Social Icons

Selamat Datang di Blog Itik-Bali

Selamat Jumpa Pembaca yang budiman, selamat datang di blog ini. Blog ini dibuat hanya untuk proses pencurahan hati dan ingin menghibur pembaca sekalian.

Dengan bahasa ringan sehari-hari, saya ingin berbagi cerita pendek yang mudah-mudahan bersambung, sehingga pembaca sekalian diundang untuk melepas lelah dan penat di blog ini.

Semoga pembaca sekalian menikmati dan terhibur setelah membaca. Tentu komentar dan saran anda sangat kami nantikan.

Salam

Rabu, 14 Oktober 2015

De-Karma - 8" Rindik mencairkan suasana Keluarga Sri



“SOLUSI BUDE SEDERHANA, SESEDERHANA LANGGAM RINDIK"


Pemain rindik Bali (google.co.id)



Mentari telah meninggi, anak-anakku seperti biasa telah rapi dimandikan Bu De nya, anak dari Kakaknya Bapak, namanya Romawi. Dia tinggal sendirian di kampong, namun sejak anakku lahir Bapak memintanya ikut denganku di kota. Dia sangat terampil mengurus anak-anak, padahal dia belum memiliki anak. Karena dua tahun pernikahannya saat itu belum dikarunia anak. Suaminya seorang penabuh kendang Karnada mengalami kecelakaan sepulang dari mentas di Hotel, dia atas sepeda motor Vario nya. Kasiha Mbok Rama. 

Romawi, sesekali menari diiringi Bapak dan Suamiku yang lagi belajar menabuh gamelan, dan belajar rindik. Kami sekeluarga menjadi sangat terhibur, bahkan anak-anakku yang baru lancer berjalan ikut-ikutan diajarnya menari. Yah…. Memang lingkungan mempengaruhi pertumbuhan anak-anakku. 

Kedua anak kembarku, telah bergayutan berebutan meminta ‘nenen’ kehausan habis bermain-main berlarian dihalaman rumahku. Sambil aku berkemas mempersiapkan diri untuk menghadiri pertemuan, diskusi tentang virus VAR yang sedang menggila di daerahku saat ini. Penyakir anjing gila, atau rabies memang belakangan sedang endemic di beberapa kabupaten .

Aku sangat menikmati saat saat aku menyusui anakku, kuperhatikan mereka sudah semakin tinggi karena sekarang mereka senang naik kekursi menyusu sambil berdiri, yang satu di kanan menyusup dari ketiakku, dan yang satunya di kiri. Wah sejak kecil mereka sudah terbiasa berkompetisi. Romawi kudengar telah menyajikan santapan snack pagi, di tengah lamat-lamat suara rindik yang mengalun ditabuh suamiku Suchita dan Bapakku. Mereka sudah bisa saling bersahutan, dan Romawi karena dia penari ngerti juga dengan irama rindik. Dia mentor yang baik. Karena pelatih rindik hanya datang dua kali seminggu. Dan itupun kalau suamiku pas ada Bisnis di Bali.

“Sri… Sri…. Sri…… sudah siang, kok belum berangkat”.
“ Iya sebentar ini Sutero dan Sutera masih nenen ini, kasihan dia belum kenyang”.  AKu sudah siap kataku menjawab teriakan Bapak dari balik rindiknya.  Bude Romawi menghampiri kedua anakku mengajak pergi, “Ayo belajar nari yuk, sama Bude” katanya. Kedua anakku ke cium sayang sebelum dibawa Bude nya ke luar.

Suara rindik aku nikmati dari balik kamar riasku, kedua anakku digendong Budenya kri kanan, aduh mereka sangat lengket sekami. Terima kasih Tuhan kau telah menganugrahkan jalan bagi kami, punya saudara yang sangat terampil perhatian dengan anak-anak, terlebih dia sangat sayang kepada anak-anakku. Jadi kemanapun kami pergi dia pasti akan ikut.

Aku kembali bergabung dengan mereka, menikmati alunan rindik di pagi menjelang siang itu. Mentari semakin menjilat halaman Bale Gde ku dimana Bapak dan Suamiku menabuh rindik. “Lho kok balik” kata suamiku. “Iya ada sms tadi, katanya pertemuan di batalkan, karena beberapa peserta berhalangan hadir karena ada kegiatan di kampong mereka” kataku. “Iya hari ini kan  hari persembahyangan, lihat saja Bude kamu dari kemaren telah mempersiapkannya’ sahut Bapak.

Kutatap Sutera yang kulitnya lebih gelap dibandingkan Suteru, dia akan diajak Bapaknya ke Jepang beberapa bulan ini. Kesepakatan sementara keluarga Sutera akan dibesarkan disana agar dia terbiasa dengan kebudayaan ayahnya, sedangkan Suteru akan dibesarkan di kampungku agar dia berekmbang di tengah budaya keluarga kami. Bapak kelihatan sangat berkeberatan. Kamipun menjadi bimbang, karena kedua cucunya itu merupakan cucu dalam pertama dan kedua.

Akupun menjadi bimbang, walau aku masih punya proyek tiga tahun lagi untuk bolak balik Tokyo – Denpasar, demikian pula suamiku yang akan bolak balik Bali-Sinagpura-Vietnam dan Tokya, urusan bisnisnya. Terkadang masalah ini tak jarang timbul kembali menjadi polemic diantara kami, bapak, suamiku dan aku. Romawi belum tahu keputusan ini.

Kelihatannya kesempatan aku kembali duduk menikmati alunan rindik bersama anak-anakku menyaksikan ayah dan kakeknya merindik, digunakan Bude untuk me’banten’ sembahyang menghaturkan sesaji yang terkait dengan hari besar keagamaan hari ini.

Kasihan anak-anak, kasihan Bude, Kasihan Bapak kalau di pisahkan dengan anak-anankku. Suamiku masalah ini lebih banyak diam, dia hanya anak-anaknya tidak melupakan kebudayaan jepang, minimal dia tahu basic dan berbahasa Jepang katanya. Di Jepang rencananya akan di rawat oleh sepupunya yang punya akan hampir sebaya, tapi anaknya perempuan. Dia yang dipercaya sebagai salah satu Komisaris Perusahaan Farmasi disana.
Hubungan kami menjadi terkadang kaku, bila mememikirkan masalah ini. Suamiku lebih banyak diam, tetapi bapak sering megutarakan keberatannya. Demikian pula pagi itu, saat mereka beristirahat merindik menikmati kopi dan lemper ketan dan kue serabi yang dihidangkan Bude. AKu diam saja, karena aku memang karena pekerjaanku tidak bisa full merawat anak-anakku, lebih banyak ku percayakan Bude, namun diapun belum tahu keputusan ini.

Bude sampai selesai sembahyang dan kembali merapikan pakaiannya, ikut bergabung dengan kami. Dia ikut menyimak semua pembicaraan kami. Kami takut dia tersinggung kalau kami beritahu. Tiba-tiba ia nyeletuk:
“Aduh begitu saja kok dipikirkan adik-adikkua sangat berat” sela Bude.
“Maksudnya Bude” kataku
“Iya ini masalah anak-anak yang akan dipisah kan, Bapak pernah mengeluh padaku, beliau tidak mau dipisahkan dengan cucu cucunya, walaupun yang satu tetap bersama”
“Bagaimana kamu Suchita” Kataku
“Iya, aku ikur bagaimana baiknya saja agar tidak ada salah satu keluarga yang merasa dipisahkan. Aku mengerti keberatan Bapak” Kata Suchita.

Sekarang Bude, apa kamu ada usul atau pendapat yang bisa membuat semua pihak senang, aku minta Bude memberikan pendapatnya. “Kalau Bude memberikan pendapat, apa kalian mau terima, Bude kan hanya orang kampong, saja” Sahutnya. “Silahkan Bude” sampaikan saja biar kami bisa dengar bersama.
Bude meminta maaf kepada kami sebagai adik-adiknya ( walau sebenarnya sebagai ponakannya. Tapi karena tidak terpaut banyak umur kami, mai memanggil Mbak, dan membahasakan anak-anakku dengan Bude).
Iya Bude hanya memberikan pendapat yang sangat sederhana mengharapkan tidak ada yang tersinggung dengan pendapat atau usulnya. Bude mengusulkan keduanya tidak usah dipisahkan, biarkan dia tumbuh dalam dua budaya, budaya ayahnya, dan juga budaya ibunya. Dia mengusulkan agar keduanya dibiasakan dengan pekerjaan Ayah ibunya, kalau memang Sri masih punya proyek di Tokyo dan disini, Bude menyarankan anak-anak mengikuti pergerakan ibunya. Dan Bude mau mendampingi terus.

Bapak sangat berkeberatan dengan usulan itu. Namun setelah Bude menjelaskan dia tidak akan membiarkan pamannya hidup sendirian di rumah, Bapak ikut saja, sesuka bapak. Begitu oendaoat Bude. Oke Bapak setuju, sangat setuju  bapak akan menyusul cucuk bapak ke manapun di bawa bila bapak kangen. Kalian bisa bawa. Saat ada di Jepang cucu-cucuku ikut serta, dia bisa belajar budaya di kampung bapaknya. Demikian juga saat Sri ada dan kerja disini dia akan belajar dikampung kakeknya.

Oke oke oke, begitu kata suamiku. Dia sangat setuju dengan pendapat Bude, terima kasih Bude katanya. "Ini win win solution, hanya Bude akan lebih capek" kataku. "Tidak apa-apa Bude kan sudah biasa capek, dan sudah beberapa kali juga ke Jepang dalam lawatan tari terdahulu bersama group tari sekolahnya Kokar Bali. Seluruh keluargaku menjadi cair kembali hubungan semuanya, dan rindikpun mengalun lagi, dan Bude menarikan sebuah tarian joged, Asmaradana, Semarandana. Agar lebih ramai siang itu, dengan sisa-sisa ingatanku aku ikut ngibingi Romawi, sangat sengit tarian siang itu. Rindikpun semakin bersemangat…… keringat kamipun semuanya bercucuran, anak-anak kamipun tertegun melihat Ibunya ikut menari.

Ternyata aku masih ingat menari, dan dapat mengimbangi Bude Romawi walau nafasku kedodoran. Memang menjaga stamina dengan menari, disamping membuat senang, fikiran rileks olah tibuh juga sempurna. Sejak saat itu aku rajin latihan menari kembali untuk menjaga kebugaran dan melatih ingatanku, serta menyerasikan fisik dan mentalku, agar emosi selalu terjaga.

Siang itupun kembali cerah, solusi Bude kami rayakan bersama dengan pergi menikmati bebek goreng krispi, di Restoran langganan suamiku, Bebek Krispi Kunyit Putih, maknyusssss

Puri Gading, 15 Oktober 2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar