Social Icons

Selamat Datang di Blog Itik-Bali

Selamat Jumpa Pembaca yang budiman, selamat datang di blog ini. Blog ini dibuat hanya untuk proses pencurahan hati dan ingin menghibur pembaca sekalian.

Dengan bahasa ringan sehari-hari, saya ingin berbagi cerita pendek yang mudah-mudahan bersambung, sehingga pembaca sekalian diundang untuk melepas lelah dan penat di blog ini.

Semoga pembaca sekalian menikmati dan terhibur setelah membaca. Tentu komentar dan saran anda sangat kami nantikan.

Salam

Sabtu, 03 Mei 2014

Sobar-8 Sura Bharata dan Wasiat Mama Lastri



“SURA BHARATA DAN WASIAT MAMA LASTRI”

Sebuah Surau di Kedamain Kampung
Sobar baru saja sembuh dari sakitnya. Dia sempat dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) lebih dari dua  minggu. Kata dokter sih untuk beristirahat total, karena beban pikirannya yang sangat berat. Sobar orangnya memang sangat tertutup kalau masalah pribadi, sangat kontras dengan sifat demokratisnya. Diapun kelihatan sudah kompak dengan para dokter di RSUP merahasiakan sakitnya, itu memang dapat dilakukan pasien, terlebih dia dirawat di Ruang VVIP, Mahottama. Itu semua permintaan  anak-anak laki-lakinya yang seniman, karena sangat banyak teman-temannya menjadi dokter residen di RSUP. Mungkin mereka tak mau mengganggu pikiran adik perempuannya Luna.


Kalau masalah pemilu legislative, karena dia sebagai salah satu caleg incumbent yang meraup suara yang cukup signifikan, kelihatannya bukan merupakan masalah yang menekan pikirannya. Masalah itulah yang menyita pikiran Luna beberapa hari belakangan ini. Lunapun rajin menemani Sobar saat dia di rumah, bersama Ibu Sobar yang memang seorang istri yang sangat setia kepada suaminya. Dia menunda semua urusannya di luar rumah sejak Sobar Sakit. Ia kelihatannya tidak pernah jauh dari Sobar.

Kulihat Bapakku Sobar, pagi ini masih mondar mandir di rumah, walaupun kelihatannya dia sudah siap berangkat, karena sudah selesai sarapan dan berpakaian lengkap. Dia tetap mondar-mandir, akan tetapi tidak seperti biasanya dia mondar mandir sambil menikmati alunan Cinta Durjananya, Reynold Panggabean. Itu berarti dia masih memendam masalah dihatinya, yang belum ditemukan solusinya.

Akupun menunda untuk pergi ke kampus, kebetulan agenda hari itu tak padat,aku ikut menemani ibu di dekat Sobar, serta menunggu keadaan lebih santai, kalau Sobar mau mulai berbicara seperti biasanya duduk santai di sofa, ataukan pergi berangkat kerja atau ke KPU untuk melihat hasil perhitungan suara di tingkat provinsi.

Kulihat Bapak merebahkan badannya di sofa, seperti biasa Ibu ku menemani duduk mendampingi sambil memijit pundak bapak. Akupun ikut bergabung setelah mengambilkan Bapak segelas air putih, kukira Bapak mau minum, ternyata dia menenangkan dirinya untuk beberapa lama, sambil memejamkan matanya. Akupun membuka sepatu Bapak ikut memijit kakinya.  Sambil berdoa agar bapak cepat sehat.

“Ayolah Pak, apapun yang bapak alami, sedih, suka kami juga ikut merasakannya”
“Berbicaralah pa tentang masalah yang Bapak alami saat ini, kami siap mendengarkanmya, syukur kami bisa ikut memberikan solusinya, sehingga bapak tidak terlalu berat menanggung beban”.
“Apa Reno, ada Luna” bisik Sobar.
“Tidak Pak, dia kelihatannya masih menyiapkan pameran lukisannya di Art Center Fakultas”

“Masa lalu memang tidak akan bisa di hapuskan atau di tip ex dengan penghapus yang bagaimanapun baiknya. Yang bisa kita rencanakan dan perbaiki dari masa-masa sebelumnya hanyalah masa depan, sehingga kita tidak mengulanginya kembali, seperti Pelanduk yang terantuk pada batang yang sama, walau dia dikatakan cerdik” Sobar mengawali perbicarannya.
“Maksud bapak apa Pak, bukankan Bapak sudah menceriterakan masa lalu bapak semuanya ke pada Ibu” sahut Bu Sobar. Demikian juga kepada Luna pak. “Ada apa ini pak?” tanya Luna dengan nada sedikit meninggi.

Nah itulah yang Bapak tidak tahu sebelumnya. Bapak tidak cukup tahu semua masa lalu Bapak. Bapakpun baru tahu saat bapak di rawat di Rumah Sakit. Orang yang menyampaikanpun bukan orang jauh,  tetapi mamanya Reno. Dia mengagetkanku saat dia cerita, kebetulan ibu tidak mendampingi Bapak saat itu, dan Lunapun lagi di luar ngobrol sama Reno. Akan lebih baik saat itu kalau ibu ada. Saat kami bertiga, Bapak, Papa, dan Mamanya Reno ngobrol di ruangan, tiba-tiba Mamanya Reno menanyakan nama asliku, apa benar itu nama ku seperti yang tertulis di papan pasien, Sura Bharata?.

Aku jawab benar, nama lengkapku Gde Sura Bharata dan orang-orang menyingkatnya dengan Sobar, apalagi di Bali yang bisnisnya banyak bersentuhan dengan bule, banyak nama yang disederhanakan kataku. Lalu dia menceriterakan cerita seorang kakak tirinya, Lastri. Nama itu mengingatkan aku kepada seseorang yang pernah kusayangi dan telah kukira sangat menyakiti hatiku.

Dia ceritakan bahwa Lastri telah meninggal dunia, tak lama setelah dinikahkan Abah –sebutan untuk nama Orang Tua Lastri-, bahkan apotiknya pun belum selesai. Karena Abah ingin dia kerja tidak jauh dari lingkungan keluarga. Ku ingat dia pernah mempunyai kekasih yang sangat dia cintai di Bandung. Dia itu orang seberang, dan pernah datang ke perkebunan diperkenalkannya ke Abah. Hanya saja dia tidak memperkenalkannya sebagai kekasihnya. Dia sangat takut kepada Abah. Padahal Abah sangat demokratis. Katanya juga sudah pernah diajak mampir ke rumah pacarnya, saat ada studi tour ke Pulau Dewata.

Singkat cerita, setelah menjadi apoteker, abah menikahkannya dengan seorang kepercayaannya yang sehari-hari ngurus perkebunan,. Dari segi fisik orangnya memang tampan, rajin sholat, dan pandai mengurus perusahaan, sehingga perkebunan Abah yang diurusnya maju pesat. Memang orangnya alim, rajin sembahyang ulangnya. Hanya kami semua kecolongan, tidak tahu bahwa dia seorang pedofili, dia sering melecehkan anak-anak pekerja kami. Karena Abah sangat dihormati,  maka orang tua anak-anak itu tidak berani mengadukan masalah itu ke abah,  berita ini disampaikan setelah mereka dinikahkan, Mbak Lastrilah menjadi tempat pengaduan para orang tua anak-anak tersebut. Mbak Lastri akhirnya semakin kurus, tak jelas sakitnya dan meninggal dunia. Mungkin menahan malu karena ulah suaminya.

Mbak Lastri meninggalkan dua surat wasiat. Pertama ditujukan kepada Abah, yang menyampaikan permohonan maaf Lastri, karena Lastri tidak sanggup menjadi istri seorang Pedofili, pilihan Abah, yang telah melecehkan secara sexual sejumlah nama anak-anak pekerja perkebunan, nama anak-anak itu ada ditulis lengkap pada wasiat tersebut. Nah karena Abah merasa bersalah, akhirnya memakamkan Lastri di lingkungan surau di areal perkebunan Abah, dan tidak memakamkannya di pemakaman umum, sebagai pengobat rasa sesal abah. Demikian juga usaha perkebunan kemudian diserahkan kepada Ibu Tua, ibu dari Mbak Lastri, dan kami, Abah bersama Ibu Anom, istri Abah ke dua, yaitu ibu ku, meninggalkan perkebunan dan pergi ke kampung ibu kami di Kemuning, Karang Pandang. Membangun Pesantren serta mengurus perkebunan keluarga ibu disana. Suami Mbak Lastri setelah kepergian Abah, kudengar meninggal karena kecelakaan di arael perkebunan, mobilnya mengalami rem blong.

Wasiat yang kedua, kalau tidak salah ditujukan kepada Gde Sura Bharata, kekasihnya. Dan dilarang untuk dibuka oleh siapapun termasuk Abah kecuali yang bersangkutan. Karena namanya juga wasiat, kaluarga tidak berani membukanya. Abah merasa salah besar dengan tindakannya menikahkan Mbak Lastri dengan orang yang salah, hanya sekitar dua tahunan setelah kepergian Mbak lastri, Abahpun juga meninggal dunia, dan beliau meminta untuk dimakamkan di dekat makam Mbak Lastri. Beliau berpesan wasiat ke dua, kalau memang harus milik si alamat, pasti akan ketemu. Jangan ada yang boleh membaca kecuali yang bersangkutan. Dan wasiatnya tidak boleh di bawa kemana-mana tetap disimpan di surau.

Nah siapa tau kalau Pak Sobar yang dimaksud Mbak Lastri, saya mohon dapat datang kesana untuk menziarahi makamnya, sambil kita buka bersama wasiat yang masih disimpan mama tua di sana di Singaparna Tasikmalaya.

Cerita mamanya Reno tersebut menekan pikiranku sehingga menjadi gelisah seperti ini, walau semua telah Bapak ceritakan ke mamamu Luna, tapi hal ini dia tidak tahu, dan akupun baru tahu. Ya seperti yang Bapak uangkapkan memang masa lalau, dosa, kesalahan tidak bisa kita hapus begitu saja.  Berbarengan dengan Mama, aku sampaikan ke Bapak “mumpung bapak masih sehat, ayo kita berziarah ke makan Mama Lastri”

Saat itu memang komunikasi tidak semudah saat ini Luna. Bapak tidak ada komunikasi sama sekali dengan Lastri, Surat Bapak pun tak pernah dia balas lagi. Bapak kira dia sudah melupakan bahkan telah mengkianati cinta Bapak. Bapak telah merasa dikhianati, kemudian balas dendam telah menyakiti belasan hati wanita yang sebenarnya sungguh-sungguh mencintai bapak, mencintai setangah hati, atau yang hanya menguras uang kriman dari kakek mu saja. Bapak merasa berdosa.

“Bagaimana ma, apa mama merasa Bapak sakiti?” tanya Sobar ke istrinya.
“Tak ada Pa, Mama malah kasihan kepada Bapak, telah tersiksa oleh masa lalu Bapak”
“Ya pa, kita rencanakan saja untuk datang bersama ke makam Mama Lastri, dan bersilaturahmi dengan keluarga yang masih ada disana, sambil melihat apakah wasiat untuk Bapak masih ada disana” sahut Luna.

OK. Kita rencanakan saja, bila perlu Bapak akan pergi secepatnya, kelihatannya saat ini ada penerbangan Denpasar Bandung beberapa kali setiap hari, kita bisa pergi bersama keluarganya Reno, kebetulan kata mamanya saat besuk, mereka sudah lama tidak pulang ke Tasikmalaya.

“Nah bagaimana dengan hasil pileg Bapak, apa tidak takut nanti dimanipulasi” sahut Luna.
“Akh peduli amat dengan hasil pemilu legislatif, toh Bapak selama ini mengharapkan tidak terpilih lagi, Bapak ingin menyenangkan mamamu, dan mendampingi cucu ku menapaki usaia anak-anaknya menuju remaja, aku mau mendekatkan diri lebih dekat ke Tuhan Sang Pencipta”

Luna pun memeluk Sobar, dengan sangat gembira sambil berbisik ketelinga Sobar “ Luna sudah lama ingin mendengar pernyataan Bapak itu. Terima kasih Pa”
Sobar tak sadar bahwa nereka bertiga telah berpelukan sambil berurai air mata. Sobar menahan air matanya, dia tidak mau anak dan istrinya melihat dia menitikkan air mata.

Sobarpun berterima kasih kepada kedua orang yang dia sayangi atas pengetiannya, terhadap masa lalau yang menyita pikiran dan membebani pikirannya beberapa hari belakangan ini. Reaksi Luna dingin seperti reaksi Lastri saat menerima cintaku.

Aku masih jelas mengingatnya, Lastri pulang sehabis wisuda apotekernya, dan aku masih menyelesaikan Skripsiku, dia langsung diboyong pulang ke Tasik oleh Abah dan keluarganya, yang hadir saat wisuda. Aku sengaja dilarang oleh Lastri hadir saat wisuda, dia khawatir aku minder karena belum lulus, kepada keluarganya.

Ya memang Sobar, mengalami odipus kompleks saat itu. Dia mencintai kakak kelasnya, beda Fakultas. Sobar di Teknik Sipil, dan Lastri di MIPA mengambil studi Farmasi. Apakah itu karmaku kini berbuah pada Luna yang juga dicintai pemuda yang lebih muda. Hanya saja Luna kan seorang Psikolog, dan Reno seorang Insinyur Sipil.

Akh karma atau apa, apa mungkin Lastri telah reinkarnasi menjadi Luna akupun tak tahu, Biarlah semuanya menjadi takdir dari Sang Maha Kuasa. Hanya saja aku melihat senyum Lastri ada di senyum Luna, dan kulihat ada tahi lalat yang sama di ujung bibirnya. Astungkara. Aku baru memperhatikannya. Apakah ini memang merupakan takdir. Sobar ingin menebus kesalahannya dengan menziarahi makam Lastri, serta mencari tahu wasiat yang ia tinggalkan. Siapa tahu masih tersimpan dengan baik.

Kata mamanya Reno, walau tidak menuduh secara terang-terangan kepada Sura Bharata, bahwa kematiannya sebagai ulah Sura yang tidak bertanggung jawab. Abah menunggu secepatnya pinangan Sura, sebelum mereka menikahkannya. Ternyata Mbak Lastri tidak dapat menghadirkan Sura saat itu. Maka terjadilah pernikahan yang mereka tidak inginkan. Pernikahan yang hanya merupakan penghormatan kepada Abah yang merupakan seorang ulama dan pengusaha yang sangat terpandang dikampung. Kematian Lastri membuat malu Abah sehingga memilih pergi meninggalkan perusahaan, memulai hidup baru di kampung istri keduanya  di Kemuning, sebuah perkampungan yang dikelilingi perkebunan teh, di lereng barat Gunung Lawu, dekat dengan candi Sukuh dan Candi Ceto. Suatu perkampungan yang sejuk. Disanalah mamanya Reno dibesarkan,

Reno menjadi benang merah yang mempertemukan keluargaku, terutama aku Sobar dengan mantan kekasih pertamaku, cinta pertamaku Lastri tepatnya Dra Lastri Apt. Yang pergi membawa cintanya yang suci. Betapa bodohnya aku, aku telah berdosa tidak mengawalnya pulang, dan hadir di wisudanya. Lho lho kok aku menyalahkan diriku sendiri. Ini kan permintaannya dia, tidak mengijinkan aku menghadirinya, menjaga perasaanku yang belum lulus, dan lebih muda terpaut sekitar 3-4 tahunan dari dia. Akhirnya aku tidak pernah menyelesaikan Insinyur Sipilku di ITB.

Lastri, Lastri sungguh mulia, cintamu. Kau meninggalkan aku, dengan membawa seluruh cinta sucimu. Meninggalkan luka yang dalam di hatimu dan di hatiku. Maafkanlah aku. Kini aku telah menemukan orang yang tidak jauh berbeda dengan sifatmu, dialah istriku, dan ibu dari anak-anakku. Hanya saja kalau kau lebih tua umurnya dari aku, dia lebih muda jauh sekali dariku beda sepuluh tahunan. Senyuman dan tanda-tanda lahirmu ada pada Luna, mungkkin kah dia renkarnasimu?.

“Luna, coba kau rencanakan perjalanan kita, keluarga Sobar dan keluarga Reno, untuk ber ziarah ke makam mama Lastri, sambil bersilaturahmi dengan keluarganya di Tasikmalaya, yang juga merupakan keluarga Reno”
“Ya pak, akan aku rencanakan segera dengan Reno, bila perlu kita mampir ke sekolah Bapak dulu di Institut Teknologi Bandung yang juga kampusnya mama Lastri, kita sekalian napak tilas kesana”.
Hari itupun sudah beranjak siang, kedengaran mobil Reno datang menghampiriku, mungkin mau menanyakan kenapa aku tak ke kampus hari ini.
“Nah itu kedengaran Reno datang, ayo Luna kamu samperi kita keluar makan bersama,  kita pergi ke restoran teman Bapak yang baru buka, katanya dia menyediakan aneka kepiting”

Kamipun pergi bersama untuk makan siang, mau menikmati kepiting di restoran “ King of Ribbs “ yang menghidangkan aneka kepiting.  Bonapetit.

Puri Gading, 4 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar