Social Icons

Selamat Datang di Blog Itik-Bali

Selamat Jumpa Pembaca yang budiman, selamat datang di blog ini. Blog ini dibuat hanya untuk proses pencurahan hati dan ingin menghibur pembaca sekalian.

Dengan bahasa ringan sehari-hari, saya ingin berbagi cerita pendek yang mudah-mudahan bersambung, sehingga pembaca sekalian diundang untuk melepas lelah dan penat di blog ini.

Semoga pembaca sekalian menikmati dan terhibur setelah membaca. Tentu komentar dan saran anda sangat kami nantikan.

Salam

Selasa, 05 November 2013

Rani-5

DUA WANITA PLUS SATU


Angin dingin musim kemarau masih sangat terasa menusuk kulitku. Bunga kamboja masih terlihat rajin rontok, walau halaman baru saja disapu Meyan. Kulihat Mami sedang duduk santai di Bale Bengong, menikmati the sore serta sepiring makanan kecil. Itu kulihat dari bali jendela kamar tidurku. Aku terasa sangat capek, setalah hampir seharian menemui beberapa Guru Besar, yang mau menjadi pembimbing tesis S2 ku. Meraka umumnya mereka sangat tertarik dengan topik yang ku pilih, masalah Penyakit Malaria pada Anak-anak. Mereka sangat minim pengetahuan tentang malaria, bahkan ada diantara mereka sejak jadi dokter belum pernah ngobati malaria. Besok aku ada janji dengan Dekan Fakultas Kedokteran, yang mengundangku untuk berdiskusi proposal yang aku susun.

Akh lupakan sejenak masalah proposal, aku ingin segera bergabung denga Mami, rilek sejenak ikut menikmati sandiakala –waktu senja menjelang malam- ngobrol di Bale Bengong, siapa tahu beliau ad ad aide, memberikan aku jalan keluar, karena ku tahu kenalan beliau sangat luas, termasuk di kalangan IDI Daerah. Ku rapikan rambutku, dan segera bergabung di Bale Bengong.
“Selamat Sore Rani” Mami menyapaku duluan. “Selamat Sore”, jawabku. “Bagaimana dengan proposalmu, apa sudah ada dosen yang bersedia menjadi pembimbingnya?”. Akh belum mami, semuanya mengatakan tidak punya pengalaman dengan wabah malaria. Malah ada yang mengarahkannya ke penelitian demam berdarah, atau flu burung. Tapi Rani masih ingin memberikan sedikit sumbangsih ke daerah Papua, yang telah mewarnai karir dan profesi Rani sebagai seorang dokter.

Udahlah mami, kita tidak usah membicarakan itu dulu, Rani percaya pasti akan ada pembimbing yang bersedia, besok Rani diberikan waktu Pak Dekan untuk ketemu jam !0 pagi, ketemuan di ruang beliau. Mudah-mudahan beliau memberikan jalan keluar, terang ku. Oke tak mengapa kalau kamu optimis begitu, mami yakin pasti akan segera terpecahkan.
==***===
“Selamat Sore, Nyonya dan Nona”, suara Meyan memecahkan kesunyian sore itu, dan menyela pembicaraan kami. Meyan rupanya menyiapkan tek sore juga buatku, setalah melihat aku bergabung di Bele Bengong.

Mengenai tawaran Mami, Rani fikir terlalu munafik kalau Rani tolak. Karena sebenarnya Rani sudah tertarik dengan Cokde yang super cuek itu. Saat aku merawatnya, tanpa mengurangi Profesionalitas kerja aku tertarik sama pasienku ini. Sudah hampir setengah tahun lebih saat kami bertemu Mami di Bumi Cenderawasih Papua, beliau secara tidak langsung mengharapkan aku mau menerima Cokde, sebagai calon suami.

Memang aku tidak mau menjawab secara langsung saat itu, karena aku belum tahu, bibit, bobot, bebet beliau. Orangnya memang sangat mudah bergaul, sangat mudah ‘tune in’ diajak ngomomg apapun, walau ku tahu Cokde seorang pengemar seni, suka mengumpulkan barang barang antic berbagai etnik, dan suka berpetualangan geologi, sehingga pengetahuannya terhadap  bebatuan, singkapan batuan sangat mumpuni.
Tapi saat aku berbicara dan berdiskusi dengen Dokter Regina masalah penyakit, ternyata nyambung juga malah sangat fasih dengan istilah-istilah medis, sehingga etis nggak ya kalau hal ini kutanyakan kepada mami. Karena saat kutanyakan ke Cokde, selalu dijawab sebagai seorang pebisnis,pecinta seni, dan petualangan geologi.

“Mami, apa aku bias tahu, apa pendikan Cokde yang sbenarnya”, tanyaku kepada mami. Kenapa hal itu kau tanyakan kepada mami, nggak langsung saja ke Cokde. Karena masalah itu sangat pribadi, dan mami sudah memegang teguh hal-hal seperti ini tak akan mau menjelaskannya. “ Kau Tanya saja langsung ke Cokde, atau  nanti juga kau tahu”, jawab mami. Menurutku Cokde itu multi talenta, aku malah kawatir kalau-kalau nantinya aku tak bias nyambung kalau berbicara dengannya, bila sudah menjadi istrinya. Akh lamunan liarku kemana mana tanpa diketahui Mami.

“Bagaimana Nak Rani, apakah sudah siap kalau acara lamaran Mami, segerakan” suara mami memecah lamunanku. Akh mami bias saja, kan studi Rani belum pasti di universitas Udayana. Masalah menikah menurut Mami tak ada kaitannya dengan pendidikan, apalagi kalian telah dewasa. Rani sudah dua puluh delapan tahun, dan Cokde sudah empat puluh tahun.

“Kalau urusan studi, mami tanggung jawab, kalau sampai waktunya belum dapat pembimbing” ujar mami. Aku jadi malu dengan tantangai itu. Kan masih ada janji dengan Pak Dekan besok mami, biarlah  Rani mengahdap dulu kedapanya. Kalau Rani sudah menyerah, baru memohon bantuan mami, jawabku. Nah harusnya begitu, tak usah mudah menyerah, bila perlu mami ikut ketemu dengen Pak Dekan, dia Prof Gde Malian kan. Itu dulunya asisten Bapak saat masih aktif.

Masalah yang masih mengganjal hatiku adalah masalah keluargaku. Karena aku tidak tau kedua orang tuaku. Yang ku tau aku dibesarkan di Panti Asuhan, dan sekolah di dukung oleh Gereja, khususnya Romo Nappeng. Apakah mami bsa menerima keadaanku, yang tidak jelas asal usulnya, serta tidak punya orang tua sebagai wali nikahku.

Kujelaskan kepada mami semua itu, dan mami bias memakluminya. Malah ingin ketemu langsung dengan Romo Nappeng, ingin mengutarakan niatnya akan mempermantukan aku, dan merundingkan hari pernikahan. Minggu lalu sempat kutarakan minat mami kepada Romo, dan Romo menyerahkan semua keputusan padaku.

Kuingat pesan beliau. Rani, kamu sudah dewasa kamu bias memutuskan sendiri masalahkamu, Romo akan mendukung apapun keputusan kamu. Yang Romo ingatkan untuk selalu mengingat Tuhan, walau dengan cara manapun. Karena hidup ini ibarat air yang mengalir disuangai dia akan bermuara pada terminal akhir yaitu kematian. Sedangkan dalam kematian sejatinya semua rokh kita akan kembali, ke asalnya. Manunggal Ing Kawula lan Gusti, dimana kembali nya arwah menyatu kemali ke asalnya Tuhan Yang Maha Esa.

“Mami, semua keputusan itu ada di tanganku< Romo berpesan apapun keputusanku, beliau akan mendukung”, ujarku. Nah apalagi begitu, apa yang kau nak Rani tunggu lagi, bantulah Mami, berikan segera jawaban yang pasti. Sehingga Mami dapat mempersiapkan dengan segera segala-sesuatu yang terkait, termasuk pertemuan Mami dengan Romo Nappeng, di Salatiga, atau beliau kita undang kesini” kata mami.
Sebenarnya aku juga malu menyampaikannya kepada mami, beliau sangat baik kepadaku, demikian juga kepada orang lain yang menjadi tamunya. Seharusnya mami sudah tahu jawabanku. Tingkah lakuku, terhadap keluarga beliau. Beliau taklu mengejar jawaban formal dengan ku. Aku sebenarnya siap diambil menjadi mantunya, karena sesungguhnya sejak pandangan pertama aku dan Cokde sudah ada chemistry. Bukannya aku Geer, itu feelingku berbicara.

Terserah mami, kataku. Kapan mau bertemud engan Romo Nappeng, saranku sebaiknya kita, maksudnya mami, saya dan Cokde yang mendatangi beliau di seminari Salatiga, karena kudenngar beliau karena usia, telah mengurangi kegiatannya. Hanya memimpin persembahyangan Minggu pagi saja. Tapi menurutku, akan lebih baik bila sudah dapat pembimbing, dan persetujuan proposal dan studiku telah pasti dilanjutkan disini. Bau wangi aromatic, dan asap dupa karena Meyan telah melakukan persembahyangan, sandikala pun bergerak menjadi malam, teh sore dengan pisang keju bakarpun telah habis kami nikamti, mami menyalami dan mencium pipiku. Terlihat benar di keremangan awal malam, kebahagiaan Mami dengan jawabanku. Beliaupun berjanji akan menemani aku ke Dekan besok pagi, karena beliau pas agendanya kosong besok pagi. Beliau ingin ketemu dengan Prof Malian, lengkapnya Prof I Gde Made Maliana, tapi lebih dekenal dengan Prof Malian.

“Nah Meyan ikut Bahagia Kanjeng Mami, Mudah-mudahan salaman tadi pertanda sudah menjadi awal berita baik”, tiba-tiba suara Meyan mengagetkanku. Meyan salaman dan mencium tangan Mami. Demikian pula kami memberikan salam kepada Meyang, sambil memberikan cium pipi kepadanya. Meyan mempersilahkan kami untuk berkemas makan malam yang sudah dipersiapkannya. Tapi Mami memerintahkan mala mini, makan malam agar dilakukan bersama dengan seluruh anggota keluarga yang ada di Puru Gading. Meyan tolong sampaikan ke Cokde, Yande, agar sejam lagi kita bias bertemu di meja makan untuk makan bersama.

Ini pertanda Kanjeng Mami sedang berbahagia, Meyan pun mengiyakan dan segera menghubungi keluarga yang belum sampai di rumah, agar segera bergabung di Ruang Makan, untuk Makan Malam bersama.
Kami pun bubaran setelah berpamitan kepada Mami dan Meyan, untuk mandi dulu, sebelum acara Makan malam bersama. Bukan mami saja yang berbahagia. Rupanya hatikupun berbagahagia. Ternyata keluarga ini mau menerima aku yang tidak tahu asal usul orang tuaku. Kusenandungkan lagu “Diru Nina” lagu Papua kesukaanku. Diru diru Nina ooooo, sawape Diru Nina… Nina ooooo. Itu salah satu representasi saat hatiku bahagia, selama tinggal di papua. Algu itupun kusenandungkan selama madi.
============================================= Bintaro, awal Nopember 2013===


Tidak ada komentar:

Posting Komentar