Social Icons

Selamat Datang di Blog Itik-Bali

Selamat Jumpa Pembaca yang budiman, selamat datang di blog ini. Blog ini dibuat hanya untuk proses pencurahan hati dan ingin menghibur pembaca sekalian.

Dengan bahasa ringan sehari-hari, saya ingin berbagi cerita pendek yang mudah-mudahan bersambung, sehingga pembaca sekalian diundang untuk melepas lelah dan penat di blog ini.

Semoga pembaca sekalian menikmati dan terhibur setelah membaca. Tentu komentar dan saran anda sangat kami nantikan.

Salam

Jumat, 01 Juli 2016

Winda-11 : Cancel Keputusan Winda



“SAKSI BISU KULMINASI CINTA WINDA”


Telaga Sarngan
Semilir angin lembah naik menyusuri bukit, menyapa Winda di Telaga  Sarangan pagi itu. Winda tengan asyik menikmati udara pagi sambil berjalan santai mengitari tepian telaga. Beberapa burung kuntul hinggap di tepian telaga sambil mengintip ikan yang bergembira menyambut pagi. Cecep dengan setia mengikuti Winda.
Angin terasa berlomba dengan sinar matahari menggoda kulitku. Kubiarkan kulitku bebas, aku hanya memakai yukensi, dengan selembar selendang melingkar di leherku. Selendang itu mengingatkan aku dengan Salomo, orang yang kuajak janjian disini di Telaga Sarangan. Aku duduk di tepian telaga yang dekat jalan menuju air terjun Nglueng, semilir angin membuaiku tertidur sejenak. Aku bermimpi memutar memoriku apa yang kukunjungi kemaren.
Sepanjang perjalanan ku kemarin dari Solo, Karanganyar, Tawangmangu hingga telaga Sarangan. Pasar Tawangmangu terlihat jauh lebih rapi dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu, saat aku kesana dengan mama. Grojogan Sewu pun kulihat sudah lebih rapi, jalan menuju kesana sudah bagus, hanya saja airnya tidak sebanyak dulu. Semilir angina menghempas butiran air terjun membasahi rambutku.
Kenangan lain ketika itupu masih aku ingat, pertemuan aku dengan seseorang anggota pramuka dari Jogya. Dia dari sekolah De-Brito. Dia sangat Macho, berambut gondrong, kulit putih hidung mancung. Kulit dan rambutnya sangat kontras. Sempat menemani aku saaat remaja di tepian Grojogan Sewu. Aku tak ingat persisnya,  apakah pemuda itu yang mencium ku untuk pertama kali.
Aku menyusuri Gandasuli, sebuah desa dekat dengan Cemoro Sewu, di puncak lereng Lawu perbatasan Karanganyar dengan Magetan. Batu itu masih tegar berdiri. Batu yang menjadi tempatku bercengkerema sepuluan tahun silam. Dimanakah pemuda itu sekarang. Aku tak tahu aku merindukannya. Saat motornya mogok tak kuat merambat naik kembali dari Sarangan kembali ke Tawangmagu, kuingat betapa keringat kami bercucuran, aku yang ikut mendorongnya, dia yang menuntun. Seperti dalam cerita Penganten Remaja saja.
Aku terbangun karena terik matahari menjilat mukaku yang belum kena apa-apa pagi itu, Kang Cecep tersenyum disebelah mengawasiku. Dia sopir mama, yang diwariskannya kepadaku. Dia sangat setia keada keluargaku, demikian juga dengan keluargaku. Dia sangat care terhadap aku. “Selamat pagi non, enak tidurnya, Bapak lihat tidurnya sangat nikmat, pakai senyum senyum segala non” sapanya. Iya mang aku sempat bermimpi segala memutar kenanganku beberapa tahun silam.
Aku meneruskan jalan pagiku, didampingi Kang Cecep, sambil memperhatikan candaan burung kuntul mengintip ikan di telaga. Bergegas menuju hotel, kembali untuk mempersiapkan diri janjiku menikmati Telaga Sarangan dengan Mas Salomo, yah aku sering sebut namanya Salomo, atau Solomo. Apalah artinya sebuah huruf o apa a sama saja bagiku.
###
Sore itu kuserahkan ke Mas Salomo untuk memilih tempat, karena aku tahu dia lebih tahu suasana di Telaga Sarangan, karena ia memang berasal dari Karanganyar. Tepat Jam 13 siang aku disamperinya. Sangat romantic dia menjemputku dengan sebuah delman. Tapi aku tak tahu kok dia tahu hotel dimana aku menginap, padahal aku tidak memberitahunya.
Aku diajaknya menikmati siang sampai sore itu, dosebuah restoran ekslusip, yang dapat melihat kegagahan Gunung Lawu, romatismenya telaga Sarangan dan hamparan kampong di sela persawahan yang mempermadanai Lawu di lereng Timur. Sungguh pintar ia memilihkan aku tempat. Sambil menikmati kuliner ala Jawa Tengah dan Jawa Timuran, aku membuka pembicaraan siang itu.
Aku jelaskan pertimbangan kenapa sebelumnya aku memutuskan untuk tidak menikah. Itu semata suatu jalan spiritual yang kuanggap kala itu akan mampu membawa aku ke suasana yang damai, suasana hati adem. Ternyata tidak. Kepurusanku itu mendapat tantangan, ditentang mamaku. Beliau sangat keras menentang keputusan aku. Walau papa lebih demokratis, beliau menyerahkan semua keputusan kepadaku. Karena papa menganggap aku sudah cukup dewas untuk mengambil keputusan. Tanteku yang memang juga tidak menikah seumur hidupnya, cukup menentang keputusanku.
Kang Cecap, kelihatannya memihak mama tapi lebih moderat caranya menyampaikannya, Dia menyuruh aku untuk mengcancel dulu keputusan tidak menikah itu. Belum lagi Randa yang suka mengganggu dengan chatting wa nya, padahal dia akan segera menikah dengan dengan seorang wanita yang menurutku sangat pas mendampinginya yang sangat homoris. Dalam salah sat WA nya dia mengatakan, dia akan cansel lamaran ke calonnya, bila aku mengoyakan tembakannya. Hahahaha kaya sk yang perlu ada perbaikan. Aku tak mau merusak hubungan mereka berdua. Apa Randa mengalami Odiphus Compleks. Hahahaha.
Dokter Amir pun sering menggoda aku setiap aku control kembali, Dokter Amir selalu bilang aku periss mantannya, bahkan reinkarnasimantannya. Hahaha berarti mantan pacar Dokter Amir perempuan sempurna,  betisnya kekuningan, pinggang ceking panjang jari lentik berkuku panjang, dada berisi dan kalau rambut memang mahkotaku tak pernah pendek semenjak aku bisa merawat rambut. Aku tak tahu apakan dokter Amir serius apa hanya memotivasi aku agar segera menikah, aku yakin Dokter Amir dan Dokter Randa disponsori mama sesame sejawatnya.
Dik Winda, mas Salomo memulai pembicaraan, seperi kau tahu mas tidak pandai merangkai kata, apalagi yang serius seperti saat ini. Yang jekas Mas Solomo, oleh keluarga diminta untuk menjadi Pendeta yang menjadi penanggung jawab di Candi Sukuh, sebagai penerus kewajiban keluarga. Punya waktu hanya 5 tahun untuk proses keturunan, menurut keluargaku setelah itu biasanya sudah tidak punay keturunan lagi. Aku hanya ingin menikahi kamu dik. Bila kau tidak menerima, dan tetap seperti keputusan semua. Mas akan memilih tidak menikah pula.
Aku memberhentikan makanku menikmati tengkleng kambing yang sangat amknyus. Bener ne mas, sahutku. Aku tak menjawabnya tapi aku melompat dari tempat dudukku ke lompat kepangkuannya, aku tak perduli pengunjung lain …. Hehehehe memang aku cuman berdua, aku tak sadar aku terlena dalam kegembiraanku aku menciuminya dengan ganas, aku tak tahu aku seperyi kesetanan. Aku baru tahu bahwa Mas Solomo, seiman dengan ku, suatu jalan Tuhan mempertemukan kami.
Saat itu saat sandikala, persis pertemuan antara siang dan malam (magrib) dimana muka orangakan terlihat kabur bila berada di luar. Burung-burung malam mulai beterbangan di atas telaga Sarangan, lampu villa sudah pada menyala, kelelawarpun sudah mulai aktip menyambar nyambar buah sawo yang tumbuh di depan restoran tempatku menikmati sore itu bersama mas Salomo. Derit kereta luncur anak-anak Sarangan sudah mulai sepi. Aku menemukan kembali kehidupanku,
Kang Ceceppun yang setia mengikuti aku, di ruang sebelah dalang bertepuk tangan, juga tak aku pedulikan. Aku lupa dengan rayuan gombal Randa, maupun pujian Dokter Amir tentang aku yang dia bilang aku sebagai reinkarnasinya pacar beliau.
Tak kusadari lebih dari lima jam.  romatisme Telaga Sarangan telah kunikmati bersama Mas Solomo, dari aku ceritakan mimpi pagiku di tepian Sarangan dan Kenangnku dengan seorang pemuda Macho beberpa tahun silam itu. Hehehe ternyata pemuda Macho tersebut adalah Solomo. Walau dia dari SMA IPA, de Brito Jogya, rupanya dia tertarik masalah seni, dia melanjutkan pendidikannya ke Fakulta Teknik Udayana, Jurusan Seni dan Design Grafis yang belakangan demerger dengen ISI Denpasar.
Disana ia bertumbuh, mengenal seni adat dan budaya Bali yang rupanya tidak jauh berbeda dengan adat istiadat di keluarganya di Karanganyar. Dia berkembang dibawa nasibnya menjadi seorang pelukis yang cukup disegani, karena gaya hidup seniman menyebabkan pembawaannya tua. Biar tua nggap apa kalau memang jodoh kemanapun aku tak dapat bersembunyi.
Kulihat Mas Salomo, memencet mencet Smarphone nya. Ku bentak Mas Salomo. Saat begini masih chatting mas, apa tak menikmati puncak kebahagiaan ini mas. Oke dik Winda, justru karena sanat menikmatinya aku ingin membagikan beritai ini kesemua orang dekatku, terutama mama dan papa yang mungkin sangat menunggu keputusan kamu dik.
Ia aku lupa aku sering mengatakan mas, bahwa berita baik harus segera kita sampaikan kepada orang orang terdekat. Sekali lagi kupeluk mesra Mas Solomo, dia tetap cuek merespon sekenanya, secuek patungnya di bengkel. Dia berjanji besok akan menemani aku seharian menikmati Telaga Sarangan dan sekitarmya sampai Candi Plaosan, menengok Pak Brintik di Ngerong seorang teman papa yang biasa menemani papa ‘nangkil’ di Pauncak Lawu, mencari inspirasi dan membuang kejenuhannya sebagai kolektor dan seniman. Dia berjanji segera mengumpulkan keluarga besarnya bersama keluarga besarku, untuk menentukan Hari pernikahan, dengan segera sebelum purnama ke sepuluh tahun ini.
Dengan delman yang sama kami menuju hotel, dan dibawa kesebuah villa yang sudah disipkan khusus untukku oleh Mas Solomo. Dia pemuda lapok yang sangat menghormati wanita, bahkan sangat memanjaku. Kang cecep tetap menemani ku melewatkan kegembiranku. Dia tahu kalau aku gembira pasti akan tidurnya larut. Dia sangat tahu kebiasaanku.
Puri Gading, 1 Juli 2009


1 komentar: