatan Universitas Boston, hanya saja yang ku tahu PhD nya dia ambil dalam Sosial Affair. Akh semuanya itu tak perlu bagiku, hanya dalam hatiku berkecamuk kerinduan kepadanya, aku sangat kangen –kangeun- padanya, tapi ku tak tahu dimana dia.

Teganya dia tidak menjemputku malam itu, apakah dia tak tahu apa yang sedang berkecamuk di dadaku, apakah dia juga mengalami hal yang sama. Pikiranku menjadi kacau, sampai-sampai aku tidak sadar sudah mondar mandir di tepi kolam, didepan teras tempat aku menikmati hari sejak sore.

“Ayo Winda, siap-siap, apakah kau jadi ikut kami ke pembukaan pameran itu” suara mama lembut kudengar. Papa kulihat telah mengenakan pakaian sedikit formal, dengan celana kodorenya, dengan sebuah kemeja tenunan NTT yang sudah agak bujel warnanya. Mama hanya mengenakan rok bawahan senada warna dengan papa, dengan atasan kebaya.

Oke kataku, aku ikut, daripada aku galau dirumah sendiri. Ku tarik sebuah sweeter warba ping muda, kupadankan dengan celana panjang yang kupakai, dengan tanktop yang membalut ketat badanku yang sedikit montok. Suatu anugrah yang aku syukuri. Kata orang aku memiliki dada yang jenjang dengan bokong yang tidak terlalu besar. Aku tinggi seperti papa dengan pinggang jenjang, seperti kebanyakan keluarga papa. Hanya aku lebih beruntung dapat warisan wajah dan kulit putih dari mama,

Kami pergi bertiga, kali ini aku menjadi ajudan mama dan papa. Aku duduk di depan disamping Yande yang mengemdikan mobil, mama dan papa duduk di kursi tengah. Mereka kulirik dari kaca spion, sungguh mesra aku menjadi iri kepada mereka. Mesra sekali, walau usia pernikahan lebih dari tigapuluh tahun. Terima kasih Tuhan kau limpahkan kebahagiaan ini kepada kami, doa kupanjatkan melihat betapa bahagia dan mesranya mama bersandar di dada jenjang papaku.

Sebagai Ketua asosiasi pelukis professional, kami mendapat kehormatan mengisi meja yang didepan bertiga bersama papa dan mama. Papa memberi sambutan sebagai ketua asosiasi, aku tak menyimaknya, namun aku asyik dengan gadget ku. Aku meneruskan membaca pesan-pesan yang belum ku baca di WA.

Rupanya Salo, lagi berada di kotaku, dia bilang dia sedang berada di Pantai Kuta menikmati sundet, mebayangkan aku ada di mana mentari itu turun, di Jakarta Hahahahahaha, rupanya dia kangen berat padaku kalau kuperhatikan WA ku, karena dia juga mengirimkan sebuah foto yang pernah ku jadikan statusku. Rupanya diam-diam dia menyimpannya, karena akupun sudah tak punya. Lho fotoya kok sama memakai sweeter yang kukenakan.

Tepuk gemuruh terdengar diruangan itu, di sebuah ruangan pamer lukisan di pasar seni yang tidak jauh dari Kudeta, aku tidak menyadarinya itu kawan pantai Kuta. Aduh betapa kacaunya pikiranku, apa juga mungki karena kecuekanku, yang jarang mengingat masa lalu. Entahlah, itulah aku terkadang melankonias, terkadang aku bisa garang seperti harimau…. Namun hatiku tetap lembut, Narsis dikit.

Pemberi sambutan kulirik, lho kok rasanya aku kenal orang ini siapa ya. Kuseimak apa yang dia katakana dalam samutannya. Dia katakana bahwa pameran yang dia adakan kali ini, dia dedikasikan kepada seorang yang pernah dan masih mengisi relung hatinya. Seorang waanita berfikiran odern tapi tetap teguh memegang tradisi, sangat suka pada budaya walau dia mempunyai pendidikan modern.

Pikirku sanga berbahagia wanita itu, sampai-sampai dedikasi mantannya masih khusus dipersembahkan kepadanya. Kuperhatikan lho lho kok suaranya kayaknya kukenal sekali. Samar samar kudengar kembali dalam akhir sambutannya, bahwa lukisan-lukisan ini kami dedikasikan kepada seorang wanita, yang saat ini sudah menjauh dariku, namun aku yakin dia masih menyompan kenangan kami di hatinya, yang setiap saat siap untuk di bongkar kembai.

Mudah-mudahan dia berkenan hadir disini, karena beberapa hari lalu aku sempat mengiriminya surat undangan. Dia seorang wanita yang formal, tidak mau menerima undangan melalui media social, jadi kukirimkan kartu undangan untuknya.
Wanita yang kumaksud adalah Winda, dia seorang Arsitek yang sekarang terjun dalam kegiatan curator dan mengelola sebuah geleri seni di Ibu kota. Mudah-mudahan ia hadir di acara ini, dan aku ingin mengkudeta kembali hatinya.
Kami undang secara khusus dia Winda, kalau kau hadir di acara ini aku persilahkan ke atas panggung dan memukul gong memulai acara ini.

Aku tergagap, apakah dia Salo, apakah Winda itu aku, jangan-jangan Winda lain. Papa dan mama ku menoleh aku. Apa kamu Winda yang dimaksud. Ayo maju ke atas panggung. Dengan kaki berat dan hati berbunga bunga aku melangkah k eats panggung dengan pakian yang sangat sederhana, sebuah High Hell, Celana jean, tank top dan klaser pink mudaku.

Dia mejulurkan kedua tangannya dan berkata, filingku benar orang yang ku maksud benar ada disini. Kusamgut uluran tangannya, kupeluk erat-erat dia, kurasakan kembali degup dan irama jantung yang telah beberapa lama pernah kurasakan. Aku tak peduli dengan hadirin dan mama papa ku, aku terhanyut dengan rasa haru, dia sangat menghargaiku. 

Oke-oke kukatakan, terima kasih Mas Salo, maksudku Salomo yang telah mendedikasikan pameran ini untukku. Bersama ini pula aku menungundang para seniman yang hadir disini untuk memamerkan lukisannya atau hasil karya seni lainnya di Galeriku. Kesempatan langka ini juga kugunakan untuk promosi. Aku merasa sangat tersanjung dan mendapat kehormatan, karena telah dipanggil ke atas panggung ini, aku tak mampu menolak untuk melakukannya karena yang memintanya adalah orang yang sangat istimewa, seorang seniman besar.

Untuk kemajuan budaya kita dan kemajuan seni ku nyatakan pameran ini dimulai. Gong---- Gong----Gong---- Gong---- Gong. Kupukul gong yang sudah tersedia, sebanyak lima kali, angka yang hanya aku yang tahu. Kamipun diantar Mas Salo ke kedua orang tuaku, serta papa dan mamapun mengundang Mas Salo untuk datang ke rumah, untuk sebuah pertemuan yang masih belum ku tahu. Kankah Cinta Lama Bersemi Kembali. Biarlah sang waktu yang akan membuktikannya.
Malam yang sangat membahagiakan. 

Puri Gading,  Jumat Kelurut, Maret 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar