Social Icons

Selamat Datang di Blog Itik-Bali

Selamat Jumpa Pembaca yang budiman, selamat datang di blog ini. Blog ini dibuat hanya untuk proses pencurahan hati dan ingin menghibur pembaca sekalian.

Dengan bahasa ringan sehari-hari, saya ingin berbagi cerita pendek yang mudah-mudahan bersambung, sehingga pembaca sekalian diundang untuk melepas lelah dan penat di blog ini.

Semoga pembaca sekalian menikmati dan terhibur setelah membaca. Tentu komentar dan saran anda sangat kami nantikan.

Salam

Rabu, 01 Januari 2014

Rani-12



“TAJEN AJANG SPORTIFITAS”


Memang kalau badan petualang  alam seperti Cokde tahan banting, kami aku, Yande dan Nitami sepulang dari Yogyakarta sakit semua. Cemua terkena flu yang sangat menyiksa sehingga kami tidak beraktipitas untuk beberapa hari. Tahun baru telah diambang pintu para wisatawan lokal dan wisatawan manca negara sudah datang di pantai KUta mereka hendak melepas matahari tahun 2013, dan besoknya siap-siap menyambut matahari 2014 di Pantai Sanur.

Pagi itu kamipun berjalan jalan menyusuri pantai Sanur, untuk menghirup segarnya udara pertama di tahun baru ini. Dikejauhan kulihat sembarut jingga telah di ufuk timur, banyak yang memasang kamesa dengan stand dan gayanya masing-masing, mereka berjejer di sepanjang tepian pantai Sanur yang menghadap ketimur.  Wibawa Gunung Agung terlihat gagah didepan kami, seakan menyapa kami dengan ungkapan Selamat Tahun Baru, semoga ka uterus bertambah sukses di tahun yang baru ini.


Di kejauhan aku melihat dua pasangan yang selalu memperhatikan kami yang sedang berjalan, berkeringat di pantai sambil kaki kami tersentuh dijilat bibir air laut yang sudah mulai me masang pagi itu. Aku biarkan saja memang dikeramaian, aku takut dibilang ke GeeR an, kalau aku juga memperhatikan mereka. Aku terus saja berjalan, Cokde sangat sibuk dengan kamreanya menyambut moment matahari pertama terbit di tahun ini.

Disaat aku sedang duduk di samping Cokde untuk rehat sejenak minum soft drink yang kubawa, tiba tina mereka sudah ada di dekatku. Mereka berteriak, Ratna… Ratna….. . Lho kok ada yang memanggil namaku, itukan panggilan lain namaku, Ratna Ningsih, yang sering di singkat Rani. Ku toleh, dan berteriak. Heee Susi……. Susilawati.  
“Selamat Pagi Ratna’.
“Selamat Pagi. Sus, apa kabar”.

Aku berkenalan dengan teman Susi, Wanjo katanya. Ya ini Wanjo…. Wayan Joko, suami aku.  Aku pas pulang ke kampong akhir tahun ini, dan kami menikmati nya sambil menunggu matahari awal tahun ini. Wah kamu beruntung. Karena matahari pagi ini sangat cerah, mendungpun hanya disana sini sehingga menambah indahnya pagi ini.

Setelah mendapatkan moment yang ditunggu Cokde mendekat, dan kuperkenalkan kepada Susi dan pasangannya.
” Cokde……?”
“ Ya saya Cokde, siapa ya, apa kita pernah bertemu?.
“Iya saya Joko. Wayan Joko… Waktu SMA dulu aku pernah berobat di Tempat Peraktek Dokter, di kampong”
“Maaf mungkin saya lupa, maklum karena sangat banyak pasien yang silih berganti datang”

Ini calon suamiku, datang ya nanti kalau saat pernikahan kami, tawaran Rani kepadanya. Tidak lama lagi kok, akhir bulan ini rencananya. Semoga kau berbahagia Rani, aku saja sudah ada dua anaknu. Mereka tidak mau gabung aku kesini, mereka lebig asyik di kampong, bapaknya di Karangasem menikmati tahun baru bersama nenek dan kakeknya.
Meraka kelihatannya pasangan yang berbahgia, anak sudah dua, tinggal di Manado, sebuah kota yang indah. Susi seoranga akuntan yang bekerja di perwakilan BPKP , sedangkan suaminya bekerja di Kantor Agraria setempat. Aku iti Cokde. Ha ha ha aaaaaaaaa. “Harusnya dia iri, sama kita, karena kita menjadi pasangan yang kuat bertahan, Hahahahaha” sambung Cokde.

Mataharipun meninggi mereka lihat pasangan Wanjo dan Susi meninggalkan mereka dengan sangat mesranya, mereka tidak mau mampir ke Puri Gading, karena mereka berkemas, akan kembali ke Manado besok pagi. Selamat jalan Sus…. Memang kamu selalu duluan dari aku, semoga kau tetap berbahagia.

Cokde sudah selesai mengemas peralatan camera dengan tripodnya, kami dengan keringet yang kering tersapu angin laut Selat Badung, menuju ke mobil. Mobil VW Safari kesenangan Cokde, di saat menikmati keindahan kota dan pantai. Kamipun bergegas, kami ada pesta kecil Tahun Baru di Puri Gading bersama dengan warga setempat.

Ditempat istirahat, Jalan Tol Diatas perairan, kami menepi, Cokde mau mengambil momen kebersamaan kami, dengan camera otomati, yang di pasang di atas mobil. Dengan wajah pagi, habis berkeringat alami, kami berdua menyetem gaya bersama. Trus 1,2,3,,,,,,,,,,tit….titi…..tit…….. jepret. Kemuadian kami lihat berdua ternyata hasilnya sangat alami bagus, dengan pakaian kami yang tertiup angin, dilator belakangi gunung Agung dan fajar menyingsing.

Saat itu kuliaht pantai Sanur jauh lebih bersih kemabding dengan pantai Juta yang sarat dengan sampah. Di angin baratan ini. Angin baratan kali ini ku baca di Koran, ditandai dengan Momen Dipole Negatif, dengan berhembusnya angin dingin dari pesisir timur Afrika mendorong angin baratan menjadi lebih dseras, demikian juga ada seruakan dingin asia, yang mendorong udara dingin kea wan konvektif kita sehingga menjadikan proses hujan lebih cepat, dan hujan menjadi lebih deras, dan angin baratan menjadi lebih kuat.

Angin ini katanya mendorong ombak menjadi lebih besar membawa sampah ke pantai-pantai di selatan yang bersisian dengan Samudera  Hindia.  Itu kata temanku yang bejerja di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, yang suka menulis di Koran, itupun dapat kubaca dari blognya.  Sama sama mengabdi untuk masyarakat. Temanku dapat memberikan warning cuaca kepada masyarakat, kalau aku membantu masyarakat menuju masyarakat sehat. Memang banyak cara kita mengabdi ke pada masyarakat, sungguh besar anugerah  TUhan kepada kita untuk mengabdi.

Aku menikmati sekali pagi ini, kulihat masih namyak music menggelegar di stel di tenda-tenda, dan dib alai desa di Bali. Meraka ada yang berbaur dengan para bule, habis merayakan tahun baru. Beberapa Bule, laki perempuan kulihat ikut tergeletak tidur di balai desa, Memang Bali, sangat mudah menerima akulturasi. Aku diajak Cokde berhenti di sebuah pasar desa di daerah Bualu, di pintu keluar Resot Nusa Dua.

Tempatnya desa, tetapi dekat resort internasional.  Cokde memesan dua porsi makan, kami sangat lahap menikmatinya. Ini rasanya dominan pedas, banyak daging cincangnya, ada parutan kasar kelapa bakar, kacang panjang dan nangka cincang.

Kunikmati bersama, membuat keringat kami meleleh keluar lagi, denga minuman tuak manis –nira – ku akhir sarapan pagi ini. Kepalaku pun terasa enteng, padahal aku baru saja menderita flu, dan hidungpun terasa belum normal. Ternyata aku dijelasin oleh dagangnya bahwa yang kumakan itu namanya lawar penyu. Heheheh penyu bukan dilindungi kataku. Ini penyu yang di budidayakan masyarakat. Ada sebagian bisa dipotong dengan ijin pihak berwajib sebagai kompensasi pelestarian budidaya yang dilakukan.

Sebuah Kuliner tradisional sehat kunikmati, setalah aku tahu semua nbahan yang dipakai adalah bahan an organic, yang sengaja di taman tanpa mengguakan pupuk maupun peptisida kimiawi. Walau memang agak mahal rasanya bagi orang desa, Satu porsi makanan nasi beras merah, lawar penyu dan tuak manis, lima puluh ribu pas. Aku pamitan dengan Ibu pedagang, setelah membawa pulang bungkusan tiga bungkus lawar penyu, untuk orang rumah.

Alunan musik tradisonal Bali, music pop Bali, Musik Rock SID, ataupun lagu-lagu barat banyak kutemui masih disetel masyarakat walau malam tagun baru, sudah lewat. Disuatu poskamling kudengar sebuah lagu yang pernah kudengar. Ku minta Cokde menepi dan berhenti dekat pos kamling ini.
“Selamat Pagi, Selamat Tahun Baru”
“Om Suastiastu, hehe Cokde rupanyam dari mana dengan ibu?” tanya dari seorang dari mereka dan mendekati mobil kami.
Mereka bercakap dengan bahasa Bali, maaf Ran, aku pakai bahasa Bali. Dia memakai Bahasa Bali halus, karena dia menghormati aku. Dia masyarakat yang sering membatu keluarga kami kalau ada acara keagamaan, atau acara adat. Mereka orang kampong tak pamerinh, iklas membantu.
“Ran berikan saja itu paket bungkusan lawar tadi” kata Cokde
Aku berikan ke mereka, Cokdepun berkata, He maaf cuma tiga porsi, di bagi ya itu lawar penyu. Tapi minumnya cari sendir ya. Ini tuak manis akan aku bawa, soalnya itu pesanan Kanjeng Mami.
“Siap Bosss, Matur Suksema” katanya.

Cokde menjelaskan ke aku. Saat mereka bercakap dengan bahasa Bali mereka menanyakan kapan gadis cantik disamping akan diresmikan dalam pernikahan. Cokde menjawab tunggu saja beritanya. Kalau berita baik pasti akan segera disampaikan. Mereka pun menawarkan apa yang bisa mereka lakukan untuk acara itu, mereka akan selalu siap datang ke Puri. Baik di Puri Gading atau di Puri Induk di kampong keluarga besarku.

Sebelum melaju lagi sempat ku tanyakan kepada salah satu dari mereka, “Pak Pak itu lagu judulnya apa ya”.
“Oh… Itu lagunya SID yang kuta tahu ada liriknya …nyalakan mara bahaya begitu…..” “Oh iya terima kasih ya”
“matur Sukdema”  katanya.
VW safari tua itu pun meluncur lagi menyusuri Jalan By Pass, kus stel music tak mau kalah dengan mereka yang ada di Bale banjar. Langsung kupencet saja, ternyata mengalun lagu melonya Widi Widiana. “Memori Danau Beratam” Jadi aku teringat saat aku mencoba para sailing, dan banana boat di Danau Beratan, Bedugul. Hawanya yang sejuh menusuk kulitku.

Cokde, kok lagunya melo banget. Itu bukan saja melo, tapi  itu sebenarnya mengandung filosofi mendalam, yang menyindir laki laki, yang saat mereka senang biasanya lupa segalanya. Itu menceritakan seorang laki  laki jomblo, berwisata ke Danau Beratan, berjumpa seorang gadis dan berkenalan. Sang gadis merespon kenalan tersebut, memberikan senyumannya yang sangat manis, sehingga dia lupa menanyakan nama ataupun alamt si gadis.

Sesampainya di rumah diceritakan wisatawan ini datang dari Malang, ingin berkirim pesan lewat bbm atau lewat surat. Tapi dia hanya bisa memendam rindunya karena lupa menanyakan nama, alamat ataupun nomor Handphonenya. Iapun hanya bisa menyampaikan pesan lewat bulan , angin ataupun bintang, dan memohon kepada Tuhan Yang Maja kuasa untuk mempertemukannya kembali.

Hahahahahaha akupun tertawa……….< untung dulu Cokde ku berikan nomor telepon ya, sehingga kita bisa bersama seperti ini. Memang kita tidak termasuk domain cowok yang di danau Beratan itu, ya Cok de. Iyaaaaaaa Hahahahahahahahah koksampai  kesana assosiasinya ,kata Cokde, sambil memelankan kendaraan karena ada kerumunan orang. Aku sempat meliriknya ternyata seorang tourist Bule, terkapar di pinggiran jalan dengan motor yang lengkap dengan papan surfingnya.

“Dia telah sampai kepada tujuannya terakhir,” kata Cokde.
“Kok bisa begitu Cokde?”
“Ya bukan kah banyak touris asing kepingin mati di Bali?”
“Oh itu maksudnya. Ya aku mengerti, karena Bali mereka anggap sorga dunia, the real paradise”

Kami tidak langsung pulang, jam sudah menunjukkan pukuk 11 00 siang. Kami pun berhenti di sebuah hall, yang orang Bali bilan wantilan. Sangat banyak orang disana, sangat banyak pedagang berjejer di halaman wantilan. Banyak kulihat laki-laki membawa keranjang berisi ayam jago.
“ada apa ini Cokde, tempat apaan ini”
“Lho katanya ingin menyaksikan tajen, sabung ayam gaya Bali”
“Oh iya, kita kan masih bau keringat, kan enggak enak”
“Akh cuek saja, itu bule juga mungkin sudah beberapa hari tak mandi, cuke saja bergabung ke mereka”

Hahahahahahah tawaku berderai, pikirku memangnya kita bule. Akh cuek saja. Kami mendekat sepasang ayam sudah siap diadu, dengan taji yang sangat mengkilap terikat dikakinya. Orang-orang pun berteriak teriak. Cok-cok –cok….. Biing biing biing. Tludo…Tludo,,,,,,, meraka saling bersahutan. Seorang jri memukul ong” Tung”

Semua hadirin diam sejenak, suasana sangat hening, Kuliaht sepasang ayam telah berada dengan lihainya do kawal dua orang yang menjadi pawangnya di Bali disebut pekembar. Dua ayam itu saling hajar, saling hantam, bersamaan dengan bunyi gung ‘Tung”….. para pemerhati berteriak Hooooooo

Kulihat seekor ayam terkulai, diantam lainnya. Sama seperti petinju yang menunggu lawannya yang KO, ayam itupun berdiri diam, melihat lawannya terlulai tak bisa bangun dengan kepala lengket dengan tanah. Juri memukul, gung kembali menandakan persabungan set itu berakhir dengan kemenangan ayang Biing, yang berwarna kemerahan. Biing itu berarti abang, ban…..merah.

Para penjudi yang kalah langsung menyerahkan uang taruhan kelawannya yang menang. Sungguh cepet uang berpindah pikirku. Mereka sangat sportif pikirku. Tak lama kemudian aku diajak masuk ke kalangan adu ayam itu, sementara set berikutnya dipersiapkan. Kuperhatikan kalangan, atau lapangan adu ayam memang di haris seperti ring tinju saja, juri atau wasit, memakai timer dengan batok kelapa yang di lubangi pantatnya. Di taruh di atas air, setelah tiga kali batok tenggelam merupakan satu ronde. Gongg juga hampir sama dengan tinju dipakai pemberitahuan waktu mulai atau habis. Tidak memakai waktu atau stop watch modern.

Jadi sangat adil, sangat sportif, Kulihat tak ada perpindahan atau kolektifitas uang sebelum ada ayam yang kalah. Pembayaran disepakati dibayar setelah salah satu ayam kalah. Ayamnya mati atau lari tak mau melanjutkan pertandingan. Memang judi karena pakai uang, tapi juga merupakan tontonan touris, karena kulihat banyak orang yang janya menonton, seperti kami ini.

Kata Cokde adu ayam pasti aka nada sepanjang masa walau,. Terkadang dilakukan pembatasan dengan Perda dengan dalih judi. Dia akan selalu ada karena merupakan salah satu rangkaian upacara dalam upacara agama atau upacara adat. Bahkan di beberapa desa, atau pura saat ada Upacara di Pura tersebut, adu ayam akan dilaksanakan oleh anggota penyungsung di pura tersebut selama tiga hari. Kalau sudah dilakukan dalam rangkaian upacara, polisipun akan mengijinkannya,

Selepas satu ronde lagi kami saksikan, yang berlangsung sangat lama, sampai ada adu ‘pruput’ mungkin artinya ouputan, dengan memasukkan kedua ayam di bawah kurungan, sehingga arena menjadi terbatas, dan mereka berantem disana sehingga ada yang kalah. Itu berarti semua ronde dilakukan dengan tanpa ada yang kalah. Setelah pruput, ternyata kedua ayam mati. Nah tiu berarti draw, tak ada perpindahan uang, dan tak ada yang menang dan tak ada yang kalah. Kamipun meninggalkan wantilan kembali ke Puri Gading.

Ya memang sportif mereka…………….. Itulah adu ayam tidak saja sebagai judi, tetapi dia bagian dari sebuah ritual upacara adat atau pun upacara keagamaan, dia bagian dari objek wisata.  Terserah bagaimana kita memandangnya. Kulihat adu ayam atau tajen juga merupakan ajang mencari rejeki banyak orang, pedagang, peternak ayam, pariwisata dan lainnya,…… memang dilemma.

=====================================Old-New Year di Puri Gading, Jimbaran-=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar