Social Icons

Selamat Datang di Blog Itik-Bali

Selamat Jumpa Pembaca yang budiman, selamat datang di blog ini. Blog ini dibuat hanya untuk proses pencurahan hati dan ingin menghibur pembaca sekalian.

Dengan bahasa ringan sehari-hari, saya ingin berbagi cerita pendek yang mudah-mudahan bersambung, sehingga pembaca sekalian diundang untuk melepas lelah dan penat di blog ini.

Semoga pembaca sekalian menikmati dan terhibur setelah membaca. Tentu komentar dan saran anda sangat kami nantikan.

Salam

Kamis, 27 Maret 2014

Sobar-6



“MEREKA HADIR DALAM SAKITKU”


Aku terbaring lemas di tempat tidurku. Dalam keterpurukan kesehatanku rupanya telah mengaduk aduk pikiranku, tentang masa depan, pasangan hidup maupun cerita Sobar tentang kisah Cinta Durjananya. Kesehatanku terganggu mungkin karena aku belum bisa mengelola waktu dan tenagaku, diantara mengisi kebutuhan masa mudaku, menjadi dosen muda, menemui pelanggan , dan menyelesaikan beberapa proyek property yang sedang aku garap dengan teman-temanku. Belum lagi permintaan mendekor ruang sidang DPRD.

 
Aku benar-benar KO, dan untuk adik-adikku masih bisa emngurus segala keperluan dan menghantarkan aku ke dokter. AKu mesti istirahat Kata Dokter Nani, sahabatku saat sama-sama SMA. Dia masih lincah dan centil seperti dulu. Padahal…….
“Bang, makan dulu buburnya, nanti dingin. Ini aku siapkan obatnya” teriak adikku dari kamarnya. “Ya akan aku selesaikan”. Sambil aku menyantap bubur ayam, walau pahit mulutku kudengarkan temanku penyiar yang sedang bertugas di Radio BM-FM. Memang sungguh pintar dia memilih lagu, dan mengammbil hati para wanita. Tidak ibu-ibu, para gadis maupun para remaja. Memang tidaklah salah bila ia dijuluki sebagai penyiar Idola.
Seorang penyiar setianya menciptakan lagu penyiar Idola untuknya. Kira-kira begini syair lagunya:
Bercelana blue jin, berkaos T Shirt..
Duduk sendirian di dalam
Menyapa dan mengjibur pendengarnya,
Para muda-mudi…..
Salah satunya aku, yang sama-sama
Datang Wakuncar ke seorang gadis cantik
Seorang pedagang Oleh-oleh
Di pasar Kumba sari….
Hahahaha, memang dia pemuda yang sangat beruntung, dipuja ribuan penggemarnyaa, diidolakan pria wanita karena ia pintar menghibur hati para pendengarnya yang sedang lara, sedang patah hati atau menambah melambungkan hati para penggemarnya yang lagi jatuh cinta.
Di dalam keasyikanku mendengarkan radio, pintu kamarku ada yang mengetuk, ku jawab dengan teriakan “masuk….” Kukira adikku akan pamitan kerja ternyata kedua orang tuaku datang. “Katanya kau sakit, lol masih bisa berteriak” kata ayahku. “Itu kan karena baru habis makan bnubur dan minum obat, ayah”
Aku tak menyangka mereka datang, sepagi ini. Telah kuduga pasti ini ulah adik gadisku yang sedang sibuk-sibuknya di kantornya, ditambah mengurus aku yang sedang sakit. Makanya dia telepon orang tuaku rupanya untuk datang kesini. Ibuku segera merapikan kamar tidurku yang sedang berantakan, aku segera mandi dan merapikan badan yang sudah tiga hari terbaring lemas karena flue jahanam yang menyerangku, sehingga menyisakan batuk yang sangat menganggu walau badan sudah enakan.
Seperti biasanya ayahku menyurh aku segera menikah. Bahkan beliau menwarkan untuk menikahi seorang gadis anak kenalannya. Dia baru smsester 2 kuliahnya di Fakultas Ekonomi. Aku jawab dengan halus, bahwa aku malah sedang dibuat bimbang karena aku tertarik dua gadis saat ini. “Ayo kau kenalkanlah sama kami” sahut ibuku.
Aku merasa tidak enak mengatakannya karena kedua gadis ini, orang-orang yang telah mapan dalam kerjanya. Pasti ayahku akan bilang tidak romatislah, odipuss komplek lah. Akan ku coba menjelaskan nanti siang saja siapa tahu salah satu diantaranya mampir ke tempatku. Apakah Luna atau Marlina akan mampir. Biasanya mereka mampir kalau mendengar aku lagi sakit, sama seperti aku akan mengunjunginya kalau mereka sakit.
Ternyata benar, pagi itu Luna datang membawakan aku bubur ayam. Terima kasih Luna, kau telah mampir. Silahkan masuk……, dan kenalin ini kedua orang tuaku. “Selamat Pagi Kami orang tuanya Reno, aku ayahnya Reno, panggil  saja papa Ratno dan Ini ibunya Reno, kau bisa panggil mama Reni”. “Ya selamat Pagi, saya Luna….” .
Ayah berterima kasih kepada Luna, yang telah memperhatikan aku. Bahkan dia langsung menebak bahwa Luna adalah pacarku, sehingga Luna memerah mukanya. “Bapak Tanya saja Reno… apa namanya hubungan kami” “Ayo Ren, pasti pacarkan….?” Ayah mendesakku agar aku segera memperkenalkan kedua orang tuaku ke orang tua Luna.
Kalian menunggu apa lagi, kalian segeralah menikah. Ayah tidak akan mencampuri pilihan kalian. Karena aku sudah merasakan bagaimana rasanya kalau orang tua pilih-pilih calon untuk anaknya, aku sudah alami. Segeralah kau bina hubungan ini agar menjadi lebih mantap, menuju ke jenjang pernikahan. Bapak dan ibu akan sangat mendukungnya. Aku sangat merindukan punya mantu dan cucu dari anak sulungku ini.
Keringatku ngucur sepagi itu. Ayah to the point saja rupanya berbicara pada Luna yang terbiasa berbicara runtun dan sistimatis. “Semua itu inisiatif kan ada dari pihak pria pak, kami pihak wanitanya akan memberikan respon”. “Orang tua yang mana tidak mengharapkan putraputrinya segera menikah kalau mereka sudah mapan, sudah bekerja, punya usaha sampingan seperti Reno” sambung Luna.
Ayahku kelihatannya nyambung ngobrol sama Luna. Maklum psikolog yang mudah nyambung berbicara dengan siapa saja. Ibuku kelihatannya bengong saja, diam seperti kebanyakan wanita desa yang hanya membiarkan suaminya yang berbicara, sebelum dipersilahkan memberikan suara. “Bagaimana menurut Ibu, setuju kalau kita punya mantu nak Luna” kata ayahku.
“Aku serahkan ke ayah saja, pilihan Reno kan pilihan kita. Pilihan ayah juga pilihan aku” katanya. Luna berpamitan dengan kami, karena dia sudah mempunyai janji siang ini dengan kliennya di Kantor Biro. Dan ia sempat menawari orang tuaku untuk mampir berkenalan dengan keluarganya. Kami mengantarkannya sampai di mobilnya, ayahpun kelihatan memanjakannya dengan membukakannya pintu mobilnya.
Ayah memujiku karena aku memilih seorang gadis yang sangat luwes, santun bahasanya. Kami perhatikan memang tubuh Luna, tinggi semampai layaknya seperti seorang penari kebanyakan. Pinggangnya panjang dan lehernya jenjang, rmabut lurus terurai dan matanya itu …… cerlang cemerlang seperti bintang.
KUjelaskan kepada orang tuaku bahwa Luna sebenarnya konselorku, yang memotivasi aku agar segera merampungkan kuliah yang sebelumnya smepat madeg beberapa lama. Memang aku tertarik dengannya, begitu pula dengan Luna. Hanya kujelaskan kepada ayahku bahwa dia puti tunggal seorang anggota parlemen, seorang pengusaha. Tapi beliau sangat demokratis menyerahkan pilihan hidup anak-anaknya ke mereka masing-masing. Luna putrid bungsunya sekarang tinggal berdama ke dua orang tuan ditemani dua ponakannya.
Sebenarnya tidak jauh beda dengan orang tuaku, hanya saja ayah kelihatannya selalu memburu aku agar segera menikah. Katanya tidak mau seperti mereka yang menikah telat. Memang ayah telat menikah, tetapi karena beliau orangnya easy going dan menikmati hidup ini, kelihatannya lebih muda duapuluh tahun kebanding umurnya.
Tak terasa aku berbincang dengan orangtuaku sudah cukup lama rupanya, hari sudah tengah hari. Aku coba bubur bawaan Luna. Kelihatannya enak sekali, mari yah kita cobain buburnya Luna. Kamipun bertiga menikmati bubur bawannya Luna. Rupanya bubur Manado, masih panas, rupanya ibuku memanasi sebelumnya. Kata ibuku ini dibuat dengan bumbu kasih-sayang makanya rasanya sangat nikmat. Hahahaha aku tertawa berderai bersamaan dengan ayahku. Ayah mengatakan kepadaku bahwa ibuku dulu seperti Luna. Badannya masih kelihatan bagus karena ibu seorang penari, sampai saat ini juga masih melatih memari di waktu senggangnya melatih anak-anak SMP di kampungku, yang kebetulan lokasi sekolahnya tidak jauh dari rumah.
Ayah mendesak aku, untuk mengajak mereka berkenalan dengan keluarga Luna. Aku malah takut bila ayah secara buru-buru mengungkapkan keinginannya untuk menikahkan aku dengan Luna. Aku sebenarnya belum pernah secara serius mengungkapkan isi hatiku kepada Luna. Tapi kalau aku perhatikan ia tahu kalau aku saying padanya, demikian juga aku merasakan bahwa dia saying kepadaku, walau tidak pernah terungkap dengan kata-kata.
Dia membantuku keluar dari kererpurukan studi dengan tanpa pamerih, dilakukannya secara professional. Kelihatan tidak mengharapkan apa-apa. Apakah itu sifat wanita, aku tak tahu. Dia kelihatannya menjunjung tinggi adat ketimuran, tidak akan mengungkapkan isi hatinya mendahului ungkapan isi hati pria pujaannya.\
Hei hei hei….. kau ngelamun ya Reno, Ayahku berteriak, Tak baik kalau sedang sakit suka melamun, nanti lama sembuhnya. Nggak kok yah, aku sudah sembuh kok……. Nah kau belum minum obatkan siang ini. Tadi adikmu mengingatkan aku untuk mengingatkan kamu siang mimun obat agar cepat sembuh. Ok aku minum obat dulu yah.
Tiba-tiba ibuku mempersilahkan seseorang untuk masuk rumahku. Aku turun ke bawah kutemui mereka setalah minum obat. Hehehe ternyata Bu Marlina.
“Selamat Siang Reno”
“Selamat Siang Bu, apa kabar”
“Baik, Baik, bagaimana kesehatanmua Reno”
“Lumayan Bu, mudah-mudahan besok sudah mulai bisa ke kampus”
Oh kenalin Bu. Ini orang tua kami. Ini ayah, “Panggil saja Papa Ratno” dan ini ibu “Selamat Siang, pamggil saja mama Reni” “Wah aku ngiri melihat kalian masih memiliki orang tua masih lengkap”. Ibu Marlina kukenalkan kepada orang tuaku, adalah rekan kami sesame dosen sekarang di kampus, sebelumnya sebagai pembimbing skripsi dan tesisku.
“Wah-wah  kau sangat beruntung Reno, memiliki dosen yang masih……..     seperti Bu Marlina ini, masih segar, semangat, cantik lagi”
“Bapak bisa saja, saya juga tidak menyangka bahwa bapak semuda ini sudah punya putra Reno”
Ibuku kelihatannya tidak senang kalau ayahku memuji Bu Marlina. Aku harus menetralisirnya. Kulihat ibu telah menyiapkan minum, kupersilahkan Bu Marlina minum. Kami menikmati sekali siang itu. The buatan ibu yang sudah lama tidak aku rasakan, siang itu aku rasakan kembali. Pisang gorang sebagai oleh-oleh dari kampong aku cobain bersama. “Wah pisang gorengnya lain ya Ren” ucap Bu Marlina. Memang bu, itu pisang khusus dipakai ibuku, namanya pisang ‘gedang sabo’ rasanya manis, kental tidak berminyak, kering karena memakai tepung beras.
Setelah Bu Marlina pamitan dan aku janji besok akan mulai ke kampus, ayahku naluri lelakinya muncul. Reno itu Bu Marlina juga cocok untuk kamu, kelihatammya ia tertarik sama kamu. Masak seorang dosen melihat anak muridnya sakit. Jangan-jangan kau play boy ya Reno. Itu bodynya sangat sintal, dandanannya masa kini, apa nggak bikin pusing para muridnya. Komentar ayahku tentang Bu Marlina.
Ayah perhatikan badannya tinggi, padat berisi, dan jalannya sangat energik. Bagaimana pendapat ibu tentang Bu Marlina, apa cocok jadi mantu kita. Aduh aduh, ini bapak seperti anak muda yang baru puber saja. Memperhatikan wanita sebegitunya……. . “itu kan aku hanya mewakili Reno, menilainya bu. Rupanya mereka sengit berdebat tentang Luna dan Marlina, kudengar dari kamarku. Setalah Bu Marlina pergi, ibu menyuruh aku istirahat di kamar agar cepat sembuh.
Ibu masuk ke kamarku, karena ayah istirahat di kamar adikku. Ibu sih terserah kamu Ren, yang mana kamu pilih. Toh siapaun pilihan kamu dia akan menjadi menantu ibu. Ibu hanya mengharapkan ia dan keluarganya  mau saling menghormati dengan keluarga kita. Apalagi ibu kan orang kampung. Mungkin karena ibu seorang penari, kelihatannya dia lebih serek dengan Luna, tapi ayah yang masih senang rupanya melihat cewek modern masa kini, juga mengharapkan aku memikirkan juga Bu Marlina.
Kubilang keibuku, bahwa kalau memang jodoh tidak akan kemana. Biarkanlah aku menikmati masa masa bebas aku, untuk melakukan penilaian terhadap mereka, termasuk melihat gadis anak kenalan ayah yang hendak dijodohkan kepadaku.
Akh kepalaku jadi pusing ma, kalau memikirkan itu. “Tak usah kau pikirkan terus”, kata mamaku. “Nikmati saja seperti aliran sungai yang mengalir, menikmati benturan, muncratan, terjunan dan sebagainya, dan tetap mengalir menuju muara”. Asal kau tidak menyakiti satupun dari mereka ibu setuju, tapi kau harus punya pilihan.
Ibupun tak kusadari telah lama memijit mijit kakiku, sama seperti beliau memijit kakiku saat sakit masa kecilku bersama beliau. Suatu pijatan penuh dengan kasih saying. Dalam hati aku berjanji akan mencari psangan yang mendekati sifat ibuku. Dia tidak pernah menuntut. Sangat menikmati kesehariannya. Sehingga aku lihat ayah sangat nyaman bersitrikan ibuku.
Wajah Luna, dan wajah Bu Marlina silih berganti muncul dibenakku, sampai kusaksikan mereka berdua berantem, saling ledek satu sama lainnya, sehingga aku berteriak “diam”………………………….
Hahaha kau mimpi rupanya Reno, kamu tetap sama seperti saat kau kecil, bila sakit ibu pijitin kakimu ketiduran. Kau mimpi apa……..tanyanya. Akh aku memipikan kedua gadis tiu ibu…… Kalau mimpi mimpikanlah satu sehingga kau menikmatinya…. Jangan dua-duanya sehingga menjadikannya kau berteriak.
Alamak….rupanya instinkmu tahu kalau aku memimpikannya.

Pondok Betung, akhir Maret 2014.

2 komentar:

  1. Di tunggu Pak, Sobar-7.....terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sabar Pak Kadarsyah, mencari inspirasi dululah

      Hapus