Social Icons

Selamat Datang di Blog Itik-Bali

Selamat Jumpa Pembaca yang budiman, selamat datang di blog ini. Blog ini dibuat hanya untuk proses pencurahan hati dan ingin menghibur pembaca sekalian.

Dengan bahasa ringan sehari-hari, saya ingin berbagi cerita pendek yang mudah-mudahan bersambung, sehingga pembaca sekalian diundang untuk melepas lelah dan penat di blog ini.

Semoga pembaca sekalian menikmati dan terhibur setelah membaca. Tentu komentar dan saran anda sangat kami nantikan.

Salam

Sabtu, 16 Januari 2016

Winda 2 : Kerinduan Winda Kepada Ayahnya -1



“MAESTRO DAN KERINDUAN WINDA PADA AYAH”


Sungai Ayung dengan Kedamaiannya
“Cinta Memang Indah
Kala Kita Masih Bersama
Namun Tiada lagi kalau
Kau disana ku disini”
Benar juga ya pikir Winda tentang syair lagu tersebut yang dia dengar sayup-sayup terbawa angin di kala dia duduk di tepian tebing memandang aliran Sungai Ayung, yang menjadi bibir Villa Aryawinda. Cinta itu sangat indah kalau lagi berdua, tapi kalau sudah bubaran pasti ada yang merasa tersakiti dan terkhianati. Sudah dua hari dia di Bali, sambil menunggu pelukis yang hendak dia kunjungi, Winda direkomendasikan untuk menikmati Bali Timur dan Utara. Dia ditemani Mangde, sang sopir yang sedikit Jaim, yang selalu memakai kaos bajuri –itu lho yang tidak berlengan- sehingga bulu keteknya yang panjang melambai, dengan celana jin sepatu kets, dan tidak pernah lupa kacamata hitam Ray band nya. Dia selalu wangi dengan parfum yang bermerk.

Aku sampai hafal diskripsi sopir merangkap gaidku selama di Bali, dia sangat lihai menyetir Ceroke yang telah disiapkan Sang Maestro Pelukis yang akan aku temui. Jangan-jangan aku jatuh cinta sama dia ya. Dia sangat hafal lagu-lagu SID, yang menemaniku diperjalanan.
Aku baru mendapatkan balasan email saat persis hari keberangkatanku. Dia mempunyai kegiatan berpameran karya lukisannya di Berlin. Hari ke tiga sore aku di Bali katanya dia akan sampai, sehingga waktuku untuk bertemu baru pada hari ke empat. Sehingga aku punya acara bebasku sampai hari ketiga. Pada hari ketiga aku berkeliling kampoeng menyusuri persawahan di pinggiran Sungai Ayung, menikmati gemercik air dan teriakan para pengarung jeram di Ayung. Dapat kusaksikan bagaimana cerianya mereka, serta bagaimana ketakutan nya bila mereka tak siap.
Sudah hampir sejam aku menyaksikan lalu lalangnya petani diseberang sungai, memindahkan padi dari sawah kerumahnya. Membuat hatiku damai. Kue jajanan pasar yang disiapkan di Bale bengong dekatku belum juga aku sentuh. Aku keasyikan menikmati suasana alam, yang masih asri. Memang Bali seperti kata orang tak ada matinya, sing ade matine.
Pikiranku melayang jauh, kembali kebawa ke persoalan terakhirku. Aku dicumbu mesra kekasihku, yang sudah pantas aku panggil Ayah. Namun aku tak kuasa menguasai rasa ini. Rasa dalam hatiku yang mengalahkan segalanya. Aku terbuai, walau dia menghindar tetapi aku mengejarnya. Sama dengan apa yang tertulis dalam Sarasamuscata :”Kalau cinta itu –baca birahi- sudah bergolak dia tidak akan peduli dengan lingkungan, entah lelaki muda, lelaki remaja ataupun tua akan tetap di kejarnya” Dia hanya tahu bagaimana melepaskan rasa cinta itu, akan dilampiaskannya dengan sangat agresif.
Aku menangis tersedu air mataku meleleh membasahi pipiku, aku mengomel terus. Aku keluarkan semua unek-unekku. Tapi dia tetap saja memandangku dengan senyuman khasnya. Senyum itu memang tidak pernah hilang dari pelupuk mataku. Cintaku memang tak salah, namun hanya perbedaan reinkarnasi kami yang berbeda.
Aku terkaget saat kakiku terjatuh di tepian Bale Bengong. Ya Tuhan, rupanya aku sempat tertidur dibuai angin semilir kali ayung, ditengah sayup-sayup lagu lagu Rinto Harahap yang mendayu di putar . Kayaknya ada masyarakat yang punya hajatan, yang memasang loudspreaker, memutar lagu-lagu jadul. Lagu itu memang bukan jaman aku, namun masih kena di telinga.
Cinta Memang Indah, Bila Kita Masih Bersama, Namun tiada lagi….. kalau lagi begini. Setelah kutersadar melek, aku menimati jajanan pasar yang disiapkan villa. Sepiring kecil ‘pisangrai’ dan kelepon serta wedang jahe yang sudah sedikit dingin aku nikmati. Puji Tuhan hari ini aku sangat happy.
Rupanya aku tak memperhatikan Mangde sudah menjemputku, dia menawarkan aku untuk pergi ke Pantai Pandawa, sore ini. Terus dilanjutkan dengan menikmati Sunset di Pantai Kuta, terus aku ingin menikmati dugem sesekali dengan Mangde di Had-Rock Kuta. Kami sengaja sedikit santai , akan berangkat setelah mentari miring ke barat.
Kali ini Mande ku lihat tak kalah gaul pakaiannya, tetap seperti biasa namun ditambah rompi kulit, dengan sarung tangan kulit. Aku geleng-geleng kepala melihatnya. Memang dia gaid professional. Tahu jalan-jalan utama maupun jalan tikus di Bali, memahami semua objek wisata. Tak salah Pak Maestro menunjuknya untuk menemani aku selama di Bali sebelum ketemu dengannya.
Mangde walau pakaiannya agak metal, namun sopan santun ketimuran sangat dia pegang teguh. Dia pemuda desa dengan selera metropolis. Hanya saja kuperhatikan lagu-lagu yang dia senandungkan ke banyakan lagu bali, diantanya yang masih kuingat:
“Hei Kawan Bila Engkau Ke Bali
Jangan lupa kabari Aku
Akan aku jemput dikau
Dibandara Ngurah Rai
Agar kita bisa
Nikmati bersama
Arak Baliku yang garang”
Aku masih inget syairnya karena memang memakai bahasa Indonesia. Menurut aku seniman Bali itu sangat kreatif, hanya saja syairnya kebanyakan syair local sehingga tidak kelihatan kiprahnya dalam percaturan lagu-lagu pop atau rock nasional. Itulah Bali kata Mangde, dia akan terus dicari untuk dinikmati keindahannya.
“Nih nikmati Winda, tadi aku sempat mampir di Warung Nasi, Kubelikan kau Nasi Bali dengan Sayur undis, lengkap dengan pepes belut, pindang goreng dan tentu saja sambal matah” Kata Mange. Memang kemaren diperjalanan pulang dari Lovina kami sempat membicarakannya. Itu lho undis itu sama dengan kacang gode, seperti kedele tetapi kriput. Kucoba nikmati, kuajak dia bareng.  Tapi dia menolaknya karena dia telah makan diwarung itu tadi.
Sangat eksotik rasanya, sehingga aku menikmatinya, kuhabiskan sayur dan lauknya, walau nasinya hampir utuh. Dan Mangde tidak kulihat beberapa waktu kemana ya ia. Aku nikmati pindang dengan sambal matah bersama pepes belut, yang merupakan jenis masakan yang baru pertama kali ku makan. Akhirnya Mangde datang dengan dua buah cangir dan sebuah poci. Dia bilang lupa menyajikan ‘tuak manis’ (air nira) untuk minuman dalam rangkaian menikmati, kuliner pedesaan ini.
Kami menikmati sekali tuak manis yang Mangde bawa. Dan akupun pamit kepadanya untuk pergi mandi dan mempersiapkan diri untuk ngehunting sore sampai malam ini menikmati keindahan kaki Pulau Bali, dan keramaian malam di Kuta. Aku pingin menggerakkan badan turun melantai bersama Mangde. Hehehe Jangan-jangan aku jatuh cinta padanya.
Mangde, aku pamit dulu ya….. aku mau mandi…….. Daaaaaa
Puri Gading, 17 Januari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar