Social Icons

Selamat Datang di Blog Itik-Bali

Selamat Jumpa Pembaca yang budiman, selamat datang di blog ini. Blog ini dibuat hanya untuk proses pencurahan hati dan ingin menghibur pembaca sekalian.

Dengan bahasa ringan sehari-hari, saya ingin berbagi cerita pendek yang mudah-mudahan bersambung, sehingga pembaca sekalian diundang untuk melepas lelah dan penat di blog ini.

Semoga pembaca sekalian menikmati dan terhibur setelah membaca. Tentu komentar dan saran anda sangat kami nantikan.

Salam

Senin, 25 Januari 2016

Winda 3 :Pa, Apakah hati ini bisa diajak berdamai.



“PA, APAKAH HATI INI BISA DIAJAK BERDAMAI?”

Taman Tirta Gangga
Seharian penuh aku berkeliling beberapa lokasi yang sangat eksotik dengan Maestro, cukup melelahkan rasanya padahal aku hanya duduk disebelah Maestro yang masih gesit menyetir mobil, walau umurnya telah memasuki kepala enam. Aku merebahkan diri di sofa, sambil memperhatikan cecak yang saling berkejaran bercumbu dengan pasangannya di plafon villa. Aku melihatnya begitu romantis, bagaimana dia saling berciuman, saling kejar terus melakukan hubungan. Aku merasa diledek oleh kemesraan kedua bilnatang melata tersebut, pada saat mereka menyuarakan cek-cek-cek-cek-cek, tanda kepuasan mereka.
Maestro walau sudah tua dia masih senang menyetel lagu remaja di mobilnya, walau suaranya lamat-lamat berpacu dengan angin yang menerjang kupingku. Aku memang bepergian seharian ini menggunakan sebuah mobil terbuka, VW safari berwarna merah hati. Aku tak tahu kenapa aku menyenangi kendaraan ini, walau Maestro menawarkan beberapa pilihan ketika kami mampir ke galerinya. Disana kulihat terparkir beberapa mobil sedan dan jeep, seperti Mercy C –Class, Honda CRV, Nissan Teana, Jeep Ceroke maupun sebuah Hammer Hitam. Tapi aku sudah merasa nyaman dengan VW Safari yang ia gunakan menjemputku pagi tadi.

Lagu Iwan Fals, Buku ini aku pinjam menyemputku untuk menikmati udara pagi tersebut. Aku tak hafal syairnya, karena memang beda generasi, namun penggalan syairnya seperti : “ Dia Tahu…. Dia Rasa….. Cinta ini milik kita…… Di kantin depan kelasku….. Disana engkau kutunggu……… “ dan seterusnya. Sangat mengena dengan hatiku yang lagi galau, menjadi sirna. Apalagi Maestro sesekali memperhatikanku. Rambutnya yang gondrong mengingatkan aku dengan seorang pria yang baru beberapa minggu lalu memutuskan cintanya kepadaku.
Kuperhatikan sesekali, kelihatannya sangat mirip, hanya beda dia lebih gemukan sedikit, dia lebih serius sedikit tidak se romantic Maestro. Sama-sama suka berguman bila mendengarkan sebuah lagu, dan sama-sama tahu hati seorang wanita, tepatnya tahu kemauan seorang wanita seperti aku ini. Tidak Maestrao, tidak Mangde semuanya terkesan dihatiku, dia akan ku ingat lama di relung hatiku. Sampai aku bertanya dalam hati, apakah aku jatuh cinta?. Apakah dengan mudah aku melupakan dia yang baru melepaskanku.
Aku memang egois, aku yang meminta dia melepaskanku. Karena setiap bercumbu dia tidak mau memberikan aku puncak kenikmatan, dia hanya membelaiku, menciumku dengan ciumannya yang membuat aku sampai terbang ke langit ke tujuh. Dia tidak mau, dia tidak mau dengan alasan yang aku tak tahu. Mungkin karena umurku kurang dari separuh umurnya kala ku kenal, sejak dua-tiga tahun lalu.
Akh lupakan itu, walau kenangan manis dengannua. Aku kembali keingatanku, pengalamanku sehari ini dalam mencari tahu dan menemukan orang tuaku.
Setelah sekitar sepuluh menit aku meluncur dari galerinya Maestro, kami berhenti disebuah pasar wisata yang sudah buka sejak subuh. Banyak sekali pengunjungnya, kami duduk di meja yang ada di teras. Rupanya Maestro sudah membookingkan meja tersebut. Beberapa pasangang bule kulihat masah kusut masai menikmati hidangan yang disajikan diatas meja, sama setiap meja. Ada nasi bungkun yang dikenal dengan nasi jingo, kubaca labelnya, nasi ikan, nasi ayam, nasi kuning dan nasi babi. Demikian juga ada kue ‘karud’, kelepon, laklak –serabi-, jadah panggang, dan lempog –getuk-. Itulah menu pagi ini. Aku hanya memilih sebungkus nasi kuning, dan sebungkus kue karud. Kuenya warna warni hijau dan merah, yang pewarnanya menggunakan warna alami yaitu buah tengolo untuk merah dan kayu suji untuk warna hijau.
Maestro memperhatikan saat aku menikmati nasi kuning, yang sebenarnya adalah nasi putih yang diaduk dengan sambal mbo, sambal kelo, kelapa parut goreng manis setengah matang, telor dadar, serta lawar kelapa muda yang diparut kasae. Sangat nikmat menurutku, apalagi pedasnya cukup nendang di lidahku. Maestro mengatakan gaya makanku mengingatkan dia pada seseorang yang pernah hinggap dihatinya.
Kue karud kunikmati dengan mesra berdua dengan Maestro yang dengan telatennya menyuapi aku kue tersebut. Seperti menyuapi anaknya saja.  Aku merasa ada sifat lembut kebapakan yang dia keluarkan saat menyuapi aku. Kubiarkan dia bernostalgia, karena aku denganr dari Mangde, dia memiliki dua anak, seorang laki-laki yang sulung dan wanita yang bungsu. Ada sesuatu yang kurasakan hilang, kudapatkan pagi ini. Sampai aku tak sadar Maestro kupanggil dengan sebutam Papa.
Oke Win, kamu panggil aku Pa saja, tak usah panggil Mas, Bli atau Pak. Biar lebih akrab katanya. Tapi menurut aku lebih mesra. Apalagi mantanku memanggilku dengan Wie dan aku memanggilnya Pa. Sehingga aku tidak canggung lagi. Iya pa jawabku. Aku diajaknya menyusuri pantai Kusamba, meluncur ketimur sehabis sarapan menuju Taman Wisata Tirta Gangga. Disana aku banyak bertanya pada Pa Maestro, tentang Papaku.
Dia mengatakan sangat kenal dengan papaku, demikian juga dengan mamaku. Bahkan dia mengatakan pernah di taksir mamaku. Mamamu orangnya nekat, dia tidak pedulikan perbedaan yang menghadang pasangannya. Kalau dia ada mau dia akan perjuangkan sampai dia dapat, atau dia tinggalkan dan melupannya. Namun masalah dengan papamu kelihatannya tidak demikian.
Foto lukisan yang kau beli dari aku, itu memang modelnya mamamu setelah aku cek kepada pelukisnya. Itu dilukias saat kau masih belum lahir, saat dia baru melahirkan kakakmu. “Akh kakakku. Apa aku pnya kakak pa?” tanyaku. “ Iya setahu aku kau punya kakak, bahkan namanyapun pa tahu Andara”. Air matakupun tak dapat kubendung, mengalir spontan saat Maestro sebutkan aku mempunyai kakak.
Aku minta dia mengantarku untuk menemui kakakku dan papaku, namun Maestro tidak mau memenuhi, karena dia tidak atau tepatnya belum mendapatkan mandat dari mama untuk mempertemukan aku. Jadi kesimpulanku hari ini, bahwa papaku masih ada dan aku memiliki kakak lelaki.
Aku harus menuntut mama untuk mempertemukan aku. Aku tahu mama sangat egois. Namun akupun tahu mama sangat mencintai papaku. Buktinya sampai saat ini beliau belum menikah lagi. Jangankan menikah, mungkin tertarik laki-laki lainpun mama enggak. Apakah cintanya sangat besar pada papa, atau miugkin mereka telah berjanji satu sama lain. Akh aku tak tahu. Aku harus cari tahu. Pa kasih tahulah aku sebelum aku balik, siapa papaku, siapa kakakku. Walau kau kenalkan aku Cuma wajahnya saja tak perlu dulu berbicara dengannya.
Sabar, itu yang selalu dia katakana, “Aku tak dapat mandat memberitahu dari mamamu, Sandara Savitri”.  Lama-lama aku bisa jatuh cinta sama pa Maestro. Aku tak sadar bahwa aku telah glendotan di pangkuannya di sebuah Bale Bengong di Tirta Ganggia. Diapun sempat membelai lembut rambutku yang panjang tergerai di amuk angina sepanjang perjalanan.
Mentaripun sudah condong ke barat, kami di ajak pergi ke pantai Candidasa, kami menikmati hembusan angina pantai sambil menyaksikan hilir mudiknya kapal Ferry yang mengangkut penumpang menyeberangi Selat Lombok menuju atau meninggalkan Pantai Padang Baio, dan kapal tangki yang menganguk BBM ke Bali.
Ikan, cumi dan udang bakar yang dihidangkan dengan plecing gondo dan sambel matahnya, telah kulahap habis. Maestro seakan tahu kesenanganku. Dia memesankan aku dengan rasa sambal yang pas. Semua pesanan memang Mestro yang mengaturnya. Memang dalam surelnya kepadaku dia yang mentraktir aku selama di Bali. Dia sangat menghormati pelanggan lukisannya.
Pa, pa sudah berapa wanita yang pa anterkan dan perlakukan seperti aku ini. Tanyaku dalam hati kepada papa Maestro. Aku tak berani menanyakan langsung aku takut menyinggung perasaannya. Sekali lagi aku takut. Aku takut kalau aku jatuh cinta kepada salah satu dari mereka, Maestro atau mangde. Mereka berdua ada dalam kriteria lelaki impianku. Tipikel lelaki ‘jantan’ dan sedikit liar, tipikal pria Bali yang bekerja di ranah wisata. Itupun kata mamaku. Hahahaha benar juga ya.
Saking nyenyaknya tidurku malam itu, ternyata membuatku terbangun kelabakan pagi itu. Aku buru-buru mandi mempersiapkan diri seadanya karena pesawatku pesawat pertama, begitu juga siang ini aku punya janji bisnis dengan klienku di Jakarta. Dengan sedikit keburu-buru aku kerestoran, disana Maestro dan Mangde telah menunggu ku. Aku bergabung, sarapan sedikit terus meluncur ke bandara.
Rupanya hanya Maestro yang mengantarkan aku dengan seorang sopirnya ke bandara. Satu paket lukisan yang telah dia siapkan sebagi oleh-oleh kepadaku menemani aku berangkat ke Jakarta. Dia mengantarkan aku sampai ruang tunggu. “Pa terima kasih atas kebaikan dan perhatiannya selama aku di Bali”. “Oke You welcome katanya” sambil cipika cipiki, tak sadar aku telah memegang tangannya, aku pamitan mencium tangannya, dan diapun kulihat berkaca kaca saat itu’. Selamat jalan jangan lupa begitu kau sampai di Sukarno Hatta, kabari pa ya.
Mendarat di Jakarta, kubuka HP ku, WA masuk. “Selamat Datang di Jakarta, diantara orang-orang yang kau temui beberapa hari dalam kunjunganmu, Winda kau telah pernah berjumpa dengan dua orang yang kau cari. Mudah-mudahan mamamu bisa menjelaskan, setelah melihat titipan lukisan yang kau bawa, sebagai titipan dari papamu” Salam Pa.
Pikiranku menjadi kacau, aku lama terduduk di ruang tunggu bagasi hanya memandang kosong dan tak melihat porter yang sudah mendorong barang-barangku, lama diam di depanku serta Opang supirrku sudah memanggil-manggil aku. Terima kasih Maestro, terima kasih pa…… Apa kau akan menjadi tempat benturan cintaku lagi…. Akh aku belum mau jatuh cinta dulu….. tapi apakah hati ini bisa diajak berdamai.
Puri Gading, Purnama Kawolu, 2016


Tidak ada komentar:

Posting Komentar