Social Icons

Selamat Datang di Blog Itik-Bali

Selamat Jumpa Pembaca yang budiman, selamat datang di blog ini. Blog ini dibuat hanya untuk proses pencurahan hati dan ingin menghibur pembaca sekalian.

Dengan bahasa ringan sehari-hari, saya ingin berbagi cerita pendek yang mudah-mudahan bersambung, sehingga pembaca sekalian diundang untuk melepas lelah dan penat di blog ini.

Semoga pembaca sekalian menikmati dan terhibur setelah membaca. Tentu komentar dan saran anda sangat kami nantikan.

Salam

Sabtu, 24 Oktober 2015

Sobar 18 : Musim Gugur Terakhir di Tokyo



“MUSIM GUGUR TERAKHIR DI TOKYO”

Musim Gugur di Tokyo (google.com)
Seharusnya Reno pulang ke Indonesia empat hari lagu, dan dia langsung bertemu dengan istrinya Luna yang telah menyelesaikan dan ijin belajarnya. Luna kembali ke almamaternya sebagai seorang psikolog pendidikan remaja. Beberapa pendidikan professional dia ikuti selama mendapngi Reno menuntut ilmu Bangunan Tahan Gempabumi di Tokyo University. Reno sibuk sengan seminar Indternasional memperkenalkan hasil risetnyaterkait teknologi gempabumi.

Terakhir dia pergi ke Dallas, Colorado seminar di USGS, dengan pakar-pakar seluruh dunia. Karena perkembangan tornado di belahan selatan Amerika Serikat, penerbangan Reno di tawari reschedule dan reroute karena beberapa hari penerbangan lewat Guam akan dihentikan menghindari Tornado. Iapun memilih balik lewat Tokyo, dia akan memberikan surprise ke istrinya, dan akan pulang bersama ke Indonesia.
***
Senja itu aku seperti biasa bersama teman teman pergi kepantai dengan sepeda motor, menikmati mandi di deburan ombak, berlari bersama menyusuri bibir ombak yang menjilat pantai di keremangan sore itu. Dara anak petani garam kulita masih saja giat bekerja membuat garam, mereka menjadi tontonan para remaja putra yang juga ke laut sore itu.

Tak terasa sore itu kami sudah kelelahan, badan pada lengket kami berendam seperti biasa di kuala, muara pertemuan air sungai dengan air laut sehingga airnya masih bisa membuat air sabun mengeluarkan busa. Aku bercengkerema dengan teman-temanku. Membilas badan dengan air tawar dan mempersiapkan diri untuk pulang. Aku perhatikan jelas tanjung menutupi muara tempat aku membilas, ditimur sebuah tanjung, yang tidak terlalu menjorok, sehingga pantai Tanah Lot dengan Puranya masih samar-samar terlihat dari tempatku.

Di barat pantai semenanjung, yang sering kusebut sebagai Jung, dengan beberapa pohon kelapa yang tinggi, membuat temaran jingga senja itu semakin romantic. Kuperhatikan beberapa pasang remaja masih berasyik masyok dengan pasangannya menyongsong malam, melewati sandya kala. Kami berbegas pulang dengan motornya masing-masing, sehingga kelompokku meninggalkan deru yang kuat di keremangan sore itu meninggalkan pantai.

Kupacu motor perlahan, sama teman-teman larinya kira-kira 20 km/jam. Paling-paling dari pantai ke rumah lima belas menitan. Ku terkejut didepan rumahku, banyak sekali orang bergerombol. Ku taruh motor begitu saja di pinggir jalan, dan menerobos masuk ke pekarangan rumah. Aku lihat dengan jelas seorang telah dimadikan.

Siapakah dia hatiku berdegup lebih kencang. Keterobos kerumunan orang, ternyata tubuh ayahku Sobar terbaring dimandikan tangan-tangan kerabat. Beberapa ibu-ibu melantunkan kidung kematian. Kidung mengatar roh kembali ke Sang Maha Pencipta. Air mataku tak dapat kubendung, aku menangisi jasad itu disampingnya. Para kerabat melarangku ikut memandikan. Kenapa, kenapa, aku kan anaknya? Tanyaku.

Mereka semua memandangku dengan tatapan penuh curiga. Dan isak tangiskupun semakin kuat, hanya saja kutahan jangan sampai menambah gaduh suasana. Kucari mana Ibuku, mana kakakku. Tidak aku lihat satupun kakakku. Bagaimana ini saudaraku. Aku mencari kesana kemari, kutemukan Ibuku sedang kusuk memanjatkan doa di amben bawah lumbung padi kami> Dia ditemani anak-anakku dan keponakanku semua. Mereka tetap saja bergayur, ada yang memegangi tangannya, dan dikecil kulihat duduk di pangkaun neneknya.
Aku tidak berani menganggunya. Kulihat Ibu sangat tabah. Dia kuliah pasrah melepas kepergian ayahku, Sobar. Beberapa bulir air bening menetes dari sudut matanya yang masih kulihat sangat lentik itu. Itu kelebihan Ibuku, kecantikannya lebih menonjol dari bentuk matanya yang indah, yangs sangat sering dipuji ayah kalau lagi memuji ibu.
Apak anak-anakku dan saudara sepupunya tidak tahu kalau kakeknya meninggal, dan sedang dimandikan di bale-bale. Akh kudengar sangat merdu kidung itu, dan mantram pemuput pemandian jenasah sangat pilu, walau genta itu biasa kudengar suarnya. Tapi kenapa kali ini sangat memilukan. Ketika badan itu diangkat dan dibaringkan kembali di Bale Suka Duka, aku tak tahan melihatnya.
Tak sadar aku teriak kuat-kuat Ayahhhhhhhhh, Ayahhhhhhhhh………………………………… sampai-sampai aku tak sadar bahwa suamiku telah duduk disebelahku, emnyodirkan segelas air putih. “Reno, Ayah ………..?”

Aku peluk suamiku, dengan ingatan yang masih kacau. Kuminum air putih itu, Pelan-pelan aku tersadar bahwa aku masih di Tokyo. Iya kami masih di Tokyo. Reno rupanya tidak mau memberitahukan reroute dan reskeduling penerbangannya. Karena perkembangan tornado dan lebih cepat selesai kegiatannya di Universitas Colorado. 

Kami duduk di teras, kami lihat jelas sosok Gunung Fujiyama dari kejauhan, bagai seluet di terangi fajar galang kangin saat itu. Masih ada sisa kopi dan snack yang kupersiapkan dibawa dalam penerbangan pulang ke Indonesia, kunikmati bersama pagi. Itu Reno menceritakan bahwa tidurku sangat pulas, beberapa kali berteriak, dia tidak berani mebangunkan aku. Karena memang mulanya dia ingin memberiku surprise, ternyata dia sampai lewat tengah malam, dan aku lupa mengunci pintu. Rupanya aku kecapean packing barang-barang mau pulang.

Reno bercerita, beberapa kali Bapak menelpon menanyakan penerbangan kepulangan kita. Beliau kaget saat aku yang terima, karena beliau tahu aku rencananya langsung pulang. Tapi kujelaskan kendala-kendala terutama tornado itu beliau faham, bahkan bersyukur tahu sebelumnya. Itulah perakiraan cuaca memang sangat diperlukan dalam sebuah penerbangan.

Kami menikmati pagi dinihari  itu berdua, di teras rumah kami di tepian kota Tokyo meikati kopi susu kesukaanku, seperti saat-saat pacaran dulu. Bahkan aku lupa bahwa kami sudah ada anak tiga.Kelupaan itu mungkin terbawa suasana, karena anak-anak kami sudah dijemput kakek neneknya enam bulan lalu saat menjelang hari raya. 

Tiba-tiba telepon bordering, di kejauhan Luna mendengan suara Sobar…. Halo Luna Kengken Kabare?, Luna tidak bisa berbicara apa-apa, kulihat dia menangis tersedu lagi kuikuti pembicarannya dengan jelas karena ia pasang speaker saat telponan. Dia ceritakan bahwa Luna memimpikan Sobar telah meninggal dan di mandikan dalam mimpinya. Mimpi itu belum dia ceritakan kepada ku. Kujelaskan bahwa terkadang mimpi itu berbalikan dengan keadaan sebanarnya, karena Bapak menceritakan bahwa beliau baik-baik saja. Kebetulan karena terbangun subuh beliau nelpon kami. Sobar seperti biasa lebih banyak menceritakan laporan pandangan mata semua keluarga di sana, dari Bapak dan Ibu Sobar, Ayah dan mama ku, ketiga anakku serta semua keponakanku, disamping beliau hanya menanyakan nomor penerbangan kami. Kebetulan walau reroute kami dapat nomor penerbangan yang sama dengan Luna.

Pagi tiu kami bergegas mandi dengan Luna terus sembahyang memanjatkan doa dan puji syukur, apa yang dialami Luna rupangan hanya dalam mimpi saja, Dia rupanya kecapekan habis packing segala barang yang masih harus dibawa, sisa yang kami kirim pakai container lewat jasa pengiriman. Kami berdua ingin menikmati kota Tokyo berdua dalam dua-tiga hari terakhir ini, sebelum mengucapkan Sayonara.

Puri Gading, Medio Oktober 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar