"WASIAT LASTERI DAN REUNIAN SOBAR DI BUMI PARAHYANGAN"
Kesegaran Kebun Teh (google.com) |
Sehabis menziarahi makan Mama
Lastri dan Makam Abah, iring-iringan kami hampir duapuluh orang, keluarga
Sobar, Keluarga Reno dan Keluarga Mama Tua, kami pulang ke rumah dengan
berjalan kaki beriringan. Daerah itu sedikit diketinggian dipinggiran sebuah lereng,
di samping sebuah Surau perkebunan yang terawat rapi dan bersih disena pusara
Lastri dan Abah saling berdampingan. Semua kulihat berdoa dengan khusuk. Hanya
Luna kulihat lama tidak mau beranjak dari makan Mama Lasteri. Kami menunggu di
saung yang ada disebelahnya.
Tidak sampai sepuluh menit
berjalan kaki, kamipun sampai di kediaman Mama Tua, Keluarga Lastri. Kami
disambut sangat hangat dengan penuh kekeluargaan. Saat disuguhi minum, aku
masih teringat segarnya minum teh yang pernah aku rasakan sekitar tiga puluhan
tahun lebih seilam. Rupanya rasa teh yang kurasakan saat pulang kesini sama
Lastri kurasakan lagi. Balong atau kolam ikan sebelah timur rumah masih ada,
ribuan ikan emas saling berkejaran, diitari pohon jengkol, yang tumbuh rimbun.
Masih kuingat pohon jengkol tua
yang sangat rajin berbuah, sampai ke akar akarnya yang ningol di dinding Balong
berbuah. Aku ingat, kenangan itu menyayat hatiku. Hampir saja aku meneteskan
airmata. Untung saja Luna menghampiriku mengajak menikmati makan yang sudah
disiapkan keluarga Mama Tua. Betapa nikmatnya nasi hangat, semur jengkol,
gorengan ikan emas, dan gorengan ayam kampung, ditemani lalapan khas Jawa
Barat. Semuanya mengaruk-garuk luka hatiku, mengikis ke daerah yang paling
dalam kalbu memoriku. Akhirnya akupun tak enak makan. Kucoba sedikut nasi
dengan seekor ikan emas pepes saja, serta menyantap sebuah pisang raja. Aku
cukup kenyang rasanya.
Sambil bersantap, Mamanya Reno
mengingatkan kembali Mama Tua untuk mencoba mencari Surat Wasiatnya Mbak
Lasteri, yang sudah puluhan tahun disimpan.
“Bagaimana Ma, apa masih ada surat itu ma”
tanya Mamanya Reno.
“Iya ada semalam mama sudah
temukan kotaknya, nantilah kita buka saat pada sudah usai makan”
Mama Tua, ditemani Reno masuk ke
sebuah kamar, yang rupanya sebuah kamar penyimpanan dokumen keluarga. Mereka
keluar membawa sebuah kotak kayu antik. Mama Tua mempersilahkan Sobar membacanya,
karena wasiat itu untuknya. Disana jelas tertulis, untuk Kang Gde Sura. Surat
itu lebih tepatnya hanya sebuah pesan, tidak panjang.
Bli De Sura yang sangat Kucinta, Kutunggu
Kau Tak Datang
Abah dan Aku sangat mengharapkan
kedatanganmu
Untuk baktiku Ke Abah aku menerima tawaran
nikahnya
Walau hati remuk, aku tak kuasa menolaknya.
Coba kau datang akan kuceritakan deritaku
Kalau kau datang setalah aku tiada
Kuminta juga kau urus kematianku dengan
caramu
Sebuah kotak kutitipkan Temanmu Lanang ambillah
Kamu akan tahu semuanya.
Salam Terakhir
Lasteri
Luna kembali menangis
sesenggukan, sama seperti saat kami ziarah. Dia memeluk Mama Tua. “Ada apa neng,
janganlah memeluk mama begini, Mama jadi teringat pelukan Lasteri”
“Tangismu juga sama dengan
tangisan Lasteri, Maafin Mama Tua, mama tidak kuasa menentang keputusan Abahmu.
Mama tidak ada hak suara dalam hal pernikahan, karena Abah sebagai walimu yang
mempunyai hak untuk menikahkanmu, Maafin
Mama” katanya pelan sambil terisak dalam pelukan Luna.
Oke mah, kami akan melaksanakan
apa yang menjadi amanat di dalam wasiat itu. Kumohon mama mau mengikhlaskan dan
mengijinkan akan kami lakukan dengan cara kami, semoga Lasteri tenang di
alamnya, dan mendapat tempat yang layak disisi Tuhan Yang Maha Esa.
Kenangan masa laluku menjajah pikiranku
kembali, setalah melihat anak-anak remaja dan orang tua mereka datang dari
kebun menyetor hasil petikan daun teh yang mereka peroleh hari itu. Pohon
jengkol tepi kolam itu seakan mengucapkan selamat datang Bli Gde, -sebutan
sayang Lasteri kepada Sobar-. Aku masih saya melempar pelet ke kolam sehingga
ikan-ikan emas bergerombol, berebutan merebut pelet-pelet tersebut.
Luna menghampiriku, mengingatkan
jemputan telah siap, kami akan pamitan untuk kembali lewat Bandung kembali. Aku
semobil dengan istriku, Luna dan Mamanya Reno. Ohhhh Rinai, ya Mamanya Reno,
punya panggilan sayang dari Mama Tua, Rinai. Sedangkan Papanya Reno, Reno dan
Luna dalam satu mobil yang lain. Kami hampir tertidur sepanjang perjalanan.
Di hotel teman-temanku sesaat
kuliah, telah menunggu kami, ada pak Komang, Pak Merta, Pak Yasa, Pak Lanang, Bu Cok, Bu Made Kuning. Meraka
semua teman-teman kami seperjuangan yang setelah tamat memutuskan tetap
berkarier di Bandung. Mereka umumnya sebagai Dosen, bahkan beberapa dari mereka
sudah Guru Besar, atau ikut suami mereka mengelola perusahaan di kota kembang
ini.
Malam itu bak reunian angkatan tujuh puluhan, saat kami
memakai celana komprang, rambut gondrong, senang dengan lagu-lagu The Beatle,
Deep Purple dan sejenisnya, termasuk sebagai penggemar musik lokal The Mercy’s,
The Lloyd, Panbers, dan yang paling digandrungi saat itu group band Koes-Plus.
Pak Merta yang memang senang main band saat sekolah,
merancang pertemuan kami malam itu di sebuah cafe di Cisitu Hotel, yang home
band nya menyajikan lagu-lagu tahun tujuh puluhan. Kami bernostalgia malam itu.
Anak-anak kamipun kelihatan menyatu dengan anak-anak mereka, beberapa diantara
anak-anak mereka juga membawa anaknya. Bah ini reunian BaliNese kataku. Yaaaa
sahut Lanang ini Kelompok BaliNese.
Kuceritakan tujuan aku datang bersama keluarga ke Bumi
Parahyangan ini, adalah napak tilas, pergi ke keluarga Lasteri di Tasikmalaya. “Ohhh
tunggu-tunggu........., Lasteri pacarmu ya Ra” kata Yasa. “Ya keluarha
almarhumah” kataku. Dia sudah tidak ada,
mendahului kita-kita semua. Lanang nyeletuk, ayo untuk orang yang kita kenal,
dan kita ajak bersuka, bersedih, saat masih muda, kita berdoa sejenak dengan
cara kita” seketika seisi cafe tersebut hening, karena Lanang menyampaikannya
di panggung minjam mic dari MC cafe. Hadirin dari kelompok lain juga ikut serta walau tidak tahu persis doa untuk siapa, Hahahaha lucu juga.
“Ma ternyata Mama Lasteri, mereka kenal, mereka mengheningkan cipta dan memanjatkan doa untuk Mama Lasteri” kata Luna. “Ya betapa cantiknya Mama Lasteri, tadi kudengar“ Ma ternyata Mama Lasteri, mereka kenal, mereka mengheningkan cipta dan memanjatkan doa untuk Mama Lasteri” kata Luna. “Ya betapa cantiknya Mama Lasteri, tadi kudengar Lanang juga menaksirnya saat muda, sehingga pertemanan papamu pernah kurang baik dengan Lanang” sahut mamaku. "Akh menurut aku mamalah yang lebih cantik. Luar dalam lagi, Ya Ma". Ek'e ek'e jawab Mama geli. "Bener lho ma" kata Luna lagi.
Papa memanggil waitress, memberikan secarik kertas kecil
untuk disampaikan ke penyanyi di panggung. Habis lagu yang mereka nyanyikan
itu, kuingat kayanya lagu Jhon Lennon, aku lupa judulnya, tapi sangat akrab
ditelingaku. Kemudian penyanyi nya memberitahukan atas permintaan seorang yang
sangat terhormat, tamu spesial di cafe ini, akan dinyanyikan sebuah lagu dari
The Mercy’s “Hatiku Sunyi”.
Semua hening mendengarkan lagu yang sedikit berirama country
itu. Rupanya lagu itu merupakan lagunya Pak Lanang, saat dia kecewa karena
Sobar yang mendapatkan Lasteri. Lanangpun ngalah dan menikah dengan saudaranya
dari Bali, dia adalah Bu Lanang. Dia seorang penari Bali, tapi juga sangat
pawai dalam menyanyi.
Sebagai tamu kehormatan, Bu Lanang diundang ke panggung
untuk bernyanyi, dia berbisik ke pada pemusik menyamakan kunci dan irama lagu
yang akan dinyanyikannya.
Berkumandanglah lagu “Dokar Cinta”. Lagu ini mengisahkan sepasang
kekasih yang jatuh cinta saat sama-sama naik Dokar, (Delman) dari sebuah
perkampungan baru yang disebut Monang-Maning sampai jalan Gajah Mada. Saat itu
memang jalan Gajah Mada merupakan jalan tempat hang outnya para remaja yang lagi
jatuh cinta. Wah sangat mesra, kata mama. Mama hafal lagu tersebut. "Ia lah Mama hafal, itu kan lagu kenangan mama juga".
Tak terasa kalau sesama kawan lama ber reunian, waktu sangat
cepat berlalu. Jam telah menunjuk kan jam 21 45, kami harus segera kembali ke
hotel, saat Luna menyelesaikan bill ke kasir, dia di tolak oleh kasir, karena
semuanya sudah diselesaikan Pak Merta, seorang dosen yang istrinya sebagai
pengusaha konstruksi sukses di Bandung. Aku menggapit tangan Reno untuk maju ke
panggung. Kami menyanyikan Cinta Durjana nya Reynold Panggabean bersama Reno di
Panggung. Kulihat papaku sangat sumringah malam itu, kami ingin menghiburnya
dengan lagu kesayangannya yang selama ini selalu mengiringi kesuksesannya.
Tepuk tangan bergemuruh, teman-teman papa rupanya juga sangat
tahu kalau lagu itu merupakan lagu kesayangan papa. Begitu habis lagu Cinta
Durjana, semua undangan terutama teman-teman papa bersama keluarga maju
kepanggung. Kami menyanyikan Lagu Kemesraan, dan di akhiri dengan Lagu Bungan
Sandat ( Bunga kenanga), yang sarat dengan petuah, untuk muda mudi.
Diantaranya adalah:
Tirulah sifat si Bunya Kenanga/ jangan meniru kembang
bintang yang tumbuh di sisi gang, banyak yang memetik lalu di lemparkannya/
Bunga Kenanga biar layu dia masih akan tetap wangi, jadilah muda mudi yang
saling mengasihi/ pupuklah persatuan, hendaknya saling bantu membantulah”..
Yo i bungan sandat.......selayu-layune miik. Itulah petuah
malam inisemoga persaudaraan kita akan tetap kokoh dan tak berubah sampai ke
anak cucu kita, persaudaraan yang kita bangun diperantauan.
Kamipun segera kembali ke hotel, dan mereka teman-teman papa
kembali kerumahnya masing masing. Papa kelihatannya sangat menikmati malam itu,
beliau tidur dengan nyenyaknya. Renopun
ketemu seorang teman papa yang Guru Besar Teknik Sipl ITB, mereka larut
berdiskusi dalam bidangnya, mereka saling bertukar kartu nama. Siapa tahu bisa
bekerja sama.
Pagi-pagi, kami sudah siap untuk berangkat kembali dengan
penerbangan pertama dari Husein ke Ngurah Rai. Karena penerbangan pertama pk 11
30 siang, kami dapat agak santai. Kami ngobrol kembali di Restoran Hotel.
Rombongan kami sengaja memilih meja yang menghadap kolam renang, sambil
menikmati gemericik air dan ocehan burung-burung liar di tetamanan hotel,
sangat indah pagi itu. Petugas kolam masih membersihkan air kolam. Dan jatuhan
kembang kamboja masih bertaburan ditepian kolam, dan beberapa jatuh ke kolam,
seperti air kum kum saja kelihatannya.
Kami diantar oleh Pak Lanang dan istrinya pergi ke bandara,
mereka pasangan yang sangat mesra. Pak Lanang dosen di Fakultas Seni Rupa ITB,
seangkatan Bapak Nyoman Nuarta, yang seangkatan papa di SMA Tabanan dulu.
Istrinya seorang Dosen di ISI Bandung, mempunyai sanggar Tari dan sangat sibuk
pentas sampai Luar Negeri. Waduh teman-teman papa, rupanya sebagian besar sudah
berhasil di rantauan, Bandung. Mereka kelihatannya
masih saling mensupport satu sama lainnya. Ternyata papa ikut membantu
pengadaan meterial GWK yang sedang dibangun Nyoman Nuarta di Bukit Bali
selatan. Itupun aku baru tahu saat sambutan reunian semalam, yang disebutkan
Pak Merta.
Pak Lanang hanya menghantarkan kami sampai di ruang cek in,
dia menarik papaku ke mobilnya. Sebuah kotak, tepatnya kotak kayu yang
didalamnya ada kardus berisikan buku-buku. Tidak terlalu besar langsung saja
papa bawa. Hee ternyata itu titipan Mama Lasteri. Nanti kita lihat di ruang
tunggu saja kata Papa, sehabis kami pamitan kepada Pak dan Bu Lanang, kami
masuk ke ruang tunggu. Kami tak perlu antre karena pihak hotel sudah membantu
kami untuk city ceck-in.
Kotak itu rupanya berisikan buku-buka tersebut adalah buku agama. Sebuah
Bagawadgita, Sarasamuscaya, Upadeca, dan buku perbandingan Agama yang ditulis
seorang Pastur terkenal di Jakarta. Kami tahu rupanya Mama Lastri telah mencoba
mengetahui ajaran Agama kami, karena seperti yang aku tahu, umumnya istri akan
mengikuti suami dalam adat dan kebiasaan Bali. Mama Lasteri kelihatannya sudah
mencoba ke arah sana, kulihat banyak coretan di setipa halamannya.
Sudah tak usah dikeluarkan, kita rapikan kembali kotaknya,
nanti kita baca setelah sampai di rumah. Pemberitahuan terdengar dari informasi
bandara, para penumpag pesawat garuda sudah dipersilahkan untuk memasuki
pesawat. Kamipun naik ke peswat Garuda yang akan membawa kami pulang
meninggalkan Bumi Parahyangan.
Seperti biasa Luna asyik dengan menulis apa yang dia alami
di iPadnya, setelah pesawat mencapai ketinggian jelajahnya. Pramugaripun
menghidangkan santapan siang dan beraneka minuman. Kami kompak tidak makan
karena masih kenyang, hanya minta kopi saja.
Kuseruput kopi yang disuguhkan, hehe ternyata Kopi siang itu
sangat nikmat sekali. Sesekali kami tertawa menyaksikan film yang kami putar di
panel pesawat, yang kami tonton rupanya sama The Proposal, kami banyak tertawa
menyaksikan ulahnya Sandra Bullock yang menjadi bintang utama film itu. Agak
konyol memang tapi cukup menghibur, dan menganjal ngantuk kami. Kunikmati
tegukan terakhir kopi ku, ternyata kopi masih nikmat sekali. Ku tanyakan kepada
Pramugari kopi yang dihidangkannya itu. Ternyata kopi itu adalah Kopi Luwak
Liwa, dari Lampung Barat. Hahahaha aku diledek Reno.... kalah kita ya, Luwak
beraknya saja diburu, dan dinikmati manusia. Oh iyaa...... biarin kataku, yang
penting kan nikmatnya.
Kami diingatkan untuk memasang
sabuk pengaman kembali, hampir berbarengan dengan habisnya The Proposal” karena pesawat
akan segera mendarat. Sebuah perjalanan yang mengoyak-oyak hati, perjalanan
spritual, nostalgis, sedih, haru, senang, gembira, bercampur aduk semua,
sehingga rasa pegal kakiku baru terasakan saat akan mendarat, sebagai dampak
perjalanan aku mengelilingi kebun teh Mama Tua selama di Tasikmalaya.
Pondok Betung, Bintaro, akhir Mei 2014.
Bagi yang ada koment atau masukan silahkan kirimkan saja ke ipt_pudja@yahoo.com
BalasHapusBagus Pak....Bagaimana riset untuk mengetahui nama-nama lokasi....di daerah tertentu....
BalasHapusYah kahayalan saja semuanya Kadarsyah. Kan saya juga sudah pernah dinas di daerah Tasikmalaya, dan nginep hampir 40 hari di Cisitu Hotel saat kursus Bangunan Tahan Gempa dan Seismologi Teknik di Cipta Karya, Jl Ganesha? lupa.
Hapus